Rabu, 02 Oktober 2013

Tingkatan Makna al-Qur'an



TINGKATAN MAKNA AL-QUR’AN
Oleh : Apipudin

Al-Qur’an merupakan firmah Allah yang ditulis dengan bahasa Arab, difahmi selain memiliki makna harfiyah (alih bahasa/makna teks) juga memiliki beragam makna. Apipudin, dalam salah satu karyanya, yaitu al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit, mengatakan bahwa makna al-Qur’an terdiri makna al-Ibrah, makna isyarah, makna lathaif, dan makna haqaiq.[1]
Makna al-Ibrah yang dimaksud adalah pesan pendidikan di balik teks al-Qur’an. Pemahaman ini didapat bukan pada teks, melainkan pesan pendidikan di balik teks. Secara bahasa (etimologi) al-Ibrah, atau ibrah bermakna pengajaran, teladan, dan perhatian.[2]Dengan demikian makna al-Ibrah ini tersembunyi, hanya dapat ditangkap oleh orang yang menekuni tafsir al-Qur’an.
Makna isyarah, atau isyarat, makna ini juga tidak pada teks, melaikan berada di balik teks. Makna ini lebih dalam dibandingkan dengan makna al-Ibrah, karena itu makna ini biasa ditangkap oleh para sufi. Para sufi menfasirkan al-Qur’an berusaha menagkap makna isyarah, yang pada gilirannya lahir tafsir isyari. Penafsiran terhadap ayat yang dilakukan oleh sufi tentu sangat berbeda dengan pada umumnya mufasir. Sufi dalam menafsirkan ayat lebih pada melakukan suluk (perjalan spiritual), karema itu tafsir ini mengacu pada amaliah paktis umumnya kaum sufi, seperti hidup sederhana, melakukan banyak ibadah, zuhud, dan sebaginnya. 
Isyarat al-Qur’an juga dapat ditangkap oleh para ilmuwan, hanya saja ilmuwan lebih pada isyarat-isyarat ilmiyah,mkarenanya tafsir tafsir isyari yang lahir dari ilmuwan sering dikatakan tafsir ilmi, karena tafsir ini lebih menafsirkan isyarat-isyarat ilmiyah. Di Indonesia tafsir seperti ini sudah lahir, di antarnya; Tafsir yang diterbitkan Uniersitas Islam Indonesia (UII), juga sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab yang berjudul Mukjizat al-Qur’an.
Makna lathaif, secara bahasa lathaif diartikan halus, lembut. Dengan demikian dapat difahami makna lathaif dalam al-Qur’an adalah makna yang halu di balik teks. Tentu makna ini lebih dalam dari dua makna tersebut di atas. Tidak heran jika tidak semua orang dapat menagkap makna ini. Ulama yang bisa menangkap makna ini adalah lama tasawuf (sufi).
Dalam memahami ayat al-Qur’an sufi tidak lazim seperti pada umumnya ulama menafsirkan al-Qur’an. Muhammad Quraish Shihab seorang mufasir kontenporer Indonesia yang banyak menulis tentang tafsir al-Qur’an dalam salah satu karyanya berkomentar. Menurutnya, ada dua cara yang ditempuh oleh sufi dalam menafsirkan al-Qur’an; pertama dengan pendekatan nazari (perenungan). Para sufi yang menggunakan pendektan seperti ini berpendapat bahwa pengertian harfiyah al-Qur’an bukan pengertian yang dikehendaki, karena yang dikehendaki adalah pengertin batin.[3]Untuk itu para sufi menggunakan ta’wil[4] untuk menyesuaikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori tasawuf yang mereka anut. Ke dua sufi dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendektan amali untuk menagkap makna yang ada di balik teks. Pendekatan seperti ini, telah penulis jelaskan pada bahasan makna isyarat.
Makna haqaiq, adalah makna haqiqat, atau makna esensial. Makna al-Qur’an pada tingkatan ini tidak dapat ditangkap oleh manusia biasa. Makna ini hanya dapat ditangkap oleh Nabi Muhammad saw. Tidak berlebihan jika Nabi Muhammad dikatakan al-Qur’an yang berjalan.      
  



[1]Lihat Apipudin, al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit (Ciputat: YPM,2013),h.9
[2]Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,1999),h.252
[3]Lihat Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & Ulumul al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,1999),h.180-181
[4]Ta’wil adalah mengalihkan makna yang dhahir kepada makna yang batin (al-jurjani, Kamus al-Taarifat)

Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud