Senin, 31 Desember 2012

PESAN DIBALIK TEKS AL-QUR’A^N



KAJIAN ISLAM KOMPREHENSIP
PESAN DIBALIK TEKS AL-QUR’A^N
Oleh: Apipudin
10.2.00.1.05.08.0061

Dosen
Team Teaching








SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR

Mata kuliah ini termasuk maata kuliah unik, karena selama kegiatan belajar, setiap kali pertemuan materinya selalu berbeda. Sehingga mahasiswa jadi banyak tahu, sekalipun tidak tahu banyak. Di sisi lain lewat mata kuliah ini mahasiswa dituntut untuk meliaht islam dari berbagai sisi. Baik ekonomi, sosial, politik, sejarah, dan yang lainnya.
Tugas akhir dari mata kuliah ini adalah membuat makalah sesuai dengan konsentrasinya. Di kelas kami, yang kegiatan belajarnya pada hari jumat, dari jam delapan sampai jam sepuluh, mendapat tugas dua makalah. Pertama makalah Islam dan Lingkungan, yang kedua makalah kajian komprehensip sendiri. Pada tugas kajian Islam Komprehensip semua mahasiswa membuat makalah sesuai dengan konsentrasinya. Penulis yang konsentrasi dibidang tafsir, menulis makalah yang berhubungan dengan tafsir. Pada makalah penulis mengangkat judul, yaitu; pesan diblik teks al-Qur’a^n. 
Pada pembahasan ini penulis sangat berharap dapat memberikan kontribusi dalam keilmuan tafsir. terutama dalam mengungkap pesan dibalik teks surat al-Adiyat, yang secara teks surat ini antara ayat 1 sampai 5 dengan ayat 6 sampai 11 tidak ada korelasinya. Pada ayat satu sampai 5 berbicara binatang yang berlari kencang, dengan penafsiran ulama beragam, ada yang menafsirkan kuda, dan ada yang menafsirkan unta.
Karya tulis ini semoga menjadi jawaban ada korelasi antara ayat yang secara teks tidak ada hubungannya. Juga sebagai pembuka cakrawala tafsir, yang beraneka ragam. Menyadarkan para pemabaca, bahwa semua mufasir berusaha menangkap pesan Allah swt, yang tertuang dibalik teks al-Qur’a^n. Dengan cara memperlihatkan beragam mufasir dalam menafsirkan ayat, pembaca sadar bahwa makna hakiki dari al-Qur’a^n adalah tidak ada yang tahu, kecuali Allah swt.     
Pesan Allah swt yang tertangkap oleh mufasir dipengaruhi oleh latar belakang mufasir, sosial dimasa ia hidup. Ketidak samaan satu mufasir dalam menafsirkan al-Qur’a^ dengan mufasir lain, bukan satu indikasi mufasir tidak konsekwen dalam menafsirkan, melainkan satu bukti bahwa al-Qur’a^n dapat eksis disetiap masa, dan sanggup menjawab persoalan yang sedang berlangsung.
Satu anugrah bagi kita Allah swt dalam firman-Nya, terbagi dua, pertama qath’iy, yang kedua dhanni. Ayat yang qath’iy, dengan membaca terjemah orang dapat menangkap maksudnya. Berdeda dengan ayat dhani, orang tidak akan menangkap maksudnya hanya dengan terjemah. Pada ayat inilah mufasir berusaha keras menggali maksud ayat tersebut. Dalam menafsirkan biasanya ayat yang qath’iy menjadi tolak ukur, untuk membuka maksud ayat yang dhani.
Pada makalah ini penulis memberikan gambaran-gamabaran mufasir dalam menggali ayat, terutama dalam surat al-Adiyat. Pembaca dapat membangdingkan antara mufasir satu dengan yang lainnya.
Pada akhirnya penulis banyak mengucapkan terima kasih kepa para Dosen yang telah memberikan tugas kepada penulis sehingga penulis terpacu untuk menuliskan sebuah karya yang berkatan dengan konsentrasi penulis, yaitu tafsir. semoga kita berada pada naungan Allah swt. Amin.










                                                                                                Penulis.


KAJIAN ISLAM KOMPREHENSIP
PESAN DIBALIK TEKS AL-QUR’A^N


1.    Pendahuluan
           
            Al-Qur’a^n yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril sebagai hudan[1] bagi manusia. Karenanya al-Qur’a^n yang arti harfiahnya bacaan harus dapat dibaca dan difahami kasudnya oleh manusia. Kaitannya dengan hal itu para ulama berusaha keras untuk dapat membaca dan memahami al-Qur’a^n. Ada ulama yang konsentrasi dalam bacaan al-Qur’a^n (Qiraat), ada juga yang konsetrasi menangkap maksud al-Qur’a^n (Tafsir). Ulama yang konsentrasi dibidang qiraat mendapat gelar Ahlul Qura. Sementara ulama yang konsentrasi dibidang tafsir mendapat gelar Mufasir. 
            Ahlu al-Qura, berusaha keras dalam bacaanteks al-Qur’a^n yang tujuannya, bagaimana cara membaca teks. Namun karena al-Qur’a^n secara teks baru maka ulama qiraat pun berbeda dalam menentukan bacaan teks, bahkan sampai lima puluh qiraat, yang pada gilirannya diseragamkan menjadi tujuh qiraat yang disebut qiraat sab’ah[2]. Bahkan bukan hanya dalam bacaan saja yang mengalami perubahan, penulisanpun mengalami perubahan, dari mulai manuskrip sampai tulisan seperti sekarang[3].   
            Al-Qur’a^n teksnya baru (hadits), sementara maknanya terdahulu (qadim)[4]. Tidak ada seorangpun yang mengetahui maksud al-Qur’a^n secara hakiki. Semua mufasir hanya mencoba memahami. Namun pemahaman mufasir berdasarkan keilmuan yang dimiliknya. Bukan pemahaman yang tidak bertanggung jawab, semua yang mereka fatwakan yang diabadikan di dalam kitab tafsir hasil kerja keras atas keilmuan. Karena maksud al-Qur’a^n secara hakiki tidak ada yang tahu, maka para mufasir dari masa kemasa berusaha keras menangkap maksud al-Qur’an dengan berbagai macam  pendekatan, baik secara ra’yi, maupun riwayat, bahkan ada yang mengunakan keduanya[5]. Berbagai pendekatan digunakan untuk menjawab persoalan yang sedang berlangsung.     
            Pada masa s}ahabat tafsir pendekatan riwayat lebih populer, dibandingkan dengan metode yang lainnya. Pendektan ijtihad adalah cara kedua, setelah riwayat dalam menafsirkan ayat. Timbulnya perselisihan dalam menafsirkan al-Qur’a^n setelah lahir metode pendekatan ijtihad (ra’yu). S}ahabat terbagi kedalam dua kubu dalam menafsirkan, ada yang berpegang teguh pada riwayat (Tafsir bil Manqul), dan ada yang berpegang teguh pada ijtihad (ra’yi)[6].   
            Bentuk apapun tafsir tujuannya satu yaitu menangkap maksud firman Allah swt, yang tersembunyi dibalik teks. Teks tidak berubah yang berubah hanya penafsiran terhadap teks, sehingga dari masa kemasa penafsiran selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun perkembangan penafsiran tidak mengaburkan esensi al-Qur’a^n sebagai firman Allah swt. Perubahan penafsiran merupakan salah satu bukti bahwa la-Qur’a^n selalu eksis, dan relevan menjawab pesoalan hidup manusia.
            Secara umum metodologi menafsirkan al-Qur’a^n ada empat; yaitu, ijmali (global), muqarin (komprehensip), maudhu’i (tematik), dan tahlili (analitis). Empat metodologi tersebut coraknya dan sumbernya berbeda-beda. Ijmali, muqarin, maudhui, dan tahlili coraknya bisa lughawi, kalami, dan fiqhi, misalnya, atau falsafi. Bukan hanya corak saja yang berbeda tetapi sumberpun berbeda. Ada tafsir yang sumbernya ijtihad, ada juga tafsir yang sumbernya riwayat. Metodologi, corak dan sumber ditentukan oleh kecendrungan mufasir[7].
            Baik tafsir ysng mengunakan ijtihad, ataupun riwayat, keduanya ada sisi lebih dan sisi kurang, yang merupakan menjadi ciri kas tafsir. Tafsir yang sumbernya ijtihad, telihat sangat luas dalam menafsirakan ayat, sehingga tampa sadar mufasir menjelaskan tentang keahlian dirinya. Sementara tafsir yang bersumber riwayat, terlihat kaku, tidak luas seperti luasnya tafsir ijtihad, namun mufasir terpelihara dari hawa nafsu dan memperlihatkan keahlian dirinya.  
            Secara fitrah manusia butuh Tuhan, dan al-Qur’a^n sebagai pesan Tuhan dari masa ke masa berusaha digali oleh manusia untuk menagkap pesan itu. Hasil dari menggali pesan Tuhan dikatakan tafsir. Tidak ada jenuhnya manusia berusaha keras menangkap pesan al-Qur’an, baik secara teks maupun konteks. Sehingga tidak dipungkiri perkembangan penafsiran selalu berjalan. Bermunculan berbagai bentuk tafsir, merupakan bukti dari usaha keras dari usaha untuk menangkap pesan Tuhan. Sekalipun hasilnya berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang mufasir.                                          
            Salah satu cara untuk melihat secara konkrit dari usaha kerasa mufasir, penulis akan mrembandingan empat mufasir yang masing-masing pendektannya berbeda, yaitu al-Maraghi (Tafsir Maraghi), Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy(Fath al-Qadir), Aliyuddin bin Muhammad al-Baghdadi (Tafsir Kahzin), dan Shaik Nawawi al-Bantaniy (Tafsir Marah Labid). Ke empat mufasir ini dalam menangkap firman Allah menggunakan cara yang berbeda dan hasilnya pun berbeda. Di bawah ini akan penulis uraikan hasil penafsiran empat mufasir di atas terhadap firman Tuhan.
            Tentunya penulisan tidak akan menyajikan semua ayat yang ditafsirkan oleh empat mufasir tersebut. Karena hal itu memerlukan waktu yang sangat lama dan pembahsan yang relatif banyak. Penulis akan mengambil satu surat saja, yaitu surat al-Adiyat, yang ditafsirkan oleh mufasir tersebut di atas.

2.    Surat al-Adiyat
وَاْلعَدِيَاتِ ضَبْحَا (۱) فَاْلمُوْرِيَاتِ قَدْحًا (۲) فَاْلمُغِرَاتِ صُبْحًا(۳) فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا(۴) فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا(۵) اِنَّ اْلإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ(۶) وَاِنَّه’ عَلى ذَاِلكَ لَشَهِيْدٌ(۷) وَاِنَّه’ لِحُبِّ اْلخَيْرِ لَشَدِيْدٌ(٨) أَفَلاَ يَعْلَمُ إِذَابُعْثِرَمَافِى ْالقُبُوْرِ(٩) وَحُصِّلَ مَافِى ْالصُّدُوْرِ(۱۰) إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍلَخَبِيْرٌ(۱۱)  
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah (1)
Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kakinya) (2)
Dan kuda yang menyerang tiba-tiba diwaktu pagi (3)
Maka ia menerbangkan debu (4)
Dan menyerbu ketengah-tengah kumpulan musuh (5)
Sesungguhnya manusia kepada Tuhannya sangat ingkar (6)
Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan keingkarannya (7)
Sesungguhnya ia sangat bakhir karena kecintaanya kepada harta (8)
Apakah dia tidak mengetahui apabiala dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur (9)
Dan dilahirkan apa ang ada di dalam dada (10)
Sesungguhnya Tuhan mereka mengetahui keadaan mereka (11)
            Tarjamah al-Qur’a^n bahasa Indonesia cetakan manapun sama, karena terjemah hanya dapat mengantarkan pembaca pada alih bahasa, dari bahsa arab ke dalam bahasa Indoneia. Berbeda dengan tafsir, setiap mufasir akan berbeda dalam menafsirkan ayat ini, karena tafsir menggali maksud ayat, baik yang tersurat maupun yang tersurat[8]. Satu surat ini pun karena berbeda pendekatan, maka berbeda pula tingkat keluasan pembahasan.
            Secara teks ayat di atas tidak ada korelasinya (hubungan). Ayat satu sampai lima berbicara binatang yang larinya kencang. Namun pada ayat 6 samapi 11 berbicara watak manusia yang penuh dengan kedurhakaan terhadap Tuhan. Jika dilihat secara teks, apa maksud ayat tersebut?. Tidak berlebihan jika kaum orientalis melihat al-Qur’a^n karya yang tidak rasional dan sistimatis. Berbeda dengan mufasir, justru menjadi tertantang untuk melihat lebih jauh dengan berbagai pendekatan.             

3.    Pandangan Mufasir
Beragam mufasir dalam menafsirkan suarat di atas, ada yang menitik beratkan pada logika, ada juga yang menggunakan riwayat, bahkan ada yang mendekatkan pendekatan keduanya. Di bawah ini penulis akan meyajikan empat pandangn mufasir terhadap ayat di atas, dengan pendekatan yang berbeda. \
3.1. Ahmad Musthafa Al-Maraghi Maraghi (Tafsir Maraghi)
3.2. Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy (Fath al-Qadir)
3.3. Aliyuddin (Tafsir Khazin)
3.4. Shaik Nawawi al-Bantaniy (Tafsir Marah Labid)

Ahmad Musthafa Al-Maraghi 
Sebelum penulis menjelaskan pandangan al-Maraghi dalam surat al-Adiyat, sebaiknya kita melihat riwayat singkat al-Maraghi. Hal ini untuk mempermudah membaca pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’a^n. karena pada umumnya mufasir, dalam penafsirannya dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya. Banyak imformasi yang menjelaskan , bahwa; Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun'im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Beliau lahir di kota Marāghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M. Nampaknya, kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-Maraghi tidak mutlak menunjukkan kepada dirinya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.) di Hilwan, sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Kairo.
Ayahnya mempunyai 8 orang anak. Lima di antaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa' Mustafa al-Maraghi. Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Mustahafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Musthafa al-Maraghi juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan al-Qur'an secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian al-Qur'an, seperti surat al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud di sini adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Darul 'Ulum Kairo. Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M. Pada perguruan tinggi tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Shaikh Muhammad Abduh, Shaikh Muhammad Bukhait al-Muthi'i, Ahmad Rifa'i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul 'Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu'allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 Km. sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.
Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul 'Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga mengajar di beberapa madrasah, di antaranya Ma'had Tarbiyah Mu'allimah, dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.
Al-Maraghi adalah salah seorang tokoh terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam usianya yang terbentang selama 71 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan sumbangsih yang besar terhadap umat ini lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah Tafsīr al-Marāghi, sebuah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Karya-karyanya yang lain, yaitu:[9]
1. Al-Hisbat fi al-Islâm;                                                                                          
2. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh;
3. 'Ulûm al-Balâghah;
4. Muqaddimat at-Tafsîr;
5. Buhûts wa Ārâ' fi Funûn al-Balâghah; dan
6. Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.
            Ahmad Mustafa al-Maraghi, penulis tafsir al-Maraghi. Nama tafsir tersebut terambil dari namanya al-Maraghi. Tafsir ini terdiri dari 10 juz, yang ditulis dengan bahasa arab. Seorang mufasir yang kelahiran Mesir dalam menafsirkan al-Qur’a^n dengan pendekatan ra’yu (logika), sebagai jawaban pada kondisi soial Mesir ketika itu.

Sistimatika penulisan
            Al-Maraghi dalam penulisan tafsir surat al-Adiyat, sebagai berikut;
1.      Menuliskan nama surat,
2.      Menuliskan diturunkan surat
3.      Menjelaskan korelasi dengan surat sebelumnya
4.      Menuliskan menuliskan surat al-Adiyat dari awal surat sampai akhir, yakni dari ayat satu sampai 11.
5.      Tafsir lafad (mufradat),
6.      Menafsirkan perkalimat
7.      Penafsiran secara umum                                                         
            Jika diperhatikan penafsiran al-Maraghi, dari ayat satu sampai 11 (sebelas) tidak ada satu ayatpun yang ditafsirkan berlandaskan hadits, semuanya berdasarkan ra’yu. Penafsiran berdasarkan ayat yang lainpun hanya dua, yaitu surat al-Fal ayat 60 dan surat ali Imran ayat 18. Surat al-fal ayat 60 menjadi sumber penafsiran surat al-Adiyat ayat satu sampai lima. Sementara surat ali imran ayat 18 dijadikan penafsiran surat al-Adiyat ayat 6 sampai 11. Jelas sekali penafsiran al-Maraghi berdasarkan ra’yu. Cara al-Maraghi menafsirakan ayat, pertama sharah mufradat (kosa kata), kemudian idhah (penjelasan).              
            Pada ayat satu sampai lima, menurutnya, adalah gambaran orang yang beriman, tunduk dan patuh pada aturan Allah swt. Kuda merupakan binatang yang tunduk dan fatuh pada majikannya, padahan kuda punya kemampuan hebat. Sumpah atas nama kuda merupakan kemanfaatan kuda, dan tolak ukur kekayaan masharakat ketika itu[10].
             Al-Maraghi dalam menafsirkan al-Qur’a^n dengan cara menggabungkan akal dan naql[11], hal itu tentu dipengaruhi situasi Mesir yang tidak menentu, baik sisi sosial, pemerintah, dan berbagai penetrasi luar, politik pemerintah yang cenderung memelihara kepentingan barat[12]. Tampil al-Maraghi mufasir rasional, sebagai jawaban terhadap kondisi yang ada. Maka tidak berlebihan jika Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan al-Qur’a^n cenderung rassional, dan terkesan meyampingkan riwayat, terlebih dalam penafsiran surat al-Adiyat.  

Aliyuddin Muhammad bin Ali al-Baghdadi   
            Aliyuddin Muhammad bin Ali al-Baghdadi adalah seorang mufasir berkelahiran Bagdad. Tafsirnya tercetak sebanyak empat juz, yang ditulis dengan bahasa arab. Cara yang ditempuh oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy dalam menafsirkan al-Qur’a^n terutama surat al-Adiyat adalah perkalimat, yang bersumberkan ra’yu. Tidak ada satu kalimat pun dalam surat al-Adiyat, yang dalam penafsirannya menggunakan ayat al-Qur’a^n atau hadits. Yang dimasukan sebagai sumber penafsiran hanya sebatas pendapat s}ahabat[13]. 

Sistimatika penulisan
1.      Nama surat
2.      Menjelaskan turun surat berdasarkan riwayat
3.      Menuliskan jumlah ayat, kalimat, dan huruf
4.      Kemudian menafsirkan perkata
                       
            Dalam menafsirkan surat al-Adiyat dari ayat pertama samapai akhir, yakni ayat 11 tidak memberikan kesimpulan. Penafsiran hanya cukup pada perkalimat, tidak dapat menarik kesimpulan apa korelasi antaraayat pertama samapi lima, dengan ayat 6 sampai 11. Pembaca hanya dapat penjelasan perkalimat. Terkesan mufasir ini memberikan kebebasan kepada para pembaca untuk menyimpulkan.
            Dengan membaca tafsir ini pembaca hanya dapat mengetahui tafsiran perkalimat, tidak dapat mengetahui maksud dari ayat secara keseluruhan. Namun ada kekhasan al-Khazin adalah, setiap akan menafsirkan ayat selalu diawali dengan penjelasan jumlah ayat, kalimat dan huruf. Seperti dalam penafsiran surat al-Adiyat, yaitu dengan cara menjelaskan jumlah ayat sebanyak 11, kalimat sebanyak 40, dan seratus enam puluh tiga huruf[14]. Iinilah yang membedakan antara tafsir khazin dengan yang lainnya.
            Tafsir khazin dan tafsir al-Maraghi keduanya bersumberkan ra’yu, namun ada sisi perbedaan yaitu dalam menghubungkan seruluh ayat dari surat al-Adiyat. Al-Maraghi menyebutkan korelasi antara ayat 1-5, dengan ayat 6-11. Sementara dalam tafsir khazin tidak sebutkan, mufasir hanya menafsirkan perkalimat sehingga terkesan tidak ada hubungan antara ayat 1-5, dengan ayat 6-11.     

Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy
            Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy, adalah seorang penulis tafsir fath al-Qadir. Sebuah tafsir yang berdasarkan dirayah (ra’yu) dan riwayat (hadits). Cara seperti ini yang jarang ditempuh oleh mufasir lain. Tafsir ini terdiri dari 5 juz tafsir, dan satu juz mufaras, jadi jumlah keseruhun menjadi enam juz. Suatu karya yang dijelaskan pada bagian judul, bahwa tafsir ini adalah tafsir yang pendekatannya riwayat dan logika[15]

Sistimatika penulisan dalam surat al-Adiyat, sebagai berikut:
1.      Menulis nama surat
2.      Menujelaskan jumlah ayat
3.      Menjelaskan kata gori surat, artinya surat al-Adiyat itu diturunkan di Mekah atau Madinah
4.      Menjelaskan as-Bab an-Nuzul
5.      Menuskan nama surat
6.      Menuliskan bismilah
7.      Menuliskan surat al-Adiyat
8.      Menafsirkan lafadz perlafadz surat al-Adiyat  
9.      Dan jika perlu menjelaskan nahwu dan syarafnya.
           
             Dalam penafsiran surat al-Adiyat, mufasir ini esensinya sama dengan Aliudin penulis tafsir al-Khazin, yaitu tidak menafsirkan korelasi antara ayat satu samapi lima dengan ayat enam sampai sepuluh. Sehingga pembaca tidak dapat menangkap makna yang tersirat di balik teks penafsirannya.

Shaik Nawawi al-Bantani
            Di antara tokoh kitab kuning di Indonesia adalah, Shaikh Nawawi Al-Bantani, Shaikh Abdul Shamad Al-Palimbani, Shaikh Yusuf Makasar, Shaikh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Shaikh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Shaikh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Shaikh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayah nya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Shaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Shaikh Nahrawi, Shaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Shaikh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Shaikh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Shaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Shaikh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Shaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Shaikh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Shaikh Nawawi tercatat dalam karya Yusuf Alias Sarkis.[16]
            Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Shaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Shaikh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Shaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Shaikh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, sama seperti ulama yang lain. Namun Nawawi menambahkan selain dari al-Qur’a^n dan hadits, yaitu; bertadklid atas madzhab yang empat. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai dan (mengikuti salah satu ajaran), Shaikh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
            Seperti yang telaah diuraikan di atas, Shaik Nawawi al-Bantani adalah seorang mufasir Indonesia yang mashur di dunia Islam. Beliau adalah seoran penulis sebuah karya tafsir yang diberinama Tafsir Marah Labid. Tafsir ini ditulis dalam bahasa arab. Sungguh sangat mengagungkan, seorang anak bangsa pada zaman itu sanggup menulis karya dengan tulisan arab dan berbahasa arab yang tersebar di dunia Islam.
            Tafsir ini berjumlah dua juz, dengan jumlah halaman, juz pertama sebanyak 510 halaman, dan juz kedua berjumlah 472 halaman. tafsir Marah Labid dipengaruhi oleh empat tafsir, yaitu; tafsir al-Futuh al-Ilahiyah, Mafatih al-Ghaib, al-Siraj al-Munir, Tanwir al-Miqbas, dan Tafsir Abi al-Su’u^d.

Sistimatika penulisan tafsir surat al-Adiyat
            Shaik Nawawi al-Bantani dalam penulisan tafsir surat al-Adiyat, sebagai berikut;
1.      Menuliskan nama surat, sekaligus, turun surat, jumlah ayat, jumlah kalimat, dan jumlah huruf.
2.      Menuliskan bismilah
3.      Menafsirkan perkalimat

Dalam penafsirannya al-Bantani menggunakan ijtihad, dan riwayat. Namun yang sangat mendominasi dalam penafsirannya adalah ijtihad. Sehingga sekalipun tidak dikatakan, dapat ditangkap sebuah pemahaman bahwa tafsir Marah Labid termasuk tafsir yang sumbernya riwayah dan dirayah.
Al-Bantani dalam menafsirkan surat al-Adiyat, tidak menjelaskan korelasi antara ayat satu sampai lima dengan ayat enam sampai sebelas, sehingga terkesan ayat tersebut tidak berhubungan padahal dalam satu surat. Pembac hanya dapat menangkap penafsiran dari perkata.  
     
4.    Kesimpulan 
            Setelah saya analisa empat tafsir, yaitu Tafsir al-Maraghi, Tafsir Khazin, Tafsir Fath al-Qadir, ternyata semunya punya sudut pandang yang berbeda dalam menangkap pesan teks dibalik al-Qur’a^n, terutama dalam surat al-Aditay. Setiap mufasir yang mempat punya sisi lebih dan sisi kurang, sehingga semuanya saling melengkapi.
            Jika klasifikasi dari empat tafsir di atas, secara umum sekurangnya dapat digolongkan kedalam dua bagian. Tafsir al-Maraghi murni tafsir dengan pendekatan ra’yu. Sementara tafsir Marah Labid, tafsir Khazin, dan tafsir Fath al-Qadir, tafsir yang pendekatannya selain ra’yu juga riwayat.
              Dalam menafsirkan surat al-Adiyat tiga tafsir di atas, yaitu Tafsir Fath al-Qadir, Tafsir Khazi, dan Tafsir Marah Labid, hanya menafsirkan teks ayat, sehingga terkesan ayat al-Qur’a^n farsial, terutama surat al-Adiyat, tidak ada korelasi antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan satu tafsir ini, yaitu al-Maraghi, selain menafsirkan teks ayat, juga menafsirkan makna filosofis dibalik teks. Sehingga terkesan antara satu ayat dengan ayat yang lain ada korelasi yang tidak dapat difisahkan.
            Konteksnya dengan surat al-Adiyat, al-Maraghi melihat utuh satu kesatuan.
 Sementara tafsir yang tiga di atas, memisahkan antara ayat satu sampai lima dengan ayat enam sampai sebelas. Tafsir yang tiga ini dalam menafsirkan ayat satu samapi lima, dan ayat enam sampai sebelas dengan pendekatan as-Bab an-Nuzul, yakni dengan pendektan riwayat[17].
            Perbedaan dalam menfsirkan al-Qur’a^n terutama surat al-Adiyat, melahirkan pemahaman pada kita, yaitu, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pesan al-Qur’a^n hanya Allah swt yang tahu, mufasir hanya mencoba memahami dengan keilmuan yang kuasai. Maka tidak dapat dibantah dari masa ke masa perkembangan penafsiran selalu berkembang memjawab persoalan yang sedang berlangsung. Persoalan setiap masa disetiap negara dan individu berbeda, manusia baik secara individu mapun secara kelompok akan mencari tafsir yang dapat memjawab persoalannya.   
            Dengan lahirnya berbagai pandangan mufasir, satu bukti bahwa pesan dibailk teks al-Qur’a^n tidak ada yang tahu. Tetapi sungguh pun demikian bukan berarti kita harus berpaling dari penafsiran ulama, justru membandingkan satu dengan yang lain, mana yang lebih realistis, dan cocok dengan kondisi yang kita hadapi.
            Dari sekian mufasir di atas, ternyata yang menafsirkan secara global, artinya ada korelasi antara ayat satu sampai ayat terakhir dalam surat al-Adiyat, adalah al-Maraghi. Yaitu dengan cara, bahwa ayat pertama sampai lima merupakan gambaran orang yang beriman, yang selalu tunduk dan patuh pada aturan. Sementara ayat enam samapi akhir adalah gambaran orang kafir, yang selalu ingkar kepada Allah swt.
            Uraian di atas tentang penafsiran surat al-Adiyat menyadarkan kita bahwa semua mufasir berusaha keras menangkap makna pesan dibalik teks. Namun karena latar belakang yang berbeda, maka cara pendekatannya pun berbeda. Perbedaan bukan mengaburkan makna al-Qur’a^n melainkan menyakinkan kita bahwa yang mengetahui makna secara hakiki adalah Allah swt.
            Berbagai pendekatan yang digunakan mufasir dalam surat al-Adiyat menambah khazanah dalam dunia islam. Sekaligus sebagai kontribusi bagi generasi berikutnya.\ pembaca pada mulanya dibingungkan oleh para mufasir, namun setelah dikaji lebih jauh justru semakin sadar, bahwa orang melihat al-Qur’a^n laksana melihat mutiara. Semuanya akan menangkap sesuai dengan latar belakang hidupnya.


























DAFTAR PUSTAKA


Abdu al, al-Sal>am Ah{mad Nah{ra>wy. Al-Ima>m as-Shafi’y fi Madhhabaiyh al-qad>im al-jad>id. (Disertasi: 1994)    
A.     Steenbrink, Karel. Berapa aspek tentang Islam di Indonesia Aad ke 19. (Jakarta: Bulan Bintang. 1984).h.5
Al-Ajaj, The Historis of The Quranic Teks, (Jakarta: Gema Insani Press), 2005
Ans{ary, Al, Abdul Wahab bin Ahmad bim Ali. Mizan al-Kubra. (Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia).
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir ( Bandung: Pustaka Setia) Ct.lll 2005
As-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan dan Pengantar Ilmu al-Qur’a^n dan
Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra) 2000.
Bin, Aliyuddin, Ali al-Baghdiy, Tafsir Khazin, dar al-Fikr
Bin, Muhammad, Ali bin Muhammad As-Saukaniy Tafsir Fath al-Qadir, dar al-Fikr
Baidan, Nashruddin, Metodologi Tafsir, (Surakarta: Pustaka Pelajar) 1997
Bagda>, al, Ala> al-Di~n Ali bin Muhammad. Tafsi~r Kha>zin.(Dar al-Fikr)
Baidan, Nas{ruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’n,(Pustaka Pelajar Offset 1998).
Bantani, Al, ShaikhNawawi, Tafsir Marh Labǐd, (Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani, Al, ShaikhNawawi, Nihayah al-Tuzain, Nihayah, (Indonesia: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani, Al, Shaik Nawawi al-Bantaniy, Tizan Daharari, Dar al-Fikr
Bantani, Al, ShaikhNawawi, U’qud al-Jain, (Indonesia:Sirkah Nur Asia).
Bukhari, Imam, al. Matan Bukhari. (Indonesia: Dr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
Chaer, abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (Jakara: Rineka Cipta 2000)
Chaidar. Sejarah Pujanga Islam, ShaikhNawawi al-Bantani. (Jakarta: CV.Sarana Utama), 1978
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : 1999). Cet.Ke-10
Depag, Tarjamah al-Qur’a^n
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1970).
Harun, Salman. Mutiara al-Qur’a#n, (Logos; Wacana Ilmu Dan Pemikiran 2004)
Husain, Al, Imam Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad, Khifayatul Akhyar, (Nur Asia)
http://www.khabarmuslim.com/tafsir-al-maraghi-memadukan-aql-dan-naql.html
Ima>du al-Din, al-Imam al-Ja>lil. Tafsir Ibni Kathir. (Sirkah Nurasia)
Internet, http//ulama.bogspot.com/2010/28/ShaikhNawawi al-Bantani.htm.
Internet, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, UIN Pasca Sarjana 2011
Ja>li~, al, Sulaiman bin Umar. Al-Futuh{ al-Ilahiyah. (Dar al-Fikr)
Kahmad, Dadang. Sosiolog Agama (Bandung: Rosda sep 2000)
Kalil, Shauqi Abu, Atlas al-Quran. (Jakarta: Al-Mahira 2006)
Lubis, Ibrahim. Agama Islam Suatu Pengantar, (Jakarta; Galia Indonesi 1982)
Maraghi,al, Ahmad Musthafa, Tafsi{r Maraghi. (Dar al-Fikr)
Mahsun. Metode Penelitian Bahasa. (Jakarta: Raja Grafika Persada 2005)
Muhammad, Husain, K.H. Fiqih Perempuan: Refleksi Kyai atas wacana Agama dan Jender, (Yogyakarta: LKS,2000).
Malik, al-Imam. Al-Muath. (Dr al-Fikr), Kitab Talak. Hadits ke 1248.h.359
Nasution, Harun, Filsafat & Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang) tahun 1978.
Nisai~, al, Abi Abdi ar-Rahman Ahmad bin Shaib bin Ali. Tafsi~r Nasai{. (Dar al-Fikr)
Q. S{aleh, KH. Asbab an-Nuzul (terjemah), (Bandung: Diponogoro) Tahun 2000.
Qurt{ubi, al. al-Ja>mi Liah{kami al-Qur’a>n. (Dar al-Fikr)
Rahman, Ar,Abdul, Kitab Fiqih Ala al-Madzhab al-Arba’ah. Dar al-Fikr).
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Dar al-kutub al-Islamiyyah).
S{awi, Tafsir S{awi. (Dar al-Fikr)
Shaibany, Al, Omar Muhammad Al-Toumy. Falsafat Pendidkan Islam (Jakarta: Bulan Bintang) Cet. 1979
Shauka>ni, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath{u al-Qadi~r. (Dar al-Fikr)
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Az-Zawaj al-Islam Mubakiran (Terjemah; Mas{uri Ikwani), (Jakrta: Pustaka Amani 1996)
S{aleh, A.A, Dahlan, As-Bab an-Nuzul. (Bandung CV Diponogoro 2000) Edisi2.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) cet 3 peb 2003
S{idieqy, As{, Tengku Muhammad Has{bi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’n dan Tafsir.(semarang: Pustaka Rizqi Putra Sep 2000).cet.3 edisi 3
S{ihab, Qurais{. Tafsir al-Mis{bah. (Ciputat: 2000 Lentera Hati).
S{ihab, Qurais. Mukzzat Al-Qur’a#n. (Bandung: Mizan Des 2003) 
S{aw, as{. Tafsir S{awi, (Jiddah Indonesia)
Syafi’iy, Imam. al-Um, (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Imiyah).
Sha’ra>niy, Al-Imam Abdul Wahab. Al-Anwa>r al-Qudsiyah. (Dar al-Fikr) 
Sûyûthi, as, Rahman, Abdir, bin, Jalaluddin, Naisaburi, an, Ras{iri, Ahmad, Bin Husain Ali bin. as-Bab an-Nuzul. Daru. Ibnu Hasim.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati) 2000
Tasmara. Toto. Dimens Doa dan Dikir (Yogja Karta: Dana Bhakti Prma Yasa 1999) cet pertama
Tihani, MA. Pemikiran Fiqih al-ShaikhMuhammad Nawawi al-Bantani, Disertasi Program Pasca Sarjana, (Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah 1998).
Usmani-al, ShaikhMuhammad bin S{alih. Us{ul fi al-Tafsir (Jakarta: Darus Sunnah Press) 2004
UIN, SPs, Jakarta, Pedoman Akademik, (Jakarata: UIN)2009-2011
Zarqani, al, Muhammad Abdul Az{im. Manahil al-Irfa>n. (Daral-Fikr)



[1] Petujuk sekaligus pembimbing hidup manusia, segala persoalan hidup muslim harus bisa mencari jawaban di dalam al-Qur’a^n.
[3] Lihat al-Ajaj, The Historis of The Quranic Teks, (Jakarta: Gema Insani Press)
[4] Shaikh Nawawi al-Bantani, Tizan Dharari, Dar al-Fikr, h.10
[5] Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy,  Tfasir Fath al-Qadir, dar al-Fikr
[6] Lihat Teungku Muhammad Hasbi As-Shidieqy, Sejarah dan dan Pengantar Ilmu al-Qur’a^n dan Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra) 2000,h.194-203
[7] Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi Tafsir, (Surakarta: Pustaka Pelajar) 1997 
[8] Lihat tarjamah al-Qur’a^n fersi Depag, dan bandingkan dengan Tarjamah al-Qur’a^ fersi Arab Saudi.
[10] Lihat al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, juz, 10. h.371-373
[11] lihathttp://www.khabarmuslim.com/tafsir-al-maraghi-memadukan-aql-dan-naql.html
[13] Lihat Aliuddin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Dar al-Fikr, juz, 4, h.282
[14] [14] Lihat Aliuddin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Dar al-Fikr, juz, 4, h.282

[15] Lihat, Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy, Tafsir Fath al-Qadir, Dar al-Fikr, juz awwal. 

[16] Lihat, http://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-1 
[17] Lihat Tafsir Khazin, juz ke 4, Dar-Fikr, bandingkan dengan tafsir Matah Labid, Dar al-Fikr, Juz ke 2, dan Tafsir Fath al-Qadir Dar al-Fikr, juz ke 5,

Ceramah Maulud