Selasa, 25 Desember 2012

TAFSIR FIZILA AL-QUR'AN



TAFSI<R FI< Z{ILA<L AL-QUR'A<N
SAYYID QUT{UB IBRA<HIM H{USAYN SHA<DHI<LI<
Oleh: LUKMANUL HAKIM   NIM:10.2.00.0.05.01.0124

A.    Pendahuluan
Tafsir Sayyid Qut}ub, Fi> Z{ila>l al-Qur'a>n, merupakan sebuah buku tafsir kontemporer yang unik. Ia menduduki posisi yang pokok di mata kaum muslimin, isinya yang mendalam dengan kandungan h}ujjah yang kuat, serta bahasa yang menyentuh hati.
Dilihat dari segi historis, pada permulaan keempat belas Hijriyyah adanya perkembangan-perkembangan besar dalam berbagai bidang: politik, sosial, pemikiran, ekonomi, keagamaan. Sebagian golongan menyerukan kepada materialisme barat itu sendiri untuk meminjam darinya metode-metode pembaharuan serta berupaya untuk mengimplementasikannya pada umatnya, sebagian yang lain menyerukan kepada akidah dan agama umat itu sendiri, lalu menyeru kepada kebangkitan baru atas dasar Islam serta memasukkan al-Qura>n dalam peperangan melawan ja>hiliyyah dengan menjelaskan bahwa al-Qura>n mempunyai fungsi fundamental dan vital serta fungsi 'amaliyyah dan h}arakiyyah dalam memimpin umat Islam, serta dalam menjelaskan rambu-rambu jalannya dalam kehidupan.[1]
Atensi para ulama dan dai pun sangat besar terhadap al-Qura>n dengan mengkajinya dan menafsirkannya, serta menjelaskan kandungan-kandungannya yang berupa berbagai metode dan sistem serta prinsip-prinsip dan perundang-undangan dalam pembinaan umat menuju reformasi dan juga menyeru mereka agar dapat menerimanya dan berpegang dengannya serta mengimplementasikan bimbingan-bimbingannya dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan individual maupun kolektif. Atas dasar atensi para mufassir pada zaman ini, lahirlah berbagai corak tafsir al-Qura>n yang masing-masing memfokuskan pada satu diantara corak-corak tafsir yang ada, dan pengarangnya berpegang pada satu metode tersendiri sesuai dengan aliran yang ia ikuti serta arus yang ia jalani. Diantara orientasi-orientasi tafsir di zaman modern adalah orientasi salafi, ilmiah, rasional, sosial, sastra, konsiliatif, spiritual, dan h}araki> (gerakan).[2]
 Pada masa ini diwarnai dengan meletusnya berbagai perang yang menghancurkan; yang terbesar adalah perang dunia I dan II. Lahirnya berbagai aliran pemikiran dan filsafat, teori-teori ilmiah, serta berbagai sistem sosial, ekonomi, poltik, dan spiritual, seperti eksistensialisme dan darwinisme, marxisisme dan nasionalisme, serta berbagai interpretasi materi, ekonomi dan kebangsaan bagi kehidupan dan sejarah, merupakan hasil dari kematangan materialisme barat dan kekuasaannya, serta dominasi nilai-nilai dan sistem-sistemnya. Barat pun memegang kekuasaan kepemimpinan atas umat manusia, yang dapat mengiring umat manusia ke jurang ja>hiliyyah.[3]
Mesir yang merupakan pusat kebudayaan dan pemikiran Islam pada abad modern ini memiliki fase perkembangan positif maupun negatif berkenaan dengan masalah politik, ekonomi, kebudayaan dan pemikiran, memberikan pengaruh terhadap negeri-negeri Islam lain di Timur Tengah. Dalam sejarah, negara-negara Barat yang maju, seperti perancis dan Inggris bersaing keras untuk dapat menguasai Mesir. Secara bergantian, Perancis dan Inggris pernah menduduki Mesir. Kontak Mesir dengan Barat, khususnya dengan Perancis dan Inggris, memberi corak tersendiri bagi perkembangan sosio politik, ekonomi, agama, dan kultural di Mesir.[4]
Sering dikatakan bahwa setiap manusia adalah anak zamannya (al-'insa>n 'ibn zama>nih). Seorang sastrawan, pemikir, pembaharu, politisi dan filosof, masing-masing dari mereka adalah anak zamannya. Zamannya menurut Hasan Hanafi adalah keseluruhan waktu dan pengalaman hidupnya.[5]
Hampir seluruh pengkaji tafsir di zaman modern sepakat bahwa tokoh yang pertama-tama menekuni al-Qura>n dengan menafsirkannya  pada penghujung abad kesembilan belas Masehi adalah syekh Muh}ammad 'abduh. Beliau menjadikan tafsir al-Quran sebagai sebuah metode. Dari situ beliau memaparkan caranya di dalam melakukan 'is}la>h} serta seruan beliau menuju tajdi>d keagamaan dan sosial kemudian diikuti oleh para mufassir setelahnya yang mana tafsir-tafsir mereka dipengaruhi oleh aliran Muh}ammad 'abduh dalam hal tafsir, sekalipun tentunya pengaruhnya berbeda-beda. Diantaranya ada yang berjalan mengikuti metode Muh}ammad 'abduh dalam tafsir, seperti pada juz-juz pertama al-Mana>r , diantaranya ada yang keterpengaruhannya terlihat jelas seperti al-Mara>ghi> , dan diantaranya ada yang lebih sedikit keterpengaruhannya seperti dalam 'awd}ah}  at-Tafsi>r. Berbagai komentar dan kedudukan siapa sebenarnya Muh}ammad 'abduh terdapat penilaian yang berbeda-beda di mata kalangan orang-orang yang mengkajinya. Tafsir-tafsir pada zaman tersebut tidak lebih dari sebuah tafsir teoritis mengenai al-Qur'a>n yang penulisnya bertujuan mendidik muslim kontemporer dan memberinya bekal pengetahuan teoritis dengan gaya modern.
Oleh karna itu, masih tetap dibutuhkan penulisan tafsi>r al-Qur'a>n kontemporer lain yang dapat melengkapi kekurangan yang dialami oleh para mufassir kontemporer, serta tetap memelihara catatan-catatan sebelumnya atas tafsir-tafsir kontemporer mereka. Hingga pada dekade 60-an (1960)  lahirlah sebuah tafsir  (Fi> Z{ila>l al-Qura>n), yang mengenalkan fungsi al-Qura>n yang bersifat gerak dan aktif ( h}arakiyyah dan 'amaliyyah), menjawab permohonan umat serta memenuhi kebutuhan pada zamannya, yang memasukkan al-Qura>n ke dalam peperangan yang ada antara Islam dan ja>hiliyyah, mengimplemantasikan nash-nashnya yang hidup atas realitas kontemporer serta memberikan makna-maknanya yang esensial. Sebuah tafsir yang bertujuan untuk mendidik orang muslim secara nyata dan bukan sekadar pemaparan pengetahuan teoritis. Bahkan penulisnya ikut menyelami pertempuran nyata dengan jahiliyah, dan ia hidup sebagai pelaksanaan riil dari nash-nashnya, serta hidup secara nyata  di bawah naungannya, berusaha masuk ke dalam dunia al-Qura>n yang luas tanpa dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan pemikiran yang mendahuluinya. Akan tetapi, ia meminta dari al-Qura>n agar membentuk pemikirannya, membangun pemikiran dan metode untuknya, mencatat inspirasi-inspirasi al-Qura>n, menyimpulkan petunjuk-petunjuknya, menampilkan prinsip-prinsip dan nilai-nilainya, serta menjelaskan fungsinya yang vital, bersifat gerak serta mengandung kemukjizatan.
 Untuk itu sebelum mengkaji lebih jauh pemikiran Sayyid Qut}ub penulis terlebih dahulu mengemukakan biografi singkat penulisnya, latar belakang sosio-politik, ekonomi dan kultural yang melingkupinya kemudian diikuti dengan pendeskripsian Sayyid Qut}ub dalam menafsirkan al-Qura>n berdasarkan analisa penulis, dengan harapan pembaca merasa jelas atas tulisan yang penulis sajikan.
B.     Pembahasan
        i.            Biografi Singkat Sayyid Qut}ub 'Ibra>hi>m Sha>dhi>li>
Sayyid Qut}ub terlahir di desa Mausyah wilayah propinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir, pada tanggal 9 Oktober  tahun 1906. Ia tidak meninggalkan tempat kelahirannya itu sampai ia menginjak remaja. Adapun tentang negeri asal Sayyid Qut}ub para penulis berbeda pendapat. Sebagian penulis menyebutkan Sayyid Qut}ub berasal dari Mesir, sebagian yang lain Qut}ub berasal dari India.[6]
Dari kedua pendapat diatas, pendapat kedua dianggap lebih kuat berdasarkan dua alasan. Pertama, secara fisik raut muka keluarga Sayyid Qut}ub tidak seperti raut orang  Mesir pada umumnya, tetapi mirip raut muka orang India. Kedua, didasarkan pengakuan Sayyid Qut}ub sendiri kepada 'abu> al-h}asan 'ali> al-Nadwi> ketika mereka berkunjung ke India. Seraya Qut}ub berkata kepada 'abu> al- h}asan 'ali> al- Nadwi>, "Keinginan saya berkunjung ke India merupakan keinginan yang fitri. Karena, kakekku yang keenam, al-Faqi>r 'abdullah, berasal dari sana.[7]
Sayyid Qut}ub tumbuh dalam lingkungan islami, dan menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan keluarga beriman, lalu tumbuh dewasa di tengah saudara-saudara yang terhormat. Sayyid beserta empat saudara kandunganya; Nafi>sah, 'ami>nah, Muh}ammad, H{ami>dah memiliki hubungan yang terjalin sangat baik. Sayyid juga masih mempunyai dua saudara kandung lainnya; Pertama, yang lahir sebelum Muhammad, akan tetapi meninggal sebelum usia dua tahun. Kedua, lebih tua dari Aminah akan tetapi meninggal ketika masih kecil.[8]
Ayahnya, Haji Ibrahim adalah seorang mukmin yang bertakwa, yang begitu bersemangat untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama dengan semangat berharap keridhaan Allah. Digambarkan bahwa ayahnya selalu menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah di Masjid, Sayyid kecil pun selalu diajak menemani ayahnya pergi ke Masjid. Haji Ibrahim juga dikenal sebagai yang sangat dermawan banyak membantu orang-orang miskin di desanya, memiliki status sosial yang tinggi di wilayahnya dan juga dikenal sebagai tokoh dan aktivis partai Nasional (al-H{izb al-Wat}ani>).[9] Sang ayah wafat ketika sang putranya; Sayyid sedang melanjutkan studinya di Kairo.
Sebagaimana ayahnya, Ibu Qut}ub juga dikenal taat beragama, meskipun memiliki latar belakang yang berbeda dengan ayahnya, Ibu Qut}ub berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Dapat dibuktikan dari warisan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya serta tingkat pendidikan saudara-saudaranya . Salah seorang dari mereka "Ahmad Husain Utsman"  adalah seorang dosen dan wartawan, alumni Universitas al- Azhar, cukup memberi pengaruh kepada Sayyid ketika mereka tinggal bersama di Kairo. Ibu Qut}ub sangat bersemangat untuk melakukan kebaikan, memiliki kegemaran membaca al-Quran dan mendengarkan bacaan al-Qura>n. Ia pun membantu suaminya dalam mendidik anak-anak dengan pendidikan yang islami seraya menanamkan dalam benak hati anak-anaknya nilai-nilai agama dan prinsip-prinsipnya. Dijelaskan, Sayyid kecil pun selalu dibimbingnya membaca dan menghafal al-Qura>n. Sang bunda wafat pada tahun 1940 M.[10]
      ii.            Pendidikan Sayyid Qut{ub
Sayyid menempuh pendidikan dasar di Desanya.  Pada tahun 1912  ketika menginjak usia enam tahun, Haji Ibrahim memasukkan Qut}ub ke sekolah  Negeri  dan menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1918 tepat berusia dua belas tahun. Di desanya itu pula Qut}ub pun menamatkan hafalan al-Qurannya dalam usia sepuluh tahun. Dia menghafalkan al-Qura>n dalam waktu kurang dari tiga tahun. Al-Qura>n yang telah dihafalnya dalam usia belia mempunyai pengaruh yang besar dalam mengembangkan kemampuan sastra dan seninya dalam usia yang masih muda.[11]
Selesai dari sekolah ini, Qut}ub tetap tinggal di desanya selama dua tahun. Ia tidak langsung melanjutkan studinya ke Kairo, lantaran terjadi gejolak poltik di Mesir ketika itu dan Qut}ub pun terbilang masih sangat muda.
Setelah terjadinya revolusi rakyat Mesir melawan pendudukan Inggris, pada tahun 1921 Qut}ub berangkat dari desanya menuju Kairo. Pada waktu itu, usia Qut}ub telah mencapai empat belas tahun. Di Kairo Qut}ub tinggal di rumah pamannya dari pihak ibu yang bernama Ahmad Husain Utsman. Melalui pamannya inilah Qut}ub mulai berkenalan dengan 'Abba>s Mah}mu>d al-'Aqqad, seorang sastrawan dan intelektual Mesir yang sangat berpengaruh. Melalui al-Aqqad ini pula Sayyid dapat berkenalan dengan partai Wafd kemudian menjadi aktifis dalam partai tersebut.[12]
Sebagai seorang partisan yang giat di partainya, Qut}ub pun diberi kesempatan dalam mempraktikan kemampuan-kemampuannya dalam bidang sastra, pemikiran, politik, dan sosial. Di situ Sayyid mulai menulis sajak-sajak, esai-esai sastra, analisis-analisis politik, serta paham-paham keseniannya. Melalui mimbar-mimbar koran Qut}ub melancarkan berbagai perang sastra dan kritiknya. Awal hubungannya dengan koran ini adalah pada tahun 1921. Sedangkan artikel yang pertama-tama diterbitkan adalah seputar metode pengajaran     ( t}uru>q ad-tadri>s) di koran al-Bala>gh, sebuah harian milik partai Wafd. Hingga pada tahun 1942 beliau melepaskan diri dari partai Wafd dikarenakan partai ini berkhianat demi kepentingan Inggris, lalu bergabung dengan partai Sa'diyyi>n selama dua tahun lamanya kemudian keluar darinya dan sejak itu Qut}ub meninggalkan partai-partai politik secara total.[13]
Pada tahun 1925, Qut}ub masuk sekolah guru (Madrasah Mu'allimi>n). Ia belajar di sekolah ini selama tiga tahun. Lulus dari sekolah guru, Qut}ub tidak langsung mengajar, tetapi melanjutkan studi di Universitas Da>r al-'Ulu>m. Di sini, ia masuk kelas persiapan selama dua tahun. Setelah menempuh kelas persiapan. Tepatnya pada tahun 1930, Qut}ub mulai kuliah dan menyelesaikan studinya di Universitas ini pada tahun 1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang tarbiyah.[14] Ia diangkat sebagai guru Departemen Pendidikan di madrasah Ad-Dawudiyah, lalu pindah ke madrasah Dimyath tahun 1935, Halwan tahun 1936, dan tahun 1940 ke Departemen Pendidikan sebagai pengawas pendidikan dasar. Ia kembali ke Manajemen Umum Pengetahuan di Departemen yang sama tahun 1945. Pada tahun itu juga, ia menulis buku Islam pertama yaitu at-Tasawwuru al-Fanni al-Qura>n dan mulai menjauhkan diri dari sekolah sastra al-Aqqad.[15]
Selama menjadi mahasiswa di Da>r al-'Ulu>m, Qut}ub aktif dalam kegiatan sastra, politik, dan pemikiran yang nyata. Qut}ub mengkoordinasi sebuah simposium kritik sastra, memimpin perang kesusastraan, serta memilih sejumlah teman mudanya yang menjadi sastrawan, menerbitkan sajak-sajak maupun esai-esai di berbagai koran dan majalah, serta menyampaikan ceramah-ceramah kritisnya di mimbar fakultas. Melihat keaktifan dan semangat Qut}ub, para dosen pun menampilkan Qut}ub dalam seminar-seminar dan ceramah-ceramah, lalu Qut}ub pun memberikan representasinya yang berisi pendapat-pendapatnya mengenai metodologi pengajaran ke kantor fakultas, serta proposal-proposalnya untuk kebangkitan pengajaran ke taraf yang dikehendaki oleh Qut}ub.[16]
Beberapa tahun setelah lulus dari Da>r al-'Ulu>m, Qut}ub mulai bekerja di kementerian pendidikan dan kebudayaan Mesir. Mula-mula ia bekerja sebagai guru, lalu penyidik, dan terakhir sebagai Inspektur Jendral Kebudayaan. Di kementerian ini, ia bekerja selama delapan tahun, dari tahun 1940 sampai dengan 1948.
Pada tahun 1948, ketika menjabat sebagai inspektur  jendral kebudayaan, Qut}ub ditugaskan ke Amerika untuk menganalisa kurikulum pendidikan Barat dan sistem  metodologinya. Ia menetap di Amerika selama dua tahun. Pada tahun 1950, ia meninggalkan Amerika. Dalam perjalanan pulangnya dari Amerika menuju Mesir, ia menyempatkan diri untuk berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia. Barulah pada tahun 1951 ia tiba kembali di Kairo, Mesir. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri dari lembaga yang dulu menugaskan Qut}ub belajar di Amerika, untuk kemudian mencurahkan seluruh waktunya untuk dakwah dan harakah serta untuk studi dan mengarang melalui media massa dalam masalah-masalah sosial dan politik. Selanjutnya secara resmi bergabung dengan 'Ikhwa>n al-Muslimi>n.[17]
Pengiriman Qut}ub ke Amerika dilatarbelakangi oleh banyak pengamat, karena penguasa pada waktu itu merasa resah dengan tulisan-tulisan Qut}ub yang sangat tajam dan kritis menyerang berbagai kebijakan pemerintah di majalah al-Fikr al-Jadi>d yang diasuh oleh al-Minyawi. Di Amerika, Qut}ub belajar di beberapa perguruan tinggi. Diantaranya, menurut John L. Esposito, ia pernah belajar di Wilson's Teachers' College, kini University of the District of Colombia. Ia juga belajar di University of Nothern Coloradus' teachers college. Di Universitas ini, ia mendapat gelar master of Art dalam bidang pendidikan. Terakhir, ia belajar di Stanford University.[18] John L. Esposito menyebutkan; kegelisahan Qut}ub akan realitas kehidupan di Amerika yang diwarnai atas rasialisme, kebebasan seksual, dan sikap pro-zionisme Amerika, itu sebagai titik balik yang penting dalam kehidupan Qut}ub dalam pembentukan semangat dan pemikirannya atas komitmen keislaman sehingga keimanan dan kereligiusan beliau semakin tinggi dan kuat dalam berpegang kepada Islam.
Diantara karya-karya ilmiah terpenting Sayyid Qut}ub adalah sebagai berikut; Fi> Z{ila>l al-Qura>n, Ha>dha> al-Di>n, al-Mustaqbal li Ha>dha> al-Di>n, Khas}a>'is}u al-Tas}awwuri> al-Isla>mi>, Ma'a>lim al-T{ari>q, at-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qura>n, Musha>hadah al- Qiya>mah fi> al-Qura>n, al-Isla>m wa Mushkilah al- H{ad}a>rah, al-'Ada>lah al-'Ijtima>'iyyah fi> al-Isla>m, as-Sala>m al-'A<lami> wa al-Isla>m, Kutub wa Shakhs}iyya>t, Aswa>q, an-Naqd al-'Adabi> 'Us}u>luhu wa Mana>hijuhu, Nah}wa^ Mujtama' al- Isla>mi>, T{iflun min al-Qaryah, al-'At}ya>f al-'Arba'ah, Muhimmatu as- Sha>'ir fi> al-H{aya>h, Ma'rakah al-Isla>m wa al-Ra'sama>liyyah, Tafsi>r S{u>rah as Shu>ra^, Dira>satu al-Isla>miyyah, Ma'rakatuna> ma'a al-Yahu>d, Fi> al-Ta>ri>kh Fikrah wa Minhaj, Lima>dha>  'Adamuni>.
    iii.            Kondisi sosial politik ekonomi
Sejak akhir abad sembilan belas sampai awal pertengahan abad dua puluh Mesir berada di bawah pemerintahan Khudewi dan raja-raja bersekutu dengan orang-orang asing turki. Perancis dan Inggris ikut campur tangan urusan dalam negeri, dengan perlakuan mereka yang busuk dan ikatan idea yang muluk. Sebagai akibatnya berkali-kali timbul pemberontakan nasional yang menuntut sistem demokrasi untuk mewujudkan keadilan, persamaan, dan pembebasan dari penjajah. Pemberontakan pertama kali muncul dipimpin 'Ah}mad 'Arabi> pada tahun 1881, di masa pemerintahan Khudewi belangsung sampai akhir 1882. Pemberontakan tersebut berakhir dengan penuh kekacauan disebabkan ikut campur tangan Inggris secara langsung  dalam upaya penumpasannya setelah menggempur Iskandariah dengan tank-tank mereka dari arah laut tahun 1882, dan berhasil mamasuki Kairo pada tanggal 13 September 1882. Saat itu Mesir di bawah pendudukan Inggris. Langkah pertama kali yang dilakukan Inggris adalah menghilangakan fungsi kehidupan parlemen dan membentuk kembali tentara Mesir di bawah penguasaan panglima-panglima mereka, serta mengangkat para penasehat dari pihak mereka untuk menduduki berbagai kementrian.
Pada masa Khudewi Abbas Hilmi yang menggantikan Khudewi Taufik tahun 1892, timbul partai al-H{{izbu al-Wat}ani> yang dipimpin oleh Mus}t}afa^ Ka>mil tahun 1907. Partai ini menyebarkan semangat nasionalis dan persatuan seluruh rakyat sehingga dengan satu komando mengusir Inggris dari Mesir. Namun, ini tidak berarti Inggris telah hengkang dari bumi Mesir. Inggris mengubah siasat dengan mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki konstitusional yang berparlemen, berpemilu, dan berpartai politik.
Mus}t}afa^ Ka>mil meninggal tahun 1908, akan tetapi gerakan nasional terus berlanjut karena pada tahun 1907 telah terbentuk tiga partai nasional dengan tujuan yang sama;  al-H{{izbu al-Wat}ani dipimpin oleh Abdul Kholik Tsarut, H{izbu al-'Ummah dipimpin oleh Syaih Hasan Abdur Razik, H{izbu al-'Is}la>h dipimpin oleh Syaih Ali Yusuf.
Pada akhir tahun 1909 rakyat menuduh Inggris menyuruh membunuh Petrus Gholi Pasya seorang mentri di kementrian Said Zaglul untuk menimbulkan perpecahan antara umat Islam dan Kristen, yang menyebabkan Saad Zaglul dipecat tahun 1912.[19]
Setelah pecah perang dunia 1 tahun 1914, Inggris memecat Khudewi Abbas 2 karena memihak Turki dan Jerman melawan sekutu dan mengangkat Husain Kamil sebagai gantinya, dengan demikian Inggris berhasil memutuskan hubungan antara Mesir dan Turki. Hali itu menimbulkan kemarahan rakyat. Pada tahun 1917  Fuad bin Ismail naik tahta, dan Saad Zaglul bersama para pendukungnya seperti Abdul Aziz Fahmi, Ali Sya'rawi, dan Mushafa Abdur Raziq minta izin pergi ke Eropa untuk menyampaikan permasalahan negeri Mesir dan menuntut agar dibebaskan dari kekuasaan negara-negara Eropa. Tapi Inggris menolak, maka Saad Zaglul mengumpulkan pembesar-pembesar Mesir untuk menentukan delegasi yang menuntut kemerdekaan. Akhirnya Saad ditangkap bersama kawan-kawannya dan dibuang ke Malthon.
Rakyat mengadakan pemberontakan dikarenakan pemecatan dan pembuangannya. Penguasa Mesir, yang pada waktu itu dipimpin Husain Rusydi, bersifat lunak terhadap rakyat, sehingga timbul pemberontakan tahun 1919, menyebabkan Inggris bersama sekutu meninggalkan Mesir.
Pada tahun 1920 Saad mulai merundingkan kemerdekaan dengan Inggris dan berakhir dengan pengasingannya untuk yang kedua kalinya bersama Mus}t}afa^  an-Nuh}a>s dan lainnya tahun 1921. Kemarahan rakyat Mesir meledak dan para pejuang Mesir mengadakan tipuan terhadap tentara Inggris. Kekacauan dalam negeri berlangsung selama lima belas bulan di seluruh penjuru negeri, yaitu selama Saad berada dalam pengasingan. Menghadapi badai protes nasionalis, Inggris terpaksa membuat pernyataan sepihak tentang kemerdekaan Mesir pada tahun 1922.
Pada tahun 1923 Inggris memperkenankan terbentuknya kehidupan parlemen, maka partai yang dipimpin oleh Saad Zaglul memperoleh wakil terbanyak dalam parlemen. Ini kesemuaannya adalah siasat dari Inggris agar tetap menancapkan kekuasaanya di Mesir. Saad Zaglul menyusun kementrian dalam parlemen, tapi kelompok nasionalis ekstrimis memandang bahwa, kekuasaan aktif masih ada di tangan Inggris, sehingga mereka mengambil posisi sebagai oposisi kekuasaan Saad, dan sebagian mereka mengadakan tipuan terhadap tentara Mesir tahun1924, dengan mengaku sebagai pimpinan umum Inggris. Saad terpaksa meletakkan jabatan, dan memihak kaum nasionalis ekstrimis yang menuntut pernyataan Inggris. Mereka menolak adanya perubahan parlemen dan menuntut partai Wafd agar tetap ada di bawah pengawasan dan kekuasaan para pendukungnya.
Untuk menghadapi perselisihan yang timbul, maka para pemimpin seperti: Saad yang memimpin al-Wafd, Adly Yakan yang memimpin al-'Ah}ra>r ad-Dustu>riyyu>n, dan Abdul Khalik Tsarut yang memimpin al-H{izb al-Wat}ani> bersama-sama menyusun kekuatan untuk mengusir Inggris dan Mesir. Saad meninggal pada tahun 1927, lalu digantikan oleh Mus}t}afa^ an-Nuh}a>s, kemudian meletakkan jabatannya di kala gagal memenuhi tuntutan pengusiran Inggris dari Mesir.
Pada tahun 1930, Nuhas Pasya 2 menjadi perdana menteri untuk yang kedua kalinya dan pergi ke London merundingkan kemerdekaan dengan pemerintah Inggris, akan tetapi gagal. Partai al-Wafd bersama seluruh partai lainnya menetapkan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris dengan kekuatan hingga terjadilah pertumpahan darah diantara tentara mereka. Akhirnya dengan adanya peristiwa ini munculah pemberontakan di seluruh pelosok negeri.[20]
Banyaknya partai-partai politik yang bermunculan sejak awal abad ini dengan platform yang berbeda-beda atas dasar kemerdekaan ekonomi dan politik Mesir. Adapun diantara partai-partai tersebut ; partai Nasional 1907 (al-H{izb al-Wat}ani>) dipimpin oleh Mus}t}afa^ Ka>mil dan Muh}ammad Fari>d. Pada tahun itu juga lahir partai Ummat (al-H{izb al-'Ummah) dipimpin Mah}mu>d Sulayma>n dan Lut}fi> Sayyid. Lalu, pada 1918, Saad Zaglul mendirikan partai Wafd. Tahun 1920, Ismail Shidqi mendirikan partai rakyat (H{izb al-Sha'ab) yang dimaksudkan untuk mendukung status quo.[21] Lalu pada tahun 1928, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwan al-Muslimin, sebuah perkumpulan yang semula bergerak dalm bidang dakwah dan pendidikan perlahan berperan sebagai partai politik. Perjuangan politik yang dilakukan partai-partai ini kurang berjalan sebagaimana diharapkan. Hal ini, dikarenakan masih kuatnya peran Inggris dalam politik dan dominasi kepentingan asing dalam ekonomi Mesir.
Selanjutnya terus berlangsung usaha pembebasan Mesir dari Inggris yang dilakukan oleh aliran keagamaan, partai-partai Islam, Dewan revolusi. Hingga puncaknya pada revolusi Juli 1952 yang dimotori oleh sekelompok perwira bebas di bawah pimpinan Jendral Naji>b dan Ja>mil 'Abd al-Nas}i>r.[22]
Pasca revolusi, partai-partai politik Mesir mendapat tantangan baru. Pada awal 1953, dewan revolusi mengeluarkan keputusan yang membekukan semua partai politik, termasuk Ikhwan al-Muslimin. Bahkan, di bawah pemerintahan Nashir, Sayyid Qut}ub dengan Ikhwan al-musliminnya mendapat tekanan berat. Dapat disimpulkan bahwa iklim politik pada saat itu berpengaruh besar terhadap sikap Qut}ub, karakter dan pikiran-pikirannya yang cenderung radikal dan revolusioner. Iklim politik pada saat itu dilingkupi oleh dua hal; Pertama, dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing itu. Kedua, despotisme dan kezhaliman dari penguasa Mesir itu sendiri.
Begitupun dengan adanya modernisme yang diperkenalkan oleh Napoleon dan disosialisasikan oleh Muhammad Ali pada awal abad 19 di Mesir menimbulkan perubahan-perubahan dalam strata sosial masyarakat Mesir. Tokoh lainnya yang menyerukan kepada modernisme ialah Thahthawi, Jamil al-Din al-Afgani dan Abduh, secara perlahan-lahan mempengaruhi lahirnya kelas menengah baru Mesir yang terdiri dari dosen, pengacara, wartawan, insinyur, dan perwira muda. Mereka mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan nasionalisme dan pembebasan Mesir dari kekuatan-kekuatan asing. Bahkan pemimpin dan penggerak revolusi yang terjadi datang dari kelompok ini.
Dilihat dari segi sosial ekonomi, masyarakat Mesir pra-reformasi terbagi ke dalam tiga strata. Pertama, kelompok tuan tanah (Kibir al-Malak). Mereka terdiri dari para penguasa Mesir dan orang-orang yang memiliki tanah dalam skala yang besar. Kedua, kelompok konglomerat (al-'Aghniya>), terdiri dari para penguasa yang menguasai sektor bisnis, perdagangan, dan industri Mesir. Ketiga , para petani dan buruh kasar (al-Muza>ri' wa al-'Ummah) yang merupakan kelompok terbesar  dari rakyat Mesir ketika itu. Kelompok pertama dan kedua tinggal di Kairo dan hidup mewah. Anak-anak mereka dapat menikmati pendidikan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Sedang kelompok ketiga tinggal di pedesaan dan sebagian besar masih buta huruf. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan.[23]
Namun sejak dasawarsa-dasawarsa pertama abad 20, terdapat perkembangan-perkembangan di Mesir. Mulai dari perbaikan gizi masyarakatnya, semakin banyaknya petani yang tak punya tanah sehingga hijrah ke kota , mengakibatkan pusat-pusat urban meningkat melahirkan perubahan watak suatu masyarakat yang semakin kompleks.[24] Seiring perubahan dalam strata sosial masyarakat Mesir pada waktu itu mulailah terlihat jelas akan dominasi politik, ekonomi, dan budaya Eropa yang menelurkan sikap dan gaya hidup Barat tanpa memperdulikan keyakinan dan praktik tradisional Islam. Dalam iklim sosial ekonomi ini, Hasan al-Banna dan Sayyid Qut}ub termasuk tokoh dan intelektual yang berada dalam barisan penghapusan pembaratan budaya lokal.
    iv.            Corak pemikiran Sayyid Qut}ub
Sebagai seorang pemikir, Sayyid Qut}ub berdialog dengan berbagai pemikiran yang berkembang pada zamanya. Pemikiran Qut}ub, seperti disebut Abu Rabi, tidak lahir dari kevakuman sosial dan intelektual, tetapi merespon berbagai situasi aktual yang melingkupinya. Berikut ini dijelaskan fase-fase perkembangan pemikiran Sayyid Qut}ub seperti dikemukakan oleh H{asan H{anafi>.
a.       Fase Sastra (1930-1950)
Berawal dari sastra, Fase ini berlangsung selama 20 tahun, merupakan fase paling lama dalam perkembangan pemikiran Sayyid Qut}ub. Beliau banyak memberikan perhatian dalam bidang  sastra, puisi, cerita, dan kritik sastra. Puncaknya ketika Ia tertarik  dan kemudian menekuni bidang sastra al-Qura>n. Perhatian dan ketertarikan Ia terhadap al-Qura>n  sebagai pengaruh dari pengalaman masa kecilnya bersama keluarganya, terutama ibundanya dalam interaksi beliau dengan al-Qura>n.[25]
Ia memulai kehidupannya sebagai penyair, sastrawan, budayawan, Ia aktif dalam kritik sastra sepanjang tahun 30 dan 40-an. Dengan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang sangat tinggi dalam sastranya, Ia masuk ke dalam agama. Pada masa ini, pemikiran Sayyid Qut}ub memperlihatkan dirinya sebagai seorang moralis yang menekankan kesalihan pribadi. Ia banyak mencela kemerosotan moral orang-orang di sekitar dirinya, berusaha memahami penyebab kemerosotan ini dan mengajak kepada betapa pentingnya norma akhlak dalam mengarungi kehidupan.
Dalam konteks ini, Qut}ub menilai manusia modern dengan sikapnya yang berlebihan dalam mengejar kemajuan materiil di satu pihak, dan melupakan kebutuhan spiritualnya di lain pihak, menjadi orang yang terasing dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, Konsep yang diterapkannya adalah "pembebasan diri".  Kemudian, manusia harus kembali kepada fit}rah dengan menerima al-Isla>m, sikap pasrah dan tunduk kepada Allah swt.[26]
b.      Fase sosial kemasyarakatan (1951-1953)
Beberapa karya Sayyid Qut}ub dalam pemikiran ini diantaranya ; al-'Ada>lah al-'Ijtima>'iyya>t fi> al-Isla>m ( keadilan sosial dalam Islam), Ma'rakat al-Isla>m wa al-Ra'sama>liyyah (perang Islam dan kapitalisme).
Pemikiran sosialisme Islam Qut}ub dipengaruhi oleh pandangan dasarnya bahwa Islam bukan hanya religi, tetapi sistem hidup (al-Isla>m Manhaj al-H{aya>t) yang sempurna dan komprehensif. Islam bukan agama yang terlepas dari kehidupan manusia, bukan pula agama yang hanya mangatur hubungan manusia dengan Tuhan semata-mata. Akan tetapi, Islam adalah agama kehidupan, merupakan sistem hidup (al-Di>n al-H{aya>ti>) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia.
Islam dipandang oleh Qut}ub sebagai agama keadilan yang melindungi hak-hak orang-orang lemah di depan orang-orang kaya. Menurutnya, seperti telah dikemukakan, Islam pada dasarnya merupakan gerakan pembebasan yang dimulai dari diri sendiri (iman dalam hati) dan berujung pada sosial (jami>'ah). Pada fase ini, pemikirannya terus berkembang dari nasionalisme yang sudah keliatan pada fase sebelumnya ke sosialisme Islam, dari pembebasan diri terus bergerak pada pembebasan masyarakat. Dari sikapnya sebagai moralis yang menekankan kesalihan individu, perhatian dan pemikiran Qut}ub terus berkembang ke arah kebersihan moral masyarakat atau kesalihan sosial. Apalagi sekembalinya Qut}ub dari Amerika, tulisannya lebih terang-terangan bernada kemasyarakatan, bukan semata-mata peringatan atau nasihat moral individual.[27]
Qut}ub sengaja memilih medan keadilan sosial untuk ditulis, serta menjelaskan metode al-Qura>n di dalam menjelaskan keadilan dan kaidah-kaidah dalam mewujudkannya, karena Mesir pada waktu itu sedang mengalami fase sosial yang sulit.
c.       Fase Filsafat (1954-1962)
Menurut H{asan H{anafi>, Qut}ub dalam pemikiran ini lebih sebagai tuntutan pribadi ketimbang tuntutan sejarah (sosial). Pemikiran filsafat ini muncul setelah Dewan revolusi mendominasi politik di Mesir dan melaksanakan sebagian dari tuntutan keadilan sosial. Pemikiran ini juga timbul setelah terjadi konflik antara Ikhwan dan Dewan Revolusi. Pada masa ini, kecenderungan sosial dalam pemikiran Qut}ub sedikit melemah dan sedikit demi sedikit mulai tertarik pada masalah-masalah filosofis (teoritik).
Karya tulisannya dalam pemikiran ini ; al-Mustaqbal dan Nah}wa^ Mujtama' al-Isla>mi>, serta mencapai puncaknya dalam Khas}a>'is} al-Tas}awwur al-Isla>mi>. Di sini Qut}ub menegaskan bahwa setiap agama, tidak hanya Islam, pada dasarnya adalah sistem hidup, merupakan suatu konsep yang menjelaskan tentang manusia, kehidupan, dan dunia, yang darinya lahir tatanan kehidupan manusia (niz}a>m). Sebagai sistem hidup, Islam menurutnya, merupakan sistem yang mandiri dan mengungguli semua sistem hidup yang ada, komunisme maupun kapitalisme.
Perpindahan Quthub dari fase kemasyarakatan kepada filsafat (konsep dan gagasan tentang peradaban) tampaknya tidak lain dipengaruhi oleh keadaan pribadinya yang terbelenggu dalam penjara dan tidak memiliki kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam politik praktis.[28]
d.      Fase politik (1963-1965)
Pada masa ini, Quthub mulai mengintrodusir gagasan-gagasan besarnya yang radikal dan revolusioner ; gagasan tentang h}akimiyyah, ja>hiliyyah, dan tajhi>l, perjuangan Islam dan perang suci (jiha>d) serta revolusi Islam (thawrah al-Isla>miyyah). Karyanya yang tampak dalam fase ini, Ma'a>lim al-T{ari>q dan Fi> Z{ila>l al-Qura>n.
Makna hakimiyyah berarti Allah adalah satu-satunya pihak yang berwenang menetapkan hukum (shari>'ah) secara mutlak. Tidak ada hak untuk penetapan hukum bagi manusia selain Allah. Hakimiyyah juga bermakna bahwa manusia harus menerima dan tunduk kepada hukum-hukum Allah, bukan hukum-hukum dari produk  manusia yang tidak dapat terlepas dari kepentingan pembuatnya. Bagi Qut}ub, hakimiyyah adalah proposisi iman atau kafir, Islam atau jahiliyah.
Dalam pemikirannya, ide hakimiyyah merupakan turunan dari konsep aqidah Islam, yakni tauhid (al-Tawh}i>d) berarti mengesakan Allah dalam ketuhanan ('ulu>hiyyah), penciptaan dan pemeliharaan (rubu>biyyah), kekuasaan (sult}a>n) dan dukungan atau kemandirian (qawwa>mah). Dalam pandangan Qut}ub, ketuhanan Allah ('ulu>hiyyah) bermakna hakimiyyah. Dikatakan bahwa hakimiyyah merupakan salah satu sifat yang paling penting dari 'ulu>hiyyah. Oleh karena itu orang yang membuat undang-undang untuk segolongan manusia, ia telah menempatkan dirinya pada posisi ketuhanan dan mempergunakan salah satu sifat yang paling khusus dari ketuhanan itu, yakni hakimiyyah, maka ia telah menjadi Tuhan atau menuhankan diri, sedang segolongan orang tadi telah menjadi budak atau hambanya, bukan hamba Tuhan.
Konsep hakimiyyah, menurut Qut}ub, berkaitan dengan ide pembebasan manusia. Dikatakan bahwa manusia tidak dapat disebut merdeka, kecuali bila ia mampu membebaskan dirinya dari belenggu dan hukum manusia sesamanya, atau ia sanggup menempatkan dirinya sederajat dengan manusia lain di hadapan Allah. Namun, menurut Qut}ub, perlu diketahui bahwa sesungguhnya hanya di bawah undang-undang dan syariat Allah saja, manusia dapat terbebas dari penyembahan manusia atas manusia yang lain.
Adapun mengenai ja>hiliyyah dan tajhi>l ( memandang masyarakat sebagai jahiliyah). Menurut Qut}ub, jahiliyah adalah sistem hidup yang bersumber dari penuhanan manusia terhadap sesama manusia atau penuhanan manusia kepada sesuatu selain Allah. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa jahiliyah timbul dan bersumber dari pemikiran dan sikap yang memusuhi kekuasaan Allah di muka bumi, serta memusuhi salah satu sifat-Nya yang paling khusus, yaitu hakimiyyah. Menurut Qut}ub, dalam sistem jahiliyah, hakimiyyah yang merupakan hak dan kewenangan mutlak Tuhan itu diserahkan dan disandarkan kepada manusia.
Dalam pendangannya, jahiliyah berkaitan erat dengan pemikirannya mengenai hakimiyyah. Jelasnya, bila hakimiyyah dalam suatu masyarakat tidak disandarkan kepada Tuhan, maka masyarakat itu, menurut Qut}ub disebut jahiliyah. Atas dasar ini, masyarakat Arab pra Islam disebut jahiliyah. Mereka bukan tidak mengenal Allah, tidak pula menafikan bahwa segala sesuatu langit dan di bumi adalah milik Allah. Namun mereka tidak menerima atau menolak konsekwensi (tuntutan) dari pengakuan mereka mengenai Allah, yaitu keharusan mereka untuk menyandarkan hakimiyyah hanya kepada Allah semata dalam menetapkan hukum dan mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kuasa-Nya. Karena penolakan ini, mereka tetap diidentifikasi sebagai jahiliyah, dan atas penolakan yang sama, masyarakat modern harus pula disebut jahiliyah, jahiliyah modern.[29]
Dengan demikian, dalam pemikiran Qut}ub, jahiliyah bukanlah fase tertentu dalam sejarah kehidupan manusia, melainkan suatu sistem hidup yang setiap saat dapat timbul baik pada masa lalu, masa kini, maupun masa datang. al-Quran, kata Qut}ub, banyak membicarakan aneka ragam jahiliyah dalam setiap fase kehidupan. Al-Qura>n menghadapi keadaan jahiliyah itu dan mengembalikannya ke jalan yang benar, yaitu jalan Islam. Sebagai suatu sistem hidup, jahiliyah, menurut Qut}ub, berpengaruh dan mengejawantah dalam pemikiran, konsep-konsep, sikap mental, prilaku, dan realitas kehidupan.
Perlu diketahui, meskipun sering menggunakan term jahiliyah, Qut}ub  kelihatannya tidak bermaksud mengkafirkan umat Islam, seperti kritikan keras dari beberapa penulis; Silim al-Bahsanawi dan Abu Izzat. Namun menurut Hasan Hudlabi, kata jahiliyah seperti kata zhalim, sesat, dan dosa yang banyak dipergunakan dalam al-Qura>n, tidak selalu mengandung arti kafir. Ada kalanya pelaku perbuatan jahiliyah keluar dari Islam, dan ada kalanya tidak. Hal senada diutarakan oleh Faisal Maulawi, tajhil kepada masyarakat yang dilakukan Sayyid Qut}ub tidak menggunakan tolak ukur aqidah dan akhlak individu-individu, tetapi menggunakan tolak ukur sistem hukum (niz}a>m) yang dipergunakan masyarakat terkait. Dikuatkan kembali oleh perkataan Ilyas Ismail berkenaan dengan tajhil. Menurutnya, tajhi>l memang tidak dimaksudkan untuk mengkafirkan umat Islam, tetapi untuk mengingatkan rendahnya komitmen mereka kepada  ajaran Islam. Qut}ub dalam berdakwah sering dan suka memilih kata-kata keras. Namun ini hanya sebagai bahasa dakwah, bukan bahasa hukum dan teologi yang dapat memberikan kemungkinan adanya implikasi takfi>r.
Dari ja>hiliyyah dan tajhi>l, Qut}ub mngedepankan gagasannya tentang jihad, perang suci. Menurutnya, jihad merupakan kewajiban agama yang harus ditunaikan. Betapapun beratnya pada akhirnya akan membawakan kebaikan yang bersifat kolektif, bukan hanya kebaikan yang bersifat individual. Jihad dimaksudkan untuk menegakkan sistem ajaran Islam dalam kehidupan manusia, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memaksa manusia menerima ajaran Islam.[30]
Selanjutnya, tentang gagasan Qut}ub mengenai revolusi Islam (thawrah al-Isla>miyyah). Islam, menurutnya membawa watak revolusioner sejak kelahirannya. Revolusi mengandung arti perubahan cepat yang bersifat mendasar dan fundamental, merupakan rekonstruksi sosial dan moral masyarakat. Islam merupakan revolusi terhadap segala sesuatu yang dipertuhankan manusia, selain Allah (t}a>ghu>t), baik dalam bentuk kemusyrikan, fanatisme terhadap suku, warna kulit, dan madzhab agama, maupun t}aghu>t dalam bentuk kezhaliman dan tiran. Menurut Quthub Islam dalam hal ini memerangi t}aghu>t.[31]


      v.            Profil Tafsi>r fi> Z{ila>l al-Qura>n
Dilihat dari metode yang digunakan oleh Sayyid Qut}ub dapat digolongkan ke dalam tafsir tah}li>li. Yakni, menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.[32] Dalam analisa penulis, salah satu yang menonjol dalam penafsiran Qutub adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'a>n.
Adapun corak penafsirannya dapat dikategorikan ke dalam tafsir al-'adabi> al-'ijtima>'iy (tafsir yang berorientasi sosial dan kemasyarakatan), ciri tafsir yang bercorak al-'adabi al-'ijtima>'iy menurut al-Dhahabi> dalam kitabnya Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n adalah bahwa mufasirnya menitikberatkan penjelasan-penjelasan al-Qura>n pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dan menonjolkan tujuan utama al-Qura>n yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia, lalu mengaitkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.[33]
S{ala>h al-Khalidi dalam Madkhal 'ila^ Z{ila>l al-Qura>n mengategorikan tafsir ini sebagai aliran atau paham khusus dalam tafsir, yang disebut sebagai aliran tafsir pergerakan dan menurut beliau metode pergerakan (al-Manhaj al-H}araki>)-atau metode realistis yang serius-tidak ada pada selain fi> Z{ila>l al-Qura>n. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dengan banyaknya penafsiran al-Qura>n dalam Z{ila>l al-Qura>n yang menyinggung masalah pergerakan, tarbiyah dan dakwah.
Sayyid Qut}ub menafsirkan surat-surat dalam al-Qura>n dengan susunan yang sistematis, sistematika tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Pengenalan dan pengantar terhadap isi surat
Sebelum masuk pada penafsiran surat, Qut}ub memaparkan pengantar dan pengenalan terhadap isi surat, beliau memberikan ilustrasi kepada pembaca mengenai surat yang akan dibahas secara global, menyeluruh dan singkat. Di sini Qut}ub menerangkan Makkiyyah atau Madaniyahkah surat bersangkutan, menjelaskan obyek pokok surat, suasana ketika diturunkan, kondisi umum umat Islam saat itu yang dikaitkan dengan kondisi umat masa kini, maksud dan tujuan surat, karakternya yang independent dan metode penjelasan materinya.
b)      Pembagian surat panjang menjadi beberapa maqati' (penggalan-penggalan surat)
Setelah memaparkan pengantar dan pengenalan surat, ayat-ayat yang akan ditafsirkan dikelompokkan menjadi beberapa bagian secara tematik, yang beliau sebut dengan maqa>t}i'u al-su>rah. Misalnya dalam surat al-Baqarah Qut}ub membaginya menjadi enam maqati' ; maqtu' pertama  mulai ayat 1-29, maqtu' kedua dari ayat 30-39, maqtu' ketiga dari ayat 40-74, maqtu' kelima dari ayat 104-123, maqtu' keenam dari ayat 124-141 dan seterusnya.
c)      Penafsiran ayat-perayat
Pada penafsiran ayat-perayat Qut}ub mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan al-Qura>n dan hidup dalam suasana nash al-Qura>n serta mengambil pesan-pesan pokok yang terkandung dalam nash tersebut, menurut S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} tujuan pokok al-Qura>n menurut Qut}ub adalah amal pergerakan yang dinamis. Sebab turunnya al-Qura>n adalah bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim yang istiqomah, membentuk jama>'ah Islam dan masyarakat muslim serta menghimpun kekuatan memerangi jahiliyah.
Prinsip-prinsip dasar  Sayyid Qut}ub dalam penafsirannya diantaranya; Tidak menceritakan panjang lebar terhadap kisah-kisah dalam al-Qura>n, Tidak memperluas masalah khila>fiyyah fiqhiyyah, oleh sebab itu Qut}ub hanya  menyebutkan hukum fiqh dengan ungkapan yang sangat ringkas, Tidak mentakwil ayat-ayat mutasha>biha>t, Tidak tenggelam dalam pembicaraan tentang kepastian ayat-ayat mubham, Tidak tertarik dengan dialektika mutakallimu>n, Tidak menerangkan nash al-Qura>n dengan tafsir ilmi, Tidak membahas rinci kajian bahasa, Mengaitkan nash-nash al-Qura>n dengan realita kontemporer, Menjadikan nash al-Qura>n dalam bentuk umum sesuai dengan kandungan arti dan petunjuk nash tersebut tanpa mengkhusukan pada makna tertentu.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qura>n, Qut}ub juga sering menyebutkan asbabun nuzul, yang digunakan untuk menggambarkan nuansa umum ketika turunnya nash. Juga dalam menafsirkan al-Qura>n kadangkala menggunakan tafsir bil matsur, baik tafsir ayat dengan ayat, tafsir ayat dengan hadis nabi, tafsir ayat dengan perkataan sahabat.
Sesungguhnya metode Qut}ub merupakan metode yang mencoba mamasuki alam al-quran tanpa berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai kekayaan al-Qura>n serta banyaknya makna dan inspirasinya. Terbagi menjadi dua tahap:
Pertama, Qut}ub hanya mengambil dari al-Qura>n saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan , referensi, dan sumber-sumber lain. Kedua. Sifatnya sekunder serta penyempurnaan bagi tahap pertama, yang digunakan Qut}ub untuk melengkapi kekurangan yang ada pada tahap pertama, atau meluruskan kekeliruannya, atau mengemukakan pendapat-pendapat, atau mengutip beberapa pemikiran. Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terhadap kitab-kitab tafsir untuk mengetahui 'asba>bu al-nuzu>l, atau menjelaskan satu masalah fiqih atau mengambil bukti dengan hadits atau riwayat yang s}ah}i>h} tentang penafsiran ayat.[34]
    vi.            Sumber-Sumber Z{ila>l
Sumber-sumber Sayyid Qut}ub bermacam-macam; diantaranya berupa sumber-sumber keislaman, dengan segala cabangnya yang berupa tafsir, sirah, hadits dan fiqh dan sumber-sumber dari Barat dalam bentuk terjemahan dalam berbagai bidang; ilmu alam, ilmu astronomi, ilmu jiwa, dan ilmu sosial.
Yang  juga termasuk dalam kategori sumber ini adalah para guru yang dijadikan sumber oleh Qut}ub dan mereka yang pemikiran dan pendapat-pendapatnya membentuk Qut}ub dalam  sebagian persoalan, khususnya dalam bidang aqidah dan pergerakan.
Perlu diketahui, sumber-sumber dalam tafsir Qut}ub tidaklah mendasar atau primer, akan tetapi sifatnya sekunder. Sumber primer Qut}ub adalah al-Qura>n, yang mana merupakan rujukan fundamental dan referensi langsung setelah hidup cukup lama di bawah naungan al-Qura>n. Adapun metode Qut}ub di dalam mengambil inspirasi al-Qura>n adalah seperti yang dikemukakannya sendiri. "Metode kami di dalam mengambil inspirasi al-Qura>n adalah bahwa kami tidak menghadapinya berdasarkan ketentuan-ketentuan sebelumnya secara mutlak; entah ketentuan akal maupun perasaan, dari berbagai ampas pengetahuan yang tidak pernah kami ambil dari al-Qura>n itu sendiri, yang kami gunakan untuk menghukumi nash-nashnya, atau mengambil inspirasi makna-makna nash-nash ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya."[35]
Sayyid Qut}ub tidak keluar dari riwayat-riwayat yang shahih mengenai tafsi>r bi al-ma'thu>r. Oleh karena itu beliau merujuk kepada kitab-kitab tafsi>r bi al- ma'thu>r. Adapun kitab-kitab tafsi>r bi al-ma'thu>r yang dijadikan sandaran oleh Qut}ub, atau yang dikutip diantaranya: Tafsi>r al-Qura>n al-'Az}i>m, karangan Abul-Fida, Ja>mi al-Baya>n 'an Ta'wi>l Ay al-Qura>n, karangan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir  ath-Thabari, Tafsi>r al-Tha'labi>, Tafsi>r al-Baghawi>, Al-Du>r al-Manthu>r, karangan as-Suyuthi, Ah}ka>m Al-Qura>n, karangan al-Jasshash, Tafsi>r al-Qurt}ubi>, 'Ah}ka>m al-Qura>n, karangan Ibnu al-'Arabi, Al-Kashsha>f, karangan Az-Zamakhsyari, Tafsi>r juz 'amma, karangan Muhammad Abduh, Ru>h} al-Ma'a>ni>, karangan al-Alusi, Tafsi>r al-Mana>r, karangan Muhammad Rasyid Ridha, Al-Tafsi>r al-H{adi>th, karangan Muhammad Izzah Daruzah.
  vii.            Contoh penafsiran Sayyid Qutub pada surat al-Baqarah: 208-209.
(Dakwah Untuk Kebenaran Komitmen Terhadap Islam dan Kewaspadaan dari Setan)
Pada pembahasan ayat-ayat ini, dijelaskan di dalam tafsi>r fi> Z{ilal al-Qur'a>n, gambaran contoh nifa>q yang jahat dan iman yang bersih. Ayat ini berupa seruan kepada kaum Muslimin dengan sifat iman, supaya masuk ke dalam kedamaian dengan keseluruhan jiwa mereka dan supaya berwaspada agar tidak mengikuti jejak setan serta mengingatkan mereka dari tergelincir setelah mereka mendapat penerangan yang jelas.
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُواْ ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كاَفَةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُواَتِ الشَّيْطَانِ اِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْن{البقرة: 208}
Maksud pertama dari seruan ini ialah supaya orang-orang mu'min menyerahkan seluruh jiwa raga mereka kepada Allah dan menyerahkan segala urusan mereka, baik yang kecil maupun besar kepada Allah tanpa meninggalkan sesuatu di dalam diri mereka berupa pikiran atau perasaan, niat atau tindakan, kesukaan atau ketakutan yang tidak tunduk kepada Allah dan tidak ridha dengan ketetapan dan keputusanNya. Mereka hendaklah memberi ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dengan penuh keyakinan dan kerelaan. Mereka hendaklah menyerah diri mereka kepada kudrat ilahi yang memimpin langkah-langkah mereka dengan keyakinan bahwa Allah menginginkan mereka mendapat kebaikan, pengajaran dan petunjuk, dan dengan keyakinan bahwa mereka sedang menuju ke jalan dan kesudahan yang baik di dunia dan akhirat.
Apabila seorang Muslim menyambut dakwah itu, ia memasuki sebuah alam yang seluruhnya diselubungi kedamaian dan keamanan, sebuah alam yang seluruhnya dipenuhi kepercayaan dan keyakinan, kerelaan dan ketentraman, di mana tidak terdapat lagi kegelisahan dan kecemasan, kedurhakaan dan kesesatan, yaitu kedamaian dengan jiwa dan hati nurani sendiri, kedamaian dengan akal dan logik, kedamaian dengan manusia dan mahluk-mahluk yang hidup, kedamaian dengan seluruh alam dan seluruh yang maujud, kedamaian dan keimanan yang menerangi liku-liku hati nurani, kedamaian dan keamanan yang memayungi kehidupan dan masyarakat, kedamaian dan keamanan di bumi dan langit. Kesan pertama yang dilimpahkan oleh kedamaian ini di dalam hati ialah kesahihan kepahaman dan kepercayaannya kepada Allah, juga kejelasan dan kemudahan kepahaman dan kepercayaan itu sendiri bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa dan setiap muslim hanya bertawajuh kepadaNya dengan hati yang teguh dan yakin.[36]
Setelah Allah menyeru orang-orang yang beriman supaya masuk ke dalam kedamaian dengan keseluruhan jiwa mereka, maka al-Qur'an mengingatkan mereka supaya jangan mengikut langkah-langkah setan, menurut penafsiran Qutub pada ayat ini hanya terdapat dua haluan saja; masuk ke dalam kedamaian dengan keseluruhan jiwa atau mengikut jejak-jejak setan, memilih hidayah atau memilih kesesatan, mengikut Islam atau mengikut jahiliyah, menuju jalan Allah atau menuju jalan setan, memilih petunjuk Allah atau memilih penyesatan setan.
Menurut Qutub barang siapa yang tidak masuk ke dalam kedamaian dengan seluruh jiwanya dan tidak menyerahkan dirinya semata-mata kepada kepemimpinan Allah dan syariatNya, dan siapa yang tidak membuang segala kepercayaan selain Allah, segala sistem hidup yang lain dari segala undang-undang yang lain, maka berarti dia berada di jalan setan dan berjalan mengikuti jejak-jejak setan. Permusuhan setan yang ketat terhadap manusia amatlah jelas terhadap seseorang yang lalai dan kelalaian tidak wujud bersama iman.
Kemudian ayat yang berikut ini mengingatkan kepada mereka akibat kegelinciran setelah mendapat penerangan yang jelas.
فَاِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ البَيِّناَتُ فاَعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ {البقرة: 209}                Dalam ayat ini, bahwa Allah Maha Perkasa mengisyaratkan kekuatan dan kudrat kuasa Allah dan menyarankan bahwa mereka akan terdedah kepada tindakan kepada tindakan kudrat Allah apabila mereka menyalahi perintahNya. Sementara peringatan yang menyebut bahwa Allah Maha Bijaksana menyarankan bahwa apa yang dipilih oleh Allah untuk mereka itulah yang paling baik dan sesuatau yang dilarang Allah itulah yang paling tidak baik, di samping menyarankan bahwa mereka akan menghadapi kerugian jika mereka tidak mematuhi perintahNya dan menjauhi laranganNya.[37]
C.    Penutup
Seperti yang telah kita ketahui bersama, tafsi>r fi> Z{ila>l al-Qur'a>n merupakan tafsir kontemporer yang ditulis oleh  al-Shahid Sayyid Qut}ub dengan bersandarkan dengan kajian-kajian beliau yang mendalam, yang ditimba secara langsung dari al-Qur'a>n dan al-Sunnah, disamping bersumberkan kepada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar. Qutub memasuki ke dalam penulisan tafsir ini setelah melengkapkan dirinya dengan pengalaman-pengalaman dan kajian-kajian yang kaya di bidang penulisan, keguruan, pendidikan, dan pengamatannya yang luas dan tajam dalam perkembangan-perkembangan sosial-politik-ekonomi dunia semasanya. Qutub telah menghabiskan lebih dari separuh usianya dalam pembacaan dan penelaahan yang mendalam terhadap hasil-hasil intelektual manusia di dalam berbagai bidang pengajian dan teori-teori maupun berbagai aliran pemikiran dan kajian agama-agama lain.
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi berkata dalam bukunya pengantar memahami tafsi>r fi> Z{ila>l al-Qur'a>n, bahwa Sayyid Qut}ub dianggap mujaddid di dalam dunia tafsir, karena beliau telah menambahkan berbagai pengertian dan pikiran haraki, dan berbagai pandangan tarbiyah yang melebihi tafsir-tafsir yang lalu, juga dianggap sebagai penggagas pengkajian baru dalam ilmu tafsir, di mana Qutub telah memperkenalkan aliran tafsir haraki.
Meski demikian, menurut penulis bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat dan fungsi serta sumbangan pemikiran khususnya dalam khazanah keislaman dalam penafsiran al-Qur'an. Karena pada dasarnya seorang mujtahid apabila berijtihad jika benar mendapatkan dua pahala dan jika salah baginya satu pahala. Wallahu 'alam.
















DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011).
Albert Hourani, Arabic Thought in the liberal Age 1798-1939, (London: Cambridge University Press, 1983).
'Ali> ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r Fi> Z{ilal al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub al-'Iliktru>niyyah: Maktabah Shamela).
Aunur Rofiq, Konsep Universalisme al-Qura>n Menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta: Tesis, 2005).
 Hasan Hanafi, al-Di>n wa al-thawrah fi> Mis}r 1952-1981; al-h}arakah al-diniyya>t al-Mu'as}s}ira>t, (Maktabah Madbuli, 1988).
Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006).
John L. Esposito, The oxford encyclopedia of The Modern Islamaic World, (New York & Oxford: Oxford University, 1995).
Muh}ammad H{usen al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Maktabah Wahbah,  2000), jilid ke 2.
Philip K. Hitti, History of The Arab, (London: The Macmillan Presss, 1970).
 S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo: Era Intermedia, 2001).














[1] S{ala>h 'abdu al-Fata>h al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001), 75-77.
[2] S{ala>h 'abdu al-Fata>h al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n (Solo, 2001), 78.
[3]  S{ala>h 'abdu al-Fata>h al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n (Solo, 2001), 76.
[4] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 51.
[5] Hasan Hanafi, al-Di>n wa al-Thawrah fi> Mis}r 1952-1981: al-h}arakah al-Diniyyah al-Mu'as}s}irah, (Maktabah Madbuli, 1988), 167.
[6] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 41.
[7] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 41.
[8] S{ala>h Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al- Qura>n, (Solo, 2001), 24-26.
[9] Albert Hourani, Arabic Thought in the liberal Age 1798-1939, (London: Cambridge University Press, 1983), 200-211.
[10] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 42.
[11] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 43.
[12] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 44.
[13] S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001), 31.
[14] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 44.
[15] Aunur Rofiq, Tesis: Konsep Universalisme al-Qura>n menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta, 2005), 22.
[16] S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001), 28.
[17] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 45.
[18] John L. Esposito, The oxford encyclopedia of The Modern Islamaic World, (New York & Oxford: Oxford University, 1995).

[19] Philip K. Hitti, History of The Arab, (London: Macmillan Press, 1970). 89-92.
[20] Aunur Rofiq, Tesis: Konsep Universalisme al-Qura>n menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta, 2005), 32-35.
[21] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 55.
[22] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006), 56.
[23] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub, ( Jakarta, 2006), 56-57.
[24] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, ( Jakarta, 2006) 59-60.
[25] Hasan Hanafi, al-Di>n wa al thawrah fi> Mis}r 1952-1981; al-h}arakah al-diniyya>t al-Mu'as}s}ira>t, 182.
[26] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, (jakarta, 2006), 65.
[27] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, (jakarta, 2006), 65-66.
[28] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, (jakarta, 2006), 66-68.
[29] A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, (Jakarta: 2006), 68-70.
[30]A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub, (Jakarta: 2006) , 74-75.
[31]A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qut}ub (Jakarta: 2006) , 68-78.
[32] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 219.
[33] Muh}ammad H{usen al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Maktabah Wahbah,  2000), jilid ke 2, 401.
[34] S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001), 176.
[35] S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001), 171-173.
[36] 'Ali> ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r Fi> Z{ilal al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub al-'Iliktru>niyyah: Maktabah Shamela), 435-436.
[37] 'Ali> ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r Fi> Z{ilal al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub al-'Iliktru>niyyah: Maktabah Shamela), 442.

Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud