Minggu, 30 Desember 2012

AL-TAHRIR WA AL-TANWIR MIN TAFSIR



AL-TA{HRI<R WA AL-TANWI<R MIN TAFSI<R
LI ‘ALLA<MAH AL-IMA<M AL-SHEIKH T{AHIR IBN ‘A<SYU<R

A. Pendahuluan
Tafsir merupakan salah satu ilmu yang mencoba untuk mengenal lebih dekat firman Allah Swt. yaitu al-Quran al-Karim dengan cara mempelajari dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan yang mengikuti kemajuan zaman, bergitu pula perkembangan ilmu tafsir dengan corak dan latar belakang pendidikan para mufassir yang beragam, sehingga muncul pula corak penafsiran yang berbeda-beda seperti tafsir maud}u<>’i, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmi, tafsir adab al-ijtima>'i dan lain-lain[1].
Belakang ini muncul model penafsiran baru yang dikenal dengan tafsir 'ilmi. Secara sederhana dapat dipahami bahwa tafsir 'ilmi adalah sebuah tafsir yang dalam proses penafsirannya melibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari segi hakikat maupun teori-teorinya bertujuan untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam lafaz}-lafaz} al-Quran. Ilmu pengetahuan yang seiring dilibatkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran itu seperti fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi yang menyangkut pembahasan hewan, ilmu medis, anatomi, fisiologi, ilmu matematika dan lainnya. Sedangkan yang menyangkut pembahasan humanis dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lainya.
            Muhammad al-T}ahi>r Ibn ‘Asyu>r merupakan mufassir kontemporer dengan kitab tafsirnya yang berjudul "al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r min Tafsi>r" atau yang lebih dikenal dengan nama tafsi>r Tah}ri>r wa Tanwi>r[2]. Dalam kitab tafsir ini, Ibn 'A<<<<syu>r mendukung kehadiran corak tafsir 'ilmi, yang dalam tafsirnya banyak memberikan keterangan mengenai teori-teori ilmiah kontemporer serta melibatkan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan  pemahaman suatu ayat sehingga memudahkan dalam memahami isi kandungan ayat. Hal itu dapat dilihat dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran Ibn 'A<<syu>r banyak melibatkan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk menjelaskan pemahaman suatu ayat, sehingga lebih dapat dihayati oleh manusia, terutama para ilmuan.
Dari sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran al-Quran, tafsri Tah}ri>r wa Tanwi>r karya Ibn 'A<syu>r ini termasuk dalam daftar tafsir terkemuka. Menariknya dari tafsi>r tah}ri>r wa tanwi>r karya Ibn 'A<syu>r ini memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode penyusunan yang tidak mengkhususkan satu jilid untuk satu juz saja melainkan secara acak, terkadang memuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya. Tafsir yang dijelaskan secara detail dan dengan bahasa yang mudah dipahami dapat memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam memahami suatu ayat yang tidak dapat dipahami dengan pengertian saja, melainkan dengan pemahaman yang ada dapat mempermudah dalam mengamalkan suatu ayat. Sehingga dapat mempermudah pembaca dalam mengambil pelajaran baik dalam bidang akidah, ibadah, mu'amalah, maupun akhlaq.

B. Biografi Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r
1). Nasab dan Kelahiran
'Allamah al-Imam al-Syaikh Muhammad T}ahir Ibn 'A<<<<syu>r nama lengkapnya adalah Muhammad T{ahir (T{ahir II) bin Muhammad bin Muhammad T{ahir (T}ahir I) bin Muhammad bin Muhammad Shazili bin 'Abd al-Qadir bin Muhammad bin 'A<syu>r[3]. Ibn 'Asyu>r lahir di D{ahiyatu al-Marsa Tunis[4] pada Jumadi al-U<<<>la tahun 1296 H atau September 1878[5]/ 1879[6] M dan wafat pada Ahad 13 Rahab tahun 1393 H atau 12 Agustus 1973 M kurang lebih ketika beliau berumur 95 tahun[7] dan dimakamkan di للزلاج)) kota al-Marsa Tunis. Beliau berasal dari keluarga terhormat dari sebuah suku bernama 'A<>syu>riyah di kawasan Andalusia, suku ini masih menggunakan budaya nomaden. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin 'Asyu>r pindah ke سلا)) di Maroko pada tahun 1030 H atau 1620 M, kemudian mendatangi Tunisia dan menetap disana pada tahun 1060 H atau 1650 M.
Keluarga 'A<syu>r dikenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Kakek Ibn 'Asyu>r yaitu Muhammad T}ahir (T{ahir I) bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qad}i di Tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi mufti di negaranya[8]. Ayahnya Muhammad bin Muhammad T{ahir (T{ahir I) adalah pemimpin jam'iyyatu al-Awqaf, Ibunya bernama Fatimah, putri dari perdana menteri Muhammad al-Azi>z bu'atu>r. Ibn 'Asyu>r menikah dengan Fatimah binti Muhammad bin Mustafa Muhsin seorang Kapten Pengawas di Tunis, dari hasil perkawinan itu ia mempunyai tiga orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pertama, Muhammad al-Fad{il menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Azi>z Jait, Kedua, Abd al-Malik menikah dengan Rad}iya binti al-H{abib al-Juli, Ketiga, Zain al-Abidin menikah dengan Fatimah binti Salih ad-Di>n bin Munsif Bey, Keempat, Ummu Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bas}ir bin al-Khuja, dan Kelima, Safiya menikah dengan Syazili al-Asram[9].
2). Perjalanan Menuntut Ilmu, Guru-guru dan Murid-muridnya
Ibn 'A<syu>r sejak kecil sudah dipelihara oleh kakeknya yang merupakan salah seorang Shaikh di Bu'atu>r. Kakeknya ini sangat sayang dan perhatian kepadanya. Dari kakeknya inilah Ibn 'A<syu>r memperoleh berbagai disiplin ilmu agama, seperti hadis dan balaghah. Diantara karya dalam bidang ini yang dipelajarinya adalah kitab karya al-Bukhari dan kitab Miftah karya al-Sakakiy. Selain itu, kakeknya juga mengajarkan berbagai buku sastra, kata-kata hikmah, dan ilmu badi' seperti buku sastra karya al-Bahtariy. Ia di didik dan dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu, ketika berumur kurang lebih enam tahun ia mulai belajar di mesjid Sayyidi al-Mujawwar, disana Ibn 'Asyu>r memulai mempelajari dan menghafal al-Quran baik tajwid, maupun qiraat kepada Shaikh Muhammad al-Khiyari, layaknya anak-anak yang berada dilingkungannya. Ia juga mempelajari kitab Sharh} al-Shaikh Khalid al-Azhari 'ala al-Jurumiyah, selain itu ia juga dianjurkan untuk menghafal kumpulan matan-matan ilmiah seperti matan ilmiah Ibn 'Ashi>r yaitu al-Risa>lah dan al-Qat}ar[10].
Setelah hafal al-Quran, pada tahun 1303 H atau 1886 M ia melanjutkan pendidikan di Jami' Zaitunah[11] dengan mempelajari imu nahwu, saraf, balaghah, mantiq, tafsir, qiraat, hadis, mustalah hadis, ilmu kalam, usul fiqih, fiqh, fara'idl, dan bahasa perancis sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Setelah menuntut ilmu di Jami' Zaitunah selama enam tahun, Ibn 'A<syu>r kemudian menjadi salah satu shaikh yang mengajar di sana. Selain itu, dia juga ikut andil dalam peradilan, pemberi fatwa dan lainnya. Ibn 'Asyu>r memiliki keinginan yang kuat untuk mentelaah buku-buku induk dan koleksi ilmu pengetahuan. Karena itulah ia selalu menyibukkan dirinya untuk melakukan penelitian terhadap beragam isu-isu ilmiah baik yang bersifat bahasa maupun shar'iyyah dan mengajarkannya hingga ia memperoleh sertifikat lokalisasi (Shahadah al-Tat}wi) pada tahun 1317 H atau 1899 M[12].
Setelah memperoleh sertifikat lokalisasi ia kembali untuk menghadiri pelajaran dari shaikh Muhammad al-Nakhli pada tahun 1318 H atau 1900 M, serta dari shaikh al-Ima>m Salim Buha>jib ia memperoleh ilmu sastra dan literaturnya dan memperoleh gelar sarjana pada 25 Ramadhan 1323 H. Selain itu, Ibn 'A<syu>r dalam menuntut ilmu, juga sering mendapat ijazah dari pada gurunya. Pemberian ijazah itu masih menjadi tradisi pada waktu itu, diantara ulama-ulama yang memberikan ijazah kepada Ibn 'A<syu>r adalah Shaikh Muhammad al-'Azi>z Bu'atu>r, Shaikh Mahmud bin al-Khaujah dan Amru bin al-'Asyu>r.
Ibn 'Asyu>r mengadakan perjalanan ke kawasan Mediterania Timur dan Eropa dan ikut berpartisipasi dalam beberapa forum muslim, seperti menjadi utusan dalam forum bahasa arab di Kairo tahun 1956 M dan forum ilmiah arab di Damaskus tahun 1955 M. diantara guru yang mengajar beliau adalah ayahnya sendiri yaitu Shaikh Muhammad bin 'Asyu>r, selain itu Shaikh Ibrahim al-Riya>hi, Shaikh Muhammad bin al-Khaujah, Shaikh 'A<>shu>r al-Sahili, Shaikh Muhammad al-Khad}ar, Shaikh 'Abd al-Qadir al-Tamimi (bidang ilmu al-Nahwu dengan menggunakan kitab Muqadimah al-I'ra>b, ilmu balaghah yang membahas kitab Mukhtas}ar al-Su'ud, ilmu mantiq dengan membahas kitab al-Tahdhib, ilmu Usul al-Fiqh dengan mempelajari kitab al-Hisab 'ala al-Waraqah dan Fiqh Maliki dengan membahas kitab Muyarah 'ala al-Mursyid dan kitab  Kifayah al-T{alib 'ala al-Risa>lah. Shaikh Muhammad Salih Syarif (bidang ilmu Nahwu dalam kitab al-Makwidi 'ala al-Khulas}ah, ilmu Mantiq dalam kitab al-Sulam, ilmu maqas}id dalam kitab Mukhtas}ar al-Su'ud dan fiqh dalam kitab al-Tawhidi 'ala al-Tuh}fah), Shaikh Amru bin 'A<syu>r (bidang ilmu nahwu dalam kitab Ta'liq al-Dima>maini 'ala al-Mughni karya Ibn Hisyam, ilmu balaghah kitab mukhtashar al-Su'ud, fiqh dan ilmu fara'idl), Shaikh Muhammad al-Najr (mempelajari kitab al-Muwaqif, must}alah al-Hadis dalam kitab al-Baiquniyah), Shaikh Muhammad T}ahir Ja'far (bidang usul fiqh dalam kitab al-Sharah al-Mahalli 'ala Jam'i al-Jawami', sirah nabawiyah dalam kitab al-Shihab al-Khafaji 'ala al-Shifa karya Qad}i 'iyad}), Shaikh Muhammad al-'Arabi al-Dur'i (bidang ilmu fiqh dalam kitab Kifa>yah al-T}alib 'ala al-Risa>lah) dan lainya.
Para gurunya telah menyaksikan kecerdasan dan kejeniusannya, serta kemampuannya dalam menguasai berbagi disiplin ilmu yang disampaikan. Selain itu Ibn 'Asyu>r memiliki keistimewaan diantara teman-temannya dengan mempelajari bahasa perancis dengan bantuan guru pribadinya Sayyid Ahmad bin Wannas al-Mahmudi. Adapun diantara murid-murid Ibn 'Asyu>r adalah Shaikh Abd al-Hamid (yang mempelajari tentang sastra, bahasa arab, dan lain-lain), Muhammad al-Fad}il bin 'Asyu>r (yang mempelajari kitab tafsir al-Baid}awi, al-Muwatta' dan lain-lain)[13].
Zaitunah merupakan sebuah tempat dimana Ibn 'Asyu>r mengenyam pendidikan adalah sebuah masjid yang di dalam pelajaran sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafilisasi[14] kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang menganut mazhab hanafi, sangat disayangkan pendidikan di Zaitunah yang akhirnya ditutup tahun 1961 M. Ibn 'Asyu>r dikenal sebagi orang yang memiliki kesabaran dan harga diri yang tinggi, tahan terhadap segala cobaan yang menerapkan serta tidak cinta dunia.
Ibn 'Asyu>r menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi pengajar tingkat kedua bagi mazhab Maliki di Jami' Zaitunah, kemudian pada tahun 1905 beliau diangkat menjadi pengajar tingkat pertama. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di perguruan S}adiqi. Pada tahun 1908 ia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di mesjid Zaitunah, kemudian pada tahun  berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan S}adiqi College[15]. Pada tahun 1913 ia juga diangkat menjadi hakim mazhab Maliki dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di Negara itu pada tahun 1927[16]. Ibn 'Asyu>r adalah seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950 dan anggota Majma' al-Ilmi al-A<rabi di Damaskus pada tahun 1955[17].
Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama Mesir bernama Muhammad al-Khad}ar Husain al-Tunisi. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar bisa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Keduanya sama-sama pernah dijebloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan Negara dan Agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khad}ar diangkat menjadi mufti di Mesir, sedangkan Ibn 'Asyu>r mendapat kepercayaan menjadi Qad}i di Tunis yang kemudian diangkat menjadi mufti di Tunis.

C. Aktivitas dan Perjalanan Karir Ibn 'Asyu>r, serta Karya-karyanya[18]
Ibn 'Asyu>r dalam kehidupannya selalu menggunakan dan mengembangkan potensi yang ia miliki. Potensi itu ia salurkan pada aktivitas yang bermanfaat bagi umat. Ibn 'Asyu>r banyak menduduki posisi-posisi penting seperti di dalam bidang perkantoran dan bidang mahkamah syari'ah. Diantaranya adalah:
1). Guru di Jam' Zaitunah dan Madrasah Sadiqiyah, mulai dari tahun 1900 M hingga tahun 1932 M.
2). Anggota Majelis Idarah al-Jam'iyah al-Khalduniyah tahun 1323 H/ 1905 M.
3). Anggota Lajnah al-Mukhallifah yang mengatur atau mengelola buku-buku dan naskah-naskah di Maktabah al-Sadiqiyah tahun 1905 M.
4). Delegasi Negara dalam penelitian ilmiah tahun 1325 H/ 1907 M
5). Anggota Lajnah Revisi Program Pendidikan tahun 1326 H/ 1908 M.
6). Anggota Majelis Madrasah dan Majelis Idarah al-Madrasah Sadiqiyah 1326 H/ 1909 M.
7). Anggota Majelis Reformasi Pendidikan II di Jami' Zaitunah tahun 1328 H/ 1910 M.
8). Ketua Lajnah Fahrasah di Maktabah al-Sadiqiyah tahun 1910 M
9). Anggota Majelis Tinggi Wakaf tahun 1328 H/ 1911 M.
10). Anggota Majelis Reformasi III tahun 1924 M
11). Anggota Majelis Reformasi IV tahun 1348 H/ 1930 M
12). Anggota Mahkamah al-'Aqqariah tahun 1911 M
13). Hakim Maliki Majelis Syar'i tahun 1913-1923 M
14). Mufti Maliki tahun 1923 M
15). Ketua Mufti tahun  1924 M
16). Ketua ahl al-Syura tahun 1346 H/ 1927 M
17). Syaikh al-Islam Mazhab Maliki tahun 1932 M
18). Syaikh Jami' Zaitunah dan cabang-cabangnya untuk pertama kalinya pada bulan September 1932 M, akan tetapi mengundurkan diri dari kepemimpinan Jami' Zaitunah pada September 1933 M
19). Digelari Syaikh Jami' al-Zaitunah tahun 1945 M
20). Setelah Kemerdekaan Negara, Ibn 'Asyu>r diangkat menjadi Dekan Universitas Zaitunah tahun 1956-1960 M, yang kemudian dianjurkan untuk beristirahat karena sikapnya menolak pemerintah presiden Tunis untuk memberikan fatwa terhadap kampanye menentang kewajiban puasa di bulan ramadhan.
21). Berpartisifasi dalam mendirikan majalah al-Sa'a>datu al-'Uzma tahun 1952 M, majalah pertama di Tunis bersama rekannya al-'Allamah al-Syaikh Muhammad al-Khidlir Husain.
22). Terpilih menjadi anggota dua akademi yaitu akademi bahasa arab di Kairo tahun 1950 M dan akademi ilmu bahasa arab di Damaskus tahun 1955 M.
Bentuk usaha yang dilakukan Ibn 'Asyu>r untuk melestarikan keunggulannya dalam berbagai macam disiplin ilmu adalah melakukan kajian, seperti mengkaji Sharh al-Mut}awwil li Taftazani, kitab Dalail al-I'jaz li Jurjani dalam ilmu balaghah, Sharh al-Mahalli li Jam'i al-Jawami’  li Subki dalam ilmu usul fiqh, Muqaddimah  Ibn Khaldun, diwan al-Hamasah li Abi Tamam, Muwatta' li Imam Malik, Tafsir al-Baid}awi bi Hashiati al-Shihab. Dari ilmu-ilmu inilah yang memotivasi Ibn 'Asyu>r untuk memulai menulis buku, diantara Karya-karya Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r dalam ilmu keislaman seperti[19].
1.    التحرير والتنوير
2.    مقاصد الشريعة الاسلامية
3.    أصول النظام الاجتماعي فى الاسلام
4.    أليس الصبح بقريب
5.    الوقف وأثاره فى الاسلام
6.    كشف المغطى من المعانى والالفاظ الوقعة فى الموطأ
7.    قصة المولد
8.    حوشي على تنقيح لشهاب الدين القرافي فى أصول الفقه
9.    رد على كتاب الاسلام وأصول الحكم تألف على عبد الرازق
10.        فتاوى ورسائل فقهية
11.        التواضيح التصحيح فى أصول الفقه
12.        النظر الفسيح عند مضايق الانظار فى الجامع الصحيح
13.        تعليق وتحقيق على شرح حديث أم زرع
14.        قضايا شرعية واحكام الفقهية وأراء اجتهادية ومسائل علمية
15.        أمال على مختصر خليل
16.        تعاليق على العلول وحاشية السياكوتي
17.        أمال على دالائل الإعجاز
18.        أصول التقديم فى الاسلام
19.        مراجعات تتعلق بكتابى : معجز أحمد واللامع للعزيزى
Karya-karya Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r dalam bahasa arab dan sastra:
1.    أصول الإنشاء والخطابة
2.    موجز البلاغة
3.    شرح قصيدة الاعشى
4.    تحقيق ديوان بشار
5.    الوضوح فى مشكلات المتنبى
6.    شرقات المتنبى
7.    شرح ديوان الحماسة لأبى تمام
8.    تحقيق فوائد العقيان للفتح ابن خاقان مع شرح ابن زكور
9.    ديوان النابغة الذهبى
10.                       تحقيق مقدمة فى النحو لخلف الأحمر
11.                        تراجم لبعض الأعلام
12.                       تحقيق كتاب الاقتضاب للبطليوسى مع شرح كتاب أدب الكاتب
13.                       جمع وشرح ديوان سحيم
14.                       شرح معلقة امرئ القيس
15.                       تحقيق لشرح القرشي على ديوان المتنبى
16.                       غرائب الاستعمال
17.                       تصحيح وتعليق على كتاب النتصار لجالينوس للحكيم ابن زهر
Karya-karya Muhammad Thahir Ibn 'Asyur dalam bentuk majalah ilmiah:
1.    السعادة العظمى
2.    المجلة الزيتونية
3.    هدى الاسلام
4.    نورالاسلام
5.    مصباح الشرق
6.    مجلة المنار
7.    مجلة الهداية الاسلامية
8.    مجلة مجمع اللغة العربية بالقاهره
9.    مجلة المجمع العلمى بدمشق

D. Latarbelakang penyusunan dan penamaan Tafsir Tah}ri>r  wa Tanwi>r Ibn 'Asyu>r
1). Latarbelakang Penyusunan Tafsir Tah}ri>r  wa Tanwi>r
Dalam muqaddimah Tafsir Tah}ri>r wa Tanwi>r  Ibn 'asyu>r menuturkan, suatu angan-angan tersebar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah dengan menafsirkan kitab Allah Swt. Sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw, ia ingin menjelaskan kepada masyarakat apa yang akan membawa mereka kepada kebahagian di dunia dan akhirat, dengan menjelaskan kebenaran, akhlak mulia, kandungan balaghah yang dimiliki al-Quran, ilmu-ilmu syariat, serta pendapat para mufassir terhadap makna ungkapan al-Quran. Cita-cita Ibn 'Asyu>r[20] tersebut sering diungkapkannya kepada sahabat-sahabatnya, sembari meminta pendapat dari mereka. Sehingga sekian lama cita-cita itu menjadi kuat. Dengan demikian Ibn 'Asyu>r menguatkan niatnya untuk menafsirkan al-Quran dan meminta pertolongan dari Allah semoga dalam ijithadnya ini ia terhindar dari kesalahan.
Ibn ‘Asyu>r[21] bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Sebuah tafsir yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat, bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya, melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang lebih detail yang menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran. Beliau melihat beberapa tafsir yang ada kebanyakan hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya, tanpa inovasi yang terkadang menggunakan penjelasan yang pendek atau dengan penjelasan yang panjang.
Ibn 'Asyu>r dalam kitab tafsirnya ini ingin mengungkap pemahaman al-Quran berdasarkan persoalan-persoalan ilmiah yang tidak diungkapkan oleh ulama terdahulu. Namun Ibn 'Asyu>r juga menggaris bawahi bahwa pandangan ini tidak mutlak hanya dimiliki oleh dirinya sendiri, dan tidak menutup kemungkinan ulama-ulama lainnya juga berpandangan yang sama dengannya dan menulis tafsirnya dengan cara yang ia tempuh juga.
Kitab tafsir karangan Ibn 'Asyu>r ini terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi menjadi dua belas jilid, yang diterbitkan  oleh al-Dar al-tunisia li Nasyr[22]. Sebuah kitab tafsir kontemporer yang memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Memiliki tampilan yang berbeda dengan kitab lain secara kasat mata dan memiliki metode penyusunan unik, yang tidak mengkhususkan satu jilid untuk satu juz, melainkan secara acak kadang membuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya.
2). Penamaan Tafsir Tah}ri>r  wa Tanwi>r
Dalam muqaddimah tafsirnya Ibn 'Asyu>r menjelaskan bahwa kitab tafsirnya dinamakan dengan "Tahri>r al-Ma'na al-Sadi>d, wa Tanwi>r al-'Aqlu al-Jadi>d min Tafsi>r al-Kita>b al-Maji>d, yang kemudian diringkas menjadi "al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r min al-Tafsi>r". Dari penamaan kitab tafsirnya ini dapat dilihat bahwa Ibn 'Asyu>r bertujuan; untuk mengungkapkan makna al-Quran dan mengemukakan ide-ide baru terhadap pemahaman al-Quran. Ibn 'Asyu>r menginginkan umat islam menyadari bahwa al-Quran adalah kitab yang agung  kitab yang memiliki keindahan gaya bahas, serta rahasia-rahasia kebahasaan yang dikandung al-Quran.

E. Metode Penulisan
Kitab tafsir al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r ini diawali dengan muqaddimah yang ditulis oleh Ibn 'Asyu>r. Muqaddimah ini berisikan penjelasan dari Ibn 'Asyu>r, tentang motivasi dalam penyusunan kitab tafsirnya, menjelaskan permasalahan apa saja yang akan diungkapkan dalam kitab tafsirnya, termasuk alasan pemberian nama kitab tafsirnya. Gamal al-Banna[23] berkomentar dalam kitab Tafsir al-Quran al-Karim baina al-Quddami wa al-Muhaddithin bahwa keistimewaan tafsir ini (tah}ri>r wa tanwi>r) ada pada muqaddimahnya yang memaparkan kepada pembaca tentang wawasan umum dasar-dasar penafsiran dan bagaimana seseorang penafsir berinteraksi dengan kosa kata, makna, struktur, dan  sistem al-Quran. Muqaddimah ini ditampilkan dengan bahasa yang mudah dipahami, walaupun ada beberapa aspek masih menggunakan gaya bahasa lama. Metode yang digunakan juga adalah metode yang moderat. Seperti yang ditegaskan oleh Gamal al-Banna bahwa bagian terbaik dalam karya tafsir ini adalah muqaddimahnya.
Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi yang menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami seluk beluk gaya bahasa al-Quran secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh sebagian pembukaan, mulai dari penjelasan tentang tafsir dan ta'wil, penjelasan fenomena tafsir bil ma'tsur dan bi ra'yi, asbab al-Nuzul, qiraat, qasas al-Quran, nama al-Quran, ayatnya, tartib surah dan nama-namanya, sampai kepada I'jaz al-Quran. Itupun sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan singkat ini. Untuk mendeskripsikan cakupan bahasan, Ibn 'Asyur mengungkapkan dalam pendahuluan tafsirnya bahwa "saya benar-benar berusaha menampilkan dalam tafsir al-Quran hal-hal langka yang belum dilakukan oleh ulama tafsir sebelumnya, dengan menempatkan diri sebagai penengah perbedaan pendapat ulama yang ada pada satu waktu sepaham dengan salah satunya dan pada waktu lain berbeda pendapat dengan alasan sendiri[24], "Dalam tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap I'jaz al-Quran, nilai-nilai balaghah yang terkandung dalam sebuah kalimat al-Quran serta menjelaskan uslub-uslub penggunaannya"[25].
Muqaddimah pertama berbicara tentang tafsir, ta'wil dan posisi tafsir sebagi ilmu. Menurut Ibn 'Asyu>r tafsir adalah ilmu yang dimiliki oleh seseorang mufasir untuk menjelaskan makna lafaz} al-Quran, dan persoalan-persoalan yang bisa diambil dan makna al-Quran dengan penjabaran yang panjang  atau pendek. Ulama terdahulu menyatakan bahwa tafsir merupakan ilmu islam pertama. Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa tafsir dianggap sebagi ilmu yang mandiri antara lain: penafsirannya dengan menggunakan istinbat} banyak ilmu dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, mengetahui lafaz} yang sesuai dengan penafsiran dan tafsir pada dasarnya harus berisikan penjelasan tentang dasar-dasar pensyariatan dan syariat yang bersifat umum.
Selain itu Ibn 'Asyu>r juga menjelaskan tentang orang yang pertama kali mengkodifikasi tafsir yaitu Abdul Malik bin Juraij (80-149 H). Dikemukan bahwa riwayat Ibn Juraij ini banyak dikutip dari Ibn Abbas seorang mufassir terkemuka dari kalangan sahabat yang sering dijadikan sebagai sandaran dalam riwayat mereka yang berguna untuk memperkuat dan melegitimasi penafsiran mereka.
Muqaddimah kedua berbicara tentang referensi atau alat bantu (istimda>d) ilmu tafsir. Alat bantu yang dimaksud adalah sejumlah perangkat ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Adapun istimda>d ilmu tafsir tersebut adalah bahasa arab sebagai inti bahasa al-Quran, yang terdiri dari ilmu sharaf, ilmu badi', ilmu ma'ani dan ilmu bayan yang merupakan sarana untuk mengungkap sisi ke balaghahan al-Quran, serta ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu usul fiqh, ilmu kalam, ilmu qiraat dan lain-lain. Di sini Ibn 'Asyu>r menunjukkan besarnya peran majaz dalam tafsir. Ibn 'Asyur tetap mengikuti kebiasaan ulama masa lampau yang mengunakan sya'ir-sya’ir arab untuk mengenalkan beberapa kosakata al-Quran.
Ibn 'Asyu>r menggunakan pendekatan salaf yang sangat mementingkan sisi nukilan (al-Atsar) dia tidak menganggap ilmu fiqih dan dasarnya menjadi begitu penting bagi mufassir, karena ilmu fiqih merupakan cabang dari tafsir dan dalam banyak hal sangat tergantung kepada hasil sebuah tafsir.
Muqaddimah ketiga, Ibn 'Asyu>r berbicara tentang keabsahan tafsir tanpa nukilan (bi ghairi al-ma'tsur) dan makna tafsir yang berdasarkan nalar (bi al-Ra'yi). Penggunaan tafsir dengan akal sangat dihindari Ibn 'Asyu>r dalam penulisan tafsirnya, karena hal itu pernah dilarang sendiri oleh Nabi dalam hadisnya, dan model tafsir yang mereka-reka makna al-Quran yang juga sempat dilarang Abu Bakar. Di sini Ibn 'Asyu>r juga memaparkan ungkapan al-Ghazali dan al-Qurtubi yang menyatakan "Tidak benar bahwa semua yang dikatakan para sahabat bersumber dari ungkapan Nabi Saw. Penjelasan yang berasal dari Nabi hanya terjadi pada dua kemungkinan saja yaitu Rasul menerangkan kepada sahabat berbeda pendapat dan mereka menanyakan langsung kepada Rasul dan hal itu direspon oleh Rasul, akan tetapi penjelasan ini juga hanya sedikit".
Selanjutnya, dijelaskan bahwa penyimpulan hukum-hukum syariat dari al-Quran pada tiga abad pertama islam hanya terdapat ayat-ayat yang belum ditafsirkan sebelumnya. Jadi, dalam tafsir mereka belum ada pengkajian ulang terhadap penafsiran yang ada. Ibn 'Asyu>r juga mengambil landasan tafsir dari ungkapan Syarafuddin al-T}ibi dalam ulasannya dalam al-Kashshaf , tepatnya pada surat al-Syu'ara. Al-T}ibi mengatakan bahwa syarat tafsir yang benar ada pada kesesuaian kosa-katanya dengan tradisi pemakaiannya dan terhindarnya kata tersebut dari makna-makna yang ada unsur pemaksaan. Sementara yang tidak sesuai dengan standar itu dapat dikatakan sebagi tafsir yang mereka-reka (bida'u al-Tafsir).
Dalam pandangan Ibn 'Asyu>r yang dimaksud dalam hadis penafsiran yang dilarang itu adalah penafsiran yang hanya bersifat ide tanpa dilandasi argumen bahasa arab yang valid ataupun bersifat kecenderungan mazhab saja. Tidak hanya itu, Ibn 'Asyu>r mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa tafsir hanya menggunakan nukilan-nukilan dari rasul saja. Ibn 'Asyu>r  mempertanyakan yang diriwayatkan  oleh siapa?, Kalau nukilan itu hanya sebatas apa yang pernah disinggung oleh Nabi saja, maka itu akan mempersempit makna dan sumber penafsiran al-Quran, kalaupun sahabat masuk kategori nukilan, tetap saja tidak terlalu memperkaya tafsiran. Hal itu disebabkan kutipan dari para sahabat tidak banyak.
Ibn 'Asyu>r  juga menguraikan beberapa kecenderungan kaum syi'ah ekstrim, seperti syi'ah Islamiyah yang suka menukilkan al-Quran secara serampangan juga dikritik, baginya mereka tidak menafsirkan al-Quran, tetapi mengambil landasan al-Quran untuk menguatkan atau membela tujuan mereka.
Muqaddimah Keempat menjelaskan tentang tujuan dari seorang mufassir, dengan menjelaskan apa saja yang perlu dihadapi oleh seorang mufassir. Ibn 'Asyur  mengungkapkan bahwa Allah Swt. untuk kemaslahatan umat manusia secara umum, baik dalam persoalan yang menyangkut pribadi ataupun yang menyangkut persoalan masyarakat. Oleh karena itu seseorang mufassir harus mengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan, seperti reformasi keyakinan, etika, legislasi hukum dan politik untuk penyelenggaraan umat.
Dalam tah}ri>r wa tanwi>r min tafsi>r Ibn 'Asyu>r menjelaskan tentang tata cara seorang menafsirkan dalam menafsirkan al-Quran, ada tiga cara yang selalu ditempuh mufassir seperti: Pertama, membatasi diri pada hal-hal yang lahiriah saja dari teks, Kedua, berusaha untuk mencari kesimpulan dari teks yang ada  dan Ketiga, bagaimana menerapkan ilmu pengetahuan terhadap pemahaman al-quran. Selain itu juga, Ibn 'Asyu>r  menjelaskan hubungan antara al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Muqaddimah Kelima Ibn 'Asyu>r  membicarakan soal konteks turunnya ayat (asba>b al-Nuzu>l) yang mana ia mengkritik terlalu semangat sebagian mufassir membahas tentang konteks turunnya ayat. Ia mengibaratkan sikap yang berlebihan itu sama dengan mengulur tali kepada orang yang tidak dikenal dan akan berakibat fatal hingga kebanyakan manusia menganggap bahwa setiap ayat yang turun dari al-Quran memiliki sebab turunnya. Al-Wahidi menuturkan pada awal kitabnya mengenai al-Sabab al-Nuzul  bahwa " Sekarang ini setiap orang membuat sendiri tentang alasan diturunkan suatu ayat, membuat kepalsuan dan kebohongan, yang membawa kepada kebodohan tanpa berfikir akan hari yang dijanjikan" dan berkata "tidak dibolehkan berbicara mengenai alasan diturunkannya kitab kecuali dengan periwayatan dan mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya".
Dalam hal ini Ibn 'Asyur  mengungkapkan lima konteks dalam mengetahui al-Sabab al-Nuzul yang diterima sanadnya: Pertama, ayat yang tidak diketahui maksudnya melalui ilmu yang ada maka wajib bagi mufassir untuk mengkajinya. Kedua, seluruh peristiwa atau kejadian yang menyebabkan syariat dan hukum. Ketiga, peristiwa yang memiliki banyak contoh dengan mengkhususkan satu orang. Keempat, satu peristiwa yang terjadi dan di dalam al-Quran terdapat ayat yang sesuai dengan maknanya. Kelima, bagian yang menjelaskan secara umum. Ia menjelaskan bahwa al-Quran adalah petunjuk. Adapun muqaddimah keenam berisikan tentang aneka ragam bacaan (al-qiraat), dan seterusnya hingga penjelasan yang ke sepuluh yang menjelaskan tentang I'jaz al-Quran dalam muqaddimah yang mana posisi penting muqaddimah tafsir Ibn 'Asyu>r ini sama halnya dengan posisi pengantar karya Ibn Khaldun dalam al-muqaddimah.
Dalam tafsir dijelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Tidak terlewatkan satu surat pun dalam al-Quran kecuali Ibn 'Asyu>r berusaha menjelaskan secara lengkap setiap maksud dan tujuan yang terkandung di dalamnya, secara utuh dan tidak sebatas menjelaskan setiap kata dan kalimatnya saja secara parsial, melainkan merangkai kembali makna tiap kata dan kalimat yang telah diurai terpisah menjadi satu tujuan atau maksud yang diusung oleh setiap ayat maupun surah al-Quran. Menjelaskan tentang 'ibrah dari al-Quran yang dapat membangkitkan umat Islam.

F. Contoh penafsiran  Tah}ri>r  wa Tanwi>r min Tafsi>r  Ibn 'Asyu>r
Kita mengetahui bahwa tafsir Ibn 'Asyu>r (Tah}ri>r wa Tanwi>r) yang ditafsirkan oleh Muhammad T>}ahir Ibn 'Asyu>r hanya mencakup satu metodologi yaitu dengan tafsir bi al-Lughah, tafsir bi al-lughah lebih sulit dibandingkan dengan tafsir yang lainnya, seperti Ibn katsir, tafsir Qurtubiy, tafsir al-Furqan atau dengan tafsir bi al-Ma'tsur. Karena tafsir bi al-Ma'tsur menggunakan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits dan al-Quran dengan qaul sahabat atau tabiin.
Walaupun tafsir Ibn 'Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir bi al-lughah maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis dan al-Quran dengan qaul sahabat. Di bawah ini sebagian bukti bahwa tafsir tah}ri>r wa tanwi>r tidak hanya menggunakan bi al-lughah saja.
Contoh : Firman Allah Swt "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Kalimat pada ayat ini mencakup pembahasan tentang اليتامى yang memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, yang mana menyangkut tentang menikahi wanita serta jumlahnya sebagi jawaban dari rasa takut tidak mampu untuk berbuat adil terhadap al-Yatama yang ditutup-tutupi oleh kebanyakan ulama terdahulu yang mana tidak ditampakkan antara yang Sharthi dan Jawabuhu. Diketahui bahwa dalam ayat terdapat ijazan badi'an yang mana lafaz al-Yatama sebagai sharthi dan dihubungkan dengan lafaz al-Nisa' sebagai Jawabuhu. Al Yatama  jamak dari kalimat yatim dan bagian dari al-Yatama pada ayat sebelumnya "واتواليتامااموالهم" dan diketahui menjelaskan perbuatan tidak adil bagi wanita yatim dan diperintahkan menikahi wanita lain sebagai keterkaitan yang telah mustahil.
Seperti yang diriwayatkan dalam sahih al-bukhari " bahwa 'urwah bin Zubair bertanya kepada 'Aisyah tentang ayat ini, 'Aisyah berkata; wahai anak saudariku, ayat itu berbicara tentang seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, dimana hartanya anak perempuan itu telah bercampur dengan harta wali, kemudian wali itu tertarik dengan harta dan kecantikannya dan ingin menikahinya tanpa membayar mahar yang layak seperti yang akan dibayar orang lain kepada anak perempuan itu. Sehingga para wali dilarang menikahi mereka, kecuali bila mereka berlaku adil dan membayar mahar yang layak dan para wali juga diperintahkan untuk menikahi perempuan lain yang baik bagi mereka".
Urwah melanjutkan: 'Aisyah berkata: sesudah turunnya ayat ini, para sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. tentang perempuan yatim yang berada dalam asuhan, lalu Allah menurunkan ayat: "dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran tentang para wanita yatim dan kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka.
Maka pada ayat yang berbunyi "sedangkan kamu ingin mengawini mereka" adalah ketidak senangan seorang wali di antara kamu terhadap perempuan yatim asuhannya yang tidak memiliki harta dan kecantikan, sehingga mereka dilarang menikahi perempuan yatim yang banyak harta dan cantik kecuali berbuat adil dengan membayar mahar serupa walaupun mereka perempuan yatim yang miskin dan tidak cantik. Dalam periwayatan ini 'Aisyah tidak berdasarkan kepada Rasulullah Saw. tetapi dari arah pembicaraannya menandakan izin dari Rasulullah bi tauqif. Oleh karena itulah Bukhari memasukkan hadis tersebut pada bab tafsir surah al-Nisa' sebagai hadis-hadis marfu'. Ayat ini menggambarkan hukum menjaga hak anak yatim terhadap harta yang diwariskan seperti menjaga hak mereka dalam memperoleh mahar, sekaligus sebagai nasehat kepada kaum lelaki bahwa kerabat tidak membuat alasan untuk merendahkan mahar mereka.
Pada ayat yang berbunyi "فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة" ayat ini sebagai batas terakhir hingga empat. Berkata Ikrimah " ayat ini turun pada suku quraisy, bahwasanya ada seorang laki-laki yang menikah hingga sepuluh bahkan lebih, ketika dia merasa sempit, tidak mampu menafkahi istri-istrinya maka dia mengambil harta anak yatim asuhannya dan dinikahinya". Dari gambaran ini menjadi jelas karena menikah tanpa memiliki kemampuan untuk memberi nafkah akan menjadi alasan untuk memakan harta anak yatim. Maka ayat tersebut menjadi dalil atas di syariatkan sad al-Dzarai.
Makna "ما طاب" atau ma hasana dengan dalil pada kalimat "لكم" dipahami bahwa apa-apa yang dihalalkan kepada kamu sekalian, karena yang dimaksud adalah al-Tasyri'. Dengan memilih wanita mana yang terbaik bagi kamu.
Ayat ini bukanlah ketetapan mengenai disyari'atkannya menikah, karena persoalannya berhubungan dengan keadaan takut akan berbuat jahat kepada anak-anak yatim. Secara zahir perintah tersebut hanya untuk petunjuk. Dan bahwasanya menikah syari'at dengan ketetapan mubah menurut aslinya, tidak seperti orang-orang sebelum Islam yang berbuat perbuatan yang tidak diridlai agama dengan menikah lebih dari empat atau lainya.
Adapun dalam pembahasan "مثنى وثلاث ورباع" maknanya bahwa Allah Swt. telah memberikan kebebasan kepada kaum untuk menikah kecuali anak-anak yatim yang maharnya tidak sesuai dan ini menjadi integrasi terhadap hukum lain, selain hukum berbuat adil kepada anak-anak yatim sampai kepada firman Allah  ذلك ادنى ان لاتعولوا pada ayat tersebut merupakan makna pengulangan dari nama jumlah dengan tujuan al-Tauzi' seperti firman Allah  "اولى اجنحة مثنى وثلاث ورباع" bahwa setiap masing-masing janahani, masing-masing tiga, dan masing-masing empat. Disini berbeda dengan pendapat tentang keluasan maknanya, akan tetapi makna tersebut bahwa masing-masing dari kita boleh dua, tiga atau empat. Dan bahwasanya Ghilan bin Salmah masuk Islam dan memiliki sepuluh istri, maka berkata kepada Nabi Saw, jaga yang empat dan ceraikan sisanya".
Sebuah peristiwa yang menabjubkan bahwa dihikayatkan oleh Ibn al-'Arabi dalam kitab al-Ahkam tentang suatu kaum yang bodoh yang menganggap bahwa ayat ini memperoleh laki-laki untuk menikahi Sembilan wanita dengan alas an bahwa dua ditambah tiga di tambah empat sehingga berjumlah Sembilan, dan huruf wawu yang ada untuk penjumlahan, dan sama jumlahnya dengan istri-istri Rasulullah Saw. Dan inilah kebodohan yang sangat tercela menurut Ibn al-'Arabi dan dalam tafsir Qurtubi perkataan ini sinisbahkan kepada rafidlah dan sebagian ahl al-Zahir. Dalam hal ini Ibn al-Farsi mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw wafat dan meninggalakan Sembilan istri yang demikian itu adalah suatu ke khususan bagi Rasulullah Saw, begitu juga menurut Ijma al-Ulama.
Khitab ayat ini ditujukan kepada seluruh umat baik yang merdeka maupun hamba sahaya, walaupun untuk hamba sahaya masih dipertentangkan karena sebagian ulama berpendapat boleh empat dan ada sebagian yang berpendapat hanya boleh dua. Adapun yang membolehkan empat seperti pendapat imam Malik, Abi al-Darda', al-Qasim bin Muhammad, Salim, Mujahid dan lainnya. Sedangkan yang berpendapat bahwa hamba sahaya paling banyak hanya boleh dua adalah pendapat Abi Hanifah, Syafi'I dan disandarkan pada 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin 'auf, Ibn Sirin dan Hasan. Ijma' sahabat mengatakan bahwasanya yang berpendapat kalau hamba sahaya tidak boleh menikah lebih dari dua maka telah berbicara sembarangan.
Ibn ‘Asyur mengatakan dalam tafsir ini bahwa Allah Swt telah mensyariatkan berpoligami untuk melatih agar mampu berbuat adil terhadap maslahat umum, dengannya sebagai wasilah memperbanyak umat dengan memperbanyak anak dan sebagian perjagaan terhadap wanita yang mana mereka lebih banyak dari laki-laki. Hal itu dikarenakan banyaknya anak perempuan yang lahir dibandingkan laki-laki, dan dikarenakan laki-laki lebih sering berperang yang mana dapat menghilangkan generasi laki-laki. Selain itu dikarenakan kebanyakan wanita lebih panjang umurnya dibandingkan laki-laki, dan yang lebih utama dikarenakan syari'ah mengharamkan zina yang mana dapat merusakkan akhlak, nasab, hubungan keluarga, maka islam memberi keluasan dengan berpoligami, terutama bagi laki-laki yang cenderung memiliki istri lebih dan dari sanalah dianjurkan untuk menjauhi perihal Talaq kecuali dalam keadaan yang darurat.

G. Keistimewaan Tafsir Ibn 'Asyur
Adapun keistimewaan tafsir Ibn 'Asyu>r adalah kitab tersebut termasuk tafsir yang kontemporer dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Beliaupun menggunakan pendapat yang paling kuat dalam menyelesaikan suatu penafsiran dan yang paling rajih sehingga apabila dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain beliau mempunyai kelebihan yang mudah diterima di kalangan orang yang memahami dalam tafsir khususnya pada zaman sekarang dengan memperkenalkan berbagai macam ilmu dalam penafsirannya ini. Kelebihan tafsir Ibn ‘Asyu>r dibandingkan dengan tafsir yang lain adalah beliau menggunakan penafsiran yang dilengkapi dengan I'rab dan mantiq dalam beristinbat} penafsirannya.

H. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa tafsir al-Tah}ri>r wa Tanwi>r  adalah tafsir kontemporer yang dikarang oleh Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r ulama dari Tunisia memiliki model penafsiran bi al-‘Ilmi. Yang mana dalam penjelasannya berusaha menghubungkan dengan keilmuan lain yang ada, hal itu dapat dilihat dari muqaddimah tafsir tahrir wa tanwir. dalam penjelasannya Ibn ‘Asyu>r juga lebih banyak menggunakan bahasa sinonim dari bahasa arab serta menggunakan ilmu mantiq. Metode tafsir Ibn 'Asyu>r menggunakan tafsir bi al-lughah serta tafsir al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis, dan al-Quran dengan perkataan sahabat.

Daftar Pustaka

  Al-Banna, Gamal, Tafsir al-Quran al-Karim baina Quddami wa
               Al-Muhaditsin, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamiyah, 2003).
  Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-         Hadis, 2005).
  Al-Hamdi, Muhammad Ibrahim, at-Taqrib li Tafsir al-Tahrir wa Tanwir,   (Dar Ibn Khuzaimah), 2008.
 Al-Hamdi, Muhammad bin Ibrahim, Li Taif minSirah al-'Allamah al-  Syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur Rahimahullah, multaqa ahlu al-Tafsir, www.Tafsir.net/vb/tafsir4142/
  Esposito, Jhon. L., "Zaitunah", Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern,      (bandung: Mizan, 2001).
  Green, Arnold H., The Tunisian Ulama 1873-1915, (Leiden: E. J. Brill, 1978,  249.
 Hijri Converter dalam penanggalan hijriah dan masehi.
 Ibn 'Asyur, Muhammad Thahir, Tahir wa Tanhir, (Turis: al-Dar al-Tunisia       
             li  Nasyr).
                         Ibn 'Asyur, Muhammad al-Tahir, Tafsir al-Tahrir wa Tanwir,    
                                     www.blog.uin-suska.ac.id/Junaiani
Mahmud, Abd al-Halim, Manahij al-Mufassirin, (Kairo: Dar al-Kitab
              al- Misri, 1978).
Mengenal Tafsir al-Tahrir wan Tanwir, www.muh-ali.blogspot.com/search?q=ibn+%27asyur
Nubzah 'an hayat al-syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur wa 'Aqidatuhu wa Manhajuhu fi al-Tafsir, www.islamQA.com
Nuwaihid, Adil, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid
  ats-Tsaqifiyyah, 1986).
Tim Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The
              Encyclopedia of Islam New Edition, (Leiden: tp, 1971).
www.badlah.com/page-171.html  إعداد الدكتور عبدالرحمن حللى، محمد الطاهر ابن عاشور مصلحا وفقيها: سيرته- بعض أثاره وأرائه،                                      
                                      علماء تونس وتاريخهم فضيلة الشيخ محمد بن عاشور

 


[1] Muhammad Husein al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005).
[2] Muhammad Ibrahim al-Hamdi, at-Taqrib li Tafsir al-Tahrir wa Tanwir, (Dar Ibn Khuzaimah, 2008).

[3]  Tim Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The Encyclopedia of Islam New Edition, (Leiden: tp, 1971) Vol. III,  720.

[4] Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi, Li Taif minSirah al-'Allamah al-Syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur Rahimahullah, multaqa ahlu al-Tafsir, www.Tafsir.net/vb/tafsir4142/
[5] LihatHijri Converter dalam penanggalan hijriah dan masehi.
[6] Lihat Nubzah 'an hayat al-syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur wa 'Aqidatuhu wa Manhajuhu fi al-Tafsir, www.islamQA.com

[7] Adil Nuwaihid, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid ats-Tsaqifiyyah), 1986, jilid 2,  54.

[8]  Tim Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The Encyclopedia of Islam New Edition, (Leiden: tp, 1971) Vol. III,  720.

[9] Arnold H. Green, The Tunisian Ulama 1873-1915, (Leiden: E. J. Brill, 1978,  249.
[10] Muhammad al-Tahir Ibn 'Asyur , Tafsir al-Tahrir wa Tanwir, blog.uin-suska.ac.id/ Junaiani.

[11]  Abd al-Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Kairo: Dar al-Kitab al-Misri), 1978,  333.

[12]  Lihat إعداد الدكتور عبدالرحمن حللى، محمد الطاهر ابن عاشور مصلحا وفقيها: سيرته- بعض أثاره وأرائه،   www.badlah.com/page-171.html
[13] Muhammad al-Tahir Ibn 'Asyur , Tafsir al-Tahrir wa Tanwir, www.blog.uin-suska.ac.id/Junaiani
[14] Jhon. L. Esposito, "Zaitunah", Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, (bandung: Mizan), 2001 Jilid 6,  56.
[15] Arnold H. Green, The Tunisian Ulama 1873-1915, (Leiden: E. J. Brill, 1978),  249-250.
[16] Arnold H. Green, The Tunisian Ulama, 250-295
[17] Adil Nuwaidi, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid ats-Tsaqafiyyah), 1986, jilid 2,  542.
[18] إعداد الدكتور عبدالرحمن حللى، محمد الطاهر ابن عاشور مصلحا وفقيها: سيرته- بعض أثاره وأرائه،   

[19]  Lihat علماء تونس وتاريخهم فضيلة الشيخ محمد بن عاشور  www.arabicmeeting.com/ir/tous-les-groupes/viewdiscussion/204..........html?groupid=65
[20] Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, Tahir wa Tanhir, (Turis: al-Dar al-Tunisia li Nasyr), jilid 1,  5.
[21] Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, Tahir wa Tanhir, 7.
[22] mengenal Tafsir al-Tahrir wan Tanwir, www.muh-ali.blogspot.com/search?q=ibn+%27asyur

[23] Gamal al-Banna, Tafsir al-Quran al-Karim baina Quddami wa al-Muhaditsin, Cairo: Dar al-Fikr al-Islamiyah, 2003.
[24]  Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, Tahir wa Tanhir, 7.
[25]  Muhammad Thahir Ibn 'Asyur, Tahir wa Tanhir, 8.

Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud