Sabtu, 08 Desember 2012

FILSAFAT ILMU

FILSAFAT ILMU
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi


A. Pendahuluan
Filsafat ilmu merupakan dua kata yang sangat erat hubungannya, baik secara subtansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logo sentris. Pada mulanya bangsa Yunani dan bangsa lain beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Untuk itu para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat pola fikir yang bergantung pada dewa menjadi pola fikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam seperti gerhana mata hari tidak dianggap lagi sebagai dewa tertidur melainkan mata hari, bulan dan bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.
Perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak sedikit, jika enggan mengatakan besar. Alam yang selama ini ditakuti kemudian ditakutibahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar ditemukannya hukum-hukum alam dan teori ilmiyah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagat raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian jagat raya bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainnya, sedangkan dari penelitian manusia muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, penulis hanya ingin berkata “kiprah filsafat sangat jelas dapat merubah kehidupan manusia dari Yunani samapai kehidupan manusia sekarang”. Secara umum filsafat yunani dan filsafat moderen tidak ada perbedaanya, yang membedakan hanya pada penekanannya (konsentrasinya). Filsafat yunani konsentrasi lebih pada ontologi (hakikat), sementara filsafat moderan lebih konsentrasi pada epistemologi (bagaimana), dan filsafat ilslam lebih pada aksiologi (hakikat nilai).

B.  Definisi Filsafat Ilmu   
Untuk mengetahui definisi filsafat ilmu, akan lebih jelas dan gamlang jika diuraikan satu persatu, yaitu filsafat dan ilmu. Secara sederhana filsafat dapat diartikan berfikir secara mendalam, radikal dan universal, tidak dibatasi oleh agama atau komnitas lainnya. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu berfikir secara mendalam dan menyeluruh dapat dikatakan filsafat. Seorang anak berfikir inti kebenaran yang dapat diterima oleh setiap golongan, atau seorang anak berfikir tentang hakikat meja, kursi dan yang lainnya, dapat juga diartikan filsafat, karena hal itu merupakan kegitan fikir.
Jika filsafat diartikan seperti tersebut yang penulis paparkan di atas. Maka pertanyaanya apa yang dimaksud dengan ilmu? Berbicara ilmu akan lebih jelas jika dibicarakan pengetahuan, karena ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan. Pengetahuan berasal dari kata tahu, sungguhpun seseorang mengetahui sesuatu tidak secara keseluruhan hal tersebut dapat dikatakan pengetahuan, karena sudah mengetahui. Hal ini tentu sangatlah berbeda dengan ilmu, karena ilmu merupakan gabungan dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara rasional dan sistimatis dari mulai A sampai Z. Seseorang yang mengetahu apa itu meja, bagaimana cara membuatnya, dan untuk apa kegunaanya, maka orang tersebut sudah dapat pendapatkan ilmu, bukan hanya sekedar pengetahuan meja. Dari beberapa definisi filsafat dan ilmu, penulis dapat berkata, filsafat ilmu adala kajian ilmusecara mendalam, rasional dan sistimatis.
Berbicara filsafat, baik filsafat barat, filsafat timur, filsafat umum, filsafat ilmu, filsafat islam, dan filsafat pendidikan semuanya berbicara tidak jauh dari tiga hal; pertama ontologi (hakikat), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (nilai). Untuk itu pada bahasan filsafat ilmu ini penulis akan mengangkat tiga hal tersebut, dengan bahasan yang mudah dicerna oleh semua lapisan masyarakat.

C. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Filsafat yang menekankan pada ontologi adalah filsafat Yunani yang merupakan filsafat yang paling tua. Tokoh-tokoh filsafat yang lahir pada masa Yunani pasti selalu berbicara ontolgi, yakni mengkaji hakikat keberadaan sesuatu. Thales misalnya, seorang tokoh filsafat Yunani yang merenungkan apa hakikat air, yang berakhir dengan anggapan bahwa air merupakan inti dari segala sesuatu.
Dalam proses ontologi orang menghadapi persoalan bagaimana kita dapat menerangkan hakikat dari segala yang ada, baik berupa materi (dhahir), maupun berupa rohani (kejiwaan). Objek ontologi lebih luas, yaitu menyangkut segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah keadaan inti dari segala sesuatu, dan ini merupakan realitas. Hakikat dapat dikatakan pula keadaan sebenarnya bukan keadaan sementara, yang sifatnya berubah-ubah.
Ahmad Tafsir dalam salah satu karyanya, yaitu Filsafat Umum menjelaskan tentang hakikat demokrasi dan fatamorgana. Menurutnya, demokrasi adalah menghargai pendapat rakyat, sekalipun dalam kenyataanya pemerintah terkadang melakukan tindakan yang nampaknya sewenang-wenang, itu hanya keadaan sementara bukan keadaan hakiki, yang hakiki keadaan pemerintah justru sebaliknya yaitu demokrasi. Begitu juga dengan fatamorgana yang nampak kelihatan oleh mata padahal sebenarnya tidak ada, itu bukanlah hakikat atau keadaan yang sebenarnya.
Ontologi dalam filsafat ilmu sebagai dasar untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosopy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi juga dapat dikatakan teori tentang keberadaan sebagai keberadaan.

D. Epistemologi
    Epistemolog merupakan teori tentang “bagaimana” mendapatkan ilmu atau pengetahuan. Epistemologi juga dapat dikatakan metode untuk mendapatkan ilmu atau pengetahuan. Dari sini lahirlah berbagai teori tentang cara mendapatkan pengetahuan. Amsal Bakhtiar misalnya, seorang dosen filsafat Islam di Universitas Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dalam salah satu karyanya yaitu “Filsafat Ilmu” menjelaskan tentang cara manusia mendapatkan pengetahuan, penjelasan ini sejalan dengan komentar yang diutarakan oleh Jujun Suriasumantri pada sebuah bukunya, yaitu “Filsafat Ilmu”. Menurutnya cara manusia mendapatkan pengetahuan terdiri dari; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontenplatif, metode dialektis.  
Metode induktif adalah sebuah metode yang menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pertanyaan yang lebih umum. Yang menggunakan metode ini biasanya digunakan oleh ilmu empiris. Misalnya, seseorang yang mengatakan bahwa setiap besi jika dipanaskan akan memuai, hal ini tidak perlu dilakukan memanaskan setiap besi yang ada di bumi ini, melainkan hanya memanaskan sebuah paku, karena semua besi baik paku atau yang lainnya memiliki sifat yang sama.
Metode deduktif adalah sebuah metode yang menyimpulkan sesuatu yang kecil berangkat dari sesuatu yang besar. Hal-hal yang harus ada pada metode ini ialah perbandingan logis antara kesimpulan itu sendiri. Contoh setiap monyet binatang, tidak semua bintang monyet, kesimpulannya monyet merupakan bagian dari binatang, sebab banyak binatang selain moyet.
Metode positivisme, sebuah metode yang dikeluarkan oleh August Comte (17998-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyimpulkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta, oleh karena itu ia menolak metafisika. Ahmad Tafsir dalam bukunya, yaitu “Filsafat Umum” mengatakan, bahwa metode ini tidak hanya mengandalkan panca indera, karena itu pengetahuan yang didapat dari panca indera harus dipertajam dengan ukuran-ukuran (eksperimen). Misalnya panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan kiloan, dan sebagainnya. Dengan demikian metode bukan berdiri sendiri melainkan gabungan dari empirisme dan rasionalisme.
Metode kontenplatif, sebuah metode yang mengatakan bahwa indera terbatas dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda. Ringkasnya metode ini berawal ketidak percayaan terhadap panca indera. Meruntnya panca indera tidak selamnya berkata benar. Mislanya gunung yang terlihat dari kejauhan warnyanya biru, padahal dalam kenyataanya tidak seperti itu. Begitu juga dengan lidah yang dapat merasakan gula manis, akan berubah pahit tatkala manusia sakit.
Metode seperti ini dapat dikatakan dalam mendaptkan kebenaran mengandalkan intuisi, dan metode ini populer di dunia sufi, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Ulama ini dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki dengan cara kontenplatif (riadhah).
Metode dialektis, pada awalnya dikatakan metode tanya jawab untuk mendapatkan kejernihan filsafat. Metode ini juga pernah diutarakan oleh Socrates. Namun belakang dikomentari oleh Plato bahwa metode ini merupakan diskusi logika. Metode dialtis pada tahapan logika melahirkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

E.  Aksiologi                   
Aksiologi merupakan teori tentang nilai, sehingga pertanyaan yang dapatdiajukan “untuk apa”. Setelah manusia mengetahui apa, dan bangai mana lantas untuk apa. Pada filsafat islam teori ini yang lebih dikedepankan.
Dengan ilmu manusia mendapatkan berbagai kemudahan, pertanyaan untuk apa ilmu itu didapat, atau untuk apa kemudahan itu digunakan. Di sinilah ilmu harus diletakan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Jika tidak tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi bencana dan malapetaka.









Daftar Pustaka


Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Suriasumantri S, Jujun, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pa. Permisi, saya sedot

Ceramah Maulud