TAFSIR ALMANÂR KARYA SYEKH MUHAMMAD
ABDUH
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir al Manâr merupakan salah satu
kitab tafsir populer dikalangan peminat studi alQur’ân, majalah al Manâr, yang
memuat tafsir ini secara berkala pada awal abad ke XX tesebar luas ke seluruh
penjuru dunia Islam, dan mempunyai peranan yang tidak kecil dalam pencerahan
pemikiran serta penyuluhan agama. Itu
semua tidak terlepas dari pengaruh Syekh Muhammad Abduh, lebih-lebih
sang murid Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ pemimpin dan pemilik majalah tersebut
serta penulis tasir al Manâr, yang
pemikiran keagamaanya sangat terkenal di Indonesia.[1]
Tafsir al Manâr yang bernamaTafsîr
al Qur’ân al Hakîm memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir
satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahîh dan pandangan
akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’ah serta sunnatullâh (hukum
Allah SWT tertentu) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al Qur’ân sebagai
petunjuk untuk seluruh manusia disetiap
waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum
muslimin dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari
petunjuk itu serta (membandingkan pula) dengan keadaan para salaf
(leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi
yang mudah sambil berusaha menghidari istilah-istilah ilmu dan tekhnis sehingga
dapat di mengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang
khusus (cendekiawan). itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al Ustâz al
Imâm Syekh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al Azhâr.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Syekh Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849 M, ayahnya berasal dari
desa Mahallat Nashr di daerah al Bahîrah, sedangkan ibunya berasal dari
daerah desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari
keluarga Usman, dari Bani ‘Adi salah satu suku Arab terkemuka. [3]
Pedidikan
Muhammad Abduh dimulai dengan belajar menulis dan membaca dirumah. Ia menghafal
al Qur’ân dalam masa dua tahun, dibawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab
suci. pada tahun 1279 H/1863 M beliau dikirim orangtuanya ke Thanta untuk meluruskan bacaanya (belajar tajwid) di masjid
Ahmaîi.setelah berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan di masjid itu.
Karena
metode pengajaran (tharîqat al Ta’lîm) yang tidak tepat, setelah satu
setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut
pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan
kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu (ilmu gramatika
bahasa Arab) atau fiqh yang tidak dimengerti artinya.mereka seakan tidak peduli
apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-istilah itu. Karena
tidak puas, ia meninggalkan Thanta dan kembali ke Mahallat Nashr dengan niat
tidak akan kembali belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.
Dalam
usia 20 tahun, yakni pada tahun 1282H/1866 M, ia kawin dengan modal niat mau
menggarap ladang pertanian seperi ayahnya. Tetapi empat puluh hari setelah
perkawinannya, Ia dipaksa orangtuanya kembali lagi ke Thanta. Dalam perjalanan
ke Thanta itu, karena panas matahari sangat menyengat, ia lari ke Kanish Urin,
tempat tinggal kaum kerabat ayahnya salah satu dari mereka adalah Syekh Darwisy
khadr seorang alim yang banyak mengadakan pejalanan ke luar Mesir, belajar
berbagai macam ilmu agama Islam. Ia pernah belajar ilmu tharîqat kepada
Sayyid Muhammad al Madinîy. Ia juga mempunyai perhatian besar pada
bidang tafsir al Qur’ân, dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al
Muwattha’ dan kitab-kitab hadis lainnya.[4]
Maka
pada bulan Syawal 1282 H, bertepatan dengan bulan Februari 1866 M, Muhammad
Abduh pergi ke al Azhâr. Keadaan al Azhâr ketika Muhammad Abduh menjadi
mahasiswa masih dalam kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin,
al Azhâr menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran.
Membaca buku-buku geografi, ilmu alam, atau fisafat adalah haram. Memakai
sepatu adalah bid’ah.
Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari imu
filsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal
dunia dan politik dari seorang intelektual yang bernama Syekh Hasan
Tawîl. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawîl tampaknya kurang
memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di al Azhâr juga kurang
menarik.Ia lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan
al Azhâr. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik dan
filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin alAfghani yang datang ke Mesir pada akhir
tahun 1286H/1870 M. bersama-sama dengan teman-temannya, Muhammad Abduh belajar
dan berdiskusi dengan tokoh pemimpin pembaruan itu. Sebagaimana dijelaskan
Muhammad Abduh sendiri, mereka mendapatkan tantangan keras dari para ulama dan
sebagian mahasiswa al Azhâr.karena mempelajari ilmu kalam dan filsafat menurut
persepsi mereka yang tersebut akhir ini, dapat menggoncangkan iman.
B.
Fokus
Pemikiran Muhammad Abduh
Ada
dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana
diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:
1. Membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggu taqlîd
yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al
ummah (ulama sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni
memahami langsung dari sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
2. Memerbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di
media massa, penerjemahan atau korespondensi.[5]
Namun
para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad
Abduh menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian
banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan tersebut
antara lain :
a. Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni
b. Mengembangkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan
penafsirannya dengan kehidupan masa kini).[6]
Pengamat
lain menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh tersebut pada
hakikatnya bertujuan untuk memperkokoh segi-segi mental spiritual kaum muslimin
dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiranmereka pada saat-saat
perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.
Namun
apapun tujuannya Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh apa yang datang
dari dunia Barat. Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlîd
yang lama kepada taqlîd yang baru, juga karena hal tersebut tidak dapat
dipertemukan karena adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial
masyarakat masing-masing daerah Islam. Menurut
Abduh hanya mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban Barat
serta membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian
peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam
sesaat setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[7]
C.
Pandangan
Muhammad Abduh mengenai Tafsir dan Penafsiran
Muhammad
Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidaklain
kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada
akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al Qur’an.Sebagian dari kitab-kitab
tafsir tersebut gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian
kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’râb
dan penjelasan lain menyangkut tekhnis-tekhnis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat al Qur’ân.Oleh karena itu, kitab tafsir tersebut cenderung menjadi
semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang
sesunguhnya.[8]
Menurut
Abduh Allah tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal-hal tersebut,
masyarakatpun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah
petunjuk-petunjuk yang mengantarkan mereka kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam
bidang penafsiran Muhammad Abduh menggaris bawahi bahwa dialog al Qurân dengan
masyarakat ummiyyin (awam/tidak tahu tulis baca)bukan berarti
ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk
setiap masa dan generasi. karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai
atau bodoh untuk memahami ayat-ayat al Qurân sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Jalan
pemikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut
pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat al Qur’ân, yaitu peranan akal
dan peranan kondisi sosial.
1.
Peranan akal
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa metode al Qurân dalam memaparkan ajaran-ajaran agama
berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al Qurân
tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi
memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan
menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan
mereka. Menurut Abduh, ada masalah agama
yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana
diakuinya bahwa ada jaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun
tidak bertentangan dengan akal.
Dengan
demikian, walaupun wahyu dapat dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap
mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Muhammad
SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa persoalan
ibadah.
2.
Peranan kondisi
social
Ajaran
agama, menurut Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan
umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak
dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan
perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.
Dari
sini, Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat
mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan
perbedaan kondisi sosial. Hal ini menurut Abduh mengakibatkan kesukaran bagi
masyarakat bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.
Kaum
muslimin telah menanggalkan agama mereka karena perhatian selama ini hanya
tetuju kepada redaksi ayat-ayat tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu
sendiri. Kata Abduh, itulah sebabnya
mengapa dia mengusulkan kepada para ulama agar mereka menghimpun diri dalam
wadah satu organisasi, yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal
keagamaan dan mencari illat (motif) dari suatu ketetapan, sehingga suatu
hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu, hedaklah kondisi
tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat
berubah.Dalam memahami ayat-ayat al Qurân, terlebih yang menyangkut ayat-ayat
hukum, landasan ini tidak pernah diabaikannya.
Melalui
kedua hal tersebut, Abduh berusaha untuk tujuannya, yakni menjadikan hakikat
ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta menghubungkan ajaran
tersebut dengan kehidupan masa kini.
D.
Karakteristik
penafsiran Muhammad Abduh
Dalam
menafsirkan al Qurân, Muhammad Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas)
bagi pembaruan masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala bentuk
bid’ah dan kurafat, menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari
metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih (kaum
salaf yang shaleh). [9]
Menurut
‘Abd al Salam perbedaan tersebut terutama dapat dilihat dari sisi latar
belakang kultural dan intelektual yang berbeda dari masing-masing.Kaum salaf
menafsirkan al Qurân justru ketika mereka menjadikan al Qur’ân sebagai pedoman
hidup (al dustur) mereka sedemikian rupa, sehingga al Qur’ân bagi mereka
adalah tujuan (ghayâh). Sedangkan Muhammad Abduh menafsirkan alQur’ân
justru pada waktu umat Islam tidak secara serius lagi berhukum dengan
hukum-hukum al Qur’ân. Dan tafsir bagi Muhammad Abduh menurut ‘Abd al Salam
merupakan alat untuk upaya perbaikan masyarakat Islam dan bukan sebagai tujuan.[10]
Muhammad
Abduh dalam memahami nash-nash agama, disebut-sebut sebagai pengikut
kaum salaf sebelum timbulnya perselisihan ulama. Akan tetapi kesalafan Muhammad
Abduh kelihatan tidak muthlak seratus persen atau sepenuhnya, melainkan
terbatas pada hal-hal tertentu saja, artinya kalaupun ia tidak mentakwilkan nash-nash
agama, maka hal itu terbatas pada nash-nash yang berhubungan dengan
Tuhan, sifat-sifatnya dan alam metafisika. Bahkan menurut penilaian Sulaiman
Dunya, dengan menerapkan metode kaum salaf pada satu atau dua masalah,
seseorang belum dapat dikatakan sebagai pengikut salaf.terhadap nash-nash
agama yang berhubungan dengan kemasyarakatan (muâmalah) dan kealaman (kauniyat)
yang pada umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasar dan global, Muhammad Abduh
tidak saja menakwilkan tetapi juga melakukan perenungan mendalam dan
sungguh-sungguh.
Dalam
penafsiran al Qur’ân Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori
pengembangan tafsir yang bercorak al Adabîy al Ijtimâ’iy, atau tafsir
yang berorientasi pada satra, budaya, dan kemasyarakatan.[11]
M. Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud dengan tafsir bercorak al adabîy
alijtimâ’iy adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al
Qur’ân pada segi ketelitian redaksi al Qur’ân, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan
dari diturunkannya al Qur’ân, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu
menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[12]
Dengan
demikian, corak tafsir Muhammad Abduh mengandung ciri-ciri utama sebagai
berikut:
1.
Penonjolan
ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’ân
2.
Penguraian
makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati
3.
Adanya upaya
untuk menghubungkan ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat.[13]
Dalam
menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’ân, Muhammad Abduh antara lain
berpendapat bahwa masing-masing kalimat dalam al Qur’ân tersusun secara serasi
dan harmonis.tidak ada satu kalimatpun dalam al Qur’ân yang didahulukan atau diterakhirkan untuk tujuan fasilah
seperti yang terjadi dalam sajak dan syair. Adanya fasilah dalam syair
adalah karena keterpaksaan dengan maksud demi pengaturan sajak dan qafiyah.
Sedangkan al Qur’ân,menurut Muhammad
Abduh bukanlah kitab syair. Ia adalah kitab yang bersumber dari Tuhan
yang maha kuasa atas segala sesuatu, Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada
tempat yang serasi. Maka tidak ada kata dalam kitab suci alQur’ân yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.
Penafsiran alQur’ân dengan rumusan
redaksi yang indah dan menarik merupakan ciri khas dari tafsir al adabîy al ijtimâ’iy.
Pengungkapan tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik menurut Muhammad
Abduh tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun untuk giat beramal
serta melaksanakan petunjuk al Qur’ân agar maksud al Qur’an sebgai petunjuk dan
rahmat dapat tercapai dengan baik. Sedangkan upaya Muhammad Abduh menghubungkan
ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dimaksudkan
agar tafsir dapat diterima masyarakat dengan mudah, mengingat adanya
keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al Qur’ân dengan
kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka. Dengan kata
lain, masyarakat akan lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam
al Qur’ân apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya dengan
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Tafsir
alQur’ân dengan pendekatan serupa pada zaman sekarang disebut dengan tafsir
kontekstual.
Oleh karena itu, tidak berlebihan
apabila metode tafsir Muhammad Abduh disebut sebagai metode tafsir modern yang
dibandingkan dengan metode tafsir Analisis (tahlîli)
lainnya. Hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa metode Muhammad Abduh
dalam menafsirkan al Qur’ân disandarkan pada sejumlah dasar
pokok, yaitu:
1. Setiap surat dalam al Qur’ân
merupakan satu kesatuan ayat terpadu
2. Kandungan ajaran al Qur’ân berlaku umum
untuk sepanjang zaman
3. al Qur’ân merupakan sumber
pertama (al masdar al awwal) dan utama bagi syari’ah
4. Perlunya memerangi sikap taqlid umat Islam
5. Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al
nazhar) dan penggunaan metode ilmiah (al manhaj al Ilmi)
6. Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al
Qur’ân
7. Tidak menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan yang
disinggung alQur’ân dengan mubham
8. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsîr
bi al ma’tsur terdahulu dan dengan apa yang disebut
berita isra’iliyyat
9. Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang
mengacu kepada petunjuk-petunjuk kitab suci al Qur’ân
Dari
kesembilan dasar pokok tersebut, dasar-dasar pokok yang paling relevan dengan
upaya Muhammad Abduh dalam menafsirkan alQur’ân
secara rasional adalah dasar penggunaan metode ilmiah dan dasar kebebasan
pendayagunaan akal dalam memahami ayat-ayat al Qur’ân.
Kedua dasar inilah kelihatannya yang menonjol dipegang Muhammad abduh, karena
ia pada dasarnya sangat menghargai potensi akal manusia dalam kerangka
beragama, khususnya dalam upaya memahami petunjuk-petunjuk al Qur’ân
dan takwil.
E.
Sumber-
sumber penafsiran Al Manar
Ragam
paradigma kajian memiliki implikasi terhadap pemilihan pendekatan (aproach)
yang relevan. Fungsinalisasi alQur’ân sebagai
sumber petunjuk hidayah yang menjadi tujuan penafsiran al Manâr
menurut Muhammad Abduh tidak mudah dicapai tanpa pendekatan yang tepat dan
disertai sumber-sumber yang memadai.Model pendekatan demikian meniscayakan
seorang penafsir membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan.
Ada dua sumber pengetahuan yang digunakan dalam penulisan al Manâr,
yaitu:
1.
Pengetahuan
Kebahasaan
Keilmuan
bahasa terdiri dari dua kajian, yaitu kajian semantik dan kajian sastera (asâlib).
Kajian semantik bertujuan untuk mengetahui arti kata-kata yang berlaku
dikalangan Arab. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian secara intensif dan tidak
cukup hanya percaya kepada kata orang. Kajian ini diperlukan mengingat banyak
kata-kata al Qur’ân yang pada masa pewahyuan
digunakan dengan banyak arti tertentu, ternyata pada perkembangan berikutnya
digunakan untuk makna lain. Cara terbaik dalam memaknai ayat adalah dengan
menafsirkan ayat itu sesuai dengan arti kata pada masa pawahyuannya, atau lebih
baik lagi dengan menafsirkan ayat atas dasar penggunaan kata-kata itu sendiri
dalam al Qur’ân yang berserakan diberbagai ayat-ayatnya.
Sedangkan
kajian sastera diarahkan untuk mengetahui gaya bahasa al Qur’ân
yang tinggi dalam rangka menemukan maksud Allah. Meski makna yang hakiki
mungkin tidak tercapai namun melaluikajian ini fungsi hidayah al Qur’ân
akan bisa dipahami.
2.
Keilmuan
Sosio-Historis
Pendekatan ini terdiri
dari tiga kajian, yaitu:
a.
Kajian tentang
kehidupan manusia sepanjang sejarah
b.
Kajian tentang
latar belakang mengapa manusia diberi petunjuk
c.
Kajian tentang
Nabi dan sejarahnya
F.
Corak
penafsian Muhammad Abduh
Ada
bermacam-macam metode dan corak penafsiran al Qur’ân.
Dr. Abd al Hay alFarmawi membagi metode-metode yang yang dikenal selama ini
menjadi empat, yaitu:
1.
Analisis
2.
Komparatif
3.
Global
4.
Tematik
Metode
analisis diatas bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak al adabîy
al ijtima’I (budaya kemasyarakatan).[14]
Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’ân
pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalamsuatu
redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjukal Qur’ân
bagi kehiduan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum
yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan
istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat
dibutuhkan. Tokoh utama corak ini bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya
adalah Syekh Muhammad Abduh.
G.
Penulisan
Tafsir al Manâr
Beberapa
pengamat tafsir al Manâr menyebutkan, bahwa pada hakikatnya peletak dasar
bangunan al Manâr terdiri dari tiga tokoh pembaruan dalam Islam, yaitu: Jamal al Dîn al Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha, meski mereka sepakat bahwa penulis karya tafsir itu
adalah yang disebut terakhir.[15]
Ketertarikan
Rasyid Ridha terhadap artikel-artikel al Urwah al Wusqa yang pernah
diterbitkan oleh al Afghani dan Muhammad Abduh ketika keduanya bermukim di
Prancis menumbuhkan obsesinya bisa berguru kepada keduanya. Rasyid Ridha
tertarik kepada artikel-artikel majalah itu, khususnya tentang analisisnya yang
selalu rasional, antara lain :
1.
Penjelasan
tentang hukum-hukum Allah yang berlaku dalam alam dan masyarakat manusia dan
sebab-sebab kemajuan dan keruntuhan bangsa-bangsa
2.
Penjelasan
bahwa Islam adalah agama yang mengatur berbagai dimensi, spiritual,
sosial,sipil dan militer
3.
Kaum muslim
diikat menjadi satu oleh agama bukan oleh etnis, bahasa atau pemerintahan.
Setelah datang ke Mesir dan bergabung dengan Muhammad Abduh hal pertama yang
diusulkan untuk dilakukan Abduh adalah menafsirkan alQur’ân yang dijiwai oleh
semangat artikel-artikel al Urwah al Wusqa.[16]
Usulan
penafsiran al Qur’ân yang disampaikan oleh Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh
sampi tiga kali, pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tahun 1315 H. usulan
ini senantiasa ditolak, meski Muhammad Abduh sendiri menyadari oentingnya
penulisan tafsir al Qur’ân. Dia enggan menulis tentang tafsir berdasarkan dua
alasan yaitu:
1.
Tulisan dalam
bentuk buku-buku tidak bermanfaat bagi orang yang berhati buta
2.
Ceramah lebih
efektif daripada tulisan
Menurut
Muhammad Abduh pembaca hanya mampu menyerap dua puluh persen (20%) isi tulisan,
sedangkan pendengar ceramah bisa menyerap delapan puluh persen (80%) isi
ceramah. Akan tetapi Muhammad Abduh pernah mendapatkan pengalaman tidak enak
ketika memberikan ceramah tafsir, yang diikuti oleh mahasiswa al Azhâr dan al
Amiriyyah, menurut pengamatannya, para peserta pada umumnya enggan mencatat
hal-hal pentingdari isi ceramahnya.kesan baik justeru ia peroleh dari dua
mahasiswa Kristen koptik yang aktif mencatat kuliah-kuliahnya dan senantiasa
mengkofirmasikan catatan-catatannya kepada Muhammad Abduh. Dia pernah
menyampaikan ceramah tafsir surat al ‘Ashr selama seminggu berturut-turut (satu
setengah sampaidua jam sehari). Sambil mengamati pendengarnya, Muhammad Abduh
hanya melihat satu orang yang mau mencatat, yaitu Abd al Aziz.
Dengan
desakan-desakan yang disertai dengan argumentasi-argumentasi yang disampaikan
kepadanya, Rasyid Ridha akhirnya berhasil meyakinkan Muhammad Abduh sehinga
bersedia mengajar tafsir dalam bentuk ceramah dengan mengambil tempat di
komplek al Azhar. selama kurang lebih enam tahun, Muhammad abduh berhasil
menafsirkan al Qur’ân sebanyak lima juz (mulai dari surat al Fâtihah sampai
dengan surat al Nisâ ayat 129 selama kira-kira enam tahun (mulai dari awal
Muharram sampai pertengahan Muharram 1323 H.
Dalam
menyampaikan kuliahnya Muhammad Abduh berpegang kepada teks tafsîr al Jalâlain[17]
yang dianggapnya sebagai karya karya tafsir yang paling ringkas. berbeda dengan
para penafsir sebelumnya, Muhammad Abduh justeru menjelaskan secara singkat
hal-hal yang telah dijelaskan oleh para penafsir sebelumnya secara luas,
misalnya penjelasan tentang kata-kata, I’râb, balâghah, dan
riwayat yang tidak diperlukan. Sebaliknya dia justeru memperluas keterangan
pada bagian yang terabaikan dalam tafsir-tafsir sebelumnya, sambil melakukan
kritik seperlunya. Dalam penafsirannya Muhammad Abduh mengandalkan inspirasi
yang diperolehnya dari Allah SWT. Atas desakan dari berbagai pihak, khususnya
para pembaca majalah alManar, materi-materi penting yang dicatat oleh Rasyid
Ridha selama mengikuti kuliah tafsir di al Azhar itu diterbitkan dalam majalah
tersebut sejak awal Muharram 1318 H (setahun setelah kuliah berlangsung) pada
volume ketiga.
Ketika
meninggal Muhammad Abduh dalam kuliahnya baru menafsirkan sampai dengan al Nisâ
ayat 125 atau hampir lima juz pertama dari al Qur’ân. Selanjutnya Rasyid Ridha
melanjutkan sampai dengan surat Yusuf ayat 101, sebelum dia meninggal dunia.
Namun tafsir al Manâr yang diterbitkan dalam bentuk buku seperti yang dilihat sekarang hanya memuat
penafsiran Rasyid Ridha sampai dengan ayat 52 surat Yusuf, yaitu ayat terakhir
juz 12. Dalam bentuk buku karya, tafsir ini diterbitkan dengan
tambahan-tambahan dari apa yang telah diterbitkan dalam bentuk sebuah artikel
pada majalah al Manâr. Uraian tambahan itu ditunjukkan dengan kata-kata Rasyid
Ridha: “sekarang saya tambahkan”, “sekarang saya katakan” atau “saya
berkata”.
H.
Pendapat
Ulama
Meski
tulisan Muhammad Husein al Zahabi tidak fokus kepada tafsir al Manâr saja,
namun pembahasannya tentang al Manâr cukup resfentatif dan sering menjadi
rujukan dalam studi-studi tafsir al Qur’ân. Dalam karyanya yang berjudul al
Tafsîr wa al Mufassirûn[18],
al Zahabi menyatakan bahwa Abduh dengan metodenya telah melahirkan aliran atau
corak baru dalam sejarah penafsiran al Qur’ân. aliran baru yang diciptakannya
itu menurutnya adalah al adâbiy al ijtima’iy yang diberi pengertian
sebagai mengkaji al Qur’ân dengan pertama-tama berusahauntuk menunjukkan
kecermatan ungkapan bahasanya, dilanjutkan dengan merajut makna-makna yang
dimaksunya dengan cara menarik, kemudian di usahakan eksplorasi penerapan nash
kitab suci dalam kenyataanya sesuai dengan hukum-hukum yangberlaku dalam
kehidupan masyrakat dan untuk membangun peradaban.
al
Zahabi menilai bahwa aliran yang diprakarsai oleh Abduh disamping memiliki
kebaikan-kebaikan juga mempunyai cacat. Kebaikan-kebaikan yang dengan terus
terang ditunjukkannya adalah:
1.
Tidak
terpengaruh oleh mazhab
2.
Bersikap kritis
terhadap riwayat-riwayat israiliiyat
3.
Tidak tertipu
oleh hadis-hadis dha’if dan maudhu’
4.
Menjauhkan
tafsir dari istilah tekhnis keilmuan (bahasa Arab)
Disamping
itu dia menyebutkan kebaikan lain yang dimiliki aliran ini, yaitu metode
semantik sosial yang digunakannya.melaui metode ini Muhammad Abduh dengan
alirannya berusaha untuk:
1.
Mengungkapkan
keindahan bahasa dan kemukjizatan al Qur’ân
2.
Menjelaskan
makna dan maksud-maksudnya
3.
Menunjukkan
hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan masyarakat manusia
4.
Menawarkan
solusibagi problem-problem yang dihadapi kaummuslim pada khususnya dan
bangsa-bagsa di seluruh dunia pada umumnya
5.
Mempertemukan
kebaikan dunia dan akhirat
6.
Memadukan al
Qur’ân dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang valid
sedangkan
kejelekannya menurut al Zahabi adalah sikapnya memberikan kebebasan yang besar
terhadap akal.
I.
Tafsir
al Manâr tentang ayat-ayat poligami
Secara
umum, terdapat masalah-masalah yang tidak kalah penting terkait seputar metode
penafsiran atas nash al Qur’ân yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada
umumnya, yaitu masalah poligami.[19] al
Qur’ân secara jelas membolehkan untuk melakukan poligami dan al Qur’ân telah
menetapkan hukum dengan membatasi hanya sampai empat isteri.
Frman
Allah dalam surat al Nisâ ayat 3:
وَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتُقْسِطُوافِيالْيَتَامَىفَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِمَثْنَىوَثُلَاثَوَرُبَاعَفَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْذَلِكَأَدْنَىأَلَّاتَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang sajaatau
budak yang kamu miliki
Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang
perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab
mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari
ketidakadilan dalam mengelola harta si anak yatim, satu solusi yang dianjurkan
untuk mencegah salah kelola adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi al
Qur’ân membatasi jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung
jawab ekonomi untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan
yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami
jarang membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang adil terhadap anak
yatim.
Muhammad Abduh juga menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan
dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al Nisâ’: 127 yang artinya: “Dan kamu mempunyai keinginan untuk
menikahi mereka (anak-anak yatim itu)” maksudnya adanya perasaan di hati untuk
menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk menikah kecuali
kalau niatnya betul-betul lurus dari hati.
Ibn jarir berkata: ayat diatas adalah larangan menikah
lebih dari empat karena dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini
terjadi pada seseorang Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka
habislah harta tadi yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang
lain, oleh sebab itu dilarang cara semacam ini.
Abduh berkata: ayat di atas menjelaskan tentang jumlah
isteri dalam pembahasan anak yatim dan pelarangan memakan harta mereka.
Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah
membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila
tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja.
Izin yang diberikan dalam ayat tersebut mengenai poligami
dibatasi dengan persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang
baik, dan secara ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau
lebih secara adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan dari dari perilaku
yang yang dapat menyulut perpecahanantara kedua isteri tersebut.[20]
Urgensi poligami pada awal Islam adalah untuk menjaga
hubungan keturunan dan gengsi kesukuan yang pada masa sekarang sudah tidak ada
lagi. Pada saat ini kemudharatan-kemudharatan yang muncul dari poligami sering
menghinggapi anak, bapak dan saudara-saudara yang memicu terjadinya konflik dan
permusuhan, seperti perebutan hak-hak anak terhadap isteri-isteri yang lain dan
adanya perilaku pilih kasih kepada salah seorang isteri yang dicintai. Dampak
yang muncul akhirnya adalah terjadi pencurian, zina, khianat dan sampai kepada
pembunuhan. Sedangkan dalam praktek
poligami Muhammad Abduh menilai tidak adanya pendidikan terhadap umat, maka
beliau merekomendasikan agar para ulama mengkaji ulang masalah ini terutama
para pengikut mazhab Hanâfiy, karena agama selalu menerapkan kemaslahatan bagi manusia. Maka
wajib untuk mengubah hukum dan menyesuaikan dengan zaman. Maka kesimpulan akhir
menurut Muhammad Abduh adalah poligami hukumnya haram karena khawatir tidak
dapat berlaku adil.
Berdasarkan hal itu Muhammad Abduh mengambil beberapa
kesimpulan, bahwa sesungguhnya kebolehan melakukan poligani harus dibarengi
dengan beberapa kualifikasi yang sangat sulit untuk dilakukan yang karena
sulitnya seakan-akan poligami itu menjadi sebuah larangan(haram).tetapi
kemudian Muhammad Abduh lebih jauh menyatakan: Dan ingatlah bahwa masalah yang
terkait dengan poligami yang kita lihat dan kita dengar itu tidak memiiki unsur
pendidikan sama sekali terhadap umat. Maka merupakan sebuah keharusan bagi para
ulama untuk meninjau kembali masalah ini, khususnya penganut mazhab Hanafi yang
telah menetapkan adanya bentuk poligami, padahal mereka semua tidak mengingkari
bahwa agana Islam diturunkan bertujuan bagi kemaslahatan dan kesejahteraan
manusia, sedangkan salah satu asas fundamentalnya adalah mencegah kemudharatan
dan perilaku yang membayakan.jika penerapan paham keagamaan dalam masa tertentu
itu sudah tidak memiliki relevansi lagi dengan masa kini, maka yang harus
dilakukan adalah mengganti hukum dan penetapannya tersebut sesuai dengan masa kini,
berdasarkan kaidah ushul yang berbunyi:“meninggalkan kemudharatan itu
didahulukan daripada menarik sebuah kemanfa’atan. Kemudian sang mufti
mengakhiri pernyataannya berdasarkan asusmsi dasar ini, maka agama Islam
mengajarkan bahwa poligami itu merupakan sebuah larangan (haram) bagi
orang-orang yang takut tidak dapat berlaku adil.
Muhammad
Abduh sendiri menemukan dalam al Qur’ân sebuah legitimasi atas prinsip dasar
monogami secara implisit dalam hukum waris (surat al Nisâ). Hal ini disebabkan
karena ketika seorang laki-laki melakukan poligami, kemudian laki-laki tersebut
meninggal dunia maka para isteri akan berebut bagian waris masing-masing.
Hikmah
paling nyata dari larangan poligami adalah petunjuk Tuhan kepada kita supaya
dalam perilaku pernikahan, pada dasarnya bagi seorang laki-laki itu mencukupkan
diri untuk menikahi satu isteri saja karena praktek poligami ini akan
menimbulkan berbagai kemudharatan. Tetapi poligami dalam pandangan syari’ah
merupakan masalah yang jarang danbukan merupakan suatu hal yang dituju,
sehingga hukumnya tidak dilestarikan.setiap hukum itu ditetapkan berdasarkan
pada prinsip yang menjadi landasan pelaksanaannya pada umumnya, sedangkan dalam
konteks-konteks tertentu tidak ada hukum.
BAB
III
ANALISIS
Tafsir
al Manât merupakan tafsir paling modern yang diprakarsai oleh seorang pembaharu
yaitu Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh Rasyid Ridha, munculnya tafsir ini dilatar belakangi oleh
keadaan sosial pada waktu itu sangat kaku dan beku model penafsiran. Sehigga
para penafsir sangat sempit dalam menafsirkan alQur’ân dan belum adanya
pekembangan intelektual yang sangat dinamis.
Dengan
munculnya tafsir al manâr yang dijadikan rujukan bagi para penafsir selanjutnya
maka al Qur’ân memang betul terasa membumi pada masa tersebut dan berkenaan
tentang kehidupan masyarakat. Mereka memandang al Qur’ân bukan hanya
teori-teori yang berkisarantara masalah“kelangitan” dan berputar-putar pada
masalah akhirat, surga dan neraka. namun al Qur’ân juga berbicara tentang
hubungan manusia dengan manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya.
Namun penulis melihat bahwa dalam tafsir al Manâr ini sangat dikedepankan akal
dan sangat kurang sekali dalam memahami pemahaman syari’at Islam secara utuh
tetapi selalu melihat pertentangan syari’ah dengan kondisi dari segi negatif
bukan dari segi positif, sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kitab tafsir al
Manâr berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui
metode budaya-kemasyarakatan dengan menetapkan prinsipbaru
2.
Para penafsir
ini walau menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa
al Qur’ân adalah sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan mazhab
harus bersumber dari al Qur’ân, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal
tersebut masih dirasakan
3.
Tafsir ini pada
dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari diturunkannya al Qur’ân, yakni
sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problem umat manusia
DAFTAR
PUSTAKA
M. Quraish
Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr, Jakarta:
Lentera Hati, 2006
Muhammad
Rasyid Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh
Muhammad Abduh, Mesir: Dâr al Imân, 1367 H
Abdul
Athi’ Muhammad Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh, Kairo:
al Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978
Muhammad Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh,
Beirut: al Muassasah al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972
Syekh Muhammad Abduh, Fathah al
Kitâb, Kairo: Kitab al Thahrîr, 1382
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat, Jakarta:
Paramadina, 2002
Abd al Hay al Farmawi, al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i,
Kairo: al Hadraf al Arabiyah, 1977
Saifullah, Pluralisme Agama: Persfektif tafsir al Manâr,
Disertasi SPS UIN Jakarta,2009
Jalâl al Din Muhammad Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al Din
Abd al Rahman Ibn Abi Bakar al Suyuti
karya ini diterbitkan dengan judul tafsîr al Qur’ân al Azim
Muhammad Husein al Zahabi, al
Tafsîr wa al Mufassirûn,tt.p, tp, 1981
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern
judul asli: Mazhab al Tafsîr al Isilâmiy, Yogyakarta: Elsaq, 2006
Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al Qur’ân al ‘Azîm al
Masyhur bi al Tafsîr al Manâr, Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999
[1]M.
Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr(selanjutnya
disebut Rasionalitas al Qur’ân),
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 83
[2]Ibid
[3]Muhammad
Rasyid Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh
Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al Imân, 1367 H), J. III, h. 237
[4]Ibid
[5]
M. Quraish Shihab,Rasionalitas al Qur’an, h. 16
[6]Abdul
Athi’ Muhammad Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh,
(Kairo: al Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978), h. 99
[7]Muhammad
Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, (Beirut: al Muassasah
al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972), h. 331
[8]Syekh
Muhammad Abduh, Fathahal Kitâb, (Kairo: Kitab al Thahrîr, 1382), h. 13
[9]
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan
Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002),
h. 109
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]Ibid
[14]Abd
al Hay al Farmâwi, al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i, (Kairo: al Hadraf al
Arabiyah 1977), h.23
[15]Saifullah,
Pluralisme Agama: Persfektif Tafsir al Manâr, Disertasi SPS UIN Jakarta,
2009, h. 78
[16]Ibid
[17]Karya
tafsir ini ditulis oleh Jalâl al Din Muhammad Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al
Din Abd al Rahman Ibn Abi Bakar al Suyuti
karya ini diterbitkan dengan judul tafsîr al Qur’ân al Azim
[18]
Muhammad Husein al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn,(tt.p, tp, 1981)
[19]
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern(judul asli: Mazhab
al Tafsîr al Islamiy), (Yogyakarta: Elsaq, 2006), h. 441
[20]
Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al Qur’ân al Azhîm al Masyhûr bi al
Tafsîr al Manâr, (Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999), h. 284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar