Senin, 24 Desember 2012

TAFSIR AL-MANAR



TAFSIR ALMANÂR KARYA SYEKH MUHAMMAD ABDUH


BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir al Manâr merupakan salah satu kitab tafsir populer dikalangan peminat studi alQur’ân, majalah al Manâr, yang memuat tafsir ini secara berkala pada awal abad ke XX tesebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam, dan mempunyai peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.  Itu semua tidak terlepas dari pengaruh Syekh Muhammad Abduh, lebih-lebih sang murid Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ pemimpin dan pemilik majalah tersebut serta penulis tasir al Manâr,  yang pemikiran keagamaanya sangat terkenal di Indonesia.[1]
Tafsir al Manâr yang bernamaTafsîr al Qur’ân al Hakîm memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahîh dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’ah serta sunnatullâh (hukum Allah SWT tertentu) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al Qur’ân sebagai petunjuk untuk seluruh manusia  disetiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu serta (membandingkan pula) dengan keadaan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghidari istilah-istilah ilmu dan tekhnis sehingga dapat di mengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan). itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al Azhâr.[2]

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Syekh Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849 M, ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr di daerah al Bahîrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani ‘Adi salah satu suku Arab terkemuka. [3]
Pedidikan Muhammad Abduh dimulai dengan belajar menulis dan membaca dirumah. Ia menghafal al Qur’ân dalam masa dua tahun, dibawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci. pada tahun 1279 H/1863 M beliau dikirim orangtuanya ke Thanta untuk  meluruskan bacaanya (belajar tajwid) di masjid Ahmaîi.setelah berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di masjid itu.
Karena metode pengajaran (tharîqat al Ta’lîm) yang tidak tepat, setelah satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu (ilmu gramatika bahasa Arab) atau fiqh yang tidak dimengerti artinya.mereka seakan tidak peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-istilah itu. Karena tidak puas, ia meninggalkan Thanta dan kembali ke Mahallat Nashr dengan niat tidak akan kembali belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.
Dalam usia 20 tahun, yakni pada tahun 1282H/1866 M, ia kawin dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperi ayahnya. Tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, Ia dipaksa orangtuanya kembali lagi ke Thanta. Dalam perjalanan ke Thanta itu, karena panas matahari sangat menyengat, ia lari ke Kanish Urin, tempat tinggal kaum kerabat ayahnya salah satu dari mereka adalah Syekh Darwisy khadr seorang alim yang banyak mengadakan pejalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama Islam. Ia pernah belajar ilmu tharîqat kepada Sayyid Muhammad al Madinîy. Ia juga mempunyai perhatian besar pada bidang tafsir al Qur’ân, dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al Muwattha’ dan kitab-kitab hadis lainnya.[4]
Maka pada bulan Syawal 1282 H, bertepatan dengan bulan Februari 1866 M, Muhammad Abduh pergi ke al Azhâr. Keadaan al Azhâr ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa masih dalam kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, al Azhâr menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku geografi, ilmu alam, atau fisafat adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari imu filsafat, logika, ilmu ukur,  soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual yang bernama Syekh Hasan Tawîl. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawîl tampaknya kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di al Azhâr juga kurang menarik.Ia lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan al Azhâr. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin alAfghani yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1286H/1870 M. bersama-sama dengan teman-temannya, Muhammad Abduh belajar dan berdiskusi dengan tokoh pemimpin pembaruan itu. Sebagaimana dijelaskan Muhammad Abduh sendiri, mereka mendapatkan tantangan keras dari para ulama dan sebagian mahasiswa al Azhâr.karena mempelajari ilmu kalam dan filsafat menurut persepsi mereka yang tersebut akhir ini, dapat menggoncangkan iman.

B.      Fokus Pemikiran Muhammad Abduh
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:
1.      Membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggu taqlîd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
2.      Memerbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[5]
Namun para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Muhammad Abduh menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan tersebut antara lain :
a.      Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni
b.      Mengembangkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa kini).[6]
Pengamat lain menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memperkokoh segi-segi mental spiritual kaum muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiranmereka pada saat-saat perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.
Namun apapun tujuannya Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk  mengambil alih secara utuh apa yang datang dari dunia Barat. Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlîd yang lama kepada taqlîd yang baru, juga karena hal tersebut tidak dapat dipertemukan karena adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah Islam. Menurut  Abduh hanya mampu meluruskan kepincangan-kepincangan peradaban Barat serta membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian peradaban tersebut pada akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam sesaat setelah dia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[7]

C.      Pandangan Muhammad Abduh mengenai Tafsir dan Penafsiran
Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidaklain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al Qur’an.Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut gersang dan kaku, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’râb dan penjelasan lain menyangkut tekhnis-tekhnis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al Qur’ân.Oleh karena itu, kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang sesunguhnya.[8]
Menurut Abduh Allah tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal-hal tersebut, masyarakatpun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang mengantarkan mereka kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh menggaris bawahi bahwa dialog al Qurân dengan masyarakat ummiyyin (awam/tidak tahu tulis baca)bukan berarti ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi. karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk memahami ayat-ayat al Qurân sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Jalan pemikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat al Qur’ân, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial.
1.      Peranan akal
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode al Qurân dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al Qurân tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka.  Menurut Abduh, ada masalah agama yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya bahwa ada jaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.
Dengan demikian, walaupun wahyu dapat dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Muhammad SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa persoalan ibadah.
2.      Peranan kondisi social
Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.
Dari sini, Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan perbedaan kondisi sosial. Hal ini menurut Abduh mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.
Kaum muslimin telah menanggalkan agama mereka karena perhatian selama ini hanya tetuju kepada redaksi ayat-ayat tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu sendiri.  Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan kepada para ulama agar mereka menghimpun diri dalam wadah satu organisasi, yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari illat (motif) dari suatu ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu, hedaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.Dalam memahami ayat-ayat al Qurân, terlebih yang menyangkut ayat-ayat hukum, landasan ini tidak pernah diabaikannya.
Melalui kedua hal tersebut, Abduh berusaha untuk tujuannya, yakni menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini.
D.     Karakteristik penafsiran Muhammad Abduh
Dalam menafsirkan al Qurân, Muhammad Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan kurafat, menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih (kaum salaf yang shaleh). [9]
Menurut ‘Abd al Salam perbedaan tersebut terutama dapat dilihat dari sisi latar belakang kultural dan intelektual yang berbeda dari masing-masing.Kaum salaf menafsirkan al Qurân justru ketika mereka menjadikan al Qur’ân sebagai pedoman hidup (al dustur) mereka sedemikian rupa, sehingga al Qur’ân bagi mereka adalah tujuan (ghayâh). Sedangkan Muhammad Abduh menafsirkan alQur’ân justru pada waktu umat Islam tidak secara serius lagi berhukum dengan hukum-hukum al Qur’ân. Dan tafsir bagi Muhammad Abduh menurut ‘Abd al Salam merupakan alat untuk upaya perbaikan masyarakat Islam dan bukan sebagai tujuan.[10]
Muhammad Abduh dalam memahami nash-nash agama, disebut-sebut sebagai pengikut kaum salaf sebelum timbulnya perselisihan ulama. Akan tetapi kesalafan Muhammad Abduh kelihatan tidak muthlak seratus persen atau sepenuhnya, melainkan terbatas pada hal-hal tertentu saja, artinya kalaupun ia tidak mentakwilkan nash-nash agama, maka hal itu terbatas pada nash-nash yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnya dan alam metafisika. Bahkan menurut penilaian Sulaiman Dunya, dengan menerapkan metode kaum salaf pada satu atau dua masalah, seseorang belum dapat dikatakan sebagai pengikut salaf.terhadap nash-nash agama yang berhubungan dengan kemasyarakatan (muâmalah) dan kealaman (kauniyat) yang pada umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasar dan global, Muhammad Abduh tidak saja menakwilkan tetapi juga melakukan perenungan mendalam dan sungguh-sungguh.
Dalam penafsiran al Qur’ân Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori pengembangan tafsir yang bercorak al Adabîy al Ijtimâ’iy, atau tafsir yang berorientasi pada satra, budaya, dan kemasyarakatan.[11] M. Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud dengan tafsir bercorak al adabîy alijtimâ’iy adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’ân pada segi ketelitian redaksi al Qur’ân, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al Qur’ân, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[12]
Dengan demikian, corak tafsir Muhammad Abduh mengandung ciri-ciri utama sebagai berikut:
1.      Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’ân
2.      Penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati
3.      Adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[13]
Dalam menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’ân, Muhammad Abduh antara lain berpendapat bahwa masing-masing kalimat dalam al Qur’ân tersusun secara serasi dan harmonis.tidak ada satu kalimatpun dalam al Qur’ân yang  didahulukan atau diterakhirkan untuk tujuan fasilah seperti yang terjadi dalam sajak dan syair. Adanya fasilah dalam syair adalah karena keterpaksaan dengan maksud demi pengaturan sajak dan qafiyah. Sedangkan al Qur’ân,menurut Muhammad  Abduh bukanlah kitab syair. Ia adalah kitab yang bersumber dari Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu, Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada tempat yang serasi. Maka tidak ada kata dalam kitab suci alQur’ân  yang diletakkan hanya karena keterpaksaan.
            Penafsiran alQur’ân dengan rumusan redaksi yang indah dan menarik merupakan ciri khas dari tafsir al adabîy al ijtimâ’iy. Pengungkapan tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik menurut Muhammad Abduh tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al Qur’ân agar maksud al Qur’an sebgai petunjuk dan rahmat dapat tercapai dengan baik. Sedangkan upaya Muhammad Abduh menghubungkan ayat-ayat al Qur’ân dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dimaksudkan agar tafsir dapat diterima masyarakat dengan mudah, mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-ayat al Qur’ân dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang dihadapi mereka. Dengan kata lain, masyarakat akan lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al Qur’ân apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Tafsir alQur’ân dengan pendekatan serupa pada zaman sekarang disebut dengan tafsir kontekstual.
            Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila metode tafsir Muhammad Abduh disebut sebagai metode tafsir modern yang dibandingkan dengan metode tafsir Analisis (tahlîli) lainnya. Hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa metode Muhammad Abduh dalam menafsirkan al Qur’ân disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu:
1.      Setiap surat dalam al Qur’ân merupakan satu kesatuan ayat terpadu
2.      Kandungan ajaran al Qur’ân berlaku umum untuk sepanjang zaman
3.      al Qur’ân merupakan sumber pertama (al masdar al awwal) dan utama bagi syari’ah
4.      Perlunya memerangi sikap taqlid umat Islam
5.      Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al nazhar) dan penggunaan metode ilmiah (al manhaj al Ilmi)
6.      Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al Qur’ân
7.      Tidak menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan yang disinggung alQur’ân dengan mubham
8.      Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsîr bi al ma’tsur terdahulu dan dengan apa yang disebut berita isra’iliyyat
9.      Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada petunjuk-petunjuk kitab suci al Qur’ân
Dari kesembilan dasar pokok tersebut, dasar-dasar pokok yang paling relevan dengan upaya Muhammad Abduh dalam menafsirkan alQur’ân secara rasional adalah dasar penggunaan metode ilmiah dan dasar kebebasan pendayagunaan akal dalam memahami ayat-ayat al Qur’ân. Kedua dasar inilah kelihatannya yang menonjol dipegang Muhammad abduh, karena ia pada dasarnya sangat menghargai potensi akal manusia dalam kerangka beragama, khususnya dalam upaya memahami petunjuk-petunjuk al Qur’ân dan takwil.
E.      Sumber- sumber penafsiran Al Manar
Ragam paradigma kajian memiliki implikasi terhadap pemilihan pendekatan (aproach) yang relevan. Fungsinalisasi alQur’ân sebagai sumber petunjuk hidayah yang menjadi tujuan penafsiran al Manâr menurut Muhammad Abduh tidak mudah dicapai tanpa pendekatan yang tepat dan disertai sumber-sumber yang memadai.Model pendekatan demikian meniscayakan seorang penafsir membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan. Ada dua sumber pengetahuan yang digunakan dalam penulisan al Manâr, yaitu:
1.      Pengetahuan Kebahasaan
Keilmuan bahasa terdiri dari dua kajian, yaitu kajian semantik dan kajian sastera (asâlib). Kajian semantik bertujuan untuk mengetahui arti kata-kata yang berlaku dikalangan Arab. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian secara intensif dan tidak cukup hanya percaya kepada kata orang. Kajian ini diperlukan mengingat banyak kata-kata al Qur’ân yang pada masa pewahyuan digunakan dengan banyak arti tertentu, ternyata pada perkembangan berikutnya digunakan untuk makna lain. Cara terbaik dalam memaknai ayat adalah dengan menafsirkan ayat itu sesuai dengan arti kata pada masa pawahyuannya, atau lebih baik lagi dengan menafsirkan ayat atas dasar penggunaan kata-kata itu sendiri dalam al Qur’ân yang berserakan diberbagai ayat-ayatnya.
Sedangkan kajian sastera diarahkan untuk mengetahui gaya bahasa al Qur’ân yang tinggi dalam rangka menemukan maksud Allah. Meski makna yang hakiki mungkin tidak tercapai namun melaluikajian ini fungsi hidayah al Qur’ân akan bisa dipahami.
2.      Keilmuan Sosio-Historis
Pendekatan ini terdiri dari tiga kajian, yaitu:
a.      Kajian tentang kehidupan manusia sepanjang sejarah
b.      Kajian tentang latar belakang mengapa manusia diberi petunjuk
c.       Kajian tentang Nabi dan sejarahnya
F.       Corak penafsian Muhammad Abduh
Ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran al Qur’ân. Dr. Abd al Hay alFarmawi membagi metode-metode yang yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu:
1.      Analisis
2.      Komparatif
3.      Global
4.      Tematik
Metode analisis diatas bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya  adalah corak al adabîy al ijtima’I (budaya kemasyarakatan).[14] Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’ân pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalamsuatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjukal Qur’ân bagi kehiduan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Tokoh utama corak ini bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syekh Muhammad Abduh.
G.     Penulisan Tafsir al Manâr
Beberapa pengamat tafsir al Manâr menyebutkan, bahwa pada hakikatnya peletak dasar bangunan al Manâr terdiri dari tiga tokoh pembaruan dalam Islam,  yaitu: Jamal al Dîn al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, meski mereka sepakat bahwa penulis karya tafsir itu adalah yang disebut terakhir.[15]
Ketertarikan Rasyid Ridha terhadap artikel-artikel al Urwah al Wusqa yang pernah diterbitkan oleh al Afghani dan Muhammad Abduh ketika keduanya bermukim di Prancis menumbuhkan obsesinya bisa berguru kepada keduanya. Rasyid Ridha tertarik kepada artikel-artikel majalah itu, khususnya tentang analisisnya yang selalu rasional, antara lain :
1.      Penjelasan tentang hukum-hukum Allah yang berlaku dalam alam dan masyarakat manusia dan sebab-sebab kemajuan dan keruntuhan bangsa-bangsa
2.      Penjelasan bahwa Islam adalah agama yang mengatur berbagai dimensi, spiritual, sosial,sipil dan militer
3.      Kaum muslim diikat menjadi satu oleh agama bukan oleh etnis, bahasa atau pemerintahan. Setelah datang ke Mesir dan bergabung dengan Muhammad Abduh hal pertama yang diusulkan untuk dilakukan Abduh adalah menafsirkan alQur’ân yang dijiwai oleh semangat artikel-artikel al Urwah al Wusqa.[16]
Usulan penafsiran al Qur’ân yang disampaikan oleh Rasyid Ridha kepada Muhammad Abduh sampi tiga kali, pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tahun 1315 H. usulan ini senantiasa ditolak, meski Muhammad Abduh sendiri menyadari oentingnya penulisan tafsir al Qur’ân. Dia enggan menulis tentang tafsir berdasarkan dua alasan yaitu:
1.      Tulisan dalam bentuk buku-buku tidak bermanfaat bagi orang yang berhati buta
2.      Ceramah lebih efektif daripada tulisan
Menurut Muhammad Abduh pembaca hanya mampu menyerap dua puluh persen (20%) isi tulisan, sedangkan pendengar ceramah bisa menyerap delapan puluh persen (80%) isi ceramah. Akan tetapi Muhammad Abduh pernah mendapatkan pengalaman tidak enak ketika memberikan ceramah tafsir, yang diikuti oleh mahasiswa al Azhâr dan al Amiriyyah, menurut pengamatannya, para peserta pada umumnya enggan mencatat hal-hal pentingdari isi ceramahnya.kesan baik justeru ia peroleh dari dua mahasiswa Kristen koptik yang aktif mencatat kuliah-kuliahnya dan senantiasa mengkofirmasikan catatan-catatannya kepada Muhammad Abduh. Dia pernah menyampaikan ceramah tafsir surat al ‘Ashr selama seminggu berturut-turut (satu setengah sampaidua jam sehari). Sambil mengamati pendengarnya, Muhammad Abduh hanya melihat satu orang yang mau mencatat, yaitu Abd al Aziz.
Dengan desakan-desakan yang disertai dengan argumentasi-argumentasi yang disampaikan kepadanya, Rasyid Ridha akhirnya berhasil meyakinkan Muhammad Abduh sehinga bersedia mengajar tafsir dalam bentuk ceramah dengan mengambil tempat di komplek al Azhar. selama kurang lebih enam tahun, Muhammad abduh berhasil menafsirkan al Qur’ân sebanyak lima juz (mulai dari surat al Fâtihah sampai dengan surat al Nisâ ayat 129 selama kira-kira enam tahun (mulai dari awal Muharram sampai pertengahan Muharram 1323 H.
Dalam menyampaikan kuliahnya Muhammad Abduh berpegang kepada teks tafsîr al Jalâlain[17] yang dianggapnya sebagai karya karya tafsir yang paling ringkas. berbeda dengan para penafsir sebelumnya, Muhammad Abduh justeru menjelaskan secara singkat hal-hal yang telah dijelaskan oleh para penafsir sebelumnya secara luas, misalnya penjelasan tentang kata-kata, I’râb, balâghah, dan riwayat yang tidak diperlukan. Sebaliknya dia justeru memperluas keterangan pada bagian yang terabaikan dalam tafsir-tafsir sebelumnya, sambil melakukan kritik seperlunya. Dalam penafsirannya Muhammad Abduh mengandalkan inspirasi yang diperolehnya dari Allah SWT. Atas desakan dari berbagai pihak, khususnya para pembaca majalah alManar, materi-materi penting yang dicatat oleh Rasyid Ridha selama mengikuti kuliah tafsir di al Azhar itu diterbitkan dalam majalah tersebut sejak awal Muharram 1318 H (setahun setelah kuliah berlangsung) pada volume ketiga.
Ketika meninggal Muhammad Abduh dalam kuliahnya baru menafsirkan sampai dengan al Nisâ ayat 125 atau hampir lima juz pertama dari al Qur’ân. Selanjutnya Rasyid Ridha melanjutkan sampai dengan surat Yusuf ayat 101, sebelum dia meninggal dunia. Namun tafsir al Manâr yang diterbitkan dalam bentuk buku  seperti yang dilihat sekarang hanya memuat penafsiran Rasyid Ridha sampai dengan ayat 52 surat Yusuf, yaitu ayat terakhir juz 12. Dalam bentuk buku karya, tafsir ini diterbitkan dengan tambahan-tambahan dari apa yang telah diterbitkan dalam bentuk sebuah artikel pada majalah al Manâr. Uraian tambahan itu ditunjukkan dengan kata-kata Rasyid Ridha: “sekarang saya tambahkan”, “sekarang saya katakan” atau “saya berkata”.
H.     Pendapat Ulama
Meski tulisan Muhammad Husein al Zahabi tidak fokus kepada tafsir al Manâr saja, namun pembahasannya tentang al Manâr cukup resfentatif dan sering menjadi rujukan dalam studi-studi tafsir al Qur’ân. Dalam karyanya yang berjudul al Tafsîr wa al Mufassirûn[18], al Zahabi menyatakan bahwa Abduh dengan metodenya telah melahirkan aliran atau corak baru dalam sejarah penafsiran al Qur’ân. aliran baru yang diciptakannya itu menurutnya adalah al adâbiy al ijtima’iy yang diberi pengertian sebagai mengkaji al Qur’ân dengan pertama-tama berusahauntuk menunjukkan kecermatan ungkapan bahasanya, dilanjutkan dengan merajut makna-makna yang dimaksunya dengan cara menarik, kemudian di usahakan eksplorasi penerapan nash kitab suci dalam kenyataanya sesuai dengan hukum-hukum yangberlaku dalam kehidupan masyrakat dan untuk membangun peradaban.
al Zahabi menilai bahwa aliran yang diprakarsai oleh Abduh disamping memiliki kebaikan-kebaikan juga mempunyai cacat. Kebaikan-kebaikan yang dengan terus terang ditunjukkannya adalah:
1.      Tidak terpengaruh oleh mazhab
2.      Bersikap kritis terhadap riwayat-riwayat israiliiyat
3.      Tidak tertipu oleh hadis-hadis dha’if dan maudhu’
4.      Menjauhkan tafsir dari istilah tekhnis keilmuan (bahasa Arab)
Disamping itu dia menyebutkan kebaikan lain yang dimiliki aliran ini, yaitu metode semantik sosial yang digunakannya.melaui metode ini Muhammad Abduh dengan alirannya berusaha untuk:
1.      Mengungkapkan keindahan bahasa dan kemukjizatan al Qur’ân
2.      Menjelaskan makna dan maksud-maksudnya
3.      Menunjukkan hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan masyarakat manusia
4.      Menawarkan solusibagi problem-problem yang dihadapi kaummuslim pada khususnya dan bangsa-bagsa di seluruh dunia pada umumnya
5.      Mempertemukan kebaikan dunia dan akhirat
6.      Memadukan al Qur’ân dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang valid
sedangkan kejelekannya menurut al Zahabi adalah sikapnya memberikan kebebasan yang besar terhadap akal.
I.        Tafsir al Manâr tentang ayat-ayat poligami
Secara umum, terdapat masalah-masalah yang tidak kalah penting terkait seputar metode penafsiran atas nash al Qur’ân yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada umumnya, yaitu masalah poligami.[19] al Qur’ân secara jelas membolehkan untuk melakukan poligami dan al Qur’ân telah menetapkan hukum dengan membatasi hanya sampai empat isteri.
Frman Allah dalam surat al Nisâ ayat 3:
وَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتُقْسِطُوافِيالْيَتَامَىفَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِمَثْنَىوَثُلَاثَوَرُبَاعَفَإِنْخِفْتُمْأَلَّاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْذَلِكَأَدْنَىأَلَّاتَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang sajaatau budak yang kamu miliki
Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta si anak yatim, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi al Qur’ân membatasi jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang adil terhadap anak yatim.
Muhammad Abduh juga menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al Nisâ’: 127 yang artinya: “Dan kamu mempunyai keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)” maksudnya adanya perasaan di hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati.
Ibn jarir berkata: ayat diatas adalah larangan menikah lebih dari empat karena dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada seseorang Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah harta tadi yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain, oleh sebab itu dilarang cara semacam ini.
Abduh berkata: ayat di atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam pembahasan anak yatim dan pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja.
Izin yang diberikan dalam ayat tersebut mengenai poligami dibatasi dengan persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang baik, dan secara ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau lebih secara adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan dari dari perilaku yang yang dapat menyulut perpecahanantara kedua isteri tersebut.[20]
Urgensi poligami pada awal Islam adalah untuk menjaga hubungan keturunan dan gengsi kesukuan yang pada masa sekarang sudah tidak ada lagi. Pada saat ini kemudharatan-kemudharatan yang muncul dari poligami sering menghinggapi anak, bapak dan saudara-saudara yang memicu terjadinya konflik dan permusuhan, seperti perebutan hak-hak anak terhadap isteri-isteri yang lain dan adanya perilaku pilih kasih kepada salah seorang isteri yang dicintai. Dampak yang muncul akhirnya adalah terjadi pencurian, zina, khianat dan sampai kepada pembunuhan. Sedangkan  dalam praktek poligami Muhammad Abduh menilai tidak adanya pendidikan terhadap umat, maka beliau merekomendasikan agar para ulama mengkaji ulang masalah ini terutama para pengikut mazhab Hanâfiy, karena agama selalu menerapkan kemaslahatan bagi manusia. Maka wajib untuk mengubah hukum dan menyesuaikan dengan zaman. Maka kesimpulan akhir menurut Muhammad Abduh adalah poligami hukumnya haram karena khawatir tidak dapat berlaku adil.
Berdasarkan hal itu Muhammad Abduh mengambil beberapa kesimpulan, bahwa sesungguhnya kebolehan melakukan poligani harus dibarengi dengan beberapa kualifikasi yang sangat sulit untuk dilakukan yang karena sulitnya seakan-akan poligami itu menjadi sebuah larangan(haram).tetapi kemudian Muhammad Abduh lebih jauh menyatakan: Dan ingatlah bahwa masalah yang terkait dengan poligami yang kita lihat dan kita dengar itu tidak memiiki unsur pendidikan sama sekali terhadap umat. Maka merupakan sebuah keharusan bagi para ulama untuk meninjau kembali masalah ini, khususnya penganut mazhab Hanafi yang telah menetapkan adanya bentuk poligami, padahal mereka semua tidak mengingkari bahwa agana Islam diturunkan bertujuan bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia, sedangkan salah satu asas fundamentalnya adalah mencegah kemudharatan dan perilaku yang membayakan.jika penerapan paham keagamaan dalam masa tertentu itu sudah tidak memiliki relevansi lagi dengan masa kini, maka yang harus dilakukan adalah mengganti hukum dan penetapannya tersebut sesuai dengan masa kini, berdasarkan kaidah ushul yang berbunyi:“meninggalkan kemudharatan itu didahulukan daripada menarik sebuah kemanfa’atan. Kemudian sang mufti mengakhiri pernyataannya berdasarkan asusmsi dasar ini, maka agama Islam mengajarkan bahwa poligami itu merupakan sebuah larangan (haram) bagi orang-orang yang takut tidak dapat berlaku adil.
Muhammad Abduh sendiri menemukan dalam al Qur’ân sebuah legitimasi atas prinsip dasar monogami secara implisit dalam hukum waris (surat al Nisâ). Hal ini disebabkan karena ketika seorang laki-laki melakukan poligami, kemudian laki-laki tersebut meninggal dunia maka para isteri akan berebut bagian waris masing-masing.
Hikmah paling nyata dari larangan poligami adalah petunjuk Tuhan kepada kita supaya dalam perilaku pernikahan, pada dasarnya bagi seorang laki-laki itu mencukupkan diri untuk menikahi satu isteri saja karena praktek poligami ini akan menimbulkan berbagai kemudharatan. Tetapi poligami dalam pandangan syari’ah merupakan masalah yang jarang danbukan merupakan suatu hal yang dituju, sehingga hukumnya tidak dilestarikan.setiap hukum itu ditetapkan berdasarkan pada prinsip yang menjadi landasan pelaksanaannya pada umumnya, sedangkan dalam konteks-konteks tertentu tidak ada hukum.











BAB III
ANALISIS
Tafsir al Manât merupakan tafsir paling modern yang diprakarsai oleh seorang pembaharu yaitu Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh Rasyid Ridha,  munculnya tafsir ini dilatar belakangi oleh keadaan sosial pada waktu itu sangat kaku dan beku model penafsiran. Sehigga para penafsir sangat sempit dalam menafsirkan alQur’ân dan belum adanya pekembangan intelektual yang sangat dinamis.
Dengan munculnya tafsir al manâr yang dijadikan rujukan bagi para penafsir selanjutnya maka al Qur’ân memang betul terasa membumi pada masa tersebut dan berkenaan tentang kehidupan masyarakat. Mereka memandang al Qur’ân bukan hanya teori-teori yang berkisarantara masalah“kelangitan” dan berputar-putar pada masalah akhirat, surga dan neraka. namun al Qur’ân juga berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya. Namun penulis melihat bahwa dalam tafsir al Manâr ini sangat dikedepankan akal dan sangat kurang sekali dalam memahami pemahaman syari’at Islam secara utuh tetapi selalu melihat pertentangan syari’ah dengan kondisi dari segi negatif bukan dari segi positif, sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.





BAB IV PENUTUP

Kesimpulan
1.        Kitab tafsir al Manâr berusaha mengindari kelemahan-kelemahan kitab tafsir sebelumnya, melalui metode budaya-kemasyarakatan dengan menetapkan prinsipbaru
2.        Para penafsir ini walau menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa al Qur’ân adalah sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan mazhab harus bersumber dari al Qur’ân, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal tersebut masih dirasakan
3.        Tafsir ini pada dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari diturunkannya al Qur’ân, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problem umat manusia








DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr, Jakarta: Lentera Hati, 2006

Muhammad Rasyid Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh  Muhammad Abduh, Mesir: Dâr al Imân, 1367 H
Abdul Athi’ Muhammad Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh, Kairo: al Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978

Muhammad Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, Beirut: al Muassasah al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972

Syekh Muhammad Abduh, Fathah al Kitâb, Kairo: Kitab al Thahrîr, 1382

Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat,  Jakarta: Paramadina, 2002

Abd al Hay al Farmawi, al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i, Kairo: al Hadraf al Arabiyah, 1977

Saifullah, Pluralisme Agama: Persfektif tafsir al Manâr, Disertasi SPS UIN Jakarta,2009

Jalâl al Din Muhammad Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al Din Abd al Rahman Ibn Abi Bakar al Suyuti  karya ini diterbitkan dengan judul tafsîr al Qur’ân al Azim

Muhammad Husein al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn,tt.p, tp, 1981

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern judul asli: Mazhab al Tafsîr al Isilâmiy, Yogyakarta: Elsaq, 2006
Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al Qur’ân al ‘Azîm al Masyhur bi al Tafsîr al Manâr, Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999
     

     



[1]M. Quraish Shihab, Rasionalitas al Qur’ân: Studi Kritik terhadap Tafsir al Manâr(selanjutnya disebut  Rasionalitas al Qur’ân), (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.  83
[2]Ibid
[3]Muhammad Rasyid Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh  Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al Imân, 1367 H), J. III, h. 237
[4]Ibid
[5] M. Quraish Shihab,Rasionalitas al Qur’an, h. 16
[6]Abdul Athi’ Muhammad Ahmad, al Fikr al Shiyâsiy li al Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: al Hai’ah al Mishriyah li al Kitab, 1978), h. 99
[7]Muhammad Imarah, al Amal al Kamîlah al Imam Muhammad Abduh, (Beirut: al Muassasah al Arabiyah li al Dirasat wa Nshr, 1972), h. 331
[8]Syekh Muhammad Abduh, Fathahal Kitâb, (Kairo: Kitab al Thahrîr, 1382), h. 13
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat,  (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 109
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]Ibid
[14]Abd al Hay al Farmâwi, al Bidâyah fi al Tafsîr al Maudhu’i, (Kairo: al Hadraf al Arabiyah 1977), h.23
[15]Saifullah, Pluralisme Agama: Persfektif Tafsir al Manâr, Disertasi SPS UIN Jakarta, 2009, h.  78
[16]Ibid
[17]Karya tafsir ini ditulis oleh Jalâl al Din Muhammad Ibn Ahmad al Mahalli dan Jalâl al Din Abd al Rahman Ibn Abi Bakar al Suyuti  karya ini diterbitkan dengan judul tafsîr al Qur’ân al Azim
[18] Muhammad Husein al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn,(tt.p, tp, 1981)
[19] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga Modern(judul asli: Mazhab al Tafsîr al Islamiy), (Yogyakarta: Elsaq, 2006), h. 441
[20] Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al Qur’ân al Azhîm al Masyhûr bi al Tafsîr al Manâr, (Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999), h. 284

Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud