Sabtu, 29 Desember 2012

AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM




AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM
T}ant}awi Jauhari

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir al-Quran Timur Tengah Kontemporer

Team Teaching : Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA  (koord.)
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. Salman Harun, MA
Dr. M. Muchlis M. Hanafi, MA









Oleh :
Eka Adi Candra
NIM: 10.2.00.0.05.01.0128



SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H/ 2011

AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM
T}ant}awi al-Jauhari

A. Pendahulan
Seseorang yang mempelajari dan menelaah al-Qur’an, ibarat orang yang haus meminum air laut, semakin meminumnya maka semakin haus dan senantiasa ingin minum lagi. Ibarat ini tidaklah berlebihan bila melihat perpustakaan Islam yang dipenuhi dengan kitab-kitab tafsir dari berbagai generasi. Metode yang digunakan sangat beragam mulai tahli>li>, muqarri>n, mujma>l ataupun maudu>'iy. Begitu juga coraknya bermacam-macam yang mencerminkan kekayaan khasanah intelektual keislaman yang senantiasa dibaca, ditelaah, diteliti dengan mengritisinya untuk mendapatkan suatu pemahaman yang mendekati pesan Allah dalam al-Qur’an.
Perkembangan tafsir senantiasa beriringan dengan perkembangan keilmuan keislaman. Pada awalnya kecenderungan penafsiran al-Qur’an hanya menggunakan riwayat (al-tafsir bi al-ma’thsur), yang disusul dengan penafsiran menggunakan ijtihad[1]. Para penafsir di masa kejayaan ilmu keislaman, baik dari kalangan penganut aliran riwayat ataupun ijtihad biasanya lebih menekankan pada penafsiran dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dari aspek balaghah, nahwu (kaidah bahasa Arab), dan pendekatan fiqih atau falsafi. Dan setelah datang masa di mana semangat dan kreativitas umat mulai melemah yang dilakukan oleh para mufassir dengan menggunakan pola ringkasan, menukil atau memberikan syarah (catatan pinggir suatu karya).
Al Quran telah memberikan contoh berkenaan dengan kehidupan nyata, bagaimana pengembangan sumber daya manusia, pengembangan llmu pengetahuan, pengorganisasian masyarakat, teknologi dan juga pemikiran serta pandangan, bahwa alam semesta berikut seluruh isinya bukanlah merupakan realitas independen, apalagi terakhir (ultimate), melainkan ‘tanda-tanda’ dari kebesaran dan keberadaan Allah SWT.
Kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim T}ant}awi bin Jawhari dinilai oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah (tafsir bi al-'ilmy), yang pada masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat Islam, khususnya dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan. Kendati terjadi perdebatan seputar eksistensi penafsiran bercorak ilmiah, kehadiran jenis tafsir ini secara umum masih dapat diterima dan dianggap tidak bertentangan dengan Al Quran.

B. Biografi T{ant}awi al-Jauhari
T}ant}awi bin Jawhari al-Mishriy dilahirkan tahun 1287 H/1862 M, (ada yang menyebut tahun 1870 M) di desa 'Iwadillah, di propinsi administratif Mesir Timur.[2] Masa kecilnya, T}ant}awi hidup bertani bersama orang tuanya, tapi ia juga belajar di kuttab (semacam pesantren penghafal al-Quran) yang berada di desa al-Ghar, di samping belajar pada pamannya, yang masih keturunan bangsawan. Menuntut ilmu di masa kecilnya pada perguruan al-Azhar dan melanjutkan pendidikan menengahnya pada sekolah pemerintah[3].
Tahun 1889, T}ant}awi pindah ke Universitas Dar al-'Ulum, hingga tamat pada 1893 M/ 1310 H[4]. Di sini ia mempelajari beberapa mata kuliah yang tidak diajarkan di al-Azhar, seperti matematika (al-Hisab), ilmu ukur (handasah), aljabar, ilmu falak, botani ('Ilm al-Nabat), fisika ('Ilm al-Habi'ah), dan kimia (al-Kimiya'), Setelah menyelesaikan studinya, beberapa waktu lamanya T}ant}awi mengajar di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Kemudian ia mengajar di almamaternya, Dar 'Ulum. serta sempat melamar sebagai seorang qadli namun tidak terkabulkan. Dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah “al-Ikhwan al-Muslimin” tetapi dalam waktu yang tidak lama, kemudian memutuskan untuk berhenti dan mengonsentrasikan diri dalam menulis berbagai karya, Di samping mengajar, T}ant}awi juga aktif menulis artikel-artikel yang selalu muncul di Marian Al-Liwa, ia telah menulis lebih kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban. yaitu agama dan perkembangan modern pemikiran sosial-politik.[5]
Lalu tak lama kemudian (1912) ia juga mengajar di al-Jami'ah ai-Mishriyyah untuk bidang studi Filsafat Islam. Ada dua bidang keilmuan yang dipandangnya menjadi dasar untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan fisika., T}ant}awi telah menghabiskan umurnya untuk mengarang dan menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab, sejak ia mulai menjadi guru hingga pensiun tahun 1930. Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H
C. LATAR BELAKANG PENULISAN TAFSIR AL-JAWAHIR
Bagi T{ant}awi, tuanya usia bukan soal untuk tetap konsen di dunia tulis menulis. Bahkan keriputan kulit jari jemarinya memberikan ‘ilham’ tersendiri untuk memunculkan berbagai karya. Di usia senjanya (60 tahun), T}ant}awi mampu menghadirkan karya besarnya, yaitu kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim. Pada tahun 1922-1935 terdiri dari 25 jilid[6] dan pertama kali dicetak di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al-Babi al-Halabi tahun 1350 H/ 1929 M, Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar ai-Fikr tahun 1395 H/1974 M.
Adapun latar belakang penulisan kitab ini yang dituangkan dalam muqaddimah, antara lain adanya kesadaran akan besarnya insting untuk mencintai keajaiban dunia, keindahan alam, baik yang di langit maupun yang di bumi. Semuanya serba teratur dan mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi orang yang mau memperhatikan dan menggali semua rahasianya.
"Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan menghilang kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yang menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar dan sebagainya".[7] Itulah yang mendorong T}ant}awi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkornpromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu Alam.
Al Quran menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar, langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki 'mata hati' (Dzu al-Bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (Tabsirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
Selanjutnya ia menyatakan : "Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadaan umat Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat kepada beberapa tokoh cendekiawan (al-'Uqala) dan sebagian para ulama besar (Ajiilah al-'Ulama ) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan, juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali di antara para ulama yang memikirkan realitas alam sernesta dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya."[8]
Selanjutnya Tanthawi menyatakan bahwa: "...di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan ayat-ayat Al Quran dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu Iiahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukurn alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-Nya. Maka aku rneminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menafsirkan Al Quran dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu Al Quran.[9]
Tafsir ini, ditulisnya pertama kali ketika ia mengajar di Universitas Dar Al-'Ulum. Mesir, lalu dimuat di majalah AI-Malaji' Al-'Abasiyah. Tujuannya agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.[10]
Dan ketika T{ant}awi Jauhari memperhatikan kondisi umat Islam serta ajaran-ajaran keagamaan yang berkembang saat itu, didapatkan bahwa kebanyakan ilmuan dan sebahagian ulama memalingkan diri dari fenomena tersebut. Sebahagian merasa enggan untuk membedahnya, dan hanya sedikit yang mau merenungkan faktor-faktor yang terkandung dalam keajaiban tersebut. Realitas inilah yang mendorongnya untuk menulis berbagai macam karya dalam bentuk risalah ataupun kitab seperti Niz}am al-Alam, Jawahir al-Ulum, Jamal al-Alam dan sebagainya. Dari karya–karya itulah pada akhirnya melahirkan tafsir yang paling sensasional yaitu al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim sebagai suatu usaha aktualisasi dari obsesinya untuk memadukan antara ayat-ayat wahyu dan keajaiban alam.
Dalam berbagai kesempatan T{ant}awi mengungkapkan, bahwa kecenderungan menggunakan tafsir ilmiah lebih dibangkitkan oleh rasa tidak puas terhadap tafsir yang ada. Ulama terdahulu terlalu berlebihan mengarahkan perhatiannya terhadap kitab-kitab fiqih, dan mengabaikan ayat-ayat tentang alam semesta. Menurut penelitian T{ant}awi, tidak kurang dari 750 ayat al-Quran berbicara dan rnendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fikih - yang tidak lebih dari 500 ayat shareh - dan lengah terhadap arahan Al Quran tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah salah satu hujjah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam mukaddimah tafsirnya. [11]
Sebagai contoh, menurut para ulama fiqih terlalu melampaui batas dalam membahas air wudhu’ sehingga muncul ratusan jilid kitab fiqih dalam empat mazhab. Apakah umat islam tidak memperhatikan terhadap ilmu agama hakiki yaitu ilmu alam ini, suatu ilmu untuk mengetahui dan mengenal Allah?,  memang fiqih memelihara kehidupan umat, namun ilmu alam untuk sampai pada ma’rifah dari kehidupan umat. Menurutnya lebih utama menjaga umat supaya hidup daripada menjaga kehidupan itu sendiri, kerena ibadah tidak akan terwujud bila tidak ada kehidupan.
Sedangkan kitab tauhid kebanyakannya merupakan retorika yang berkepanjangan yang tidak membawa manfaat bagi umat secara konkrit. Begitu juga Ilmu Fara’id} mempelajarinya merupakan fard}u kifayah. Sedangkan ilmu alam ini merupan fard}u 'ain dalam mempelajarinya. Sikap yang ditonjolkan dari jeritan jiwa T{ant}awi tersebut pada hakikatnya merupakan akumulasi ketidakpuasan terhadap kondisi umat islam yang dilihatnya sejak usia muda. Tatkala dalam usia sekolah di perguruan Azhar, dia harus berhenti menuntut ilmu dengan datangnya tentara Inggris. Sehingga harus bekerja di lahan pertanian membatu orang tuanya. Maka ditemukannya rel dan kereta api yang melintasi Mesir, ternyata bukan buatan umat islam. Sedangkan umat islam baik laki-laki dan perempuan bergelut dengan tenaga untuk menyambung kehidupan tanpa henti-hentinya. Sehingga sampailah pada suatu pendapat bahwa dia percaya Tuhan di dunia ini ada, bila diketahui oleh orang yang menggunakan kekuatan dan kemampuan akalnya.
D. METODE PENULISAN
Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan Mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, T{ant}awi terlebih dahulu megutip surah Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat AI-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya.[12]
Setiap surah yang ditafsirkan, T{ant}awi kerapkali mengklasifikasikannya sebagai surah Makkiyah atau surah Madaniyah sesuai periode turunnya al-Quran. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci tentang adanya ayat tertentu yang berbeda klasifikasi periode turunnya dengan karakteristik umum dari induk atau surah-nya, sebagaimana ia tidak mengungkapkan perbedaan riwayat yang muncul terkait dengan klasifikasi suatu surah.
Kemudian T{ant}awi menuliskan alasan, latar belakang, maksud dan tujuan penulisan tafsirnya ini, sebagaimana telah disinggung di atas, ide-idenya yang berkenaan dengan tafsir al-Quran yang pernah diterbitkan dalam beberapa media sebelumnya kembali ia rangkum. Gambar atau foto juga menjadi media pelengkap ketika T{ant}awi menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan alam.
T{ant}awi memfokuskan terhadap ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran dengan tren modern di dalam tafsirnya, secara global tafsir ini di kenal tafsir ilmi dan menetapkan bagwa al-Quran mencakup pada seluruh ilmu-ilmu dan menjawab semua permasalahan. Akan tetapi T{ant}awi di pengaruhi oleh pemikiran imam Ghazali di dalam kitabnya Jawa>hir al-Quran dalam bab yang menjelaskan bagaimana cabang-cabang ilmu-ilmu keseluruhan yang ada dalam al-Quran[13].
Membagi Muhammad Abduh dalam tafsir tebagi ini menjadi dua, yang Pertama: Keyakinan hamba terhadap Allah dan kitab-Nya adalah apa yang di maksud dengan keadaan lafaz dan mengungkapkan secara global dan penjelasan apa yang terdapat pada ibarat dan isyarat dari seni, ini tidak boleh di sebut tafsir, sesunguhnya jenis ini adalah latihan dari seni-seni ilmu seperti nahwu dan maknanya atau yang lainnya. Kedua : Wajib terhadap manusia atas tafsir ini fardu kifayah yang mengumpulkan syarat-syarat, menjadi amalan dan tujuannya, melakukan mufassir kepada pemahaman dari perkataan, hikmah syari'ah pada kenyataan dan hukum atas bentuk yang menarik, dan didorong kepada amalan dan hidayah terhadap kalam.[14]
T{ant}awi Jauhari tidak mengurangi sedikit pun malahan ia menambahkan terhadap tafsirnya seperti perkataanya : "Wahai umat islam , ayat yang telah Allah tentukan dalam faraid telah emnarik satu cabang dari cabang-cabang ilmu yaitu ilmu matematika, wahai sekalian manusia ada sekitar 750 ayat yang merupakan ayat keajaiban dunia secara keseluruhan. Ini zaman munculnya cahaya keislaman, kenapa kita tidak mengetahui tentang ilmu ayat-ayat kauniyahapa yang dilakukan nenek moyang kita dulu tentang ayat waris? Akan tetapi aku katakan: Alhamdulillah, Alhamdulillah bahwa sesungguhnya engkau membaca tafsir ini ringkasan dari ilmu-ilmu  mempelajari keutamaan dari pelajaran ilmu faraid, sesungguhnya ini menjadi fardhu kifayah, ini adalah penambahan untuk lebih mengenal kepada Allah maka bisa dikatakan menjadi fardhu 'ain[15].
Sudah barang tentu ketika ia menafsirkan kalam-kalarn suci Allah SWT, argumentasi ilmiah menyertai penjelasannya, terutama yang bersentuhan dengan alam secara umum. Sehingga 'hampir semua tokoh' sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah.[16]
Akan tetapi ada juga pendapat bahwa corak ilmiah tafsir T{ant}awi tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena al-Quran bukanlah kitab 'llmu' melainkan kitab hudan bagi manusia. [17] Petunjuk al-Quran ada yang berbentuk lafzi, kiasi, isyarat dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
Sebagai bukti bahwa apa yang telah didapat oleh para ilmuan tentang kecocokan hasil penelitlan mereka dengan pesan al-Quran sangat terbatas. Misalnya, ketika para dokter berhasil 'menciptakan' alat untuk mengetahui apakah janin dalam kandungan seorang ibu hamil itu laki-laki atau perempuan berikut perkiraan lahirnya. Narnuri prediksi itu kerapkali keliru, mereka juga tidak tahu pasti kapan bayi itu akan lahir, berapa beratnya, bagaimana bentuk rarnbut, wajahnya dan Iain-lain.
Achmad Baiquni melontarkan pertanyaan di dalam bukunya, Al-Qur'an dan ilmu Pengetahuan Kealaman (1997:187), kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya"? Secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromoson (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan kopian dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak harnpir dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.
Rija'> al-Naqa>s seorang wartawa pernah berkata tentang T{ant}awi al-Jauhari, dia berkata " Tafsir Syeh T{ant}awi Jauhari al-Quran al-Karim terkesan tafsir Qurani , yang dikenal oleh akal orang arab, tafsir keseluruhannya mengajak bahawa quran menuntut manusia untuk meluaskan wawasanya dalam kejeniusan macam-macam pengetahuan dan mempertimbangkan didalam berbagai macam ilmu, T{ant}awi menggunakan di dalam lebaran tafsirnya dengan gambaran otopsi kehewanan, tumbuh-tumbuhan dan peta, Rija'> al-Naqa>s berkesimpulan dalam tafsir T{ant}awi mengandung ruh ilmiyah dan alasanya serta menyeru kepada da'wah yang jelas[18].
Berkata juga salah satu Iran menjabat sebagai Departemen Pengetahuan Umum Pemuka yang dipelopori oleh Abu Abdullah al-Zanja>wiy berkata: "Bahwa menuntut ilmu modern di sekolah Iran dan membaca Tafsir ini , menghilangkan keraguan dan was-was beragama[19]".
Kaitan antara al-Quran dan alam semesta adalah sebagi bukti-bukti yang komplementer bagi kebenaran kenabian, kebenaran agama Islam serta keagungan Allah Swt, al-Quran dapat di pandang sebagai perkataan sedangkan alam semesta di pandang sebagai bukti kejadian[20].
E. SISTIMATIKA PENAFSIRAN
Dalam menafsirkan setiap surat, T{ant}awi memulainya dengan suatu muqaddimah yang berisikan klasifikasi surat, apakah surat tersebut tergolong makkiyah atau madaniyah. Selanjutnya dicantumkan jumlah ayat dan terkandang menyebutkan tertib turunnya dan hubungan surat dengan sebelumnya.
Surat yang panjang dibagi menjadi beberapa bagian, setiap bagian terdiri dari beberapa ayat dan senantiasa memisahkan bismillah pada setiap awal surat. Dalam satu kelompok ayat dimulai dengan al-Tafsir al-Lafdhiy dari ayat-ayat tersebut yang menyerupai pola dalam tafsir al-Jalalain. Kemudian diikuti dengan apa yang disebut Lat}a’if haz}a al-Qism, terkadang disebut Abhats, Jawahir atau cerita-cerita.
Terkadang membuat judul khusus yang mempunyai hubungan dengan judul sebelumnya, dan diakhir surat dicantumkan suplemen penafsiran surat tersebut yang meliputi beberapa fas}l. Terkadang membuat al-Lat}a’if umum pada setiap bagian. Semua pembahasan tersebut kecuali al-Tafsir al-Lat}a’if dipenuhi dengan pembahasan ilmiah eksperimental yang diperjelas dengan gambar-gambar dan rincian yang mendalam. Berhubungan dengan pembahasan-pemabahasan dalam tafsir ini, Fahd al-Rumi mensinyalir adanya unsur-unsur pengalaman kehidupan sehari-hari T{ant}awi yang dijadikan sumber penafsirannya, bahkan dari mimpinya atau hasil pengembaraan imajinasinya dari alam nyata ke alam metafisika yang kebanyakannya disebut dengan ilham. Sehingga terkadang tidak bisa dipilah di antara sumber-sumber keterangan tersebut satu dengan lainnya.
Untuk memperjelas pembahasan ilmiah diberikan gambar ilustrasi dalam jumlah yang banyak sekali, seperti gambar galaksi, bintang, matahari, bulan, air, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, hewan, ikan, manusia, kuman dan bakteri. Dan memuat daftar ilmiah matematika, kimia, fisika, peta bumi serta penemuan-penemuan baru di alam fisik ini.
F. POSISI T}ANT}AWI
Para ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap T{ant}awi. Ada yang menyatakan, ia seorang sosiolog (Hakim Ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi umat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahd}ah al-Ummah wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban Timur dan Barat yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan. membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem pemerintahan
Ada juga yang memposisikan T}ant}awi sebagai seorang Teosofi Alam (Hakim Thabi'i Lahuti) yang banyak mengkaji permasalahan sekitar ruh, keajaiban atau keanehannya. Penilaian ini dilandasi oleh beberapa bukunya, seperti (1) Jawahir al-'Ulum (Mutiara Ilmu), dijadikan sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Mesir, mengisahkan pemuda Mesir yang ingin menikah dengan putri Persia keturunan Turki; (2) al-Aiwah (Ruh). dan (3) al-Nidzam wa al-lslam (Peraturan Hukum dan Islam). Selain itu T{ant}awi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam (Keteraturan Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan, manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam al-Samawat) fenomena kehidupan Raja, politik Islam, dan " Politik Konvensional, terbit 1905. Ia mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba' al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam Kompatibel dengan hukum alam dan ilmu- ilmu modern.
Peneliti lain menempatkan T{ant}awi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan zaman modern. Pernyataan ini terlihat jelas dalam kitab Tafsir al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu al-Ta>j wa al-Muras}s{h} bi Jawa>hir al-Quran wa al-'Ulu>m (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat Yunani. Ilmu modern dan teks al-Quran.
G. TINTA EMAS THANTHAWI
Di antara karya tulisnya yang beredar antara lain ;
1.      al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim,
2.      al-Arwah,
3.      Ashl al-Alam,
4.      Aina al-Insan ?,
5.      al-Taj al-Mursyi` Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum,
6.      Jamal al-Alam: Dirasat fi al-Hayawan wa al-Thair wa al-Hawam wa al-Hasyarat,
7.      Jawahir al-Ulum,
8.      Jawahir al-Taqwa,
9.      al-Nadhru fi al-Kauni Bahjah al-Hukama wa Ibadah al-Adzkiya,
10.  al-Zahrah fi Nidham al-Alam,
11.  al-Sirr al-Ajib fi Ta`addud Azwaj al-Nabi,
12.  Sawanih al-Jauhari,
13.  Nidham al-Alam wa al-Umam,
14.  al-Nidham wa al-Islam,
15.  al-Qur’an wa al-Ulum al-`Ashriah

Sebagian karya tulis T>>{>>ant}awi telah disebutkan di atas, sebagiannya pula telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Beberapa buku lainnya adalah:

1. Jamal al-'Alam (Keindahan Alam), membahas tentang hewan, burung,      serangga, dikemas dengan cara ilmiah dan agamis, dicetak 1902 M/ 1320 H atas dorongan penyair sungai Nil1, Hafidz Bek Ibrahim.
2. Buhjah al-'Ulum fi al-Falsafah al- 'Arabiyah wa Muwazanatuha bi al-'Ulum al- 'Ashriyah (Keelokan ilmu pengetahuan dalam Filsafat Arab serta Posisinya-dalam Ilmu-ilmu Kontemporer), terbit 1936, memuat uraian agama dan filsafat, filsafat Al-Farabi, serta sejarah filsafat Yunani.
3. Al-Musiqa al-'Arabi (Musik Arab), memuat tiga artikel tentang seni musik dan filsafat musik,asal usul ilmu arud serta pendapat ahli hikmah tentang musik.
4. Sawanih al-Jawhary (Kesempatan Berharga), kumpulan catatan harian
T{ant}awi. tentang alam sekitar dan perkembangan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri timur. Ia juga menafsirkan tentang "nafsu syahwat" yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia.
5. Al-Sirr al- 'Ajib fi Hikmah Ta 'addud Azwaj al-Nabi (Rahasia Agung Tentang Hikmah Poligami Nabi). Sesuai dengan judulnya buku ini membahas tentang poligami di kalangan umat Islam, serta praktek poligami yang dilakukan Nabi saw.
6. Bara'ah al-'Abbasiyah, buku sejarah yang dikemas dalam bentuk
sastra, mengklarifikasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja'far al-Barmaki yangh ditulis semasa Kihalifah Harun al-Rasyid.
7. Risalah 'Ain al-Namiah (Tulisan Tentang Semut), mengungkapkan perjalanannya bersama ahli kedokteran dan dosen-dosen lain mengenai keajaiban semut, seperti mata semut yang tersusun alas 200 "bola mata" dan setiap mata bersifat otonorn penuh.
8. Al-Qur'an wa al- Vium al-Ashriyyah (Al Quran dan llmu-llmu Modern), terbit tahun 1342 H/1923, isinya mendorong umat Islam untuk menghimpun kemampuan mereka dan menguasai ilmu-ilmu mdern, sehingga mereka menjadi pemilik yang sah, dari ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah Allah janjikan agar umat Islam menguasai burni dengan adil.

Adapun karyanya yang paling mengagumkan dan fenomenal yang dapat dinikmati hingga sekarang adalah al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim yang dikenal dengan “Tafsir al-Jawahir” merupakan salah satu kitab tafsir modern dengan kecenderungan ilmiah.

H. APA PERBEDAAN ANTARA T{ANT{AWI AL-JAUHARI DENGAN SYAID   
    T{AN{TAWI
Kita mengenal bahawa nama T{antawi ada dua, penulis pingin menjelaskan  supaya yang mebaca maklah ini tidak salah melihat sosok T{ant}awi, kalu di lihat dari sepintas lalu kita akan merasa bahwa T{ant}awi cuman ada satu padahal ada dua nama yaitu T{ant}awi al-Jauhari yang mengarang kitab Tafsir Jawahir fi Tafsir al-Quran  dan Tafsir Washid karangan Syaid T{ant}awi. Kedua mufasir ini ada sedikit perbedaan dalam menafsirkan al-Quran, kita lihat dari metode yang dipakai Syaid Tantawi adalah bahwa ia tidak panjang lebar menjelaskan permasalahan Wujuh al-'irab, dan apabila ia menemukan pendapat-pendapat dan ia hanya memokuskan pendapat yang dianggap lebih besar dan lebih kuat alasannya. Berbeda dengan Tantawi Jauhari jarang sekali menggunakan pendekatan dengan 'irab, akan tetapi ada sedikit keunikan dari tafsir tantawi jauhari menurut hemat pemakalah,  permasalah dari lathaif yang di gunakan, di lathaif tantawi menjabarkan tentang apa yang bisa kita ambil dari yang di terangkan sebelumnya dengan kata lain faidah-faidah dari  ayat itu. Kalu di tafsir Syaid tantawi bahwa yang di gunakan sangat mudah di pahami baik di semua kalangan.
Ditafsir Tanrawi juga tidak mencamtumkan nomor pada tiap ayat. Kita harus teliti terlebih dahulu dikarenakan kesulitan bagi kita menemukan ayat yang kita cari, akan tetapi di tafsir wasit mencamtumkan nomor ayat, memudahkan kita untuk mencari ayat mana yang hendak kita teliti. Di tafsir tantawi banyak menggunakan kata ilmiah, bagi tahap pemula agak kesulitanmengartikan, berbeda dengan tafsir wasit sangat mudah dipahami baik di kalangan tahap pemula bahasa arab.
Dari perbedaan di atas keduanya mempunyai kelebihan masing-masing, akan tetapi mereka berusaha memberikan penafsiran yang bisa dimanfaatkan oleh manusia.__

I.   ADA APA DENGAN TAFSIR ILMIAH
Ada berbagai penilaian para pakar tentang Tafsir llmiah. Pertama, ada pendapat bahwa tatsir ilmiah berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks Al Quran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki sang mufassir. Kelompok ini diwakili oleh al-Zahabi dan Abu Hamid Al-Ghazali (w 1111 M).
Kedua, ada yang cenderung melihat fungsinya sebagai i'jaz al-Qur'an, pembuktian atas kebenaran teks Al Quran dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti (investigate) ilmu pengetahuan lewat teks al-Quran, Kelompok ini diwakili oleh Imam al-Suyuthi dan Muhammad bin Ahmad al-lskandaran
Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai Istikhraj al-'Ilm atau fa'zfz, yaitu teks atau ayat-ayat Al Quran mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern. Kelompok terakhir ini diwakili oleh Muhammad al- lyazi (1333 H) dan Abu Al-Fadl al-Mursi.
Menurut Jansen dalam Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern (1977:72), model penafsiran Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dsb. Tetapi ada saja sekelompok orang yang justru menyerang pendapat-pendapat Tanthawi. 'Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah intelektual.
J. ULAMA MENOLAK TAFSIR ILMI
Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menentang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi,
اِنَّ السَلَفَ الصَالِحَ مِن صَحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ يَلِيْهِمْ كَنُوا اَعْرَفُ بِالقُرْاَنِ وَبِالعُلُومِهِ وَمَا اَوْدَعَ فِيهِ
Artinya:
Bahwa semua ulama’ terdahulu dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan dan yang setelahnya, lebih mengetahui al-Qur’an, ilmu, dan segala problemnya.
Asy-Syatibi berpendapat bahwa metode yang diterapkan siapapun yang tidak pernah digunakan oleh para sahabat dan tabi’in maka metode itu tidak releven diterapkan dalam penafsiran. Termasuk yang tidak pernah dipraktekkan oleh sahabat dan tabi’ain adalah tafsir ilmi(saintifik). Oleh karena itu, menurut beliau tafsir saintifik ini tidak releven dalam tafsir Qur’an. Al-Syathibi berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut," dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya." Ulama ini menurut Qurais Shihab, telah lupa akan perintah untuk memfikirkan ayat-ayatnya tidak hanya ditujukan kepada sahabat saja tapi juga ditujukan kepada generasi sesudahnya yang tentunya generasi tersebut cara berfikirnya tidak sama dengan cara berfikirnya para sahabat, generasi sesudahnya berfikir sesuai dengan perkembangan lingkungan disekitarnya masing-masing.
Abu Hayyan Al-Andulisi saat mengkritik mufasir Fahrur Razi mengatakan, tafsir ilmi merupakan bentuk tafsir yang menyimpang dari cakupan ilmu tafsir.  Dr. Abd al-Majid Abdussalam al-Muhtasib, dalam kitabnya Ittijahat at-Tafsir fi al-Ashr al-Hadis, dengan tegas menolak tafsir ilmi. Menurutnya penafsiran seperti ini merupakan pemaksaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dalam pendapatnya ini beliau menilai orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan sebenarnya menempatkan ayat-ayat al-Qur’an pada posisi yang tidak semestinya.
“Saya tidak mengakui (mengingkari) orientasi tafsir Ilmi terhadap Al-Qur’an. Tidak dibenarkan memaksakan ayat-ayat Al-Qu’ran terhadap ilmu-ilmu kealaman. Saya tidak setuju kepada orang-orang yang berusaha mengambil teori-teori ilmiyah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qu’ran Al-Karim bukanlah kitab ilmu pengetahuan seperti Kimia, ilmu Atom, Geometri, ilmu Falak, ilmu Fisik, dan lain sebagainya. Tetapi , Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad S.A.W agar menjadi kitab hidayah, dan rahmat bagi manusia…”
Adapun kritikan yang paling tajam yang pernah dilontarkan kepada para mufasir ilmi adalah apa yang telah dilakukan oleh Dr. Mahmud Syaltut dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Karim, pada bagian muqaddimahnya ia menulis bahawa ada dua segi yang harus di jauhi atau dibersihkan dalam menafsirkan Al-Qur’an; pertama, menta’wilkan Al-Qur’an menurut pendirian berbagai aliran mazhab; dan kedua, mentafsirkan Al-Qur’an atas dasar teori-teori ilmiah. Hal ini (kata Mahmud Syaltut lebih lanjut) karana Allah SWT tidak menurunkan Al-Qur’an kepada manusia dengan tujuan menyajikan teori-teori ilmiah, teknologi, yang rumit-rumit dan bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Secara sederhana dapat di simpulkan hujjah-hujjah mengapa tafsir ilmi tertolak adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah kitab aqidah, syariat, adab dan kitab hidayah. Dan bukanlah tujuannya kita memperkatakan tentang kajian-kajian ilmiah, tapi cukup hanya mengarahkan manusia agar melihat dan berfikir. Dan ia tidak bertentangan dengan hakikat ilmiah.

2. Sesungguhnya aliran ini (yang setuju tafsir ilmi) bisa memalingkan manusia dari hidayah Al-Qur’an dan tujuannya yang asas dan utama, serta boleh menimbulkan syak umat Islam terhadap Al-Qur’an.

3. Sesungguhnya teori-teori sains sentiasa berubah dari semasa ke semasa. Apabila kita sandarkan teori-teori tersebut kepada Al-Qur’an akan membuat Al-Qur’an sendiri berubah mengikut perubahan tersebut.

4. Dengan tafsiran berbentuk ilmi ini banyak menyebabkan perubahan pada asal bahasa dan keluar dari balaghah Al-Qur’an.
Sebenarnya, semua hujjah yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama yang menolak tafsir ilmi tidak lebih hanya sekedar ingin menjaga kesucian Al-Qur’an, agar tidak tercemar dengan segala perubahan yang sentiasa berkisar pada teori-teori sains.

K. PENAFSIRAN TANTAWI
Kita lihat pada hewan lebah. Karena lebah  hewan yang disebutkan dalam al-Quran malahan menjadi nama surat dari surah yang ada di dalam al-Quran. Secara logika kita berpikir kenapa hewan ini di jadiakn allah sebagai penamaan surah? Menurut hemat pemkalah salah satu jawabanya adalah ketiga hewan ini mempunyai ke istimewaan yang bisa manusia  mengambil keistimewaan yang di miliki hewan tersebut. Penejalsan hewan tersebuat antara lain adalah kita mulai dari Hewan lebah: Bagai mana Allah  memberikan kasih sayang kepadanya. Kita lihat yang namanya laba-laba kebiasaanya mengambil sari pati bunga, padahal dia tidak menyadari bahwa kecerdasannya untuk membuka bunga lain dari macam-macam bunga, dan tidak mengetahui kapan buka itu mekar atau tidak, salah satu kasih sayng allah yang di berikan mengetahui bunga itu mekar pada awal waktu siang serta menyerap kelezatan terhadab bunga dengak kata lain mengambil sari pati tumbuh-tumbuhan dan kembali untuk meletakkan  apa yang dibawa, yang mengherankan adalah sebanyak itu bunga lebah tau mana yang baik untuk diambil. Serta manfaat untuk manusia dapat dirasakan adalah kesegaran alam.
Dalam surat al-Insaan, tiga cakupan yang terdapat didalamnya pertama : bagaimana Allah menciptakan manusia?akhir surat al-Qiamah sampai firman Allah sami'an bas}iraa. Kedua: balasan orang-orang yang bersyukur dan orang kafir dan sifat surga dan neraka  dari inna> h{adaina>hu al-sabi>la sampai firman Allah wa ka>na sa'iyan masykura>. Ketiga perintah nabi Saw dengan sabar, mengingat Allah, tahajjud di malam hari, dari inna nahnu nazzalna 'alaika al-Quran tanzi>la sampai akhir surat.
Sesuai dengan metode penafsiran tantawi, tantawi menggunakan cara tafsir secara lafzi, ini ditrerangkan secara mendalam. Salah satu contoh penciptaan manusia dijelaskan bahwa adam adalah bapak manusia, diciptakan adam 40 tahun dari tin (tanah), 40 tahun h{ammain masnu>n (tanah liat), 40 tahun s}alsal, maka terciptalah adam pada 120 tahun.
Terciptanya manusia terdiri dari dua unsur yaitu nabati dan hewan yang masuk kedalam makanan bapak dan ibu dan air yang di minumnya yang mengandung unsure 10 macam yaitu : oksigen, hedrogen, karbon, auzon, fosfor, botasium, magnesium, kalsium dan zat besi.
L. PENUTUP
Kehadiran kitab tafsir ini membawa arti yang besar dalam kehidupan ilmiah umat islam di jaman medern in setelah terjadi stagnasi pemikiran yang melanda umat Islam. Kalaulah pada awalnya, Syeh T{ant}awi menginginkan adanya kajian yang menurutnya mampu mengenalkan kita kapada Allah, namun hal itu dapat malupakan maksud dan tujuan awal dalam menulis tafsinya sehingga sebagian ulama menolak kehadiran kitab ini.
Maka pada saat kebangkitan ilmu keislaman di abad modern, tafsir al-Qur’an juga mengalami perubahan sebagai pengaruh induksi ilmiah islam. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya para ulama yang menafsirkan al-Qur’an pada abad modern ini. Salah satu kitab tasir yang mengalaminya adalah al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim merupakan karya besar dari Syekh T{ant}awi Jauhari.










Daftar Pustaka

Alim,  Sahirul, et.al Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, Departemen Agama RI, Jakarta, 1995.
al-Naqa>s,  Rija'>, dalam majalah al-mans}ur, tanggal 3 Novmber 1972.
al-Zahabiy,  Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, Cairo : Da>r al-Hadist, 2005.
Imam Ghazali, Jawahir al-Quran, Bairut : Dar Ihyaa al-Ulum, , 1991.
Jādū,  ʻAbd al-ʻAzīz.  Syeh T{ant}awi Jauhari: Dirasatu wa Nus}us}, Dar Ma'arif 1980.
Jauhari, T{ant}awi, Dira>sah wa Nus}us}.
Jauhari, T{ant}awi, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, Mesir : Mus}t}afa al-Babi al-H}alabiy wa>wala>h, jilid I,  2.
M. Ali al-lyazi , Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1373 H.
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, al-Qahira: Dar al-Manaar, 1947.
Muhammad bala>siy, Majalah al-Da>'iy , Februari 2011
Shihab,  M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, 1999.
Su'ud ibn Abdul Falah al-Fanisan, Ikhtiiaf al-Mufassinn, Asbabuhu wa atsaru , 1997


[1]  Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, (Cairo : Da>r al-Hadist, 2005, jilid I,  137.
[2] Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n,  441.
[3] Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, 441.
[4] Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, 441.

[5] M. Ali al-lyazi , Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum , 1373 H,   429.
[6] ʻAbd al-ʻAzīz Jādū, Syeh T{ant}awi Jauhari: Dirasatu wa Nus}us}, Dar Ma'arif 1980,  38.
[7]  T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, Mesir : Mus}t}afa al-Babi al-H}alabiy wa>wala>h, jilid I,  2.
[8]T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran,  2.
[9]T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran,  2.
[10] T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, 3.
[11]   T{ant}awi al-Jauhari, Muqadimah Tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim,  3.
[12]T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, 2.

[13] T{ant}awi al-Jauhari, Dira>sah wa Nus}us}, 55. Lihat juga Imam Ghazali, Jawahir al-Quran, Dar Hayah Al-Ulum, Bairut : Dar Ihyaa al-Ulum, 1991,  31-34.
[14] Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,  al-Qahira: Dar al-Manaar, 1947. juz 1,  22.
[15] T{ant}awi Jauhari, al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran,  19.
[16] Su'ud ibn Abdul Falah al-Fanisan, Ikhtiiaf al-Mufassinn, Asbabuhu wa atsaru 1997:53
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, 1999,  72.
[18] Rija'> al-Naqa>s, dalam majalah al-mans}ur, tanggal 3 Novmber 1972.
[19] Muhammad bala>siy, Majalah al-Da>'iy , Februari 2011
[20] Sahirul Alim, et.al Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, Departemen Agama RI, Jakarta, 1995,  75.

Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud