KAJIAN
ISLAM KOMPREHENSIP
PESAN
DIBALIK TEKS AL-QUR’A^N
Oleh: Apipudin
10.2.00.1.05.08.0061
Dosen
Team Teaching
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA
PENGANTAR
Mata
kuliah ini termasuk maata kuliah unik, karena selama kegiatan belajar, setiap
kali pertemuan materinya selalu berbeda. Sehingga mahasiswa jadi banyak tahu,
sekalipun tidak tahu banyak. Di sisi lain lewat mata kuliah ini mahasiswa
dituntut untuk meliaht islam dari berbagai sisi. Baik ekonomi, sosial, politik,
sejarah, dan yang lainnya.
Tugas
akhir dari mata kuliah ini adalah membuat makalah sesuai dengan konsentrasinya.
Di kelas kami, yang kegiatan belajarnya pada hari jumat, dari jam delapan
sampai jam sepuluh, mendapat tugas dua makalah. Pertama makalah Islam dan
Lingkungan, yang kedua makalah kajian komprehensip sendiri. Pada tugas kajian
Islam Komprehensip semua mahasiswa membuat makalah sesuai dengan
konsentrasinya. Penulis yang konsentrasi dibidang tafsir, menulis makalah yang
berhubungan dengan tafsir. Pada makalah penulis mengangkat judul, yaitu; pesan
diblik teks al-Qur’a^n.
Pada
pembahasan ini penulis sangat berharap dapat memberikan kontribusi dalam
keilmuan tafsir. terutama dalam mengungkap pesan dibalik teks surat al-Adiyat,
yang secara teks surat ini antara ayat 1 sampai 5 dengan ayat 6 sampai 11 tidak
ada korelasinya. Pada ayat satu sampai 5 berbicara binatang yang berlari
kencang, dengan penafsiran ulama beragam, ada yang menafsirkan kuda, dan ada
yang menafsirkan unta.
Karya
tulis ini semoga menjadi jawaban ada korelasi antara ayat yang secara teks
tidak ada hubungannya. Juga sebagai pembuka cakrawala tafsir, yang beraneka
ragam. Menyadarkan para pemabaca, bahwa semua mufasir berusaha menangkap pesan
Allah swt, yang tertuang dibalik teks al-Qur’a^n. Dengan cara memperlihatkan
beragam mufasir dalam menafsirkan ayat, pembaca sadar bahwa makna hakiki dari
al-Qur’a^n adalah tidak ada yang tahu, kecuali Allah swt.
Pesan
Allah swt yang tertangkap oleh mufasir dipengaruhi oleh latar belakang mufasir,
sosial dimasa ia hidup. Ketidak samaan satu mufasir dalam menafsirkan al-Qur’a^
dengan mufasir lain, bukan satu indikasi mufasir tidak konsekwen dalam
menafsirkan, melainkan satu bukti bahwa al-Qur’a^n dapat eksis disetiap masa,
dan sanggup menjawab persoalan yang sedang berlangsung.
Satu
anugrah bagi kita Allah swt dalam firman-Nya, terbagi dua, pertama qath’iy,
yang kedua dhanni. Ayat yang qath’iy, dengan membaca terjemah orang
dapat menangkap maksudnya. Berdeda dengan ayat dhani, orang tidak akan
menangkap maksudnya hanya dengan terjemah. Pada ayat inilah mufasir berusaha
keras menggali maksud ayat tersebut. Dalam menafsirkan biasanya ayat yang qath’iy
menjadi tolak ukur, untuk membuka maksud ayat yang dhani.
Pada
makalah ini penulis memberikan gambaran-gamabaran mufasir dalam menggali ayat,
terutama dalam surat al-Adiyat. Pembaca dapat membangdingkan antara mufasir
satu dengan yang lainnya.
Pada
akhirnya penulis banyak mengucapkan terima kasih kepa para Dosen yang telah
memberikan tugas kepada penulis sehingga penulis terpacu untuk menuliskan
sebuah karya yang berkatan dengan konsentrasi penulis, yaitu tafsir. semoga
kita berada pada naungan Allah swt. Amin.
Penulis.
KAJIAN
ISLAM KOMPREHENSIP
PESAN
DIBALIK TEKS AL-QUR’A^N
1.
Pendahuluan
Al-Qur’a^n yang diturunkan Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril sebagai hudan[1]
bagi manusia. Karenanya al-Qur’a^n yang arti harfiahnya bacaan harus dapat
dibaca dan difahami kasudnya oleh manusia. Kaitannya dengan hal itu para ulama
berusaha keras untuk dapat membaca dan memahami al-Qur’a^n. Ada ulama yang
konsentrasi dalam bacaan al-Qur’a^n (Qiraat), ada juga yang konsetrasi
menangkap maksud al-Qur’a^n (Tafsir). Ulama yang konsentrasi dibidang qiraat
mendapat gelar Ahlul Qura. Sementara ulama yang konsentrasi dibidang
tafsir mendapat gelar Mufasir.
Ahlu al-Qura, berusaha keras dalam
bacaanteks al-Qur’a^n yang tujuannya, bagaimana cara membaca teks. Namun karena
al-Qur’a^n secara teks baru maka ulama qiraat pun berbeda dalam menentukan
bacaan teks, bahkan sampai lima puluh qiraat, yang pada gilirannya diseragamkan
menjadi tujuh qiraat yang disebut qiraat sab’ah[2].
Bahkan bukan hanya dalam bacaan saja yang mengalami perubahan, penulisanpun
mengalami perubahan, dari mulai manuskrip sampai tulisan seperti sekarang[3].
Al-Qur’a^n teksnya baru (hadits),
sementara maknanya terdahulu (qadim)[4]. Tidak ada seorangpun yang
mengetahui maksud al-Qur’a^n secara hakiki. Semua mufasir hanya mencoba
memahami. Namun pemahaman mufasir berdasarkan keilmuan yang dimiliknya. Bukan
pemahaman yang tidak bertanggung jawab, semua yang mereka fatwakan yang
diabadikan di dalam kitab tafsir hasil kerja keras atas keilmuan. Karena maksud
al-Qur’a^n secara hakiki tidak ada yang tahu, maka para mufasir dari masa
kemasa berusaha keras menangkap maksud al-Qur’an dengan berbagai macam pendekatan, baik secara ra’yi, maupun riwayat,
bahkan ada yang mengunakan keduanya[5]. Berbagai pendekatan
digunakan untuk menjawab persoalan yang sedang berlangsung.
Pada masa s}ahabat tafsir pendekatan
riwayat lebih populer, dibandingkan dengan metode yang lainnya. Pendektan ijtihad
adalah cara kedua, setelah riwayat dalam menafsirkan ayat. Timbulnya
perselisihan dalam menafsirkan al-Qur’a^n setelah lahir metode pendekatan
ijtihad (ra’yu). S}ahabat terbagi kedalam dua kubu dalam menafsirkan,
ada yang berpegang teguh pada riwayat (Tafsir bil Manqul), dan ada yang
berpegang teguh pada ijtihad (ra’yi)[6].
Bentuk apapun tafsir tujuannya satu yaitu
menangkap maksud firman Allah swt, yang tersembunyi dibalik teks. Teks tidak
berubah yang berubah hanya penafsiran terhadap teks, sehingga dari masa kemasa
penafsiran selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun
perkembangan penafsiran tidak mengaburkan esensi al-Qur’a^n sebagai firman
Allah swt. Perubahan penafsiran merupakan salah satu bukti bahwa la-Qur’a^n
selalu eksis, dan relevan menjawab pesoalan hidup manusia.
Secara umum metodologi menafsirkan
al-Qur’a^n ada empat; yaitu, ijmali (global), muqarin
(komprehensip), maudhu’i (tematik), dan tahlili (analitis). Empat
metodologi tersebut coraknya dan sumbernya berbeda-beda. Ijmali, muqarin,
maudhui, dan tahlili coraknya bisa lughawi, kalami, dan fiqhi, misalnya, atau
falsafi. Bukan hanya corak saja yang berbeda tetapi sumberpun berbeda. Ada
tafsir yang sumbernya ijtihad, ada juga tafsir yang sumbernya riwayat.
Metodologi, corak dan sumber ditentukan oleh kecendrungan mufasir[7].
Baik tafsir ysng mengunakan ijtihad,
ataupun riwayat, keduanya ada sisi lebih dan sisi kurang, yang merupakan
menjadi ciri kas tafsir. Tafsir yang sumbernya ijtihad, telihat sangat luas
dalam menafsirakan ayat, sehingga tampa sadar mufasir menjelaskan tentang
keahlian dirinya. Sementara tafsir yang bersumber riwayat, terlihat kaku, tidak
luas seperti luasnya tafsir ijtihad, namun mufasir terpelihara dari hawa nafsu
dan memperlihatkan keahlian dirinya.
Secara fitrah manusia butuh Tuhan,
dan al-Qur’a^n sebagai pesan Tuhan dari masa ke masa berusaha digali oleh
manusia untuk menagkap pesan itu. Hasil dari menggali pesan Tuhan dikatakan
tafsir. Tidak ada jenuhnya manusia berusaha keras menangkap pesan al-Qur’an,
baik secara teks maupun konteks. Sehingga tidak dipungkiri perkembangan
penafsiran selalu berjalan. Bermunculan berbagai bentuk tafsir, merupakan bukti
dari usaha keras dari usaha untuk menangkap pesan Tuhan. Sekalipun hasilnya
berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang mufasir.
Salah satu cara untuk melihat secara
konkrit dari usaha kerasa mufasir, penulis akan mrembandingan empat mufasir
yang masing-masing pendektannya berbeda, yaitu al-Maraghi (Tafsir Maraghi),
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy(Fath al-Qadir), Aliyuddin bin
Muhammad al-Baghdadi (Tafsir Kahzin), dan Shaik Nawawi al-Bantaniy (Tafsir
Marah Labid). Ke empat mufasir ini dalam menangkap firman Allah menggunakan
cara yang berbeda dan hasilnya pun berbeda. Di bawah ini akan penulis uraikan
hasil penafsiran empat mufasir di atas terhadap firman Tuhan.
Tentunya penulisan tidak akan
menyajikan semua ayat yang ditafsirkan oleh empat mufasir tersebut. Karena hal
itu memerlukan waktu yang sangat lama dan pembahsan yang relatif banyak.
Penulis akan mengambil satu surat saja, yaitu surat al-Adiyat, yang ditafsirkan
oleh mufasir tersebut di atas.
2.
Surat
al-Adiyat
وَاْلعَدِيَاتِ ضَبْحَا (۱)
فَاْلمُوْرِيَاتِ قَدْحًا (۲) فَاْلمُغِرَاتِ صُبْحًا(۳) فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا(۴)
فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا(۵) اِنَّ اْلإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ(۶) وَاِنَّه’
عَلى ذَاِلكَ لَشَهِيْدٌ(۷) وَاِنَّه’ لِحُبِّ اْلخَيْرِ لَشَدِيْدٌ(٨) أَفَلاَ
يَعْلَمُ إِذَابُعْثِرَمَافِى ْالقُبُوْرِ(٩) وَحُصِّلَ مَافِى ْالصُّدُوْرِ(۱۰)
إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍلَخَبِيْرٌ(۱۱)
Demi kuda perang yang berlari
kencang dengan terengah-engah (1)
Dan kuda yang mencetuskan api dengan
pukulan (kakinya) (2)
Dan kuda yang menyerang tiba-tiba
diwaktu pagi (3)
Maka ia menerbangkan debu (4)
Dan menyerbu ketengah-tengah
kumpulan musuh (5)
Sesungguhnya manusia kepada Tuhannya
sangat ingkar (6)
Dan sesungguhnya manusia itu
menyaksikan keingkarannya (7)
Sesungguhnya ia sangat bakhir karena
kecintaanya kepada harta (8)
Apakah dia tidak mengetahui apabiala
dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur (9)
Dan dilahirkan apa ang ada di dalam
dada (10)
Sesungguhnya Tuhan mereka mengetahui
keadaan mereka (11)
Tarjamah
al-Qur’a^n bahasa Indonesia cetakan manapun sama, karena terjemah hanya dapat
mengantarkan pembaca pada alih bahasa, dari bahsa arab ke dalam bahasa
Indoneia. Berbeda dengan tafsir, setiap mufasir akan berbeda dalam menafsirkan
ayat ini, karena tafsir menggali maksud ayat, baik yang tersurat maupun yang
tersurat[8].
Satu surat ini pun karena berbeda pendekatan, maka berbeda pula tingkat
keluasan pembahasan.
Secara
teks ayat di atas tidak ada korelasinya (hubungan). Ayat satu sampai lima
berbicara binatang yang larinya kencang. Namun pada ayat 6 samapi 11 berbicara
watak manusia yang penuh dengan kedurhakaan terhadap Tuhan. Jika dilihat secara
teks, apa maksud ayat tersebut?. Tidak berlebihan jika kaum orientalis melihat
al-Qur’a^n karya yang tidak rasional dan sistimatis. Berbeda dengan mufasir,
justru menjadi tertantang untuk melihat lebih jauh dengan berbagai
pendekatan.
3.
Pandangan
Mufasir
Beragam
mufasir dalam menafsirkan suarat di atas, ada yang menitik beratkan pada
logika, ada juga yang menggunakan riwayat, bahkan ada yang mendekatkan
pendekatan keduanya. Di bawah ini penulis akan meyajikan empat pandangn mufasir
terhadap ayat di atas, dengan pendekatan yang berbeda. \
3.1.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi Maraghi (Tafsir Maraghi)
3.2.
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy (Fath al-Qadir)
3.3.
Aliyuddin (Tafsir Khazin)
3.4.
Shaik Nawawi al-Bantaniy (Tafsir Marah Labid)
Ahmad
Musthafa Al-Maraghi
Sebelum penulis
menjelaskan pandangan al-Maraghi dalam surat al-Adiyat, sebaiknya kita melihat
riwayat singkat al-Maraghi. Hal ini untuk mempermudah membaca pemikirannya
dalam menafsirkan al-Qur’a^n. karena pada umumnya mufasir, dalam penafsirannya
dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya. Banyak imformasi yang menjelaskan ,
bahwa; Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun'im
al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga
menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Beliau lahir di kota Marāghah,
sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah
selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M. Nampaknya, kota kelahirannya
inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-Maraghi tidak mutlak menunjukkan
kepada dirinya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.) di Hilwan, sebuah
kota kecil di sebelah selatan kota Kairo.
Ayahnya mempunyai 8 orang anak. Lima di antaranya
laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdul
Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa' Mustafa
al-Maraghi. Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah kaprah
tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Maraghi di antara kelima putra
Mustahafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Musthafa al-Maraghi juga
terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad
Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil
menafsirkan al-Qur'an secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir
beberapa bagian al-Qur'an, seperti surat al-Hujurat dan lain-lain. Dengan
demikian, jelaslah yang dimaksud di sini adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik
kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.
Setelah menamatkan pendidikan
dasarnya tahun 1314 H./1897 M, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke
Universitas al-Azhar di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping
mengikuti kuliah di Universitas Darul 'Ulum Kairo. Dengan kesibukannya belajar
di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang
beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909
M. Pada perguruan tinggi tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung
dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu,
seperti: Shaikh Muhammad Abduh, Shaikh Muhammad Bukhait al-Muthi'i, Ahmad
Rifa'i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber
bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang
menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah menamatkan pendidikannya
di Universitas al-Azhar dan Darul 'Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di
bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa
madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan
dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah
Mu'allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 Km.
sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen
Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum,
Sudan, selama empat tahun.
Pada tahun 1920, setelah
tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai
dosen Bahasa Arab di Universitas Darul 'Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan
Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada rentang
waktu yang sama, al-Maraghi juga mengajar di beberapa madrasah, di antaranya
Ma'had Tarbiyah Mu'allimah, dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di
Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi
penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.
Al-Maraghi adalah salah seorang
tokoh terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam usianya yang
terbentang selama 71 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di
beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan
sumbangsih yang besar terhadap umat ini lewat beragam karyanya. Salah satu di
antaranya adalah Tafsīr al-Marāghi, sebuah kitab tafsir
yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Karya-karyanya yang lain, yaitu:[9]
1. Al-Hisbat fi
al-Islâm;
2. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh;
3. 'Ulûm al-Balâghah;
4. Muqaddimat at-Tafsîr;
5. Buhûts wa Ārâ'
fi Funûn al-Balâghah; dan
6. Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, penulis
tafsir al-Maraghi. Nama tafsir tersebut terambil dari namanya al-Maraghi.
Tafsir ini terdiri dari 10 juz, yang ditulis dengan bahasa arab. Seorang
mufasir yang kelahiran Mesir dalam menafsirkan al-Qur’a^n dengan pendekatan
ra’yu (logika), sebagai jawaban pada kondisi soial Mesir ketika itu.
Sistimatika
penulisan
Al-Maraghi dalam penulisan tafsir
surat al-Adiyat, sebagai berikut;
1.
Menuliskan
nama surat,
2.
Menuliskan
diturunkan surat
3.
Menjelaskan
korelasi dengan surat sebelumnya
4.
Menuliskan
menuliskan surat al-Adiyat dari awal surat sampai akhir, yakni dari ayat satu
sampai 11.
5.
Tafsir
lafad (mufradat),
6.
Menafsirkan
perkalimat
7.
Penafsiran
secara umum
Jika diperhatikan penafsiran
al-Maraghi, dari ayat satu sampai 11 (sebelas) tidak ada satu ayatpun yang ditafsirkan
berlandaskan hadits, semuanya berdasarkan ra’yu. Penafsiran berdasarkan
ayat yang lainpun hanya dua, yaitu surat al-Fal ayat 60 dan surat ali
Imran ayat 18. Surat al-fal ayat 60 menjadi sumber penafsiran surat al-Adiyat
ayat satu sampai lima. Sementara surat ali imran ayat 18 dijadikan penafsiran
surat al-Adiyat ayat 6 sampai 11. Jelas sekali penafsiran al-Maraghi
berdasarkan ra’yu. Cara al-Maraghi menafsirakan ayat, pertama sharah
mufradat (kosa kata), kemudian idhah (penjelasan).
Pada ayat satu sampai lima,
menurutnya, adalah gambaran orang yang beriman, tunduk dan patuh pada aturan
Allah swt. Kuda merupakan binatang yang tunduk dan fatuh pada majikannya,
padahan kuda punya kemampuan hebat. Sumpah atas nama kuda merupakan kemanfaatan
kuda, dan tolak ukur kekayaan masharakat ketika itu[10].
Al-Maraghi dalam menafsirkan al-Qur’a^n dengan
cara menggabungkan akal dan naql[11],
hal itu tentu dipengaruhi situasi Mesir yang tidak menentu, baik sisi
sosial, pemerintah, dan berbagai penetrasi luar, politik pemerintah yang
cenderung memelihara kepentingan barat[12]. Tampil al-Maraghi mufasir
rasional, sebagai jawaban terhadap kondisi yang ada. Maka tidak berlebihan jika
Musthafa al-Maraghi dalam menafsirkan al-Qur’a^n cenderung rassional, dan
terkesan meyampingkan riwayat, terlebih dalam penafsiran surat al-Adiyat.
Aliyuddin
Muhammad bin Ali al-Baghdadi
Aliyuddin Muhammad bin Ali
al-Baghdadi adalah seorang mufasir berkelahiran Bagdad. Tafsirnya tercetak
sebanyak empat juz, yang ditulis dengan bahasa arab. Cara yang ditempuh oleh
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy dalam menafsirkan al-Qur’a^n terutama
surat al-Adiyat adalah perkalimat, yang bersumberkan ra’yu. Tidak ada
satu kalimat pun dalam surat al-Adiyat, yang dalam penafsirannya menggunakan
ayat al-Qur’a^n atau hadits. Yang dimasukan sebagai sumber penafsiran hanya
sebatas pendapat s}ahabat[13].
Sistimatika
penulisan
1.
Nama
surat
2.
Menjelaskan
turun surat berdasarkan riwayat
3.
Menuliskan
jumlah ayat, kalimat, dan huruf
4.
Kemudian
menafsirkan perkata
Dalam menafsirkan surat al-Adiyat
dari ayat pertama samapai akhir, yakni ayat 11 tidak memberikan kesimpulan.
Penafsiran hanya cukup pada perkalimat, tidak dapat menarik kesimpulan apa
korelasi antaraayat pertama samapi lima, dengan ayat 6 sampai 11. Pembaca hanya
dapat penjelasan perkalimat. Terkesan mufasir ini memberikan kebebasan kepada
para pembaca untuk menyimpulkan.
Dengan membaca tafsir ini pembaca
hanya dapat mengetahui tafsiran perkalimat, tidak dapat mengetahui maksud dari
ayat secara keseluruhan. Namun ada kekhasan al-Khazin adalah, setiap akan
menafsirkan ayat selalu diawali dengan penjelasan jumlah ayat, kalimat dan
huruf. Seperti dalam penafsiran surat al-Adiyat, yaitu dengan cara menjelaskan
jumlah ayat sebanyak 11, kalimat sebanyak 40, dan seratus enam puluh tiga huruf[14]. Iinilah yang membedakan
antara tafsir khazin dengan yang lainnya.
Tafsir khazin dan tafsir al-Maraghi
keduanya bersumberkan ra’yu, namun ada sisi perbedaan yaitu dalam
menghubungkan seruluh ayat dari surat al-Adiyat. Al-Maraghi menyebutkan
korelasi antara ayat 1-5, dengan ayat 6-11. Sementara dalam tafsir khazin tidak
sebutkan, mufasir hanya menafsirkan perkalimat sehingga terkesan tidak ada
hubungan antara ayat 1-5, dengan ayat 6-11.
Muhammad
bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy
Muhammad bin Ali bin Muhammad
As-Saukaniy, adalah seorang penulis tafsir fath al-Qadir. Sebuah tafsir yang
berdasarkan dirayah (ra’yu) dan riwayat (hadits). Cara seperti ini yang
jarang ditempuh oleh mufasir lain. Tafsir ini terdiri dari 5 juz tafsir, dan
satu juz mufaras, jadi jumlah keseruhun menjadi enam juz. Suatu karya yang
dijelaskan pada bagian judul, bahwa tafsir ini adalah tafsir yang pendekatannya
riwayat dan logika[15]
Sistimatika
penulisan dalam surat al-Adiyat, sebagai berikut:
1.
Menulis
nama surat
2.
Menujelaskan
jumlah ayat
3.
Menjelaskan
kata gori surat, artinya surat al-Adiyat itu diturunkan di Mekah atau Madinah
4.
Menjelaskan
as-Bab an-Nuzul
5.
Menuskan
nama surat
6.
Menuliskan
bismilah
7.
Menuliskan
surat al-Adiyat
8.
Menafsirkan
lafadz perlafadz surat al-Adiyat
9.
Dan
jika perlu menjelaskan nahwu dan syarafnya.
Dalam penafsiran surat al-Adiyat, mufasir ini
esensinya sama dengan Aliudin penulis tafsir al-Khazin, yaitu tidak menafsirkan
korelasi antara ayat satu samapi lima dengan ayat enam sampai sepuluh. Sehingga
pembaca tidak dapat menangkap makna yang tersirat di balik teks penafsirannya.
Shaik
Nawawi al-Bantani
Di antara tokoh kitab kuning di
Indonesia adalah, Shaikh Nawawi Al-Bantani, Shaikh Abdul Shamad Al-Palimbani, Shaikh
Yusuf Makasar, Shaikh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Shaikh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini
termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di
Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa
tokoh tadi, nama Shaikh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya.
Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. 1813 ini
layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai
pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah
al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Shaikh Nawawi
sejak kecil telah diarahkan ayah nya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama.
Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu
Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten.
Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar
Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya,
Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim
haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu
menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada
ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil
Haram Shaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Shaikh
Nahrawi, Shaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan
Shaikh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama
Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air.
Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak
menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat
tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi
pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu
berkobar. Akhirnya, kembalilah Shaikh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan
ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di
Masjidil Haram. Ketika Shaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil
Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam
Masjidil Haram dengan panggilan Shaikh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam
Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck
Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Shaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00
memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara
muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi
Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari
dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di
tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Shaikh Nawawi sangat giat dalam
menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia
termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai
persoalan agama. Paling tidak 34 karya Shaikh Nawawi tercatat dalam karya Yusuf
Alias Sarkis.[16]
Beberapa kalangan lainnya malah
menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan
lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red)
seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh
Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz
Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian
karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan
karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga
sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan
pendirian yang khas, Shaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi
perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Shaikh Nawawi misalnya, tidak
agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia
kooperatif dengan mereka. Shaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan
kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia
ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran
dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Shaikh Nawawi mendasarkan
pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, sama seperti
ulama yang lain. Namun Nawawi menambahkan selain dari al-Qur’a^n dan hadits,
yaitu; bertadklid atas madzhab yang empat. Empat pijakan ini seperti yang
dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai dan (mengikuti
salah satu ajaran), Shaikh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid
(ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi
keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara
selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut.
Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai
pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam
soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam
kini.
Seperti yang telaah diuraikan di
atas, Shaik Nawawi al-Bantani adalah seorang mufasir Indonesia yang mashur di
dunia Islam. Beliau adalah seoran penulis sebuah karya tafsir yang diberinama
Tafsir Marah Labid. Tafsir ini ditulis dalam bahasa arab. Sungguh sangat
mengagungkan, seorang anak bangsa pada zaman itu sanggup menulis karya dengan
tulisan arab dan berbahasa arab yang tersebar di dunia Islam.
Tafsir ini berjumlah dua juz, dengan
jumlah halaman, juz pertama sebanyak 510 halaman, dan juz kedua berjumlah 472
halaman. tafsir Marah Labid dipengaruhi oleh empat tafsir, yaitu; tafsir
al-Futuh al-Ilahiyah, Mafatih al-Ghaib, al-Siraj al-Munir, Tanwir al-Miqbas,
dan Tafsir Abi al-Su’u^d.
Sistimatika
penulisan tafsir surat al-Adiyat
Shaik Nawawi al-Bantani dalam
penulisan tafsir surat al-Adiyat, sebagai berikut;
1.
Menuliskan
nama surat, sekaligus, turun surat, jumlah ayat, jumlah kalimat, dan jumlah
huruf.
2.
Menuliskan
bismilah
3.
Menafsirkan
perkalimat
Dalam
penafsirannya al-Bantani menggunakan ijtihad, dan riwayat. Namun yang sangat
mendominasi dalam penafsirannya adalah ijtihad. Sehingga sekalipun tidak
dikatakan, dapat ditangkap sebuah pemahaman bahwa tafsir Marah Labid termasuk
tafsir yang sumbernya riwayah dan dirayah.
Al-Bantani
dalam menafsirkan surat al-Adiyat, tidak menjelaskan korelasi antara ayat satu
sampai lima dengan ayat enam sampai sebelas, sehingga terkesan ayat tersebut
tidak berhubungan padahal dalam satu surat. Pembac hanya dapat menangkap
penafsiran dari perkata.
4.
Kesimpulan
Setelah
saya analisa empat tafsir, yaitu Tafsir al-Maraghi, Tafsir Khazin, Tafsir Fath
al-Qadir, ternyata semunya punya sudut pandang yang berbeda dalam menangkap
pesan teks dibalik al-Qur’a^n, terutama dalam surat al-Aditay. Setiap mufasir
yang mempat punya sisi lebih dan sisi kurang, sehingga semuanya saling
melengkapi.
Jika klasifikasi dari empat tafsir
di atas, secara umum sekurangnya dapat digolongkan kedalam dua bagian. Tafsir
al-Maraghi murni tafsir dengan pendekatan ra’yu. Sementara tafsir Marah Labid,
tafsir Khazin, dan tafsir Fath al-Qadir, tafsir yang pendekatannya selain ra’yu
juga riwayat.
Dalam menafsirkan surat al-Adiyat tiga tafsir di atas, yaitu Tafsir Fath
al-Qadir, Tafsir Khazi, dan Tafsir Marah Labid, hanya menafsirkan teks ayat,
sehingga terkesan ayat al-Qur’a^n farsial, terutama surat al-Adiyat, tidak ada
korelasi antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan satu tafsir
ini, yaitu al-Maraghi, selain menafsirkan teks ayat, juga menafsirkan makna
filosofis dibalik teks. Sehingga terkesan antara satu ayat dengan ayat yang
lain ada korelasi yang tidak dapat difisahkan.
Konteksnya dengan surat al-Adiyat,
al-Maraghi melihat utuh satu kesatuan.
Sementara tafsir yang tiga di atas, memisahkan
antara ayat satu sampai lima dengan ayat enam sampai sebelas. Tafsir yang tiga
ini dalam menafsirkan ayat satu samapi lima, dan ayat enam sampai sebelas
dengan pendekatan as-Bab an-Nuzul, yakni dengan pendektan riwayat[17].
Perbedaan dalam menfsirkan
al-Qur’a^n terutama surat al-Adiyat, melahirkan pemahaman pada kita, yaitu, dapat
ditarik satu kesimpulan bahwa pesan al-Qur’a^n hanya Allah swt yang tahu,
mufasir hanya mencoba memahami dengan keilmuan yang kuasai. Maka tidak dapat
dibantah dari masa ke masa perkembangan penafsiran selalu berkembang memjawab
persoalan yang sedang berlangsung. Persoalan setiap masa disetiap negara dan
individu berbeda, manusia baik secara individu mapun secara kelompok akan
mencari tafsir yang dapat memjawab persoalannya.
Dengan
lahirnya berbagai pandangan mufasir, satu bukti bahwa pesan dibailk teks
al-Qur’a^n tidak ada yang tahu. Tetapi sungguh pun demikian bukan berarti kita
harus berpaling dari penafsiran ulama, justru membandingkan satu dengan yang
lain, mana yang lebih realistis, dan cocok dengan kondisi yang kita hadapi.
Dari sekian mufasir di atas,
ternyata yang menafsirkan secara global, artinya ada korelasi antara ayat satu
sampai ayat terakhir dalam surat al-Adiyat, adalah al-Maraghi. Yaitu dengan
cara, bahwa ayat pertama sampai lima merupakan gambaran orang yang beriman,
yang selalu tunduk dan patuh pada aturan. Sementara ayat enam samapi akhir
adalah gambaran orang kafir, yang selalu ingkar kepada Allah swt.
Uraian di atas tentang penafsiran
surat al-Adiyat menyadarkan kita bahwa semua mufasir berusaha keras menangkap
makna pesan dibalik teks. Namun karena latar belakang yang berbeda, maka cara
pendekatannya pun berbeda. Perbedaan bukan mengaburkan makna al-Qur’a^n
melainkan menyakinkan kita bahwa yang mengetahui makna secara hakiki adalah
Allah swt.
Berbagai
pendekatan yang digunakan mufasir dalam surat al-Adiyat menambah khazanah dalam
dunia islam. Sekaligus sebagai kontribusi bagi generasi berikutnya.\ pembaca
pada mulanya dibingungkan oleh para mufasir, namun setelah dikaji lebih jauh
justru semakin sadar, bahwa orang melihat al-Qur’a^n laksana melihat mutiara.
Semuanya akan menangkap sesuai dengan latar belakang hidupnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdu al, al-Sal>am
Ah{mad Nah{ra>wy. Al-Ima>m as-Shafi’y fi Madhhabaiyh al-qad>im
al-jad>id. (Disertasi: 1994)
A.
Steenbrink, Karel. Berapa aspek tentang Islam
di Indonesia Aad ke 19. (Jakarta:
Bulan Bintang. 1984).h.5
Al-Ajaj, The Historis
of The Quranic Teks, (Jakarta: Gema Insani Press), 2005
Ans{ary, Al, Abdul Wahab bin Ahmad bim Ali. Mizan al-Kubra. (Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia).
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir ( Bandung:
Pustaka Setia) Ct.lll 2005
As-Shidieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan dan Pengantar Ilmu al-Qur’a^n dan
Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra) 2000.
Bin,
Aliyuddin, Ali al-Baghdiy, Tafsir Khazin, dar al-Fikr
Bin,
Muhammad, Ali bin Muhammad As-Saukaniy Tafsir Fath al-Qadir, dar al-Fikr
Baidan, Nashruddin,
Metodologi Tafsir, (Surakarta: Pustaka Pelajar) 1997
Bagda>, al, Ala>
al-Di~n Ali bin Muhammad. Tafsi~r
Kha>zin.(Dar al-Fikr)
Baidan, Nas{ruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’ẫn,(Pustaka
Pelajar Offset 1998).
Bantani, Al, ShaikhNawawi,
Tafsir Marậh Labǐd, (Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani, Al, ShaikhNawawi,
Nihayah al-Tuzain, Nihayah, (Indonesia: Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bantani, Al, Shaik
Nawawi al-Bantaniy, Tizan Daharari, Dar al-Fikr
Bantani, Al, ShaikhNawawi, U’qud al-Jain, (Indonesia:Sirkah Nur Asia).
Bukhari, Imam, al. Matan Bukhari. (Indonesia: Dẫr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah).
Bakhtiar, Amsal. Filsafat
Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
Chaer, abdul. Tata Bahasa
Praktis Bahasa Indonesia. (Jakara: Rineka Cipta 2000)
Chaidar. Sejarah Pujanga Islam, ShaikhNawawi
al-Bantani. (Jakarta: CV.Sarana Utama), 1978
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : 1999). Cet.Ke-10
Depag, Tarjamah al-Qur’a^n
Hanafi, Ahmad. Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang 1970).
Harun, Salman. Mutiara
al-Qur’a#n, (Logos; Wacana Ilmu Dan Pemikiran 2004)
Husain, Al, Imam
Taqiyyuddin Abi Bakar bin Muhammad, Khifayatul
Akhyar, (Nur Asia)
http://www.khabarmuslim.com/tafsir-al-maraghi-memadukan-aql-dan-naql.html
Ima>du al-Din, al-Imam al-Ja>lil. Tafsir
Ibni Kathir. (Sirkah Nurasia)
Internet,
http//ulama.bogspot.com/2010/28/ShaikhNawawi al-Bantani.htm.
Internet, Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah, UIN Pasca Sarjana 2011
Ja>li~, al, Sulaiman
bin Umar. Al-Futuh{
al-Ilahiyah. (Dar
al-Fikr)
Kahmad, Dadang. Sosiolog Agama (Bandung:
Rosda sep 2000)
Kalil, Shauqi Abu, Atlas al-Quran. (Jakarta:
Al-Mahira 2006)
Lubis, Ibrahim. Agama Islam Suatu Pengantar, (Jakarta;
Galia Indonesi 1982)
Maraghi,al, Ahmad Musthafa, Tafsi{r Maraghi.
(Dar
al-Fikr)
Mahsun. Metode
Penelitian Bahasa. (Jakarta: Raja Grafika Persada 2005)
Muhammad, Husain, K.H. Fiqih Perempuan: Refleksi Kyai atas wacana
Agama dan Jender, (Yogyakarta: LKS,2000).
Malik, al-Imam. Al-Muathậ. (Dậr al-Fikr), Kitab Talak.
Hadits ke 1248.h.359
Nasution, Harun, Filsafat & Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang) tahun
1978.
Nisai~, al, Abi Abdi ar-Rahman Ahmad bin Shaib
bin Ali. Tafsi~r Nasai{. (Dar al-Fikr)
Q. S{aleh, KH. Asbab an-Nuzul
(terjemah), (Bandung: Diponogoro) Tahun 2000.
Qurt{ubi, al. al-Ja>mi Liah{kami
al-Qur’a>n. (Dar al-Fikr)
Rahman, Ar,Abdul, Kitab Fiqih Ala al-Madzhab al-Arba’ah. Dar al-Fikr).
S{abuni, As{, Muhammad, ‘Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Dar al-kutub
al-Islamiyyah).
S{awi, Tafsir S{awi. (Dar al-Fikr)
Shaibany, Al, Omar Muhammad Al-Toumy. Falsafat
Pendidkan Islam (Jakarta: Bulan Bintang) Cet. 1979
Shauka>ni, Muhammad bin
Ali bin Muhammad. Fath{u
al-Qadi~r. (Dar
al-Fikr)
S{abuni, As{, Muhammad,
‘Ali. Az-Zawaj al-Islam Mubakiran
(Terjemah; Mas{uri Ikwani), (Jakrta: Pustaka Amani 1996)
S{aleh, A.A, Dahlan, As-Bab an-Nuzul. (Bandung CV Diponogoro 2000) Edisi2.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo Persada) cet 3 peb 2003
S{idieqy, As{, Tengku Muhammad Has{bi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’ẫn dan
Tafsir.(semarang: Pustaka Rizqi Putra Sep 2000).cet.3 edisi 3
S{ihab, Qurais{. Tafsir al-Mis{bah.
(Ciputat: 2000 Lentera Hati).
S{ihab, Qurais. Mukzzat Al-Qur’a#n.
(Bandung: Mizan Des 2003)
S{aw, as{. Tafsir
S{awi, (Jiddah Indonesia)
Syafi’iy, Imam. al-Um, (Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Imiyah).
Sha’ra>niy, Al-Imam Abdul Wahab. Al-Anwa>r
al-Qudsiyah. (Dar al-Fikr)
Sûyûthi, as, Rahman, Abdir, bin, Jalaluddin,
Naisaburi, an, Ras{iri, Ahmad, Bin Husain Ali bin. as-Bab an-Nuzul. Daru. Ibnu Hasim.
Shihab,
Quraish, Tafsir al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati) 2000
Tasmara. Toto. Dimens Doa dan Dikir (Yogja
Karta: Dana Bhakti Prma Yasa 1999) cet pertama
Tihani, MA. Pemikiran
Fiqih al-ShaikhMuhammad Nawawi al-Bantani, Disertasi Program Pasca Sarjana,
(Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah 1998).
Usmani-al, ShaikhMuhammad bin S{alih. Us{ul
fi al-Tafsir (Jakarta: Darus Sunnah Press) 2004
UIN, SPs, Jakarta, Pedoman Akademik,
(Jakarata: UIN)2009-2011
Zarqani, al, Muhammad Abdul Az{im. Manahil
al-Irfa>n. (Daral-Fikr)
[1] Petujuk sekaligus pembimbing hidup manusia, segala persoalan hidup
muslim harus bisa mencari jawaban di dalam al-Qur’a^n.
[3] Lihat al-Ajaj, The Historis of The Quranic Teks, (Jakarta: Gema
Insani Press)
[4] Shaikh Nawawi al-Bantani, Tizan Dharari, Dar al-Fikr, h.10
[5] Lihat Muhammad bin Ali
bin Muhammad As-Saukaniy, Tfasir Fath
al-Qadir, dar al-Fikr
(Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra) 2000,h.194-203
[7] Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi Tafsir, (Surakarta:
Pustaka Pelajar) 1997
[8] Lihat tarjamah al-Qur’a^n
fersi Depag, dan bandingkan dengan Tarjamah al-Qur’a^ fersi Arab Saudi.
[10] Lihat al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, juz, 10.
h.371-373
[11] lihathttp://www.khabarmuslim.com/tafsir-al-maraghi-memadukan-aql-dan-naql.html
[13] Lihat Aliuddin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Dar
al-Fikr, juz, 4, h.282
[14] [14] Lihat
Aliuddin Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Dar al-Fikr, juz, 4,
h.282
[15]
Lihat, Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Saukaniy, Tafsir Fath al-Qadir, Dar
al-Fikr, juz awwal.
[16] Lihat, http://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-1
[17] Lihat Tafsir Khazin, juz ke 4, Dar-Fikr, bandingkan dengan tafsir
Matah Labid, Dar al-Fikr, Juz ke 2, dan Tafsir Fath al-Qadir Dar al-Fikr, juz
ke 5,
2 komentar:
tulisannya bermanfaat gan
kunjungi balik ya di http://mystiforponline.blogspot.com/
Terima Kasih,...
Posting Komentar