AL-JAWAHIR FI
TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM
T}ant}awi Jauhari
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir al-Quran Timur Tengah
Kontemporer
Team Teaching : Prof. Dr. M. Yunan
Yusuf, MA (koord.)
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. Salman Harun, MA
Dr. M. Muchlis M. Hanafi, MA
Oleh :
Eka Adi Candra
NIM: 10.2.00.0.05.01.0128
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1432 H/ 2011
AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM
T}ant}awi al-Jauhari
A. Pendahulan
Seseorang yang mempelajari dan menelaah al-Qur’an, ibarat orang yang haus
meminum air laut, semakin meminumnya maka semakin haus dan senantiasa ingin
minum lagi. Ibarat ini tidaklah berlebihan bila melihat perpustakaan Islam yang
dipenuhi dengan kitab-kitab tafsir dari berbagai generasi. Metode yang
digunakan sangat beragam mulai tahli>li>, muqarri>n, mujma>l
ataupun maudu>'iy. Begitu juga coraknya bermacam-macam yang
mencerminkan kekayaan khasanah intelektual keislaman yang senantiasa dibaca,
ditelaah, diteliti dengan mengritisinya untuk mendapatkan suatu pemahaman yang
mendekati pesan Allah dalam al-Qur’an.
Perkembangan tafsir senantiasa beriringan dengan perkembangan keilmuan
keislaman. Pada awalnya kecenderungan penafsiran al-Qur’an hanya menggunakan riwayat
(al-tafsir bi al-ma’thsur), yang disusul dengan penafsiran menggunakan
ijtihad[1].
Para penafsir di masa kejayaan ilmu keislaman, baik dari kalangan penganut
aliran riwayat ataupun ijtihad biasanya lebih menekankan pada penafsiran dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan dari aspek balaghah, nahwu (kaidah bahasa
Arab), dan pendekatan fiqih atau falsafi. Dan setelah datang masa di mana
semangat dan kreativitas umat mulai melemah yang dilakukan oleh para mufassir
dengan menggunakan pola ringkasan, menukil atau memberikan syarah (catatan
pinggir suatu karya).
Al Quran telah memberikan contoh berkenaan dengan kehidupan nyata,
bagaimana pengembangan sumber daya manusia, pengembangan llmu pengetahuan,
pengorganisasian masyarakat, teknologi dan juga pemikiran serta pandangan,
bahwa alam semesta berikut seluruh isinya bukanlah merupakan realitas
independen, apalagi terakhir (ultimate), melainkan ‘tanda-tanda’ dari kebesaran
dan keberadaan Allah SWT.
Kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim T}ant}awi bin Jawhari dinilai
oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah (tafsir bi
al-'ilmy), yang pada masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat
Islam, khususnya dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan.
Kendati terjadi perdebatan seputar eksistensi penafsiran bercorak ilmiah,
kehadiran jenis tafsir ini secara umum masih dapat diterima dan dianggap tidak
bertentangan dengan Al Quran.
B. Biografi T{ant}awi al-Jauhari
T}ant}awi
bin Jawhari al-Mishriy dilahirkan tahun 1287 H/1862 M, (ada yang menyebut tahun 1870 M) di desa 'Iwadillah, di
propinsi administratif Mesir Timur.[2] Masa kecilnya, T}ant}awi hidup
bertani bersama orang tuanya, tapi ia juga belajar di kuttab (semacam pesantren
penghafal al-Quran) yang berada di desa al-Ghar, di samping belajar pada
pamannya, yang masih keturunan bangsawan. Menuntut ilmu di
masa kecilnya pada perguruan al-Azhar dan melanjutkan pendidikan menengahnya
pada sekolah pemerintah[3].
Tahun 1889,
T}ant}awi pindah ke Universitas Dar
al-'Ulum, hingga tamat pada 1893 M/ 1310 H[4].
Di sini ia mempelajari beberapa mata kuliah yang tidak diajarkan di al-Azhar,
seperti matematika (al-Hisab), ilmu ukur (handasah), aljabar,
ilmu falak, botani ('Ilm al-Nabat), fisika ('Ilm al-Habi'ah), dan
kimia (al-Kimiya'), Setelah menyelesaikan studinya, beberapa waktu
lamanya T}ant}awi mengajar di
tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Kemudian ia mengajar di almamaternya, Dar
'Ulum. serta sempat melamar sebagai seorang qadli namun
tidak terkabulkan. Dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah “al-Ikhwan al-Muslimin”
tetapi dalam waktu yang tidak lama, kemudian memutuskan untuk berhenti dan
mengonsentrasikan diri dalam menulis berbagai karya, Di samping
mengajar, T}ant}awi juga aktif
menulis artikel-artikel yang selalu muncul di Marian Al-Liwa, ia telah menulis lebih
kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang
menggabungkan dua peradaban. yaitu agama dan perkembangan modern pemikiran
sosial-politik.[5]
Lalu tak
lama kemudian (1912) ia juga mengajar di al-Jami'ah ai-Mishriyyah untuk bidang
studi Filsafat Islam. Ada dua bidang keilmuan yang dipandangnya menjadi dasar
untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan fisika., T}ant}awi telah menghabiskan umurnya untuk mengarang dan
menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Arab, sejak ia mulai menjadi guru
hingga pensiun tahun 1930. Tanthawi wafat pada 1940
M/1358 H
C. LATAR BELAKANG PENULISAN TAFSIR AL-JAWAHIR
Bagi T{ant}awi,
tuanya usia bukan soal untuk tetap konsen di dunia tulis menulis. Bahkan
keriputan kulit jari jemarinya memberikan ‘ilham’ tersendiri untuk memunculkan
berbagai karya. Di usia senjanya (60 tahun), T}ant}awi mampu menghadirkan karya besarnya, yaitu kitab al-Jawahir
fi Tafsir al-Qur'an al-Karim. Pada tahun 1922-1935 terdiri dari 25 jilid[6] dan pertama kali dicetak
di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al-Babi al-Halabi tahun 1350 H/ 1929
M, Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar ai-Fikr tahun 1395 H/1974 M.
Adapun latar belakang
penulisan kitab ini yang dituangkan dalam muqaddimah, antara lain adanya
kesadaran akan besarnya insting untuk mencintai keajaiban dunia, keindahan
alam, baik yang di langit maupun yang di bumi. Semuanya serba teratur dan
mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi orang yang mau memperhatikan dan
menggali semua rahasianya.
"Sejak
dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan
keindahannya baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada
di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang
bersinar, awan yang berarak datang dan menghilang kilat yang menyambar seperti
listrik yang
membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang
beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring,
hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang
menggulung, sinar yang menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar
dan sebagainya".[7] Itulah yang mendorong T}ant}awi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat
mengkornpromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu Alam.
Al Quran
menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar,
langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang
memiliki 'mata hati' (Dzu al-Bashair) dan memberikan sinar serta
pelajaran (Tabsirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia
Tuhan.
Selanjutnya
ia menyatakan : "Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadaan umat
Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat
kepada beberapa tokoh cendekiawan (al-'Uqala) dan sebagian para ulama
besar (Ajiilah al-'Ulama ) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan,
juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit
sekali di antara para ulama yang memikirkan realitas alam sernesta dan
keanehan-keanehan yang ada di dalamnya."[8]
Selanjutnya
Tanthawi menyatakan bahwa: "...di dalam karangan-karangan tersebut aku
memasukkan ayat-ayat Al Quran dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku
menjadikan wahyu Iiahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban
penciptaan, hukurn alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-Nya. Maka aku
rneminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan
taufik dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menafsirkan Al Quran dan menjadikan
segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu
Al Quran.[9]
Tafsir ini,
ditulisnya pertama kali ketika ia mengajar di Universitas Dar Al-'Ulum. Mesir,
lalu dimuat di majalah AI-Malaji' Al-'Abasiyah. Tujuannya agar umat Islam
'menyenangi' keajaiban alam semesta. keindahan-keindahan bumi, dan agar para
generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat
peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.[10]
Dan ketika T{ant}awi Jauhari memperhatikan kondisi umat Islam serta
ajaran-ajaran keagamaan yang berkembang saat itu, didapatkan bahwa kebanyakan
ilmuan dan sebahagian ulama memalingkan diri dari fenomena tersebut. Sebahagian
merasa enggan untuk membedahnya, dan hanya sedikit yang mau merenungkan
faktor-faktor yang terkandung dalam keajaiban tersebut. Realitas inilah yang
mendorongnya untuk menulis berbagai macam karya dalam bentuk risalah ataupun
kitab seperti Niz}am al-Alam, Jawahir al-Ulum, Jamal al-Alam dan
sebagainya. Dari karya–karya itulah pada akhirnya melahirkan tafsir yang paling
sensasional yaitu al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim sebagai suatu
usaha aktualisasi dari obsesinya untuk memadukan antara ayat-ayat wahyu dan
keajaiban alam.
Dalam berbagai
kesempatan T{ant}awi mengungkapkan, bahwa kecenderungan menggunakan tafsir
ilmiah lebih dibangkitkan oleh rasa tidak puas terhadap tafsir yang ada. Ulama
terdahulu terlalu berlebihan mengarahkan perhatiannya terhadap kitab-kitab
fiqih, dan mengabaikan ayat-ayat tentang alam semesta. Menurut
penelitian T{ant}awi, tidak kurang dari 750 ayat al-Quran berbicara dan
rnendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir
klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fikih - yang tidak
lebih dari 500 ayat shareh - dan lengah terhadap arahan Al Quran tentang ilmu
tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah
salah satu hujjah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir
dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam mukaddimah tafsirnya. [11]
Sebagai contoh,
menurut para ulama fiqih terlalu melampaui batas dalam membahas air wudhu’
sehingga muncul ratusan jilid kitab fiqih dalam empat mazhab. Apakah umat islam
tidak memperhatikan terhadap ilmu agama hakiki yaitu ilmu alam ini, suatu ilmu
untuk mengetahui dan mengenal Allah?, memang
fiqih memelihara kehidupan umat, namun ilmu alam untuk sampai pada ma’rifah
dari kehidupan umat. Menurutnya lebih utama menjaga umat supaya hidup daripada
menjaga kehidupan itu sendiri, kerena ibadah tidak akan terwujud bila tidak ada
kehidupan.
Sedangkan kitab
tauhid kebanyakannya merupakan retorika yang berkepanjangan yang tidak membawa
manfaat bagi umat secara konkrit. Begitu juga Ilmu Fara’id}
mempelajarinya merupakan fard}u kifayah. Sedangkan ilmu alam ini merupan fard}u
'ain dalam mempelajarinya. Sikap yang ditonjolkan dari jeritan jiwa T{ant}awi
tersebut pada hakikatnya merupakan akumulasi ketidakpuasan terhadap kondisi
umat islam yang dilihatnya sejak usia muda. Tatkala dalam usia sekolah di
perguruan Azhar, dia harus berhenti menuntut ilmu dengan datangnya tentara
Inggris. Sehingga harus bekerja di lahan pertanian membatu orang tuanya. Maka
ditemukannya rel dan kereta api yang melintasi Mesir, ternyata bukan buatan
umat islam. Sedangkan umat islam baik laki-laki dan perempuan bergelut dengan
tenaga untuk menyambung kehidupan tanpa henti-hentinya. Sehingga sampailah pada
suatu pendapat bahwa dia percaya Tuhan di dunia ini ada, bila diketahui oleh
orang yang menggunakan kekuatan dan kemampuan akalnya.
D. METODE PENULISAN
Kitab
al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan Mushaf Utsmani. Sebelum
menafsirkan surah al-Fatihah, T{ant}awi
terlebih dahulu megutip surah Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata
Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di
mana ia menjadikan ayat AI-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya.[12]
Setiap
surah yang ditafsirkan, T{ant}awi kerapkali mengklasifikasikannya sebagai surah
Makkiyah atau surah Madaniyah sesuai periode turunnya al-Quran.
Namun ia tidak menjelaskan secara rinci tentang adanya ayat tertentu yang
berbeda klasifikasi periode turunnya dengan karakteristik umum dari induk atau
surah-nya, sebagaimana ia tidak mengungkapkan perbedaan riwayat yang muncul
terkait dengan klasifikasi suatu surah.
Kemudian T{ant}awi
menuliskan alasan, latar belakang, maksud dan tujuan penulisan tafsirnya ini,
sebagaimana telah disinggung di atas, ide-idenya yang berkenaan dengan tafsir
al-Quran yang pernah diterbitkan dalam beberapa media sebelumnya kembali ia
rangkum. Gambar atau foto juga menjadi media pelengkap ketika T{ant}awi
menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan alam.
T{ant}awi
memfokuskan terhadap ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran dengan tren modern di
dalam tafsirnya, secara global tafsir ini di kenal tafsir ilmi dan menetapkan
bagwa al-Quran mencakup pada seluruh ilmu-ilmu dan menjawab semua permasalahan.
Akan tetapi T{ant}awi di pengaruhi oleh pemikiran imam Ghazali di dalam
kitabnya Jawa>hir al-Quran dalam bab yang menjelaskan bagaimana
cabang-cabang ilmu-ilmu keseluruhan yang ada dalam al-Quran[13].
Membagi
Muhammad Abduh dalam tafsir tebagi ini menjadi dua, yang Pertama:
Keyakinan hamba terhadap Allah dan kitab-Nya adalah apa yang di maksud dengan
keadaan lafaz dan mengungkapkan secara global dan penjelasan apa yang terdapat
pada ibarat dan isyarat dari seni, ini tidak boleh di sebut tafsir, sesunguhnya
jenis ini adalah latihan dari seni-seni ilmu seperti nahwu dan maknanya atau
yang lainnya. Kedua : Wajib terhadap manusia atas tafsir ini fardu
kifayah yang mengumpulkan syarat-syarat, menjadi amalan dan tujuannya,
melakukan mufassir kepada pemahaman dari perkataan, hikmah syari'ah pada
kenyataan dan hukum atas bentuk yang menarik, dan didorong kepada amalan dan
hidayah terhadap kalam.[14]
T{ant}awi
Jauhari tidak mengurangi sedikit pun malahan ia menambahkan terhadap tafsirnya
seperti perkataanya : "Wahai umat islam , ayat yang telah Allah tentukan
dalam faraid telah emnarik satu cabang dari cabang-cabang ilmu yaitu
ilmu matematika, wahai sekalian manusia ada sekitar 750 ayat yang merupakan
ayat keajaiban dunia secara keseluruhan. Ini zaman munculnya cahaya keislaman,
kenapa kita tidak mengetahui tentang ilmu ayat-ayat kauniyahapa yang dilakukan
nenek moyang kita dulu tentang ayat waris? Akan tetapi aku katakan:
Alhamdulillah, Alhamdulillah bahwa sesungguhnya engkau membaca tafsir ini
ringkasan dari ilmu-ilmu mempelajari keutamaan
dari pelajaran ilmu faraid, sesungguhnya ini menjadi fardhu kifayah, ini adalah
penambahan untuk lebih mengenal kepada Allah maka bisa dikatakan menjadi fardhu
'ain[15].
Sudah
barang tentu ketika ia menafsirkan kalam-kalarn suci Allah SWT, argumentasi
ilmiah menyertai penjelasannya, terutama yang bersentuhan dengan alam secara
umum. Sehingga 'hampir semua tokoh' sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai
tafsir ilmiah.[16]
Akan tetapi
ada juga pendapat bahwa corak ilmiah tafsir T{ant}awi tidak sepenuhnya dapat
dibenarkan, karena al-Quran bukanlah kitab 'llmu' melainkan kitab hudan bagi
manusia. [17] Petunjuk
al-Quran ada yang berbentuk lafzi, kiasi, isyarat dan yang tersurat berkenaan
dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
Sebagai
bukti bahwa apa yang telah didapat oleh para ilmuan tentang kecocokan hasil
penelitlan mereka dengan pesan al-Quran sangat terbatas. Misalnya, ketika para
dokter berhasil 'menciptakan' alat untuk mengetahui apakah janin dalam
kandungan seorang ibu hamil itu laki-laki atau perempuan berikut perkiraan
lahirnya. Narnuri prediksi itu kerapkali keliru, mereka juga tidak tahu pasti
kapan bayi itu akan lahir, berapa beratnya, bagaimana bentuk rarnbut, wajahnya
dan Iain-lain.
Achmad
Baiquni melontarkan pertanyaan di dalam bukunya, Al-Qur'an dan ilmu Pengetahuan
Kealaman (1997:187), kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak
kedua orang tuanya"? Secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran
kromoson (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu
kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu
sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan
merupakan kopian dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak harnpir
dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.
Rija'> al-Naqa>s seorang wartawa pernah berkata tentang T{ant}awi
al-Jauhari, dia berkata " Tafsir Syeh T{ant}awi Jauhari al-Quran al-Karim
terkesan tafsir Qurani , yang dikenal oleh akal orang arab, tafsir
keseluruhannya mengajak bahawa quran menuntut manusia untuk meluaskan wawasanya
dalam kejeniusan macam-macam pengetahuan dan mempertimbangkan didalam berbagai
macam ilmu, T{ant}awi menggunakan di dalam lebaran tafsirnya dengan gambaran
otopsi kehewanan, tumbuh-tumbuhan dan peta, Rija'> al-Naqa>s berkesimpulan
dalam tafsir T{ant}awi mengandung ruh ilmiyah dan alasanya serta menyeru kepada
da'wah yang jelas[18].
Berkata juga salah satu Iran menjabat sebagai Departemen Pengetahuan
Umum Pemuka yang dipelopori oleh Abu Abdullah al-Zanja>wiy berkata:
"Bahwa menuntut ilmu modern di sekolah Iran dan membaca Tafsir ini ,
menghilangkan keraguan dan was-was beragama[19]".
Kaitan antara al-Quran dan alam semesta adalah sebagi bukti-bukti yang
komplementer bagi kebenaran kenabian, kebenaran agama Islam serta keagungan
Allah Swt, al-Quran dapat di pandang sebagai perkataan sedangkan alam semesta
di pandang sebagai bukti kejadian[20].
E. SISTIMATIKA PENAFSIRAN
Dalam menafsirkan
setiap surat, T{ant}awi memulainya dengan suatu muqaddimah yang berisikan klasifikasi surat,
apakah surat tersebut tergolong makkiyah atau madaniyah. Selanjutnya
dicantumkan jumlah ayat dan terkandang menyebutkan tertib turunnya dan hubungan
surat dengan sebelumnya.
Surat yang panjang dibagi menjadi beberapa bagian, setiap bagian terdiri dari beberapa ayat dan senantiasa memisahkan bismillah pada setiap awal surat. Dalam satu kelompok ayat dimulai dengan al-Tafsir al-Lafdhiy dari ayat-ayat tersebut yang menyerupai pola dalam tafsir al-Jalalain. Kemudian diikuti dengan apa yang disebut Lat}a’if haz}a al-Qism, terkadang disebut Abhats, Jawahir atau cerita-cerita.
Surat yang panjang dibagi menjadi beberapa bagian, setiap bagian terdiri dari beberapa ayat dan senantiasa memisahkan bismillah pada setiap awal surat. Dalam satu kelompok ayat dimulai dengan al-Tafsir al-Lafdhiy dari ayat-ayat tersebut yang menyerupai pola dalam tafsir al-Jalalain. Kemudian diikuti dengan apa yang disebut Lat}a’if haz}a al-Qism, terkadang disebut Abhats, Jawahir atau cerita-cerita.
Terkadang membuat
judul khusus yang mempunyai hubungan dengan judul sebelumnya, dan diakhir surat
dicantumkan suplemen penafsiran surat tersebut yang meliputi beberapa fas}l.
Terkadang membuat al-Lat}a’if umum pada setiap bagian. Semua
pembahasan tersebut kecuali al-Tafsir al-Lat}a’if dipenuhi dengan
pembahasan ilmiah eksperimental yang diperjelas dengan gambar-gambar dan rincian
yang mendalam. Berhubungan dengan pembahasan-pemabahasan dalam tafsir ini, Fahd
al-Rumi mensinyalir adanya unsur-unsur pengalaman kehidupan sehari-hari T{ant}awi
yang dijadikan sumber penafsirannya, bahkan dari mimpinya atau hasil
pengembaraan imajinasinya dari alam nyata ke alam metafisika yang kebanyakannya
disebut dengan ilham. Sehingga terkadang tidak bisa dipilah di antara
sumber-sumber keterangan tersebut satu dengan lainnya.
Untuk memperjelas
pembahasan ilmiah diberikan gambar ilustrasi dalam jumlah yang banyak sekali,
seperti gambar galaksi, bintang, matahari, bulan, air, tumbuh-tumbuhan,
batu-batuan, hewan, ikan, manusia, kuman dan bakteri. Dan memuat daftar ilmiah
matematika, kimia, fisika, peta bumi serta penemuan-penemuan baru di alam fisik
ini.
F. POSISI
T}ANT}AWI
Para
ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap T{ant}awi. Ada yang menyatakan, ia
seorang sosiolog (Hakim Ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi
umat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahd}ah al-Ummah
wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan
sosial, kondisi umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban
Timur dan Barat yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan.
membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan
sistem pemerintahan
Ada juga
yang memposisikan T}ant}awi sebagai
seorang Teosofi Alam (Hakim Thabi'i Lahuti) yang banyak mengkaji
permasalahan sekitar ruh, keajaiban atau keanehannya. Penilaian ini dilandasi
oleh beberapa bukunya, seperti (1) Jawahir al-'Ulum (Mutiara Ilmu),
dijadikan sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Mesir, mengisahkan pemuda
Mesir yang ingin menikah dengan putri Persia keturunan Turki; (2) al-Aiwah
(Ruh). dan (3) al-Nidzam wa al-lslam (Peraturan Hukum dan Islam). Selain
itu T{ant}awi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum alam,
sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam (Keteraturan
Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan,
manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam al-Samawat) fenomena
kehidupan Raja, politik Islam, dan " Politik Konvensional, terbit 1905. Ia
mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah,
relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba'
al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam Kompatibel dengan hukum alam dan
ilmu- ilmu modern.
Peneliti
lain menempatkan T{ant}awi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan Al
Quran sesuai dengan zaman modern. Pernyataan ini terlihat jelas dalam kitab Tafsir
al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu al-Ta>j wa al-Muras}s{h} bi
Jawa>hir al-Quran wa al-'Ulu>m (Mahkota dan Mutiara), yang
menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat
Yunani. Ilmu modern dan teks al-Quran.
G. TINTA
EMAS THANTHAWI
Di antara karya
tulisnya yang beredar antara lain ;
1.
al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur’an al-Karim,
2.
al-Arwah,
3.
Ashl al-Alam,
4.
Aina al-Insan ?,
5.
al-Taj al-Mursyi`
Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum,
6.
Jamal al-Alam:
Dirasat fi al-Hayawan wa al-Thair wa al-Hawam wa al-Hasyarat,
7.
Jawahir al-Ulum,
8.
Jawahir al-Taqwa,
9.
al-Nadhru fi
al-Kauni Bahjah al-Hukama wa Ibadah al-Adzkiya,
10.
al-Zahrah fi
Nidham al-Alam,
11.
al-Sirr al-Ajib fi
Ta`addud Azwaj al-Nabi,
12.
Sawanih
al-Jauhari,
13.
Nidham al-Alam wa
al-Umam,
14.
al-Nidham wa
al-Islam,
15.
al-Qur’an wa
al-Ulum al-`Ashriah
Sebagian karya tulis T>>{>>ant}awi telah
disebutkan di atas, sebagiannya pula telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa Eropa. Beberapa buku lainnya adalah:
1. Jamal
al-'Alam (Keindahan Alam), membahas tentang hewan, burung, serangga, dikemas dengan cara ilmiah dan
agamis, dicetak 1902 M/ 1320 H atas dorongan penyair sungai Nil1, Hafidz Bek
Ibrahim.
2. Buhjah
al-'Ulum fi al-Falsafah al- 'Arabiyah wa Muwazanatuha bi al-'Ulum al- 'Ashriyah
(Keelokan ilmu pengetahuan dalam Filsafat Arab serta Posisinya-dalam Ilmu-ilmu Kontemporer),
terbit 1936, memuat uraian agama dan filsafat, filsafat Al-Farabi, serta
sejarah filsafat Yunani.
3. Al-Musiqa
al-'Arabi (Musik Arab), memuat tiga artikel tentang seni musik dan filsafat
musik,asal usul ilmu arud serta pendapat ahli hikmah tentang musik.
4. Sawanih
al-Jawhary (Kesempatan Berharga), kumpulan catatan harian
T{ant}awi. tentang alam sekitar dan perkembangan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri timur. Ia juga menafsirkan tentang "nafsu syahwat" yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia.
T{ant}awi. tentang alam sekitar dan perkembangan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri timur. Ia juga menafsirkan tentang "nafsu syahwat" yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia.
5. Al-Sirr
al- 'Ajib fi Hikmah Ta 'addud Azwaj al-Nabi (Rahasia Agung Tentang Hikmah
Poligami Nabi). Sesuai dengan judulnya buku ini membahas tentang poligami di
kalangan umat Islam, serta praktek poligami yang dilakukan Nabi saw.
6. Bara'ah
al-'Abbasiyah, buku sejarah yang dikemas dalam bentuk
sastra, mengklarifikasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja'far al-Barmaki yangh ditulis semasa Kihalifah Harun al-Rasyid.
sastra, mengklarifikasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja'far al-Barmaki yangh ditulis semasa Kihalifah Harun al-Rasyid.
7. Risalah
'Ain al-Namiah (Tulisan Tentang Semut), mengungkapkan perjalanannya bersama
ahli kedokteran dan dosen-dosen lain mengenai keajaiban semut, seperti mata
semut yang tersusun alas 200 "bola mata" dan setiap mata bersifat
otonorn penuh.
8. Al-Qur'an
wa al- Vium al-Ashriyyah (Al Quran dan llmu-llmu Modern), terbit tahun 1342
H/1923, isinya mendorong umat Islam untuk menghimpun kemampuan mereka dan
menguasai ilmu-ilmu mdern, sehingga mereka menjadi pemilik yang sah, dari ilmu
pengetahuan sebagaimana yang telah Allah janjikan agar umat Islam menguasai
burni dengan adil.
Adapun karyanya yang paling mengagumkan dan fenomenal
yang dapat dinikmati hingga sekarang adalah al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim
yang dikenal dengan “Tafsir al-Jawahir” merupakan salah satu kitab tafsir
modern dengan kecenderungan ilmiah.
H. APA
PERBEDAAN ANTARA T{ANT{AWI AL-JAUHARI DENGAN SYAID
T{AN{TAWI
Kita mengenal bahawa nama T{antawi ada dua, penulis
pingin menjelaskan supaya yang mebaca
maklah ini tidak salah melihat sosok T{ant}awi, kalu di lihat dari sepintas
lalu kita akan merasa bahwa T{ant}awi cuman ada satu padahal ada dua nama yaitu
T{ant}awi al-Jauhari yang mengarang kitab Tafsir Jawahir fi Tafsir al-Quran dan Tafsir Washid karangan Syaid
T{ant}awi. Kedua mufasir ini ada sedikit perbedaan dalam menafsirkan al-Quran,
kita lihat dari metode yang dipakai Syaid Tantawi adalah bahwa ia tidak panjang
lebar menjelaskan permasalahan Wujuh al-'irab, dan apabila ia menemukan pendapat-pendapat
dan ia hanya memokuskan pendapat yang dianggap lebih besar dan lebih kuat
alasannya. Berbeda dengan Tantawi Jauhari jarang sekali menggunakan pendekatan
dengan 'irab, akan tetapi ada sedikit keunikan dari tafsir tantawi jauhari
menurut hemat pemakalah, permasalah dari
lathaif yang di gunakan, di lathaif tantawi menjabarkan tentang apa yang bisa
kita ambil dari yang di terangkan sebelumnya dengan kata lain faidah-faidah
dari ayat itu. Kalu di tafsir Syaid
tantawi bahwa yang di gunakan sangat mudah di pahami baik di semua kalangan.
Ditafsir
Tanrawi juga tidak mencamtumkan nomor pada tiap ayat. Kita harus teliti
terlebih dahulu dikarenakan kesulitan bagi kita menemukan ayat yang kita cari,
akan tetapi di tafsir wasit mencamtumkan nomor ayat, memudahkan kita untuk
mencari ayat mana yang hendak kita teliti. Di tafsir tantawi banyak menggunakan
kata ilmiah, bagi tahap pemula agak kesulitanmengartikan, berbeda dengan tafsir
wasit sangat mudah dipahami baik di kalangan tahap pemula bahasa arab.
Dari
perbedaan di atas keduanya mempunyai kelebihan masing-masing, akan tetapi
mereka berusaha memberikan penafsiran yang bisa dimanfaatkan oleh manusia.__
I.
ADA APA DENGAN TAFSIR ILMIAH
Ada
berbagai penilaian para pakar tentang Tafsir llmiah. Pertama, ada
pendapat bahwa tatsir ilmiah berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks
Al Quran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki sang mufassir.
Kelompok ini diwakili oleh al-Zahabi dan Abu Hamid Al-Ghazali (w 1111 M).
Kedua,
ada yang cenderung melihat fungsinya sebagai i'jaz al-Qur'an, pembuktian atas
kebenaran teks Al Quran dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat
memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti
(investigate) ilmu pengetahuan lewat teks al-Quran, Kelompok ini diwakili oleh
Imam al-Suyuthi dan Muhammad bin Ahmad al-lskandaran
Ketiga,
berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai Istikhraj al-'Ilm atau
fa'zfz, yaitu teks atau ayat-ayat Al Quran mampu melahirkan dan memperkuat
teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern. Kelompok terakhir ini
diwakili oleh Muhammad al- lyazi (1333 H) dan Abu Al-Fadl al-Mursi.
Menurut
Jansen dalam Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern (1977:72), model penafsiran
Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga
kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dsb.
Tetapi ada saja sekelompok orang yang justru menyerang pendapat-pendapat
Tanthawi. 'Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah
intelektual.
J. ULAMA MENOLAK TAFSIR ILMI
Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M)
disebut-sebut sebagai orang yang menentang penggunaan tafsir ilmi terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi,
اِنَّ السَلَفَ الصَالِحَ مِن صَحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ يَلِيْهِمْ كَنُوا اَعْرَفُ بِالقُرْاَنِ وَبِالعُلُومِهِ وَمَا اَوْدَعَ فِيهِ
Artinya:
Bahwa semua ulama’ terdahulu dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan dan yang setelahnya, lebih mengetahui al-Qur’an, ilmu, dan segala problemnya.
اِنَّ السَلَفَ الصَالِحَ مِن صَحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ يَلِيْهِمْ كَنُوا اَعْرَفُ بِالقُرْاَنِ وَبِالعُلُومِهِ وَمَا اَوْدَعَ فِيهِ
Artinya:
Bahwa semua ulama’ terdahulu dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan dan yang setelahnya, lebih mengetahui al-Qur’an, ilmu, dan segala problemnya.
Asy-Syatibi berpendapat bahwa metode
yang diterapkan siapapun yang tidak pernah digunakan oleh para sahabat dan
tabi’in maka metode itu tidak releven diterapkan dalam penafsiran. Termasuk
yang tidak pernah dipraktekkan oleh sahabat dan tabi’ain adalah tafsir
ilmi(saintifik). Oleh karena itu, menurut beliau tafsir saintifik ini tidak
releven dalam tafsir Qur’an. Al-Syathibi berlebih-lebihan pula, sehingga ia
mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut,"
dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri
menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab
pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan
ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan
Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya." Ulama
ini menurut Qurais Shihab, telah lupa akan perintah untuk memfikirkan
ayat-ayatnya tidak hanya ditujukan kepada sahabat saja tapi juga ditujukan
kepada generasi sesudahnya yang tentunya generasi tersebut cara berfikirnya
tidak sama dengan cara berfikirnya para sahabat, generasi sesudahnya berfikir
sesuai dengan perkembangan lingkungan disekitarnya masing-masing.
Abu Hayyan Al-Andulisi saat mengkritik mufasir Fahrur Razi mengatakan,
tafsir ilmi merupakan bentuk tafsir yang menyimpang dari cakupan ilmu
tafsir. Dr. Abd al-Majid Abdussalam
al-Muhtasib, dalam kitabnya Ittijahat at-Tafsir fi al-Ashr al-Hadis,
dengan tegas menolak tafsir ilmi. Menurutnya penafsiran seperti ini merupakan
pemaksaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dalam pendapatnya ini beliau menilai
orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan sebenarnya
menempatkan ayat-ayat al-Qur’an pada posisi yang tidak semestinya.
“Saya tidak mengakui (mengingkari) orientasi tafsir Ilmi terhadap
Al-Qur’an. Tidak dibenarkan memaksakan ayat-ayat Al-Qu’ran terhadap ilmu-ilmu
kealaman. Saya tidak setuju kepada orang-orang yang berusaha mengambil
teori-teori ilmiyah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qu’ran Al-Karim
bukanlah kitab ilmu pengetahuan seperti Kimia, ilmu Atom, Geometri, ilmu Falak,
ilmu Fisik, dan lain sebagainya. Tetapi , Al-Qur’an diturunkan Allah kepada
nabi Muhammad S.A.W agar menjadi kitab hidayah, dan rahmat bagi manusia…”
Adapun kritikan yang paling tajam yang pernah dilontarkan kepada para
mufasir ilmi adalah apa yang telah dilakukan oleh Dr. Mahmud Syaltut dalam
kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Karim, pada bagian muqaddimahnya ia menulis bahawa
ada dua segi yang harus di jauhi atau dibersihkan dalam menafsirkan Al-Qur’an;
pertama, menta’wilkan Al-Qur’an menurut pendirian berbagai aliran mazhab; dan
kedua, mentafsirkan Al-Qur’an atas dasar teori-teori ilmiah. Hal ini (kata
Mahmud Syaltut lebih lanjut) karana Allah SWT tidak menurunkan Al-Qur’an kepada
manusia dengan tujuan menyajikan teori-teori ilmiah, teknologi, yang
rumit-rumit dan bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Secara sederhana dapat di simpulkan hujjah-hujjah mengapa tafsir ilmi
tertolak adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah kitab aqidah, syariat, adab dan kitab hidayah. Dan bukanlah tujuannya kita memperkatakan tentang kajian-kajian ilmiah, tapi cukup hanya mengarahkan manusia agar melihat dan berfikir. Dan ia tidak bertentangan dengan hakikat ilmiah.
2. Sesungguhnya aliran ini (yang setuju tafsir ilmi) bisa memalingkan manusia dari hidayah Al-Qur’an dan tujuannya yang asas dan utama, serta boleh menimbulkan syak umat Islam terhadap Al-Qur’an.
3. Sesungguhnya teori-teori sains sentiasa berubah dari semasa ke semasa. Apabila kita sandarkan teori-teori tersebut kepada Al-Qur’an akan membuat Al-Qur’an sendiri berubah mengikut perubahan tersebut.
4. Dengan tafsiran berbentuk ilmi ini banyak menyebabkan perubahan pada asal bahasa dan keluar dari balaghah Al-Qur’an.
Sebenarnya, semua hujjah yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama yang
menolak tafsir ilmi tidak lebih hanya sekedar ingin menjaga kesucian Al-Qur’an,
agar tidak tercemar dengan segala perubahan yang sentiasa berkisar pada
teori-teori sains.
K.
PENAFSIRAN TANTAWI
Kita lihat pada
hewan lebah. Karena lebah hewan yang
disebutkan dalam al-Quran malahan menjadi nama surat dari surah yang ada di
dalam al-Quran. Secara logika kita berpikir kenapa hewan ini di jadiakn allah
sebagai penamaan surah? Menurut hemat pemkalah salah satu jawabanya adalah
ketiga hewan ini mempunyai ke istimewaan yang bisa manusia mengambil keistimewaan yang di miliki hewan
tersebut. Penejalsan hewan tersebuat antara lain adalah kita mulai dari Hewan
lebah: Bagai mana Allah memberikan kasih
sayang kepadanya. Kita lihat yang namanya laba-laba kebiasaanya mengambil sari
pati bunga, padahal dia tidak menyadari bahwa kecerdasannya untuk membuka bunga
lain dari macam-macam bunga, dan tidak mengetahui kapan buka itu mekar atau
tidak, salah satu kasih sayng allah yang di berikan mengetahui bunga itu mekar
pada awal waktu siang serta menyerap kelezatan terhadab bunga dengak kata lain
mengambil sari pati tumbuh-tumbuhan dan kembali untuk meletakkan apa yang dibawa, yang mengherankan adalah
sebanyak itu bunga lebah tau mana yang baik untuk diambil. Serta manfaat untuk
manusia dapat dirasakan adalah kesegaran alam.
Dalam surat al-Insaan, tiga cakupan
yang terdapat didalamnya pertama : bagaimana Allah menciptakan manusia?akhir surat
al-Qiamah sampai firman Allah sami'an bas}iraa. Kedua: balasan
orang-orang yang bersyukur dan orang kafir dan sifat surga dan neraka dari inna> h{adaina>hu al-sabi>la
sampai firman Allah wa ka>na sa'iyan masykura>. Ketiga
perintah nabi Saw dengan sabar, mengingat Allah, tahajjud di malam hari, dari inna
nahnu nazzalna 'alaika al-Quran tanzi>la sampai akhir surat.
Sesuai dengan metode penafsiran
tantawi, tantawi menggunakan cara tafsir secara lafzi, ini ditrerangkan secara
mendalam. Salah satu contoh penciptaan manusia dijelaskan bahwa adam adalah
bapak manusia, diciptakan adam 40 tahun dari tin (tanah), 40 tahun h{ammain
masnu>n (tanah liat), 40 tahun s}alsal, maka terciptalah adam
pada 120 tahun.
Terciptanya manusia terdiri dari dua
unsur yaitu nabati dan hewan yang masuk kedalam makanan bapak dan ibu dan air
yang di minumnya yang mengandung unsure 10 macam yaitu : oksigen, hedrogen,
karbon, auzon, fosfor, botasium, magnesium, kalsium dan zat besi.
L.
PENUTUP
Kehadiran kitab
tafsir ini membawa arti yang besar dalam kehidupan ilmiah umat islam di jaman
medern in setelah terjadi stagnasi pemikiran yang melanda umat Islam. Kalaulah
pada awalnya, Syeh T{ant}awi menginginkan adanya kajian yang menurutnya mampu
mengenalkan kita kapada Allah, namun hal itu dapat malupakan maksud dan tujuan
awal dalam menulis tafsinya sehingga sebagian ulama menolak kehadiran kitab
ini.
Maka pada saat
kebangkitan ilmu keislaman di abad modern, tafsir al-Qur’an juga mengalami
perubahan sebagai pengaruh induksi ilmiah islam. Hal ini dapat dilihat dari
hasil karya para ulama yang menafsirkan al-Qur’an pada abad modern ini. Salah
satu kitab tasir yang mengalaminya adalah al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an
al-Adhim merupakan karya besar dari Syekh T{ant}awi Jauhari.
Daftar Pustaka
Alim, Sahirul, et.al Islam Untuk Disiplin Ilmu
Pengetahuan Alam dan Teknologi, Departemen Agama RI, Jakarta, 1995.
al-Naqa>s, Rija'>, dalam majalah al-mans}ur, tanggal 3 Novmber 1972.
al-Zahabiy,
Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, Cairo : Da>r
al-Hadist, 2005.
Imam Ghazali, Jawahir
al-Quran, Bairut : Dar Ihyaa
al-Ulum, , 1991.
Jauhari, T{ant}awi, Dira>sah wa
Nus}us}.
Jauhari, T{ant}awi,
Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, Mesir : Mus}t}afa al-Babi
al-H}alabiy wa>wala>h, jilid I, 2.
M. Ali al-lyazi , Al-Mufassirun Hayatuhum wa
Manhajuhum 1373 H.
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,
al-Qahira: Dar al-Manaar, 1947.
Muhammad bala>siy, Majalah al-Da>'iy
, Februari 2011
Shihab,
M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, 1999.
Su'ud ibn Abdul Falah al-Fanisan, Ikhtiiaf
al-Mufassinn, Asbabuhu wa atsaru , 1997
[1] Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa
al-Mufassiru>n, (Cairo : Da>r al-Hadist, 2005, jilid I, 137.
[7] T{ant}awi Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi
Tafsir al-Quran, Mesir : Mus}t}afa al-Babi al-H}alabiy wa>wala>h,
jilid I, 2.
[8]T{ant}awi
Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, 2.
[9]T{ant}awi
Jauhari, Muqadimah al-Jawa>hir fi Tafsir al-Quran, 2.
[13] T{ant}awi
al-Jauhari, Dira>sah wa Nus}us}, 55. Lihat juga Imam
Ghazali, Jawahir al-Quran, Dar Hayah Al-Ulum, Bairut : Dar Ihyaa
al-Ulum, 1991, 31-34.
[20] Sahirul
Alim, et.al Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, Departemen
Agama RI, Jakarta, 1995, 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar