AL-WASITH FI> TAFSIR AL-QUR’AN
KARYA MUHAMMAD SAYYID THANTHAWI
Makalah Disampaikan Pada Mata Kuliah
Tafsir Timur Tengah Kontemporer

Dosen:
Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. Salman Harun, MA
Dr. Muchlis Hanafi, MA
Oleh:
ANGGI WAHYU ARI
10.2.00.0.05.01.0138
2011 M. / 1432 H.
A. Pendahuluan
Seseorang yang mempelajari al-Qur’an bagaikan seseorang yang meminum air
laut, semakin meminumnya maka semakin haus. Dan ibarat ini tidaklah berlebihan
apabila kita melihat kepada perpustakaan Islam yang dipenuhi dengan berbagai
macam karya-karya tafsir dari berbagai generasi. Tafsir merupakan ilmu yang
mencoba mengenal dan memahami firman Tuhan yang tertulis dalam kitab suci
(al-Qur’an) menurut kemampuan manusia, dengan cara mempelajari makna-makna yang
terkandung di dalamnya. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
semakin luasnya daerah kekuasaan Islam yang diiringi dengan semakin banyaknya
jumlah kaum muslimin.
Perkembangan tafsir sangat dipengaruhi oleh perkembangan keilmuwan dalam
Islam. Pada awalnya kecenderungan penafsiran penafsiran al-Qur’an hanya
menggunakan riwayat, dan selanjutnya dengan penafsiran ijtihad[1]. Cara
mufasir menggali al-Qur’an dengan tujuan untuk menangkap ide-ide Allah yang Ia
tuangkan di dalam kitab suci tidak terlepas dari empat metodologi[2],
yaitu: ijmali, maudhu’i[3],
muqa>rin, dan tahli>li[4].
Masing-masing dari metode tafsir ini memiliki karakteristik masing-masing.
B. Biografi Muhammad
Sayyid Thanthawi
Dalam dunia Islam ia dikenal dengan Imam Akbar Doktor Muhammad Sayyid
Thantha>wi, nama lengkapnya adalah Muhammad Sayyid ‘Atiyah thantha>wi.
Dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Sulaim al-Syarqiyah, Sohaq, Mesir pada
tanggal 14 juma>dal u>>la> 1347 H, bertepatan dengan tanggal 28
oktober 1928.
Proses belajarnya pertama kali dimulai dari desanya, setelah dia hafal
al-Qur’an di madrasah iskanda>riyah pada tahun 1944, ia meneruskan
pendidikannya ke fakultas ushuluddin di universitas al-Azhar pada tahun 1958.
Pada tahun 1966, ia menamatkan pendidikannya di fakultas yang sama konsentrasi
hadist dan tafsir dengan nilai mumtaz, dengan judul thesis “Banu>
Isra>il fi> al-Qur’an wa as-sunah”.
Selama hidupnya, Muhammad Sayyid Thantha>wi mengabdikan dirinya di
dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar pada bidang tafsir dan hadis
diberbagai universitas seperti universitas Islam Libya, universitas Islam
Madinah al-Munawwarah dan lain-lain.
Pada tanggal 24 safar 1407 yang
bertepatan dengan tanggal 28 oktober tahun 1986, Muhammad Sayyid Thantha>wi
diangkat menjadi Mufti Mesir, dan selama masa itu ia telah mengeluarkan 7557
fatwa. Salah satu fatwanya yang terkenal adalah tentang kejadian penyerangan
gedung kembar WTC 11 september, ia menyebutkan bahwa tindakan ini tidak
dibenarkan di dalam al-Qur’an dan kelompok Taliban serta al-Qaidah adalah
kelompok yang radikal dengan menggunakan ayat-ayat suci al-Qur’an untuk
melegitimasi segala tindakan-tindakan dan perbuatan mereka[5].
Pada tanggal 8 dzulqa’dah 1416 bertepatan dengan tanggal 27 maret 1996,
Muhammad Sayyid Thantha>wi diangkat menjadi Grand Syaikh al-Azhar, amanah
ini ia kerjakan dengan baik sampai akhir hidupnya. Semasa hidupnya, Muhammad
Sayyid Thantha>wi dikenal dengan ulama yang mempunyai pemikiran yang sangat
moderat dan pendapat-pendapatnya sering berseberangan dengan kaum militant.
Ibrahim Mo>sa seorang professor di universitas Duke menyebutkan bahwa
Muhammad Sayyid Thantha>wi adalah seseorang yang memiliki pemikiran yang
sangat pluralis dan pro barat.
C. Wafatnya Muhammad
Sayyid Thantha>wi
Muhammad Sayyid Thantha>wi wafat pada umur 81 tahun setelah shalat subuh
hari rabu tanggal 24 Rabi’ul awal tahun 1431 H yang bertepatan dengan tanggal
10 maret 2010 di Riyadh Arab Saudi ketika menghadiri acara musyaraka>h atas
undangan kerajaan Arab Saudi. Setelah itu jenazahnya dibawa ke Madinah
al-Munawwarah untuk di shalatkan di Mesjid Nabawi setelah shalat Isya pada hari
yang sama, setelah itu, jenazah Muhammad Sayyid Thantha>wi di makamkan di
Baqi’.
D. Karya-Karya
Muhammad Sayyid Thantha>wi
semasa hidupnya, Muhammad Sayyid Thantha>wi
telah banyak menghasilkan karya-karya yang sangat berguna bagi keilmuwan Islam,
diantara karya-karyanya yang terkenal adalah:
1. Adab al-Hiwa>r
fi> al-Isla>m. Buku
ini membahas tentang tata cara dialog dalam Islam, Thantha>wi mengatakan
bahwa dialog adalah proses pemahaman yang harus diiringi dengan harmonisasi dan
negoisasi. Dan metode ini menurutnya telah diterapkan oleh para Nabi dalam
dakwah mereka kepada umat. Dia menyebutkan bahwa dialog dan debat, diskusi dan review antara
orang-orang dalam hal-hal tertentu, telah diulang dalam Al-Qur'an, lebih dari
seribu tujuh ratus kali.
2. Al-Wa>sith
fi> Tafsi>r al-Qur’an[6].
3. Kitab Fiqh
al-Muyassar. Dalam buku ini Grand Imam Sheikh Muhammad Sayyid Tantawi, merakit bab-bab fiqh berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada buku-buku fiqh lainnya, baik yang kuno maupun kontemporer. Sehingga menjadikan buku ini mudah dibaca
dan dipahami. Buku fiqh ini layak dibaca bagi mereka yang ingin mendapatkan
kemudahan dalam masalah-masalah fiqh.
4. Al-Qissah Fi>
al-Qur’an. Ini adalah buku
yang mengutarakan kisah-kisah dalam al-Qur’an serta hikmah dari kisah-kisah
tersebut. Mulai dari cerita para Nabi seperti Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa,
dan Isa, sampai kepada kisah-kisah klasik seperti asha>bu al-Kahfi,
Zulkarnain dan lain-lain. Buku ini ditutup dengan kisah Nabi Muhammad SAW serta
mukjizat (al-Qur’an) yang dibawanya.
5. Banu>
Isra<il fi> al-Qur’a>n. buku ini terdiri dari dua jilid, dalam buku ini Muhammad Sayyid
Thantha>wi berbicara tentang banyak hal yang berkaitan dengan Bani Israil,
pada jilid pertama Thantha>wi berbicara tentang sejarah perjalanan Bani
Isra<il, Thantha>wi juga menguraikan bagaimana metodologi al-Qur’an dalam
berdakwah kepada ahlu al-kitab, juga tentang kaum yahudi dengan segala
permasalahnnya pada masa Rasulullah. adapun dalam jilid kedua Thantha>wi
menguraikan tentang kesalahan-kesalahan ajaran Bani Israil dan bagaimana al-Qur’an
memberikan pencerahan terhadapa ajaran tersebut, tentang janji-janji Allah SWT
kepada mereka dan juga tentang Palestina.
Diantara karya-karyanya yang terkenal ini, Muhammad Sayyid Thantha>wi
juga memiliki karya-karya lain yang sangat banyak. Karya-karya ini
menggambarkan bagaimana keluasan ilmu dan kontribusi Thantha>wi dalam dunia
keilmuwan Islam. Adapun karya-karya tersebut adalah:
1.
الدعاء
2.
السرايا الحرية في العهد النبي
3.
الإجتهاد في الأحكام الشعية
4.
أحكام الحاج و العمرة
5.
الحكم الشرعي في أحداث الحليج
6.
تنظيم الأسرة
و رأي الدين فيه
7.
مباحث في العلوم القرآن
8.
العقيدة و الأخلاق
9.
عشرون سؤالا و جوابا
10.
فتاوي شرعية
11.
منهاج القرآن في بناء المجتمع
12.
رسالة الصيام
13.
المرأة في الإسلام- بالمشاركة
Buku-buku yang banyak
dan beragam ini, menggambarkan luasnya ilmu Muhammad Sayyid Thantha>wi.
E. Tafsi>r al-Wasi>t li al-Qur’an
al-Kari>m
Tafsi>r al-Wasi>t
li al-Alqur’an al-Kari>m berjumlah 15 jilid dengan jumlah halaman lebih dari
tujuh ribu halaman. Buku tafsir ini pertama kali di cetak pada tahun 1975 M,
dan Muhammad Sayyid Thantha>wi membuat tafsir ini dalam kurun waktu 10
tahun, waktu yang lama dalam pembuatan tafsir ini adalah semata-mata karena
usahanya yang kuat, jeli, dan teliti agar tafsir al-Wasi>t ini menjadi
sebuah tafsir al-Qur’an yang di dalamnya tidak terdapat perkataan-perkataan
yang dha’i>f, statement-statement yang ba>thil, makna-makna
yang salah, serta agar tidak terdapat di dalamnya sanad-sanad, kecuali sanad
yang di naqilkan dengan sahih dan akal yang sehat (Sali>m).
F. Metode Penafsiran
Adapun di dalam
tafsirnya, Muhammad Sayyid Thantha>wi pertama-tama menjelaskan lafazh-lafaz
al-Qur’an dari perspektif bahasa (lugoh), lalu beliau menjelaskan maksud
dari lafazh-lafazh itu apabila diperlukan. Selanjutnya, beliau menjelaskan
makna ijma>li ayat dari segi balagah, baya>n, ada>b, dan
ahka>m. makna-makna ini kadang-kadang juga dikaitkan dengan merujuk
kepada ayat-ayat lain, al-Aha>dis al-Nubuwah, dan perkatan-perkatan
dari al-sala>f al-Sa>lih.[7]
Di dalam mukaddimah
tafsirnya, Muhammad Sayyid Thantha>wi menekankan bahwa dia tidak
berpanjang-panjang dalam penjelasan Wujuh al-I’ra>b, dan apabila di
dalam sebuah penafsiran ia menemukan banyak pendapat-pendapat, ia hanya
menfokuskan pada pendapat-pendapat yang ia anggap lebih benar, hal ini
dimaksudkan agar tidak bertele-tele dalam penafsiran al-Qur’an sehingga
terjebak dalam perdebatan yang ia anggap tidak perlu. Ini terlihat ketika
Muhammad Sayyid Thantha>wi menafsirkan tentang huru>f al-Muqatta’ah,
وقد وقع خلاف بين
العلماء في المعنى المقصود بتلك الحروف المقطعة التي افتتحت بها بعض السور القرآنية
، ويمكن إجمال خلافهم في رأيين رئيسين :
الرأي الأول يرى
أصحابه : أن المعنى المقصود منها غير معروف ، فهي من المتشابه الذي استأثر الله بعلمه
.
وإلى هذا الرأى
ذهب ابن عباس - في إحدى رواياته - كما ذهب إليه الشعبي ، وسفيان الثوري ، وغيرهم من
العلماء ، فقد أخرج ابن المنذر وغيره عن الشعبي أنه سئل عن فواتح السور فقال : إن لكل
كتاب سراً ، وإن سر هذا القرآن في فواتح السور . ويروى عن ابن عباس أنه قال : عجزت
العلماء عن إدراكها . وعن علي - رضي الله عنه - أنه قال : " إن لكل كتاب صفوة
وصفوة هذا الكتاب حروف التهجي؟ . وفي رواية أخرى عن الشعبي أنه قال : " سر الله
فلا تطلبوه " .
ومن الاعتراضات
التي وجهت إلى هذا الرأي ، أنه كان الخطاب بهذه الفواتح غير مفهوم للناس ، لأنه من
المتشابه ، فإنه يترتب على ذلك أنه كالخطاب بالمهمل ، أو مثله كمثل المتكلم بلغة أعجمية
مع أناس عرب لا يفهمونها .
وقد أجيب عن ذلك
بأن هذه الألفاظ لم ينتف الإفهام عنها عند كل الناس ، فالرسول صلى الله عليه وسلم كان
يفهم المراد منها ، وكذلك بعض أصحابه المقربين - ولكن الذي ننفيه أن يكون الناس جميعاً
فاهمين لمعنى هذه الحروف المقطعة في أوائل بعض السور .
وهناك مناقشات
أخرى للعلماء حول هذا الرأي يضيق المجال عن ذكرها .
أما الرأي الثاني
فيرى أصحابه : أن المعنى المقصود منها معلوم ، وأنها ليست من المتشابه الذي استأثر
الله بعلمه
.
وأصحاب هذا الرأي
قد اختلفوا فيما بينهم في تعيين هذا المعنى المقصود على أقوال كثيرة ، من أهمها ما
يأتي :
1-
أن هذه الحروف
أسماء للسور ، بدليل قول النبي صلى الله عليه وسلم" من قرأ حم السجدة حفظ إلى
أن يصبح " وبدليل اشتهار بعض السور بالتسمية بها كسورة ولا يخلو هذا القول من
الضعف ، لأن كثيراً من السور قد افتتحت بلفظ واحد من هذه الفواتح ، والغرض من التسمية
رفع الاشتباه .
2- وقيل إن هذه الحروف قد جاءت
هكذا فاصلة للدلالة على انقضاء سورة وابتداء أخرى .
3 - وقيل : إنها
حروف مقطعة ، بعضها من أسماء الله - تعالى - وبعضها من صفاته ، فمثلاً { الاما } أصلها : أنا الله أعلم .
4 - وقيل : إنها
اسم الله الأعظم . إلى غير ذلك من الأقوال التي لا تخلو من مقال ، والتي أوصلها السيوطي
في " الإتقان " إلى أكثر من عشرين قولا .
5 - ولعل أقرب
الآراء إلى الصواب أن يقال : إن هذه الحروف المقطعة قد وردت في افتتاح بعض السور للإشعار
بأن هذا القرآن الذي تحدى الله به المشركين هو من جنس الكلام المركب من هذه الحروف
التي يعرفونها ، ويقدرون على تأليف الكلام منها ، فإذا عجزوا عن الإتيان بسورة من مثله
، فذلك لبلوغه في الفصاحة والحكمة مرتبة يقف فصحاؤهم وبلغاؤهم دونها بمراحل شاسعة ،
وفضلا عن ذلك فإن تصدير السور بمثل هذه الحروف المقطعة يجذب أنظار المعرضين عن استماع
القرآن حين يتلى عليهم إلى الإنصات والتدبر ، لأنه يطرق أسماعهم في أول التلاوة ألفاظ
غير مألوفة في مجارى كلامهم ، وذلك مما يلفت أنظارهم ليتبينوا ما يراد منها ، فيستمعوا
حكما وحججاً قد يكون سبباً في هدايتهم واستجابتهم للحق .
هذه خلاصة لأراء
العلماء في الحروف المقطعة التي افتتحت بها بعض السور القرآنية ، ومن أراد مزيداً لذلك
فليرجع - مثلاً - إلى كتاب " الإتقان " للسيوطي ، وإلى كتاب " البرهان
" للزركشي ، وإلى تفسير الألوسي.[8]
di dalam penafsiran ini terlihat
Thantha>wi tidak ingin bertele-tele memaparkan perbedaan ulama tentang
masalah huru>f al-Muqatta’ah, beliau membagi pendapat ulama dalam hal
ini menjadi dua, kelompok yang mengatakan bahwa ini adalah rahasia Allah yang
tidak bisa ditafsirkan, lalu Thantha>wi memberikan alasan kelompok ini. Yang
kedua adalah kelompok yang meyakini bahwa huruf ini mempunyai makna, dan disini
Thantha>wi memberikan lima pendapat yang berbeda dari kelompok kedua ini
dengan ringkas dan padat seperti yang dipaparkan diatas.
Tidak ingin terjebak dalam permasalahan
tentang huru>f al-Muqatta’ah ini, Muhammad Sayyid Thantha>wi
memberikan pendapatnya yang ia anggap lebih mendekati kebenaran tentang masalah
ini (tidak mengklaim pendapatnya yang paling benar). Dan bagi para pembaca yang
tidak puas dan menginginkan pengetahuan tambahan ataupun konfirmasi tentang
pendapat ini, Thantha>wi merekomendasikan agar membaca kitab al-Itqa>n
fi> al-‘Ulu>m al-Qur’an karya suyhu>ti, dan al-Burha>n
karya Zarkasyi, dan Tafsi>r al-Alu>si.
G.
Pluralisme
Agama dan Pendapat Muhammad Sayyid Thantha>wi
Pengaruh globalisasi dalam mengubah kehidupan manusia benar-benar sangat
dahsyat dan komplek. Globalisasi telah membawa perubahan bagi umat manusia baik
dari segi ekonomi, politik, budaya, maupun kehidupan beragama. Paham agama yang
sangat ekslusif dinilai oleh beberapa pakar tidak sesuai lagi dengan semangat
globalisasi, oleh karena itu, banyak dari para pakar keilmuwan Islam, yang
ingin mengubah atau memunculkan wacana-wacana teologis baru yang sesuai dan
seirama dengan semangat globalisasi. Dari sinilah muncul paham pluralism agama
yang mengusung paham teologi yang global, universal, dan inklusif.
Terlepas dari perdebatan tentang definisi dan tujuan pluralism beragama,
serta para pemikir dan ulama yang pro dan kontra terhadapa paham tersebut.
Paham ini diklaim telah ditemukan legitimasinya dalam al-Qur’an. Setidaknya ada
tiga tema pokok yang menjadi kategori utama pluralism beragama dan telah
dinyatakan ada tumpuannya. Pertama hurriyah al-I’tiqa>d (kebebasan
beragama). Kedua pengakuan akan adanya eksistensi agama-agama lain. Ketiga wihdah
al-adya>n (kesatuan agama).
Akan tetapi, suatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa
interpretasi-interpretasi dari ayat-ayat pluralisme beragama berangkat dari
fakta menuju teks (min al-waqi’ ila> al-nas), bukan dari teks menuju
fakta (min al-nas ila> al-waqi’), dan jenis interpretasi-interpretasi
seperti ini sangat rawan kesalahan, karena interpretasi seperti ini cenderung
akan memperkosa ayat-ayat agar sesuai dengan fakta yang ada.
a) Kesatuan Agama
Prinsip dari pluraisme agama yang pertama adalah wihdah al-adya>n
(kesatuan agama), yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama meskipun
berbeda-beda tetapi semua bermuara pada satu kebenaran ketuhanan, agama-agama
yang ada pada hakikatnya adalah pintu-pintu menuju Tuhan.[9]
Paham ini, menurut pluralism agama mengacu kepada QS Ali Imra>n: 64[10],
berisikan ajakan kepada penganut agama lain untuk mau bergandengan tangan,
mencari titik temu, guna mencari kedamaian yang menjadi cita-cita dari seluruh
agama. Hal itu mesti dilakukan karena mengingat ketiga agama samawi berasal dari
satu sumber, karena itu ada beberapa persamaan dalam pokok-pokok ajaran meski
berbeda dalam beberapa perincian, dengan adanya beberapa persamaan antara
syari’at-syari’at tersebut, maka jalan untuk mewujudkan perdamaian yang menjadi
misi semua agama, terlepas dari perbedaan yang ada, menjadi terbuka dengan
mengupayakan adanya dialog-dialog antar umat beragama.
Muhammad Sayyid Thantha>wi sebagai seorang ulama kontemporer dan
sangat demokratis menulis penafsirannya tentang QS Ali Imra>n: 64 ini.
ثم بين القرآن أن عيسى عبد الله ورسوله
، وأن هذا هو الحق ، وقد تحدى الرسول صلى الله عليه وسلم كل من نازعه فى ذلك بالمباهلة
ولكن المجادلين نكصوا على أعقابهم ، فثبت صدق النبى صلى الله عليه وسلم فيما يبلغه
عن ربه .
وبذلك يكون القرآن قد بين الحق فى شأن
عيسى - عليه السلام - بيانا يهدى القلوب ويقنع العقول ويحمل النفوس على التدبر والاعتبار
، وإخلاص العبادة لله رب العالمين .
ثم وجه القرآن بعد ذلك نداء عاما إلى
أهل الكتاب دعاهم فيه - فى بضع آيات متوالية - إلى عبادة الله وحده ، وإلى ترك المحاجة
الباطلة فى شأن الأنبياء - عليهم الصلاة والسلام - وإلى الإقلاع عن الكفر بىيات الله
وعن تلبيس الحق بالباطل ، وعن كتمان الحق مع علمهم بأنه حق.
أنت ترى أن القرآن الكريم قد وجه إلى
أهل الكتاب أربع نداءات فى هذه الآيات الكريمة أما النداء الأول فقد طلب منهم فيه أن
يثوبوا إلى رشدهم ، وأن يخلصوا لله العبادة فقال { قُلْ ياأهل الكتاب تَعَالَوْاْ إلى
كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ } .
والسواء : العدل والنصفة ، أى قل يا
محمد لأهل الكتاب : هلموا وأقبلوا إلى كلمة ذات عدل وإنصاف بيننا وبينكم .
ثم بين - سبحانه - هذه الكلمة العادلة
المستقيمة التى هى محل اتفاق بين الأنبياء فقال : { أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ الله }
أى نترك نحن وأنتم عبادة غير الله ، بأن نفرده وحده بالعبادة والطاعة والإذعان .
{ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً } أى ولا نشرك معه
أحدا فى العبادة والخضوع ، بأن نقول : فلان إله ، أو فلان ابن إله ، أو أن الله ثالث
ثلاثة .
{ وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً
مِّن دُونِ الله } أى ولا يطيع بعضنا بعضا فى معصية الله . قال الآلوسى : ويؤيده ما
أخرجه الترمذى وحسنه من حديث عدى بن حاتم أنه لما نزلت هذه الآية قال : ما كنا نعبدهم
يا رسول الله . فقال صلى الله عليه وسلم : " أما كانوا يحلون منكم ويحرمون فتأخذون
بقولهم؟ قال : نعم . فقال صلى الله عليه وسلم هو ذاك " قيل إلى هذا أشار - سبحانه
- بقوله : { اتخذوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ الله والمسيح
ابن مَرْيَمَ وَمَآ أمروا إِلاَّ ليعبدوا إلها وَاحِداً لاَّ إله إِلاَّ هُوَ } فالآية
الكريمة قد نهت الناس جميعا عن عبادة غير الله ، وعن أن يشرك معه فى الألوهية أحد من
بشر أو حجر أو غير ذلك ، وعن أن يتخذ أحد من البشر فى مقام الرب - عز وجل - بأن يتبع
فى تحليل شىء أو تحريمه إلا فيما حلله الله أو حرمه .
ولقد كانت رسالة الأنبياء جميعا متفقة
فى دعوة الناس إلى عبادة الله وحده ، وقد حكى القرآن فى كثير من الآيات هذا المعنى
ومن ذلك قوله - تعالى - : { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعبدوا
الله واجتنبوا الطاغوت } وقوله - تعالى - : { وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ
إِلاَّ نوحي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إله إِلاَّ أَنَاْ فاعبدون } ثم أرشد الله - تعالى
- المؤمنين إلى ما يجب عليهم أن يقولوه إذا مالج الجاحدون فى طغيانهم فقال : { فَإِن
تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشهدوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ } .
أى فإن أعرض هؤلاء الكفاء عن دعوة الحق ، وانصرفوا عن موافقتكم بسبب ما
هم عليه من عناد وجحود فلا تجادلوهم ولا تحاجوهم ، بل قولوا لهم : اشهدوا : بأنا مسملون
مذعنون لكلمة الحق ، بخلافكم أنتم فقد رضيتم بما أنتم فيه من باطل.
Dalam penafsirannya ini,
Muhammad Sayyid Thantha>wi menegaskan bahwa ayat ini bertujuan untuk
mengajak para ahli kitab agar kembali kepada komitmen mereka untuk menyembah
Tuhan selain Allah, dan dalam penafsirannya ini Thantha>wi menyatakan bahwa
penafsiran dari QS Ali Imra>n: 64 tidak bisa kita pisahkan dari ayat
sebelumnya, karena ayat sebelumnya berbicara tentang bagaimana hakikat
penciptaan Nabi Isa yang oleh Allah perumpamaannya hanya seperti menciptakan
Nabi Adam yang tanpa Bapak dan Ibu, oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan
besar kalau dilahirkannya Nabi Isa tanpa bapak merupakan tanda bahwasanya Isa
adalah anak Tuhan.
Adanya
kesalahan-kesalahan dalam pemahaman seperti inilah yang menyebabkan turunnya QS
Ali Imra>n: 64 ini, mengajak semua penganut agama kembali kepada komitmen
yang telah mereka janjikan pada masa lampau, bukan untuk berdialog dengan
proses tawar-menawar antara keyakinan masing-masing. Dalam tafsirnya,
Thantha>wi juga menegaskan bahwa para Nabi dan Rasul terdahulu sudah sepakat
membawa risalah yang substansinya sama-sama mengesakan Tuhan, dan ini
menurutnya sangat banyak diceritakan dalam al-Qur’an.
Pada akhir tafsirnya
dalam ayat ini Thantha>wi memberikan pendapat bahwa apabila masih terdapat
perbedaan teologis tentang hal ini, perbedaan itu tidak perlu ditanggapi dengan
perkelahian dan kekerasan, sebagai seorang muslim kita hanya cukup menegaskan
kepada mereka bahwa kita berpegang teguh kepada agama yang haq, yaitu
komitmen-komitmen yang telah disepakati oleh para Nabi dan Rasul terdahulu.
Pendapat Muhammad Sayyid
Thantha>wi tentang substansi dari ayat ini senada dengan pendapat para ulama
diantaranya al-Habasyi. Menurut al-Habasyi, seluruh Nabi, termasuk Nabi Musa
dan Nabi Isa membawa ajaran monoteisme yaitu Islam. Nabi Musa datang
membawa ajaran agama Islam, pengikutnya biasa disebut musawi (pengikut
Nabi Musa). Nabi Isa juga datang membawa ajaran Islam, pengikutnya dinamakan
dengan Muslim ‘Isawi (pengikut Nabi Isa). Pengikut Nabi Musa yang muslim
kemudian dikenal dengan sebutan Yahudi, diambil dari perkataan Nabi Musa dalam
QS al-A’ra>f: 156. Sedangkan pengikut Nabi Isa kemudian dikenal dengan nama
Nasrani atau Nasa>ra>, karena mereka menyebarkan ajaran syari’at yang
dibawa oleh Nabi Isa untuk menyembah Allah di Nazaret.
Akan tetapi, setelah
Nabi Musa dan Isa wafat, mereka kufur kepada Allah. Mereka meyakini sesuatu yang
menyimpang dari syari’at Islam. Orang Yahudi meyakini bahwa ‘Uzair adalah anak
Allah, sedangkan Nasrani meyakini bahwa Isa adalah anak Allah.[11]
b) Pengakuan dan keselamatan umat non muslim
Berdasarkan QS
al-Baqarah: 62[12],
paham pluralisme beragama berkeyakinan bahwa semua golongan agama akan selamat
dan memperoleh pahala dari Allah selama mereka beriman kepada Allah, hari
akhir, dan beramal saleh. Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat ini dengan bahwa
semua orang yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh, apapun
agamanya, mereka termasuk orang-orang yang beruntung.[13]
Adapun Sayyid Husein Fadl Allah, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rahmat,
ketika menafsirkan ayat tersebut menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat
akan dicapai oleh semua kelompok agama yang berbeda-beda dalam pemikiran dan
pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat
memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh.[14]
Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Rasyid Ridha. Menurutnya, keberuntungan akhirat dapat
diperoleh karena mereka seorang muslim, Yahudi, ataupun Nasrani dan Sabi’in,
menurutnya keberuntungan tidak terkait dengan jenis-jenis agama, akan tetapi
keimanan yang benar dan perbuatan yang memberikan manfaat bagi umat.
Muhammad Sayyid
Thantha>wi menafsirkan QS al-Baqarah: 62 sebagai berikut:
في هذه الآية الكريمة حدثنا القرآن
عن أربع فرق من الناس :
أما الفرقة الأولى : فهي فرقة الذين
آمنوا ، والمراد بهم الذين آمنوا بالنبي صلى الله عليه وسلم ، وصدقوه .
وابتدأ القرآن بهم للإِشعار بأن دين
الإِسلام دين قائم على أساس أن الفوز برضا الله لا ينال إلا بالإِيمان الصادق والعمل
الصالح ، ولا فضل لأمة على أمة إلا بذلك ، كما قال - تعالى - : { إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عَندَ الله أَتْقَاكُمْ } وأما الفرقة الثانية : فهي فرقة الذين هادوا ، أي : صاروا
يهوداً ، يقال : هاد وتهود ، أي دخل في اليهودية ، وسمواً يهوداً نسبة إلى يهوذا أكبر
أولاد يعقوب - بقلب الذال دالا في التعريب - أو سمواً يهودا حين تابوا من عبادة العجل
، من هاد يهود هودا بمعنى تاب . ومنه { إِنَّا هُدْنَآ إِلَيْكَ } أي : تينا .
والفرقة الثالثة : هي فرقة النصارى
، جمع نصران بمعنى نصراني ، كندامي وندمان والياء في نصراني للمبالغة ، وهم قوم عيسى
- عليه السلام - قيل سمواً بذلك لأنهم كانوا أنصاراً له ، وقيل إن هذا الاسم مأخوذ
من الناصرة وهي القرية التي كان عيسى - عليه السلام - قد نزلها .
وأما الفرقة الرابعة : فهي فرقة الصابئين
جمع صابئ ، وهو الخارج من دين إلى دين ، يقال : صباً الظلف والناب والنجم - كمنع وكرم
- إذا طلع . والمراد بهم الخارجون من الدين الحق إلى الدين الباطل ، وهم قوم يعبدون
الكواكب أو الملائكة ، ويزعمون أنهم على دين صابئ بن شيث بن آدم .
وذكر القرآن الصائبة في هذا المقام
وهم من أبعد الأمم ضلالا . لينبه على أن الإِيمان منهم على النحو الذي قرره الدين الحق
، فمن لم تبلغه منهم دعوة الإِسلام ، وكان ينتمى إلى دين صحيح في أصله بحيث يؤمن بالله
واليوم الآخر ويقدم العمل الصالح على الوجه الذي يرشده إليه دينه ، فله أجره على ذلك
عند ربه .
أما الذين بلغتهم الذين بلغتهم دعوة
الإِسلام من تلك الفرق ولكنهم لم يقبلوها؛ فإنهم لا يكونون ناجين من عذاب الله مهما
ادعوا بأنهم يؤمنون بغيرها ، لأن الشريعة الإِسلامية قد نسخت ما قبلها والرسول صلى
الله عليه وسلم يقول : " لو كان موسى حياً ما وسعه إلا اتباعي " .
وبعض العلماء يرى أن معنى { مَنْ آمَنَ
} أي : من أجدث من هذه الفرق إيماناً بالنبي صلى الله عليه وسلم وبما جاء من عند ربه
، قالوا : لأن مقتضى المقام هو الترغيب في دين الإِسلام ، وأما بيان من مضى على دين
آخر قبل نسخه فلا ملابسة له بالمقام ، فضلا عن أن الصابئين ليس لهم دين تجوز رعايته
في وقت من الأوقات .
ثم بين - سبحانه - عاقبتهم فقال :
{ فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
} .
الأجر : الجزاء على العمل ، وسمى الله
ما يعطيه للمؤمن العامل أجراً على سبيل التفضل منه .
وقال : { عِندَ رَبِّهِمْ } ليدل على
عظم الثواب ، لأن ما يكون عند الله من الجزاء على العمل لا يكون عظيماًً ، ولأن المجازي
لهم هو ربهم المنعوت بصفات الكرم والرحمة وسعة العطاء .
والمعنى : إن هؤلاء الذين لهم أجرهم
العظيم عند ربهم ، ولا يفزعون من هول يوم القيامة كما يفزع الكافرون ، ولا يفوتهم نعيم
، فيحزنون عليه كما يحزن المقصرون .
Di dalam penafsirannya tentang
ayat ini, Thantha>wi menjelaskan tentang keempat kelompok yang dimaksudkan
oleh al-Qur’an di dalam ayat ini, yaitu: orang-orang yang beriman, Yahudi,
Nasrani, dan kaum Sabiin. Thantha>wi menjelaskan bahwa kaum yang belum
datang kepadanya dakwah Islam, dan ia berpijak kepada keyakinannya pada saat
itu, maka ia berada dalam lindungan dan ampunan Allah. Namun bagi kaum yang
telah sampai kepada mereka dakwah tentang Islam dan mereka tidak mengikuti dan
tetap saja berpegang kepada ajaran mereka sebelumnya, maka mereka mendapatkan
azab dari Allah. Hal ini di karenakan Islam telah menyempurnakan ajaran-ajaran
yang datang sebelumnya.
Pendapat ini juga hampir
senada dengan pendapat al-Habasyi, menurutnya al-Qur’an secara eksplisit memang
mengakui eksistensi agama-agama lain, akan tetapi pengakuan terhadap eksistensi
suatu perkara bukan berarti juga pengakuan terhadap kebenaran perkara tersebut.
Al-Qur’an mengakui keberadaan agama diluar Islam, akan tetapi hanya
memerintahkan umatnya untuk memeluk agama Islam, oleh karena itu Allah mengutus
ribuan Nabinya[15]
untuk menyampaikan agama Islam.
Menurut para ulama,
penafsiran QS al-Baqoroh: 62 yang menyatakan bahwa umat non muslim akan selamat
di akhirat dibantah oleh QS al-Baqoroh: 111-112[16],
pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa hanya orang-orang Islam dan berbuat
baiklah yang akan mendapatkan keselamatan.
c) Kebebasan beragama (hurriyah
al-I’tiqa>d)
Diantara prinsip
pluralism beragama adalah hurriyah al-I’tiqa>d (kebebasan beragama).
Paham ini mengajarkan bahwa Islam tidak memaksa manusia untuk menjadikan Islam
sebagai satu-satunya agama di dunia. Setiap usaha pemaksaan terhadap suatu
agama akan mengalami kegagalan, sebab itu bukan saja hanya menyalahi hukum
kebiasaan, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kesimpulan ini
didasarkan pada QS al-Baqoroh: 256 (la> ikra>ha fi al-di>n).
Gamal al-Bana
menjelaskan bahwa paham hurriyah al-i’tiqa>d adalah paham yang
mengatakan bahwa iman dan kufur adalah masalah pribadi, karena itu tidak boleh
ada campur tangan dan paksaan dalam bentuk apapun. Tugas seorang Rasul hanyalah
menyampaikan dan tidak ada kemampuan bagi mereka untuk memaksa, karena hidayah
hanyalah berasala dari Allah.[17]
Zamakhsyari ketika
menafsirkan ayat tersebut menegaskan bahwa Allah tidak membolehkan adanya pemaksaan
keimanan kepada siapapun, tetapi keimanan dilakukan atas dasar pemilihan dan
kerelaan. Sedangkan Yusuf al-Qardha>wi menyatakan bahwa kebebasan yang
paling utama adalah kebebasan berakidah dan beribadah, setiap orang yang
beragama dipersilahkan untuk mengamalkan agamanya dan mazhabnya, tidak dipaksa
untuk meninggalkannya dan tidak boleh diperlakukan dengan kekerasan untuk
berpindah pada agama Islam.[18]
Mengenai QS al-Baqoroh:
256 yang dipakai oleh para penganut paham pluralism agama, Muhammad Sayyid Thantha>wi
menulis di dalam tafsirnya tentang ayat ini sebagai berikut:
وبعد أن ساق - سبحانه - في آية الكرسي الأدلة الواضحة على وحدانيته وعظمته
وتنزيهه عن صفات الحوادث ، عقب ذلك ببيان أن الدين الحق قد ظهر وتجلى لكل ذي عقل سليم
، وأنه لا يقسر أحد على الدخول فيه فقال – تعالى لاَ إِكْرَاهَ فِي الدين
الإكراه معناه : حمل الغيرعلى قول أو فعل لا يريده عن طريق التخويف أو
التعذيب أو ما يشبه ذلك . والمراد بالدين دين الإِسلام والألف واللام فيه للعهد .
والرشد : الاستقامة على طريق الحق مع
تصلبه فيه ، مصدر رشيد يرشد ويرشد أي اهتدى . والمراد هنا : الحق والهدى .
والغي ضد الرشد . مصدر من غوى يغوي
إذا ضل في معتقد أو رأى ، ويرى بعض العلماء أن نفي الإِكراه هنا خبر في معنى النهي
، أي : لا تكرهوا أحداً على الدخول في دين الإِسلام فإنه بين واضح في دلائله وبراهينه
، فمن هداه الله له ونور بصيرته دخل فيه على بصيرة ، ومن أضله وأعمى قلبه لا يفيده
الإِكراه على الدخول فيه .
وقال بعض العلماء إن الجملة هنا على
حالها من الخبرية والمعنى : ليس في الدين - الذي هو تصديق بالقلب ، وإذعان في النفس
- إكراه وإجبار من الله - تعالى - لأحد ، لأن مبني هذا الدين على التمكين والاختيار
، وهو مناط الثواب والعقاب ، لولا ذلك لما حصل الابتلاء والاختبار ، ولبطل الامتحان
.
أو المعنى : كما يرى بعضهم - إن من
الواجب على العاقل بعد ظهور الآيات البينات على أن الإِيمان بدين الإِسلام حق ورشد
. وعلى أن الكفر به غي وضلال ، أن يدخل عن طواعية واختيار في دين الإِسلام الذي ارتضاه
الله وألا يكره على ذلك بل يختاره بدون قسر أو تردد .
فالجملة الأولى وهي قوله - تعالى -
: { لاَ إِكْرَاهَ فِي الدين } : تنفى الإِجبار على الدخول في الدين ، لأن هذا الإجبار
لا فائدة من ورائه ، إذ التدين إذعان قلبي ، واتجاه بالنفس والجوارح إلى اله رب العالمين
بإرادة حرة مختارة فإذا أكره عليه الإِنسان إزداد كرهاً له ونفوراً منه . فالإِكراه
والتدين نقيضان لا يجتمعان ، ولا يمكن أن يكون أحدهما ثمرة للآخرة .
والجملة الثانية وهي قوله - تعالى
- : { قَد تَّبَيَّنَ الرشد مِنَ الغي } بمثابة العلة لنفي هذا الإكراه على الدخول
في الدين ، أي قد ظهر الصبح لذي عينين ، وانكشف الحق من الباطل ، والهدى من الضلال
وقامت الأدلة الساطعة على دين الإِسلام هو الدين الحق وغيره من الأديان ضلال وكفران
وما دام الأمر كذلك فقد توافرت الأسباب التي تدعو إلى الدخول في دين الإِسلام ، ومن
كفر به بعد ذلك فليحتمل نتيجة كفره ، وسوء عاقبة أمره .
Muhammad Sayyid
Thantha>wi di dalam tafsirnya mendukung pendapat yang mengatakan bahwa tidak
boleh ada pemaksaan dalam beragama (Islam). Menurutnya, ayat ini dikarenakan
ayat sebelumnya (ayat kursi) telah memuat dan menjelaskan tentang keesaan dan
keagungan Allah, sehingga orang-orang yang memiliki hati dan akal yang sehat,
setelah memperhatikan dan mendalami ayat ini, pasti akan beriman kepada Allah
dan menjalankan syari’at Islam tanpa paksaan.
Menurut Thantha>wi,
pemaksaan dalam memeluk agama tidak akan mendatangkan faedah, menurutnya,
keterpaksaan dan sifat keberagamaan adalah dua hal yang berbeda, apabila
keduanya digabungkan, keduanya tidak akan bermanfaat bagi yang lain, oleh
karena itu keduanya harus dipisahkan. Thantha>wi menambahkan bahwa dalam
ayat ini Allah juga telah menekankan kepada kita bahwa dengan adanya dakwah,
maka menjadi jelaslah antara yang hak dan yang batil, antara kebenaran dan
kebathilan, sehingga tidak perlu lagi paksaan dalam mengikuti yang hak, karena
semua umat manusia telah mengetahui jalannya masing-masing dan konsekwensi dari
pilihan jalan yang ia pilih.
Pendapat thantha>wi
ini banyak didukung oleh para ilmuwan muslim, selain dari pendapat-pendapat
yang kami utarakan di atas (sebelum penafsiran Thatha>wi) tentcang ayat ini,
Quraisy Shihab juga memiliki wacana yang senada dengan Thantha>wi. Quraisy
mengatakan bahwa diantara ketentuan yang harus ditaati adalah member kebebasan
kepada siapapun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya, karena
masing-masing akan mempertanggung jawabkan kepercayaannya tersebut di hari
akhirat nanti, hal ini senada dengan firmannya QS al-Kafirun: 6 lakum
di>nukum wa li yadi>n.[19]
H. Riba menurut Sayyid thanthawi
Harian “an-Nur”
menyebutkan sedikitnya ada empat fatwa yang dikeluarkan oleh Sayyid Thanthawi
selama setahun dalam masalah riba. Di dalam fatwanya, beliau dengan tegas
mengatakan bahwa keuntungan-keuntungan yang di dapat dari bank-bank merupakan
riba yang di haramkan, dan tidak sah zakat dan sedekah yang dikeluarkan dari
uang tersebut, walaupun uang itu diperuntukan untuk pembangunan mesjid.
Pada tanggal 15 januari
1985 misalnya, seorang warga Negara Mesir mengajukan pertanyaan kepada dar
el-ifta’, dalam pertanyaan tersebut dia menyebutkan bahwa dia telah menabung
dengan yang cukup banyak di bank, dia bertanya apakah bunga yang dia dapatkan
dari tabungannya itu halal? Dan apakah uang itu sah atau boleh digunakan untuk
hal-hal positif separti membangun mesjid, sedekah dan lain-lain?
Menyangkut pertanyaan
ini, Sayyid Thanthawi menjawab bahwa selama bunga itu ditetapkan di awal dan
dalam kurun waktu tertentu, maka hukumnya adalah haram, dan tidak wajib
mengeluarkan zakat dari uang itu, dan yang dibolehkan zakatnya hanya pokok
modalnya saja, apabila pokok modalnya itu sudah mencapai nishabnya. Adapun
bunga dari uang tersebut adalah riba yang diharamkan, pelaku boleh memilih
apakah bunga bank itu ditinggalkannya di bank atau di ambilnya dan dibagikan
kepada fakir miskin, namun, menurut Sayyid Thanthawi, uang itu tidak boleh
disedekahkan untuk pembangunan mesjid, karena mesjid adalh rumah Allah yang
akan dipakai untuk kegiatan beribadah kepada Allah, maka kita tidak boleh
mengotori rumah Allah yang suci itu dengan uang yang kotor yang didapatkan dari
bungan bank yang menurutnya riba yang diharamkan.
I. Penutup
Dari pembahasan yang
singkat ini, jelas dan dapat diketahui bahwa sebagai seorang ilmuwan dan ulama,
Muhammad Sayyid Thantha>wi adalah seorang yang sangat memberikan kontribusi
yang sangat banyak dan positif terhadap khazanah keilmuwan Islam, ini
dibuktikan dengan banyaknya buku-buku yang terbit dari pemikiran Thantha>wi,
buku-bukunya bukan saja banyak, namun juga beragam dan sangat demokratis
sehingga mudah di pahami dan dikosumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Kitabnya yang fenomenal,
al-Wasith fi tafsi>r al-Qur’an, sangat kaya akan metodologi, sekilas kita
dapat menyimpulkan bahwa Thantha>wi di dalam tafsirnya ingin menjembatani
antara pemikiran kaum progresif dan konservatif di dalam Islam, dalam kitab
tafsirnya ini, seakan akan ia ingin mengatakan kepada kita bahwa kita harus
menjaga trades-tradisi lama seperti penafsiran periwayatan dengan cara
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, sunnah dan ijma’ serta perkataan salaf
al-salih. Namun, disamping itu ia tidak menutup dirinya dari pendapat-pendapat
yang sangat provan sesuai dengan yang dihadapi oleh Islam di dalam arus
globalisasi ini, sehingga, walaupun ia menerapkan metode periwayatan dalam
penafsirannya, ia juga lebih berani menggunakan ijtihadnya terhadap
masalah-masalah actual yang terjadi pada saat ini.
DAFTAR PUSAKA
Al-Qardhawi,
Gharu al-Muslimin fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi (Kairo, Dar
al-Syuruq, 2000)
Gamal
al-Bana, hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqa>d fi al-Isla>m, (Kairo: Dar
al-Fikr al-Islami)
Gamal
al-Bana, al-Ta’addudiyah fi al-Mujtama’ al-Isla>my, (Kairo, Dar
al-Fikr al-Islami)
Jalaludin
Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak al-Qur’an Menyikapi Perubahan
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2006)
Muhammad
Husain al-Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, (Cairo: Da>r
al-Ha>dist), 2005
M
Quraisy Shihab, Ayat-ayat Fitna, Sekelumit Keadaban Islam di tengah
Purbasangka, (Jakarta, Lentera Hati, 2008)
Muhammad
Sayyid Thantha>wi, al-Tafsi>r al-Wasi>t li al-Qur’an al-kari>m (Kairo:
Nahdah al-Misr 1997). Jilid 1
Nasruddin
Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Glagah 1998)
Wahbah
Zuahaili, al-Tafsir al-Muni>r, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mua’asr.
1998)
[1]Muhammad Husain al-Zahaby,
al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, (Cairo: Da>r al-Ha>dist, 2005) 137
[2] DR Nasruddin Baidan, Metodologi
penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Glagah 1998) h1
[3]Maudhu>I atau tematik, secara
istilah yaitu memberikan pengertian: menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang
memiliki tujuan dan tema yang sama. Kemudian, disusun berdasarkan kronologis
turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah berikutnya adalah
dengan menguraikan dengan menjelajah seluruh aspek yang bisa digali. Hasilnya
diukur dengan teori-teori yang akurat sehingga mufassir dapat menyajikan tema
dengan utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang
menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian terdalam
sekalipun bisa diselami dan dipahami. Lihat al-Farmawi, al-Bidayah fi>
al-Tafsi>r al-Maudhu>I, ter Rosihan Anwar (Kairo: al-Hadharah
al-‘Arabiyah, 1997), 44
[4]Beberapa keistimewaan metode ini
antara lain: (1) ruang lingkup yang luas,karena metode ini dapat digunakan
dalam dua bentuk, yaitu periwayatan dan nalar. Bentuk nalar dapat lagi
dikembangkan dalam berbagai macam corak penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing panafsir. (2) memuat berbagai ide. Mufassir mempunyai kebebasan
dalam memajukan ide-ide dan gagasan baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Adapun kekurangan
dari metode ini adalah: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial atau
terpecah-pecah, sehingga hal ini menyebabkan al-Qur’an seakan-akan memberikan
pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada suatu ayat berbeda dengan penafsiran yang diberikan kepada ayat-ayat lain
yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan ini disebabkan oleh kurang
diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. (2) melahirkan
penafsiran subyektif. (3) masuknya pemikiran Isra>iliyat. Lihat Nasharudin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
53-60
[5] ///D:/بحث علمي/summary/biografi
muhammad sayyid thanthawy.htm. di akses pada hari minggu tanggal 11 desember
pukul 11.00 WIB
[6]
Pembahasan tentang kitab
ini akan dibahas pada halaman berikutnya
[7] Muhammad Sayyid Thantha>wi, al-Tafsi>r
al-Wasi>t li al-Qur’an al-kari>m (Kairo: Nahdah al-Misr 1997). Jilid
1, h 10
[8] Ibid h 38
[10]
Maknanya: Katakanlah: hai
ahli kitab, marilah berpegang kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak pula
sebagian kita menjadika sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah
[11]
QS Al-Taubah: 30, artinya:
orang-orang Yahudi berkata Uzair adalah Putra Allah, dan orang-orang Nasrani
berkata bahwa al-Masih adalah putra Allah, demikianlah itu ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu, dilaknati
Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?
[12]
Maknanya: sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in.
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati
[13]
Wahbah Zuahaili, al-Tafsir
al-Muni>r, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mua’asr. 1998) 178
[14]
Jalaludin Rahmat, Islam
dan Pluralisme: Akhlak al-Qur’an Menyikapi Perubahan (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta 2006) 23
[15]
Para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah Nabi dan Rasul. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah
para Rasul adalah 313, sedangkan jumlah Nabi adalah 24.000. tetapi menurut
pendapat yang unggul adalah bahwa tidak menentukan jumlah tetentu bagi mereka.
Hal ini dimaksudkan agar tidak memasukan seseorang yang bukan nabi dan juga tidak
mengeluarkan seorang Nabi.
[16] Maknanya: dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata:
sekali-kali tidak akan masuk surge kecuali orang-orang yang yahudi dan Nasrani.
Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka.
Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar
[17]
Gamal al-Bana, hurriyah
al-Fikr wa al-I’tiqa>d fi al-Isla>m, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami) 6
[18]
Al-Qardhawi, Gharu
al-Muslimin fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi (Kairo, Dar al-Syuruq, 2000)
17
[19]
M Quraisy Shihab, Ayat-ayat
Fitna, Sekelumit Keadaban Islam di tengah Purbasangka, (Jakarta, Lentera
Hati, 2008), 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar