TAFSIR
AL-MARAGHI
(KARYA MUS}T}AFA AL-MARAGHI)
A. Pendahuluan
Tafsir
al-Maraghi meupakan tafsir kontenporer di Timur Tengah, atau tafsir mutaakhir.
Dikatakan demikian karena tafsir ini lahir pada abad ke 20an. Al-Maraghi adalah
salah satu murid dari Muhammad Abduh penulis tafsir al-Mannar yang bercorak
rasionalis. Sehingga tidak diragunakan lagi Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi dalam menfasirkan
ayat-ayat Allah swt, yakni al-Qur’a@n didominasi logika. Hal ini sangat cocok
pada kondisi masyarakat Mesir ketika itu. Mungkin tafsir ini merupakan jawaban
al-Maraghi pada masalah yang sedang berlangsung ketika itu. Sebab sudah dapat
dipastikan bermunculannya karya tafsir, dari masa-ke masa merupakan refleksi
dari jawaban mufa^sir terhadap persoalan yang ada. Ini juga salah satu bukti
bahwa al-Qur’a@n dapat dijadikan sumber jawaban pada persoalan yang sedang
berlangsung pada masanya.
Cara
mufa@sir menggali al-Qur’a@n, dengan tujuan menangkap maksud Allah yang
tertuang di dalmnya, tidak terlepas dari 4 metodologi[1], yaitu; ijmali, maudhu’i,
muqarin, dan tahlili. Masing-masing metode itu mempunyai
karakteristik tersendiri, baik dari sisi lebih maupun kurang. Metode ijmali@
kelebihannya, terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Penafsiran yang
menggunakan metode ini lebih cocok bagi pemula dan bagi orang yang ingin
belajar tafsir dengan singkat. Hal lain yang termasuk kelebihan dari metode
ijmali, yaitu; bebas dari penafsiran israiliat, akrab dengan bahasa arab,
artinya antara teks al-Qur’a@n dengan penafsiran tidak jauh berbeda, jika
enggan mengatakan, hanya sinonim[2]. Adapun kekurangan dari
metode ijmali@ adalah terkesan al-Qur’a@n bersifat farsial, padahal al-Qur’a@n
merupakan kesatuan yang utuh. Kekurangan lain yaitu tidak menyediakan
ruanglingkup untuk mengemukakan analisis yang dalam.
Dalam
menangkap maksud Allah swt yang tertuang di dalam al-Qur’a@n dari masa ke masa
tidak ada habisnya, laksana air laut yang tidak pernah habis baik di musim
kemarau apalagi dimusim hujan. Berbagai metode digunakan oleh para mufa@sir namun
semuanya tidak terhindar dari sisi lebih dan sisi kurang, dan keduanya itu
menjadi karakteristik metode tersebut.
Metode
penafsiran al-Qur’a@n bukan hal yaang baru sejak masa s}ahabat sudah ada. Hal
itu terbukti pada cara s}ahabat menafsirkan yang berbeda-beda[3]. Sebaagian s}ahabat dalam
menafsirkan al-Qur’a@n hanya berpedoman kepaada riwayat semata, tidaak mau
menggunakan ijtihad. Sementara sebagian yang lain, di samping menafsirkan ayat
dengan hadits-hadits yang diterimanya dari Nabi atau dari sesamanya, mereka
menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya, di samping mereka menafsirkan dengan
atsar, mereka juga menafsirkan al-Qur’a@n dengan berpegang teguh kepada
kekuatan bahasa Arab dan asbab an-nuzul[4].
Yang mengetaahui secara mut}lak
(pasti) isi kandungaan al-Qur’a@n adalah Allah swt. Namun para ulama dalaam hal
ini mufa@sir berusaha keras untuk mengkap ini kandungan kitab suci itu, dengan
berbagai macam pendekatan.
Secara umum metode yang
digunakan oleh para mufa@sir dalam menangkap ini kandungan al-Qur’a@n ada 4
(empat) metode; diantaranya, metode ijmali, analitis, komparatif, dan
maudhu’i.
B. Tentang
Penulis
Biografi
al-Maraghi
1. Nama dan Nisbah al-Maraghi
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Mustafa ibn Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun`im
al-Qadi al-Maraghi. Ia dilahirkan di al-Maraghah, sebuah kabupaten di tepi
barat sungai Nil, Propinsi Suhaj, 70 km arah selatan kota Kairo pada tahun 1300
H/1883 M, dan wafat di Hilwan, sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Kairo
pada tahun 1371 H/1952 M, pada usia 69 tahun.1 Julukan Al-Maraghi bukan kata yang menunjukkan marga atau
nisbah yang disandarkan pada nama keluarga, sebagaimana kata ‘al-Hasyimiy’
yang menunjukkan keluarga dan keturunan Hasyim, melainkan disandarkan nama
tempat di mana ia dilahirkan.2
Karenaitu, nama al-Maraghi, bukan serta
merta menunjukkan yangbersangkutan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Abdul
Mun`im al-Maraghi (kakek Ahmad Musthafa al-Maraghi).
Ada biografi
13 tokoh yang memakai julukan al-Maraghi, dan kesemuanyatidak memiliki
pertalian darah dengan tokoh yang sedang kita kaji. Dalam wacana, sering
terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi antara Muhammad Musthafa al-Maraghi
dengan Ahmad Musthafa al-Maraghi. Di dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan
Ikhtiar Baru Van Hove misalnya, disebutkan bahwa Tafsir al-Maraghi yang terdiri
dari 30 juz adalah karya Muhammad Musthafa al-Maraghi, demikian pula dalam
pengantar terjemahan Tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa penulis tafsir
tersebut adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar Kairo. Kedua keterangan ini
keliru sebab penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik
kandung Muhammad Musthafa al-Maraghi yangpernah menjadi pemimpin tertinggi di
Universitas tertua itu.
Pada
beberapa tempat nama Ahmad Musthafa al-Maraghi, kadang ditambahkan dengan kata
Beik. Hal ini ditemukan antara lain pada kitab al-Fihris al-Maktab
al-Azhariyyah, dan pada piagam penghargaan yang diberikan oleh RajaMesir,
Faruq. Nama al-Maraghi pada dua tempat tersebut ditulis dengan AhmadMusthafa
al-Maraghi Beik.
2. Pendidikan al-Maraghi
Sebelum
sampai pada usia sekolah, al-Maraghi mendapatkan pendidikan di lingkungan
keluarga, sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Hal ini karena ia terlahir
dalam lingkungan tradisi keilmuan yang sangat kental. Ayahnya, Musthafa
al-Maraghi adalah seorang ulama besar dan cukup terkenal di Mesir pada masanya.4 Keberhasilan Musthafa al-Maraghi di dalam menjalankan tugasnya
sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, termasuk atas Ahmad Musthafa
al-Maraghi, terlihat pada jelmaan anak-anaknya dikelak kemudian hari. Hasan
Zaini menuturkan bahwa Ahmad Musthafa al-Maraghi adalah seorang dari 9 orang
bersaudara, dan semuanya menjadi orang besar, lima orang di antaranya menjelma
menjadi sosok akademisi, dan empat orang
saudaranya yang lain menjelma menjadi hakim.5Mereka yang menjadi akademisi adalah:
a.
Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah
menjabat Rektor Universitas al-Azhar selama dua periode; tahun 1928-1930 dan
1935-1945,
b. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir
Al-Maragh,
4Hasan
Zaini, op.cit.
h. 15.
5Muhammad
Mustafa al-Maraghi tidak menulis tafsir al-Qur’an secara lengkap sebagaimana
adiknya namun dia juga menamakan tafsirnya itu dengan Tafsir al-Maraghi.Tafsir ini hanya terdiri atas tiga jilid
yang masing-masing berjumlah 200 halaman.74
b.
Abdul Aziz Al-Maraghi, mantan Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dan Imam Raja Faruq,d. Abdullah
Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhar, dan
e. Abul Wafa Mustafa Al-Maraghi,
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar. Sementara
putera Musthafa al-Maraghi yang menjadi hakim adalah a. Muhammad Aziz Ahmad
Al-Maraghi, Hakim di Kairo, b. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri
Kehakiman diKairo, c. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan
Tinggi Kairo, dan d. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo
dan wakilMenteri Kehakiman di Kairo. Kaitannya dengan pendidikan, data di atas
dapat diletakkan sebagai bukti bahwa sejak masa kecilnya, Ahmad Musthafa
al-Maraghi telah menjalani proses pendidikan non formal di bawah bimbingan
orang tuanya, sebagaimana yang diterima oleh saudarasaudaranya yang lain.
Setidaknya, sang ayah, Musthafa al-Maraghi,telah menanam dan menumbuhkan
semangat pengabdian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan agama, sekaligus
cikal bakal pengetahuan yang dapat dikembangkan ke depan. Setelah menginjak
usia sekolah, Ahmad Musthafa al-Maraghi, menempuh pendidikan formal dengan
memasuki madrasah di tempat kelahirannya, Maraghah. Bahkan ia menamatkan
pendidikan menengahnya di tempat yang sama. Selama dalam pendidikan dasar
dan menengah, Ahmad Musthafa al-Maraghi
telah memperlihatkan antusiasme untuk mendalami al-Qur’an. Ia memperbaiki
bacaan, belajar tajwid, menghafal ayat-ayat al-Qur’an sehingga sebuah prestasi
besar sebagai dasar utama bagi seorang mufassir telah ia raih dalam usia yang
masih sangat belia. Dalam usianya yang ke-13, ia telah menghafal seluruh ayat
al-Qur’an. Pada usianya yang ke-14 tahun atau tepatnya tahun 1897, al-Maraghi
diperintahkan orang tuanya untuk pergi ke Kairo agar belajar
di Universitas al-Azhar. Fokus perhatian
untuk menjadi seorang mufassir pun nampak kian jelas. Ia mendalami berbagai
disiplin ilmu seperti Bahasa Arab, Balaghah, Tafsir, dan Ilmu al-Qur'an, Ushul
Fiqh, Hadits dan Ulum al-Hadits. Kiranya akumulasi dari penguasaan atas
ilmu-ilmu inilah yang mendudukkan Ahmad Musthafa al-Maragi sejajar dengan
mufassir-mufassir ternama. Di samping menempuh pendidikan formal di Universitas
al-Azhar, pada waktu yang bersamaan, Ahmad Musthafa al-Maraghi juga mengikuti
pendidikan di Fakultas Darul Ulum Kairo yang
belakangan tergabung dalam Univeritas
Kairo (Cairo University). Pada tahun 1909, al-Maraghi merampungkan
pendidikannya di kedua universitas itu secara bersamaan. Pendidikan tinggi yang
ia jalani di dua perguruan tinggi ternama di negara piramid itu
mempertemukannya dengan banyak ilmuwan terkenal pada masa itu. Nama-nama
populer seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bahits al-Muthi’i, Ahmad Rif’i
al-Fayumi, dan Muhammad Husnin al-Adawi, adalah para guru yang telah mengantar
Ahmad Musthafa al-Maraghi menjadi sosok mufassir yang terkenal.
C. Profil Tafsir al-Maraghi
96
1. Penulisan Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi adalah karya Ahmad
Musthafa al-Maraghi. Penamaan
ini dinisbahkan pada nama tempat kelahirannya, al-Maragha, sebagaimana nisbah
yang disebutkan di belakang namanya. Hal
ini penting untuk disebutkan karena kadang ada anggapan bahwa tafsir al-Maraghi adalah karya mantan
Syaekh al-Azhar, Muhammad Musthafa
al-Maraghi, kakak kandung Ahmad Musthafa al-Maraghi sendiri. Memang, Muhammad Musthafa
al-Maraghi juga melahirkan karya tafsir, hanya saja terbatas pada beberapa
surah al-Qur’an. Kemungkinan terjadinya kekeliruan semakin besar sebab nisbah
al-Maraghi bukan hanya digunakan oleh keluarga Musthafa al-Maraghi, tetapi juga
orang lain yang berasal dari tempat yang sama, al-Maragha. Tafsir Al-Maraghi
merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa Al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun
(1940-1950M). Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi
ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen melainkan
kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu. Menurut sebuah
sumber bahwa ketika Al-Maraghi menulis tafsirnya ia hanya membutuhkan waktu
istirahat
selama empat jam dalam sehari sedangkan 20
jam yang tersisa digunakan
untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser 97 pada
paruh terakhir, Al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon
petunjuk dari Allah. Lalu dilanjutkan
dengan menulis tafsir ayat-demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja.
Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana
orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh
malam. Demikianlah aktifitas Al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan
tintatinta emas sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase Perpustakaan
Islamdi berbagai negara muslim dewasa ini. Tafsir Al-Maraghi untuk pertama
kalinya diterbitkan di Kairo pada tahun 1951 M. Pada terbitan yang pertama ini,
Tafsir al-Marghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan
pembagian juz Al-Qur'an. Lalu pada penerbitan yang kedua, terdiri dari 10 jilid
dimana setiap jilid berisi 3 juz dan selanjutnya juga pernah diterbitkan ke
dalam 15 jilid dimana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah Tafsir Al-Maraghi yang
diterbitkan ke dalam 10 jilid.
Penulisan tafsir al-Maraghi
dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan tafsir untukmemahami kandungan
al-Qur’an di satu sisi dan realitas obyektif tafsir-tafsir yang sudah ada.
Berdasarkan pengamatannya bahwa penjelasan-penjelasan yang dimuat di dalam banyak
tafsir bercampur dengan hal-hal yang tidak penting, seperti 98
cerita-cerita yang tidak masuk akal,
istilah-istilah teknis dari disiplin ilmu tertentu seperti balaghah,
bahkan pada persoalan khilafiyah dan pertikaian antar mazhab yang justru
menjauhkan al-Qur’an dari fungsinya sebagai petunjuk. Bagi al-Maraghi, realitas
obyektif tafsir yang
demikian tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan penjelasan-penjelasan al-Qur’an. Realitas tersebut menggugah rasa
tanggungjawab Al-Maraghi sebagai
salah seorang ulama tafsir. Muncul sebuah kesadaran di dalam dirinya bahwa
problema tersebut membutuhkan pemecahan sekaligus merasa terpanggil untuk
menawarkan solusi-solusi yang berdasarkan dalil-dalil qur’ani yang dapat
dijadikan alternatif. Maka dari
itu tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gayanya yag modern.
Dikatakan modern karena ia disesuaikan
dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern. Hal ini terlihat pada penuturan
Al-Maraghi sendiri yang dituangkan
dalam pembukaan tafsirnya. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa penulisan tafsir
yang ia lakukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, disusun secara
sistematis, diungkapkan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, dan
masalah-masalah yang dibahas benar-benar didukung engan hujjah, bukti-bukti
nyata serta berbagai percobaan yang diperlukan. Dari sini pula, al-Maraghi berupaya
menyajikan pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai 99
cabang ilmu yang relevan.39 Selain ungkapan al-maraghi sendiri, karakteristik Tafsir
al-Maraghi juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh antara lain:
2. Corak Tafsîr al-Maraghi
Dalam setiap pembahasan tafsirnya,
al-Maraghi senantiasa mendahulukan
pembahasan tentang ulumul Qur’an. Hal ini dilakukan sebagai modal awal untuk memahami tafsir
setiap ayat dalam al-Qur’an. Yang dilakukannya setelah itu adalah penjelasan
mengenai sistemtafsirnya, yaitu: a. Menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di awal
pembahasan Pada setiap awal pembahasan, ia memulai dengan satu atau lebih ayat-ayat
al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut disusun sehingga memberikan pengertian yang
integral.40
b. Menjelaskan kosa kata (Syarh
al-mufradât) Yang dimaksud dengan penjelasan kata-kata adalah penjelasan kata
dari segi bahasa. Hal ini dilakukan jika terdapat kata-kata yang tidak atau
kurang dipahami oleh para pembaca.41
Dalam hal ini, al-Maraghi tampaknya
berpatokan pada ungkapan Imam Malik yang diriwayatkan oleh Imam Baihaki yang
berbunyi 39 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid I, h. 40Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1971), Cet. III, jilid I h.
16. 41Ibid. 100
“Seseorang yang tidak mengerti tentang
bahasa Arab, jika diperbolehkan
untuk menafsirkan al-Qur’an maka ia
menjadi contoh yang jelek saja. 42
Hal senada dilontarkan oleh Manna`
al-Qaththan, Hasbi Ash-Shiddiqie dan al-Suyuti. Mereka menyatakan betapa
pentingnya pengetahuan
bahasa untuk menjelaskan kata-kata bagi mereka yang menafsirkan kitab llah.
c. Menjelaskan pengertian ayat secara
global
Yang dimaksud dengan pengertian ayat
secara global adalah dengan menyebutkan ayat-ayat, dengan harapan agar para pembaca
sebelum memasuki pembahasan sudah mengetahui makna ayat-ayat terlebih dahulu.43 d. Menjelaskan Asbâb al-Nuzûl Jika terdapat riwayat
sahih dari hadis yang selama ini menjadi pegangan para mufassir maka
al-Maraghi mencantumkan asbâb alnuzûlnya. Asbâb al-Nuzûl memiliki peran
penting dalam penafsiran al-Qur’an. Sebagaimana
yang ditulis Hasbi Ash-Shiddiqie, al-Wahidi pernah mengungkapkan bahwa “tidak mungkin kita
dapat mengetahui tafsir
ayat tanpa mengetahui terlebih dahulu kisah dan sebab turunnya.44 42Mahmud Basuni Fuadah, al-Tafsîr wa Minhâjuh, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 11. 43Al-Maraghi,
Op. Cit. h. 16
44Hasbi
ash-Shiddiqie, Pengantar
Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1954), h. 3. 101 Agaknya
ungkapan al-Wahidi tersebut diperhatikan betul oleh al-Maraghi, sehingga
keberadaan asbâb al-nuzûl dari suatu ayat tidak diabaikan begitu saja. e. Mengesampingkan istilah-istilah yang
berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Dalam
tafsirnya, al-Maraghi sengaja mengesampingkan istilahistilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan,
seperti nahwu, sharaf, dan balaghah. Menurutnya, apabila
di dalam kitab tafsir terdapat istilah-istilah sejenis maka pembaca akan
terhambat dalam memahami kitab tafsir, sehingga tujuan utama dalam
mendalami pengetahuan tafsir akan
mengalami hambatan.45
Tampaknya, al-Maraghi di sini sangat
berhati hati agar tidak terjebak ke dalam kajian bahasa dan ilmu pengetahuan.
Namun, sebagaimana
dinyatakannya sendiri, al-Maraghi justru sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan modern dengan
mencoba mencari landasannya dalam al-Qur’an. Baginya, semua itu berfungsi sebagai pendukung
untuk memahami al-Qur’an. Ia mengatakan: Jadi, pembahasan tafsir yang kami sajikan ini juga dibarengi dengan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat
mendukung
pemahaman isi Al-Qur’an. Kami sadar, bahwa
upaya ini merupakan
kewajiban bagi para ahli agama. Tetapi, wajib pula bagi mereka untuk menanyakan
masalah-masalah kepada para 45Al-Maraghi, op. cit. h. 17. 102 ahli
sains untuk sekedar memberikan penjelasan, disamping agar lebih bersesuaian dengan situasi
masa. Sebab, jika mereka hanya bertumpu dari pendapat orang-orang terdahulu,
berarti mereka ini telah jauh bahkan menjauhi kenyataan, sehingga tidak
mendapatkan penghargaan apapun.46
Bahkan, untuk dapat memahami langsung
kaitan antara perkembangan sains dan ayat-ayat al-Qur’an, al-Maraghi banyak berkonsultasi
dengan orang di bidangnya, seperti tulisannya: Kami merintis jalan untuk sampai
kepada tingkat pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, sekaligus menunjukkan
kaitan dengan pemikiran dan ilmu
pengetahuan lain, yakni mengadakan
konsultasi dengan orang-orang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk itu, sengaja kami
berkonsultasi dengan para
dokter medis, astronom, sejarawan dan orang-orang bijak untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka
sesuai bidangnya
masing-masing.47
f. Gaya Bahasa Mufassir
Dalam upaya memahami suatu ayat,
al-Maraghi lebih dahulu menelaah tulisan dalam kitab-kitab tafsir klasik,
kemudian mengolahnya kembali sesuai dengan kondisi yang ada pada masa kontemporer.
Menurutnya kitab tafsir dengan warna sendiri yang dibangun dari pendapat para mufassir terdahulu
merupakan penghargaan
atas upaya yang pernah mereka lakukan.48 Al-Maraghi
cukup rasional bahkan cenderung realistis dalam melihat kecenderungan manusia. Dia
menyatakan bahwa 46
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid I, h.47 Ibid., h.
48Ibid. h.
17-18
103
masyarakat selalu berubah, baik dari segi
prilaku, pola pikir bahkan
gaya bahasanya. Oleh karena itu menurutnya, mufassir tetap harus mempelajari keadaan masa lalu.
Ini dilakukan menurutnya sebagai bentuk penghargaan terhadap upaya-upaya yang
telah dilakukan oleh para mufassir masa lalu.49 Berikut tulisan selengkapnya: Kami sadar bahwa kitab-kitab
tafsir terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca
ketika itu, yang sudah barang tentu sangat mudah dimengerti oleh mereka. Kebanyakan
mufassir, di dalam menyajikan karya-karya itu menggunakan gaya bahasa yang
ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka, karena mampu menulis dengan cara
itu. Mengingat pergantian masa selalu diwarnai dengan ciri-ciri khusus, baik di
bidang paramasastra, tingkah laku dan kerangka berpikir masyarakat, sudah
barang tentu wajar bahkan wajib bagi mufassir masa sekarang untuk melihat
keadaan masa lalu.50 Dengan demikian, seorang al-Maraghi merasa
berkewajiban memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsir yang mempunyai warna tersendiri
dan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh alam pikiran saat ini. Pepatah
telah mengatakan, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
g. Seleksi terhadap kisah-kisah dalam
kitab tafsir Dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, tidak semua cerita dapat diterima
keabsahannya karena di antara cerita tersebut banyak 49Ibid.
50Al-Maraghi,
op. cit., h.
104
yang berasal dari israiliyât. Oleh
karena itu al-Maraghi menyeleksinya dalam kitab tafsirnya ini. h. Pesatnya
Sarana Komunikasi diMasa Modern
Sesuai dengan perkembangan sarana
komunikasi, maka bahasa tafsir sebagai bahasa komunikasi perlu memiliki sifat
sederhana yang mudah dimengerti maksud tujuannya. Inilah yang dilakukan oleh
al-Maraghi dalam menuliskan kitab tafsirnya ini. i. Jumlah Juz Tafsir Kitab
tafsir ini disusun menjadi 30 jilid, setiap jilid satu juz Al-Quran, dengan
maksud mempermudah para pembaca.
2. Metodologi Tafsir al-Maraghi
Tafsir adalah sebuah cara yang dilakukan
manusia untuk memahami
pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, keberadaan disiplin-disiplin ilmu yang
dapat menunjang penafsiran yang
baik sangat diperlukan. Sebagai contoh, penguasaan ilmu nahwu bagi seorang mufassir
tidak dapat diabaikan karena kesalahan pemahaman terhadap struktur bahasa
Arab dapat menimbulkan pemahaman yang menyimpang terhadap al-Qur’an itu
sendiri. Hal lain yang tidak dapat dihindari dalam upaya menafsirkan al-Qur’an adalah metode yang digunakan
oleh mufassir. Yang dimaksud
denganmetode penafsiran al-Qur’an adalah cara penafsiran al-Qur’an baik berdasarkan sumber-sumber
penafsirannya maupun 105 penjelasan
tentang sasaran dan tertib ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu perlu adanya cara
yang tepat untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu suatu cara yang harus dijadikan
sebagai pegangan oleh para ahli tafsir di setiap generasi.51 Sampai saat ini, setidaknya ada empat metode penafsiran
al-Qur’an yang dikenal oleh masyarakat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî,
metode muqârin, dan metode maudhû`i.52 Tafsir tahlîlî adalah metode tafsir
yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.53 Aspek-aspek yang dikaji dalam metode ini meliputi kosakata,
korelasi ayat, dan asbâb al-nuzûl-nya. Kelemahan yang dimiliki oleh metode
tafsir ini adalah, pada satu saat mufassir bisa sangat bertele-tele
dalam menafsirkan suatu ayat, dan pada sisi lain bisa sangat singkat yang hampir
menyerupai terjemahan. Tafsir ijmâlî adalah metode tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di sini mufassir
membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf.54 Kelemahan metode ini adalah gaya bahasa dan lafaz yang 51Fahd
bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Ushûl al-Tafsir wa Manhâjuh, (Riyadh, 1413 H), h. 61.
52Abdul
Hayy al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu`iy, Suatu Pengantar,
(Jakarta:
Rajawali Press, 1994), h. 11.
53Ibid.
54Ibid. h.
29.
106
digunakan oleh mufassir mirip
bahkan sama dengan lafaz-lafaz al- Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa
uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Meskipun
begitu, metode
ini lebih mengajak pembaca untuk berbicara langsung dengan al-Qur’an. Di sini seolah-olah al-Qur’an
sendiri yang berbicara, sehingga makna-makna yang timbul lebih mudah diserap.55 Metode muqârin adalah metode yang mengemukakan penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh para mufassir. Di sini mufassir
menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengkaji dan meneliti
penafsiran sejumlah mufassir mengenai suatu ayat
melalui kitab-kitab tafsir mereka.56 Metode tafsir maudhû`i adalah metode penafsiran dengan
cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang telah ditentukan. Setelah itu dibahas dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan.57 Setelah melihat pada metode-metode penafsiran yang ada, metode apakah yang digunakan al-Maraghi
dalam tafsirnya?
Jika dilihat dari sumbernya, tafsir
al-Maraghi lebih mengarah pada tafsir bi al-ra’y, karena dalam
penafsirannya selalu diiringi 55Ibid.
56Ibid. h.
30.
57Ibid. h.
33.
107
dengan interpretasi akal atau ijtihad.
Akan tetapi, bukan berarti al-Maraghi tidak menggunakan pendekatan tafsir bi
al-ma’tsûr. Keberadaan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis lebih sebagai penguat dari ijtihadnya. Dilihat dari metode penafsirannya,
al-Maraghi lebih menggunakan
metode tahlîlî. Ini terlihat dari cara penafsirannya yang sesuai dengan urutan ayat yang telah
tersusun dalam mushaf. Pertama-tama
al-Maraghi menuliskan kosa kata dari lafal-lafal ayat yang dirasa sulit untuk dipahami. Setelah
itu al-Maraghi menjelaskan makna ayat secara global, diikuti dengan asbâb
al-nuzul dari ayat tersebut, dan terakhir pemikirannya mengenai ayat
tersebut yang dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Hal yang terakhir ini memberi isyarat bahwa
Tafsir al-Maraghi bercorak sastra
budaya (al-adab al-ijtima’iy). Sebuah corak tafsir yang dikembangkan
oleh gurunya, Muhammad Abduh, yakni tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an
berdasarkan ketelitian ungkapanungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas,
menekankan tujuan pokok turunnya al-Qur'an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan
sosial sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat.
108
3. Rujukan Tafsîr al-Maraghi
Dalam menyusun kitab tafsirnya, al-Maraghi
menggunakan beberapa kirab tafsir lain sebagai rujukan atau sebagai bahan perbandingannya.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
a) Tafsîr al-Thabarî, Abu Ja’far Muhammad
Ibnu Jarîr at-Tabarî (wafat 310
H).
b) Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl,
Abul-Qasim Jarul-lah Al-Zamakhsyarî (wafat 538 H).
c) Hasyiah Syarifuddin Al-Hasan Ibnu
Muhammad Al-Tiby (wafat713 H).
d) Lubab al-Ta'wi1 Fi Ma'ani al-Tanzi1
atau Tafsir al-Khazin, Alauddin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin
Umar bin Khalil asy-Syihy al-Khâzin terkenal dengan Ala al-Din al-Khâzin (w.
741 H).
e) Tafsîr Ibnu Katsîr, Imad al-Din Isma'îl
bin Umar bin Katsîr atau Ibnu Kasîr (w. 774 H).
f) Rûh al-Ma'âni Fî Tafsîr Al-Qur'an
al-'Azîm wa al-Sab' al-Matsânî atau Tafsîr al-Alûsî, Syihâb al-Dîn Mahmûd
al-Alûsî al-Bagdâdî (w. 1270 H/1854 M).
g) Mahâsîn al-Ta'wîl atau tafsîr
al-Qasimî, Syekh Muhammad Jamâl
al-Dîn bin Muhammad bin Sa'îd bin Qasim
al-Qasimî (w. 1332 H/1914
M).
109
h) Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridha
(w. 1935 M). i) Tafsîr Jalâlain, Al-Allamâh al-Muhaqqiq Jalâl al-Dîn al-Suyûthî
dan Al-Allamâh al-Muhaqqiq Jalâl al-Dîn Muhammad ibnu Ahmad al- Mahallî.
j) Dan sebagainya.
Tentang Karya
Tentang Karya
ü
Motivasi Penulian
ü
Sumber Tafsir (Mashdar/Manhaj)
ü
Thariqah
ü
Lawn
ü
al-Ara/Madzhab
karakteristik/kekhasan
AHMADMUSTHAFA AL-MARAGHI DAN KARYA
TAFSIRNYA
3. Karir Intelektual Al-Maraghi
Al-Maraghi,
adalah salah seorang tokoh terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam
usianya yang terbentang selama 69 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain
sebagai tenaga pengajar/dosen, sumbangsih al-Maraghi juga diberikan lewat
karyakaryanya. Kedua jasa inilah yang memosisikan al-Maraghi sebagai
putera terbaik yang dilahirkan pada
masanya. Ahmad Musthafa al-Maraghi, menetapkan dunia pendidikan dan
pengembangan ilmu agama sebagai pilihan untuk mengabdi ilmunya. Karena itu,
segera setelah lulus sebagai sarjana, ia memulai karirnya di dunia pendidikan
sebagai seorang guru/pendidik di beberapa sekolah menengah. Kemudian ia
diangkat menjadi Direktur Madrasah Mu'allimin di Fayum sebuah kota yang
berjarak kurang
77
lebih 300 km ke arah barat daya Kota
Kairo. Kemudian pada tahun 1916 diangkat menjadi dosen ilmu-ilmu Syari`ah di
Fakultas Ghidrun di Sudan sebagai utusan dari Universitas al-Azhar.6 Tahun 1920, ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen
Bahasa Arab dan Ilmuilmu Syari’ah di Darul Ulum sampai tahun 1940. Di samping
itu, ia juga dipercaya mengajarkan Mata Kuliah Ilmu Balaghah di Fakultas Adab
Universitas Al-Azhar-Kairo.
Selama mengajar di dua Universitas yang
bertaraf internasional itu, ia telah menularkan ilmunya kepada mahasiswa yang
berasal dari berbagai negara Islam, termasuk dari Indonesia. Adapun pemikir Islam
Indonesia yang pernah menjadi muridnya adalah Bustami Abdul Gani, Muchtar
Yahya, Mastur Djahri, Ibrahim Abdul Halim, Abdul Rajaq al-Amudy, dan mungkin
masih banyak lagi. Selama hidupnya, Ahmad Mustafa al-Maraghi tidak hanya mendalami
al-Qur’an dan tafsirnya saja, tetapi lebih dari itu dia menguasai berbagai
disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika karya-karyanyapun tidak
terbatas pada bidang tafsir saja. Selain karya fenomenalnya berupa tafsir
al-Qur’an 30 juz ini, al-Maraghi juga
banyak menuangkan pikirannya melalui
berbagai tulisan, yaitu: a. al-Fath al-Mubîn fî Tabaqât al-Ushuliyyîn b. Ulûm
al-Balâghah 6Ibid. h. 17.78
c. Hidayah al-Thâlib
d. Tahzîb al-Taudlîh
e. Buhûts wa Ârâ’
f. Târîkh `Ulûm al-Balâghah wa Ta`rîf bi
Rijâlihâ
g. Mursyîd al-Thullâb
h. al-Mûjaz fî al-Adab al-`Arabî
i. al-Mûjaz fî `Ulûm al-Ushûl
j. al-Diyânân wa al-Akhlâq
k. al-Hishbah fî al-Islâm
l. al-Rifq bi al-Hayawân fî al-Islam
m. Syarh Tsalâtsin Hadîtsan
n. Tafsir Juz Innamâ al-Sabîl
o. Risâlah fî Zaujât al-Nabî
p. Risâlât Itsbât Ru’yah al-Hilâl fî
Ramadhân
q. al-Khutabâ fî Daulah al-Ummawiyyah wa
al-`Abbâsiyyah,
dan
r. al-Muthâla`ah al-`Arabiyyah li
al-Madâris al-Sudâniyyah
Sejumlah karya Ahmad Musthafa al-Maraghi
yang disebutkan
di atas, merupakan gambaran nyata tentang
komprehensifitas ilmuilmu
keislaman yang ia kuasai. Seperti terlihat
di jajaran karyakaryanya
di atas, yang nyaris merepresentasikan
semua disiplin ilmu
keislaman, seperti fiqh dan ushul fiqh,
sejarah, tafsir, hadits dan lain79
lain. Bahkan karya-karya tersebutmengesankan
diri AhmadMusthafa
al-Maraghi memiliki perhatian besar
(kepedulian) terhadap persoalan
lingkungan hidup, seperti binatang. Hal
ini dibuktikan dengan salah
satu tulisannya yang berjudul al-Rifq
bi al-Hayawân fî al-Islâm.
Namun demikian, dari sekian banyak
karyanya, yang paling
menonjol adalah karya tafsirnya yang
dikenal dengan Tafsir al-
Maraghi, yang terdiri dari 10 jilid. Karya
ini yang mengantar dirinya
meraih popularitas di dunia Islam, pada
umumnya.
B. Kondisi Sosial dan Corak Pemikiran al-Maraghi
1. Kondisi Sosial di mana al-Maraghi Hidup
Berdasarkan biografi yang telah dipaparkan
sebelumnya,
diperoleh sebuah keterangan bahwa Ahmad
Musthafa al-Maraghi
hidup selama 69 tahun. Masa tersebut
terbentang dari 1300 H/1883 M
sampai 1371 H/1952. dalam konteks kajian
atas peran seorang tokoh,
kondisi sosial dalam kurun waktu tersebut
merupakan hal yang
sangat penting. Asumsinya, jelas bahwa
seorang pemikir pasti
terbentuk oleh kondisi yang melingkupinya,
karena sepenggal
pemikiran tidak lain dari respon terhadap
realitas sosial itu sendiri.
Karena itu, urgensi kondisi sosial ini
dihadirkan antara lain untuk
melihat pengaruhnya terhadap corak
pemikirannya dalam memahami
ayat-ayat suci al-Qur’an.
80
Masa kehidupan Ahmad Musthafa al-Maraghi,
1883 – 1952,
merupakan bagian penting dari sejarah
dinamika sosial-politik Mesir,
sebuah kurun waktu di mana, Mesir
mengalami perubahan dalam
berbagai aspek, sosial, politik dan
pergumulan intelektual. Para ahli
sejarah sosial setuju bahwa tahun 1798
merupakan awal sejarah
terbentuknya Mesir modern.7
Dinamika yang terjadi dilatarbelakangi
oleh dua fenomena
besar. Di satu sisi, kesultanan Turki
Usmani yang pada masa-masa
sebelumnya mencakup banyak wilayah Islam,
termasuk Mesir, sedikit
demi sedikit mulai digerogoti perpecahan
internal, di sisi lain,
kekuatan Barat semakin bertambah dan
menancapkan cengkraman ke
berbagai wilayah. Kebanyakan
wilayah-wilayah yang merupakan
pusat Islam itu dengan cepat menjadi
daerah taklukan.8 Dalam pada
itu, Mesir di satu sisi berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan
Usmani, namun di sisi lain juga berupaya
untuk menghindarkan diri
dari kekuatan dan cengkeraman
barat/Inggris.
Pasukan Inggris menempati Mesir pada tahun
1882 untuk
membungkam pemberontakan kaum nasionalis
yang dipimpin oleh
7 Bassam
Tibi, Arab
Nationalism A Critical Enquiry, (London:
MacMilan, 1990), h. 80.
Tahun ini merupakan tahun kedatangan
Napoleon Bonaparte, seorang yang kelak membawa
perubahan besar bagi Mesir. Kedatangan
Napoleon di Mesir bukan semata-mata membawa
pasukan militer, tetapi juga para ilmuwan,
karena misi yang dibawanya tidak hanya invasi militer,
tetapi juga kebudayaan ilmiah.
8 Marshal
S.G. Hodgson, The
Venture of Islam, 1974, jilid
3 h. 152
81
kolonel Ahmad Urabi.9 Meskipun Mesir masih di bawah kekuasaan
Turki Usmani, ketaatannya hanya bersifat
pragmatis. Kedatangan
bangsa Eropa ini telah menyadarkan
penduduk Mesir bahwa mereka
tertinggal jauh oleh Eropa. Kesadaran
tersebut pada akhirnya
memunculkan keinginan untuk membangkitkan
kembali kejayaan
Islam pada masa silam.
Dengan melemahnya kekuatan Usmani dan
menguatnya
cengkraman Barat, sikap nasionalisme di
kalangan bangsa Mesir.
Tokoh yang berjasa dalam memunculkan
Nasionalisme Mesir adalah
al-Tahtawi. Sepulangnya dari Paris
al-Tahtawi banyak melakukan
terjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa
Arab. Baginya, sosial
mengambil alih peran yang lebih dari
agama, dan untuk pertama
kalinya orang Arab menggunakan kata "nation"
dalam sekuler
pengertian.10 Ide-ide al-Tahtawi telah memfasilitasi pertumbuhan
nasionalisme Mesir dan menciptakan
keharmonisan konsep sosial
Eropa dan Islam.11
Namun demikian, nasionalisme dalam
pandangan mereka
tidak berwujud dalam konsep yang seragam.
Dilihat dari pijakan,
9 Henry
Munson JR. Islam
and Revolution in the Middle East, (London:
Yale University
Press, 1988), h. 75. Lihat pula MW. Dali,
(Ed.) The
Cambridge History of Egypt, (London:
Cambridge University Press, 1998), h. 239
10 al-Tahtawi
misalnya menerjemahkan patrie
dengan kata wathan, d'amour de la patrie:
hubb al-wathan
11 Arthur
Goldschmidt Jr., Historical
Dictionary of Egypt, (London,
The Scarecrow Press,
1994), h. 277
82
nasionalisme yang terbentuk di Mesir kala
itu dapat dipilah menjadi
tiga model, yaitu: pertama, nasionalisme
yang berbasis agama. Kedua,
nasionalisme yang berbasis persamaan
bangsa dan bahasa, dan ketiga,
nasionalisme berbasis pada kesamaan tempat
atau teritorial.12
Nasionalisme bentuk ketiga inilah yang
paling banyak dianut oleh
masyarakatMesir.
Akan tetapi, setelah Mesir jatuh ke tangan
Inggris kelompok
ketiga ini melemah dan kelompok pertama
yang menguat. Saat itu
Mesir meminta pertolongan Usmaniyah untuk
membantunya
melepaskan diri dari belenggu Inggris.
Sebagai representasi dari
menguatnya kelompok pertama di atas,
muncul partai yang
cenderung menganut nasionalisme religius,
yaitu al-Hizb al-Wathanî
yang dipimpin oleh Mustafa Kamil.
Menurutnya, agama dan
nasionalisme adalah kembar dan tidak dapat
dipisahkan. Orang yang
hatinya berpegang kepada agama pasti akan
mencintai tanah airnya
dan mengorbankan harta dan hidupnya untuk
itu.13
Pada tahun 1919 di Mesir terjadi revolusi
dalam rangka
membebaskan diri dari penjajahan Inggris
yang berlangsung hingga
tahun 1921 dan berakhir dengan
diserahkannya pengelolaan Mesir
kepada putra Mesir dibawah pimpinan Sa`ad
Zaghlul.
12 Syahrin
Harahap, al-Qur’an
dan Sekularisasi, Kajian terhadap Pemikiran Thaha
Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 21-22..
13Ibid, h.
23.
83
Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam
mengkaji Mesir
adalah pemikiran politiknya yang sejak
awal abad ke-19 selalu
didominasi oleh pertentangan antara
golongan nasionalis sekuler
dengan golongan Islam tradisional.14 Golongan pertama diwakili oleh
intelektual yang berlatar belakang
pendidikan Barat.15 Mereka
berpendapat bahwa sistem politik Mesir
harus mengikuti sistem yang
berlaku di Barat, dengan begitu Mesir
tidak akan tertinggal dalam
bidang teknologi. Golongan kedua,
yaitu golongan Islam tradisionalis,
adalah terdiri atas para ulama yang selama
ini menganggap diri
mereka sebagai penasehat penguasa.
Kelompok kedua ini dianggap
oleh kelompok pertama sebagai penghambat
modernisasi dan
penyebab timbulnya keterbelakangan di
bidang sosial, politik, dan
ekonomi.
Kondisi politik yang demikian telah
berpengaruh besar
terhadap pesatnya perkembangan intelektual
dalam berbagai disiplin
14Ibid, h.
25, yang dikutip dari Fadwa el-Gundi, “The Emerging Islamic Order: The Case
of Egypt,s Contemporary Islamic Movement”
dalam Harun Nasution, et al., Perkembangan
Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985),
h. 248
15Munculnya
kelompok yang cenderung pro Barat di Mesir diawali dengan pengiriman
pelajar-pelajar Mesir ke Eropa seperti
Prancis dan Inggris yang dilakukan oleh Muhammad Ali.
Sebagai seorang penguasa yang masih
dibayang-bayangi kerajaan Mamluk, keinginannya untuk
senantiasa memperluas kekuasaannya
kebijakan militer yang cukup bagus. Pada tahun 1816 Ali
membentuk tentara yang disiplinnya
diadaptasi dari Eropa. Lama-kelamaan kebijakannya dalam
mengikuti pola Eropa tidak hanya terbatas
pada aspek militer saja, tetapi jauh lebih luas, seperti
teknologi dan pendidikan. Lihat, Rizq Musa
Abu al-Abbas, Mishr
al-Mu`asharah; syadzarat min
Adâbina wa tsaqâfâtinâ, (al-Azhar, Kulliyah
al-Dirasat al-Islamiyyah wa al-`Arabiyyah, t.th.), h.
43-45.
84
ilmu, sehingga tidak heran jika muncul
banyak tokoh besar, seperti
Thaha Husein, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Qasim Amin, Ali
Abdul Raziq, dan Ahmad Mustafa al-Maraghi.
Pada abad ke-19 dan 20 ini, atau tepatnya
tahun 1923-1952,
Mesir mengalami sebuah zaman yang disebut
dengan liberal age
(zaman liberal). Disebut demikian karena
pada masa itu telah tumbuh
liberalisme yang berakibat pada munculnya
sejumlah gagasan tentang
pemisahan antara agama, kebudayaan dan
politik. Menurut Selma
Botman, zaman liberal mengutamakan sistem
politik yang memiliki
konstitusi yang ber-style barat dan
pemerintahan parlementer.
Konstitusi Mesirmencontoh demokrasi barat
yang liberal danmenarik
ahli hukum dari Mesir sebagai bentuk
simpatik kepada raja Inggris.16
Dengan berkembangnya liberalisme di Mesir,
lahirlah apa yang
disebut dengan nahdah (kelahiran
kembali). Hal ini dapat dilihat dari
usaha penerjemahan dan mengadopsi
prestasi-prestasi yang telah
dicapai oleh Eropa modern.17
Oleh karena itu, secara garis besar di Mesir
terdapat tiga
kecenderungan pemikiran yang muncul pada
masa itu. Pertama,
kecenderungan pada Islam yang diwakili
oleh Muhammad Rasyid
Ridha (1865-1935) dan Hasan al-Banna
(1906-1949). Kedua,
16 MW
Dali, op.cit. h. 286
17Ibid. h. 27.
85
kecenderungan mengambil sintesis, yaitu
dengan berusaha
memadukan antara ajaran Islam dan
kebudayaan Barat. Kelompok ini
diwakili Muhammad Abduh, Qasim Amin
(1865-1908), dan Ali Abdul
Raziq (1888-1966). Ketiga,
kecenderungan rasional dan pemikiran
bebas yang diwakili oleh Lutfi al-Sayyid
dan para emigran Syiria yang
lari ke Mesir. Kelompok ini senantiasa
mengacu kepada prestasiprestasi
ilmiah yang dicapai oleh Barat. Selain
kelompok-kelompok di
atas, terdapat organisasi di luar politik
seperti Persatuan Umat Islam,
Kelompok Muda Mesir, komunis, dan asosiasi
perempuan juga
memberikan kontribusi bagi pembentukan
kultur politik Mesir.18
Dari segi ekonomi, Mesir pada saat itu
adalah sebuah negara
yang miskin. Keadaan ini merupakan warisan
dari eksploitasi orangorang
kerajaan Mamluk, sebuah pemerintahan
oligarki militer yang
mempertahankan keberadaannya dengan
mendatangkan anggotaanggota
baru dari Kaukasus dan Asia Tengah.19 Sebagai akibat dari
kemiskinan dan kurangnya pendidikan,
masyarakat cenderung
mencari pelarian, dan pelariannya tidak
lain berkembangnya
kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau
takhayul.
Akhir abad ke 19, diidentikkan dengan abad
kebangkitan umat
Islam setelah terpuruk dalam disintegrasi,
pemerintahan yang
18 MW
Dali, Op.
Cit. h. 287
19J.J.G.
Jansen, The
Interpretation of the Koran In Modern Egypt, (Netherlands: Lieden,
E.J. Brill, 1980), h. 30-31.
86
despotis, dan kebodohan yang menyelimuti
masyarakatnya. Hal ini,
ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir
modern di dunia Islam
yang dimotivasi oleh berkembangnya
teknologi di dunia Barat.
Rangsangan pertama yang mendapat respon
positif di kalangan
umat Islam adalah ide-ide tentang
kebangsaan, persamaan, dan sistem
pemerintahan yang dibawa oleh Napoleon.
Ide ini dianggap angin
segar bagi potensi perubahan di dunia
Islam.
Secara perlahan, ide-ide itu mengalir dan
menjadi wacana di
kalangan muda Islam. Penguasa di Mesir
pada waktu itu (Muhammad
Ali Pasha) banyak melakukan perubahan
signifikan dalam melakukan
pembaharuan.20 Dalam bidang pendidikan misalnya, dia mengirim
golongan muda untuk menimba ilmu
pengetahuan di Prancis,
meliputi administrasi pemerintahan,
teknik, strategi perang, perairan,
pertanian, pertahanan keamanan, dan
industri senjata.21 Rakyat Mesir
sendiri sedikit demi sedikit terbuka
matanya untuk melihat persoalan
menyangkut diri dan bangsanya.22
Upaya Muhammad Ali dilanjutkan oleh
penerusnya Khedive
Ismail (1863 – 1879). Pada awalnya dia
mencoba mencari dukungan
20 Muhammad
Ali lahir tahun 1765 di Kawalah, di pantai Aghia Yunani dan meninggal
di Alexandria tahun 1849. Lihat Philip K.
Hitti, History
of The Arab, (New York: St
Martin Press,
1970), h. 723.
21 Rauf
Abbas Hamid, Misr
wa `Alam al-Bahr al-Mutawwasith fi al-`Ashr al-Hadîts,
(Kairo: Maktabah Nahdiyat al-Syarq, 1996), h. 78.
22 John
L. Esposito, Islam
and Politics, (New York: Syracuse
University Press, 1985), h.
41.
87
para ulama untuk melakukan modernisasi di
Mesir, tetapi karena
tidak berkompromi dengannya ia pun
memungut kebijaksanaan
penguasa terdahulu Muhammad Ali, lembaga-lembaga
sekuler baru
menurut contoh di Barat berjalan sejajar
dengan lembaga-lembaga
Islam tradisional. Perguruan-perguruan
yang bersifat nasional dan
sekuler dibangun berdampingan dengan
sistem keagamaan
tradisional.
Hukum Islam dan peradilan-peradilan Islam
dibatasi
wewenangnya dalam masalah kekeluargaan
(perkawinan, perceraian,
warisan) disebabkan negara sudah
memperlakukan hukum umum
berdasarkan Hukum Perancis (Kode
Napoleon), diselenggarakan oleh
peradilan-peradilan Sipil. Keterampilan
baru diperlukan dalam suatu
masyarakat modern merupakan
kelompok-kelompok tertentu
seumpama insinyur, sarjana hukum, dokter,
wartawan, dan lainnya,
yakni produk perguruan-perguruan nasional
yang modern dan
sekuler, dan kini “merupakan tantangan
terhadap pimpinan politik
dan intelektual dan sosial yang dinikmati
para Ulama selama ini, dan
menyebabkan mereka itu lambat laun
tersingkir dari arena politik”. 23
Proses modernisasi itu disertai pula oleh
kebangkitan sentimensentimen
nasional yang berkembang sebagai tantangan
terhadap
Perancis pada pertama kalinya dan kemudian
terhadap dominasi
23 Ibid. h. 62
88
Inggris terhadap pengganti Ismail, yakni
Khedive Taufik. Akibatnya
ialah revolusi anti-kolonial pada tahun
1881 dipimpin oleh Arabi
Pasha, yang menjabat Menteri Peperangan dalam
Kabinet Mesir.
Peristiwa itu memberikan alasan bagi
Inggris untuk mengerahkan
militer menduduki Mesir dan sepanjang de
facto. Sekalipun bukan de
jure telah menguasaiMesir.
Sebagai bangsa yang tidak pernah dipimpin
oleh penduduk
aslinya, ketika ide-ide persamaan hak,
harkat kebangsaan, cinta
bangsa (hubb al-wathân) digulirkan,
dengan cepat responnya meluas di
kalangan masyarakat. Transfer teknologi
dari Eropa begitu gencar
dilakukan; penerbitan-penerbitan yang
dapat secara cepat
mensosialisasikan ide-ide di atas juga
dilaksanakan, sehingga langkahlangkah
menuju perubahan tidak berhenti pada
tataran ide.24
Penerbitan buku-buku yang berisi teori
politik dan
pemerintahan di Barat, telah membuka mata
umat Islam untuk
melihat kembali konsep tesebut dalam
ajaran Islam. Al-Tahtawi—
seorang pembaharu di Mesir—juga mulai
mengkritisi berbagai konsep
yang sedang berkembang di Barat. Ia pernah
menjelaskan bahwa
24John
Bernard Lewis, The
Muslim Discovery of Europe, (London: W.W Norton &
Company, 1982), h. 304.
89
peraturan-peraturan dan teori-teori Barat
itu tidak berdasarkan pada
al-Qur'an dan Hadis.25
Arah pembaharuan di Mesir tidak hanya
bergerak dalam
bidang fisik semata, tetapi lambat laun
memasuki wilayah keagamaan.
Muhammad Ali Pasha yang ide-ide pembaharuannya
lebih banyak
menyangkut politik pemerintahan,
dilanjutkan oleh al-Tahtawi yang
mulai mencari justifikasi dari al-Qur'an
dan Hadis. Hasil terjemahan
yang dibuat oleh al-Tahtawi cukup membantu
dalam
mensosialisasikan ide-ide demokrasi dan
kebangsaan.
Tokoh lain yang tidak dapat dilewatkan
dalam proses
pembaharuan di Mesir adalah Jamaludin
al-Afghani (1838 – 1897).
Laki-laki kelahiran Afganistan ini, banyak
mengeluarkan ide-ide
tentang persatuan Islam dan dalam
gerakannya itu, yang diiringi pula
dengan aktivitasnya dalam berpolitik.
Jamaludin Al Afghani merupakan penganjur
pertama bagi
pembaharuan Islam dan perubahan Islam dan
pula merupakan Bapak
bagi gerakan Nasionalisme Muslim.26
Gerakan al-Afghani, secara geografis
begitu luas hingga
mencakup Iran, India, Dunia Arab, Turki,
dan Eropa.27 Dan menurut
25Harun
Nasution, pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 45.
26 John
L. Esposito, op.cit.
h. 64
27 Arthur
Goldschmidt Jr., A
Concise History of The Middle East, (Kairo:
American
University Press, 1983), h. 54.
90
Goldschmidt, kemanapun dia pergi, maka dia
senantiasa memberikan
ceramah.28
Sasaran ceramah dan kritik yang dilakukan
oleh al-Afghani,
tidak hanya penguasa yang cenderung
mengakomodasi pendapat
Barat, tetapi juga para ulama dan rakyat.
Dalam salah satu
ceramahnya, al-Afghani mengkritik
kepasifan atau kejumudan para
ulama. Berikut ini petikannya:
Ulama sebagai pemelihara akidah dan
hidayah tidak
pernah berhubungan, bahkan tidak
berkomunikasi sesama
mereka. Ulama Turki tidak tahu sama sekali
dengan keadaan
ulama Hijaz. Ulama India tidak tahu dengan
ulama Afganistan.
Begitulah seterusnya, bahkan antar ulama
dalam satu
negeripun tidak punya ikatan satu sama
lain. Mereka tidak
mempunyai hubungan yang menyatukan,
kecuali sebatas
hubungan pribadi secara umum, yaitu
hubungan persahabatan
dan kekerabatan.29
Meskipun al-Afghani banyak mengkritik para
ulama, kenyataanya
seruannya untuk kembali kepada Islam dan
persatuan kaum muslimin
diterima oleh kalangan ulama konservatif.30
Rakyat pun tidak lepas dari sorotannya,
sehingga dalam suatu
ceramahnya dia berbicara keras mengenai
nasib rakyat Mesir.
Menurutnya, bangsa Mesir yang telah
berabad-abad berada dalam
perbudakan masih mentolelir
penguasa-penguasa zalim yang secara
28 Ibid. h. 55.
29Ahmad
Shafwan, Jamaluddin
al-Afgani dan Gerakan Pan Islamisme, Disertasi,
1996,
h. 7.
30 John
L. Esposito, op.
cit. H. 64
91
langsung menindas mereka.31 Berkat aktivitasnya dalam
menyampaikan ceramah, al-Afghani pernah
dicap sebagai agen
provokasi tingkat tinggi.32
Pembaharuan di dunia Mesir, kemudian
dilanjutkan oleh
Muhammad Abduh, murid al-Afghani, yang
dalam pemikirannya
lebih terbuka untuk menerima ide-ide
rasional. Ide pembaharuan
Abduh, muncul karena kemunduran umat Islam,
dan banyaknya
dorongan untuk mengubah kemunduran ini
dengan berupaya meniru
Barat.33 Menurutnya, rendahnya kedudukan umat Islam disebabkan
karena mereka telah meninggalkan Islam
yang sejati.
Pembaharuan Muhammad Abduh meliputi tiga
hal, yaitu:
Pertama, Pembaharuan Agama (al-Ishlâh al-Dînî),
kedua, Pembaharuan
dalam lapangan bahasa (al-Ishlâh
al-Lughawî), dan ketiga, Pembaharuan
dalambidang politik (al-Ishlâh
al-Siyâsî).34
Pembaharuan dalam bidang agama, menurut
Muhammad
Abduh adalah membebaskan akal pikiran dari
taklid, memahami
agama lewat pemahaman kaum salaf sebelum
terjadi perselisihan, dan
kembali kepada sumber-sumber utama dan
asli dalam mencari
31Ahmad
Amin, Zu`amâ
al-Islâh fî `Ashri al-Hadîts, (Kairo:
Maktabah al-Mishriyah,
1993), h. 79
32 Aziz
Ahmad, Islamic
Modernism in India, (London:
Oxford University, 1967), h. 126
33Ali
Rahnema, Para
Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1994), h. 50.
34Muhammad
Imarah, al-A`mâl
al-Kâmilah li al-Syeikh Muhammad Abduh, (Kairo: Dar
al-Ma`arif, 1993), Cet. II, h. 183.
92
pengetahuan agama sambil melerakkannya
dalam keseimbangan akal
sebagai karunia Allah. Menurutnya, akal
merupakan teman sejajar
ilmu, penyingkap rahasia alam, penyeru
untuk menghormati hakikat
sejati, dan salah satu sarana terbaik
untuk meluruskan perbuatan dan
mendidik jiwa.35
Mengenai kondisi umat Islam, Muhammad
Abduh melihat
bahwa masyarakat Islam mundur karena
kemiskinan jiwa dan salah
dalam membimbing akal pikiran. Keduanya
itu timbul karena
merajalelanya sikap egois dan hilangnya kebersamaan
dalam
masyarakat.
Khusus untuk masyarakat Mesir, kelemahan
mereka menurut
Abduh antara lain: munculnya bid'ah dalam
agama seperti ziarah ke
kuburan wali; terjadinya suap menyuap; dan
tumbuhnya sikap
individualisme yang disebabkan oleh
putusnya hubungan jiwa satu
sama lain.36
Penyebab kemunduran umat Islam lainnya
adalah faktor
Pendidikan. Oleh karena itu, ketika Abduh
menjabat sebagai anggota
Majlis A`la al-Azhar, dia membawa
perubahan dan perbaikan ke
dalam almamaternya itu. Salah satu
tawarannya adalah agar
Universitas al-Azhar membuka jurusan
kedokteran dan farmasi.
35Ibid. h.
184.
36A.
Hanafi, Pengantar
Teologi Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992), h. 166.
93
Menurutnya kesehatan masyarakat perlu
didukung oleh
lingkungannya.37
Setting sosial yang telah digambarkan di
atas merupakan latar
belakang semakin menguatnya penafsiran
yang bercorak rasional.
Seperti yang telah kita lihat bahwa
sejumlah tokoh yang mengambil
peran di garda depan dalam kontek
pembaharuan Mesir diantaranya
tercatat beberapa mufassir terkenal.
Sementara, sudah merupakan
hukum sosial bahwa penafsiran al-Qur’an
atau pemikiran apapun
yang melibatkan seorang tokoh, tidak akan
terlepas dari latar belakang
sosio-historis di mana dan kapan seorang
pemikir itu hidup. Dalam
bidang fikih, dikenal Imam Syafi'i yang
memiliki dua konsep yang
berbeda dalam berijtihad. Ketika dia masih
hidup di Bagdad, dia
memiliki ijtihad dan pemikiran tersendiri,
yang biasa dikenal dengan
qaul qadîm, dan ketika dia berpindah ke Mesir,38 ada beberapa
37Abdul
Halim al-Jundi, Silsilah
A`lam al-Islam al-Imam Muhammad Abduh, (Kairo: Dar
al-Ma`arif, t.th.), h.76-77.
38Qaul Qadim dan
Qaul
Jadid al-Syafi'i
dibedakan berdasarkan waktu dan tempat.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan Syafi'i pada
periode pertumbuhan mazhabnya di Bagdad disebut
qaul qadim, sedangkan yang dikeluarkan di Mesir
disebut qaul
jadid. Fatwa qaul qadim
kebanyakan tertuang dalam al-risalah (al-Qadimah) dan al-Hujjah, yang selalu disebut dengan
al-kitab al-qadim. Kitab al-hujjah dan fatwa-fatwa lainnya
pada periode ini terutama diriwayatkan
oleh empat sahabatnya yang terkemuka di
Bagdad yaitu al-Karabisi (248 H), al-Za'farani (260H),
Abu Saur (240H) dan Ahmad bin Hambal (241).
Sedangkan qaul jadid yang dikeluarkan Syafi'I
setelah ia berdomisili di Mesir, tertuang
dalam beberapa kitab : al-Risalah
(al-jadidah), al-Umm,
al-Amali, dan al-Imla. Fatwa-fatwa qaul jadid banyak diriwayatkan oleh enam orang
sahabat
terkemuka di Mesir yaitu : al-Buwaiti,
(231H0, Harmalah (241H) al-Rabi al-Jizi (257 H), Yunus
bin Abd A'la (264H) al-Muzani (264) dan
al-Rabi al-Muradi (270H). lebih lanjut baca Lahmuddin
Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam
Mazhab Syafi'I, (Bandung:
Rosda Karya, 2001), h.
173.
94
ijtihadnya yang justru berbeda, kalau
tidak dikatakan bertentangan,
dengan ijtihad sebelumnya. Ini menunjukkan
bahwa seorang pemikir
sangat dipengaruhi oleh kondisi
masyarakatnya.
Selain kondisi sosial, pengaruh besar juga
senantiasa lahir dari
hubungan seorang guru dan murid, bahkan
menentukan corak dan
warna pemikirannya. Seorang guru yang
tekstualis, kemungkinan
besar akan melahirkan murid-murid yang
tekstualis juga. Demikian
juga seorang guru yang rasional,
sedikitnya akan berpengaruh pada
cara pandang dan pemikiran muridnya. Corak
pemikiran Jamaluddin
al-Afgani sangat berpengaruh sekali pada
corak pemikiran muridnya
Muhammad Abduh, demikian juga pemikiran
Muhammad Abduh
sangat berpengaruh pada pemikiran Rasyid
Ridha, dan demikian
seterusnya.
2. Corak Pemikiran al-Maraghi
Apa yang dipaparkan di atas, memberi gambaran
mengenai
corak pemikiran Al-Maraghi di dalam
tafsirnya. Kehidupannya yang
sarat dengan probelematika sosial dari
berbagai aspek kehidupan dan
hubungannya dengan beberapa tokoh
rasionalismenunjukkan dengan
jelas, bahwa pemikirannya, termasuk yang
dituangkan di dalam
tafsirnya juga bercorak rasional.
Indikator kunci untuk memasuki
bahasan ini selanjutnya adalah bahwa
Tafsir al-Maraghi masuk di
dalam kategori corak tafsir al-adab
al-ijtima`iy (sastra budaya)
95
sebagaimana tafsir yang dikembangkan oleh
gurunya, Muhammad
Abduh. Meski demikian, persentuhannya
dengan kaum tradisionalis
yang ada di masanya, tentu ia tidak
sepenuhnya meninggalkan pola
lama sebagaimana tafsir yang ada
sebelumnya secara umum. Agar hal
ini lebih jelas, maka berikut ini, penulis
memaparkan secara ringkas
kecenderungan pemikiran al-Maraghi di
bidang teologi, hukum, dan
pandangannya tentang peran akal dalam
melakukan ijtihad.
Al-Maraghi tidak pernah mengidentifikasi
dirinya sebagai
pengikut aliran pemikiran teologi
tertentu, bahkan ia sangat
menyesalkan dan mencela perpecahan yang
terjadi di kalangan Islam
yang disebabkan oleh adanya berbagai macam
aliran dan sekte dalam
teologi. Ia bahkan mensinyalir keberadaan
sekte-sekte inilah yang
memporak-porandakan persatuan dan kesatuan
umat Islam serta
menodai catatan sejarah Islam.
Kendati demikian, nampaknya ia banyak
terpengaruh dengan
kondisi sosialnya sehingga corak
pemikirannya lebih rasional dan
lebih dekat pada aliran mu’tazilah. Hal
ini antara lain tercermin di
dalam konsepsi mengenai iman menurut
pemahaman al-Maraghi.
Iman baginya adalah bukan sekedar konsep
belaka tetapi ia harus
teraktualisasi di dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Profil Tafsir al-Maraghi
96
1. Penulisan Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi adalah karya Ahmad
Musthafa al-Maraghi.
Penamaan ini dinisbahkan pada nama tempat
kelahirannya, al-
Maragha, sebagaimana nisbah yang
disebutkan di belakang namanya.
Hal ini penting untuk disebutkan karena
kadang ada anggapan bahwa
tafsir al-Maraghi adalah karya mantan
Syaekh al-Azhar, Muhammad
Musthafa al-Maraghi, kakak kandung Ahmad
Musthafa al-Maraghi
sendiri. Memang, Muhammad Musthafa
al-Maraghi juga melahirkan
karya tafsir, hanya saja terbatas pada
beberapa surah al-Qur’an.
Kemungkinan terjadinya kekeliruan semakin
besar sebab nisbah al-
Maraghi bukan hanya digunakan oleh
keluarga Musthafa al-Maraghi,
tetapi juga orang lain yang berasal dari
tempat yang sama, al-
Maragha.
Tafsir Al-Maraghi merupakan hasil keuletan
dan kerja keras
Ahmad Musthafa Al-Maraghi selama kurang
lebih 10 tahun (1940-1950
M). Penulisan tafsir yang dilakukan oleh
Ahmad Musthafa Al-
Maraghi ini tidak sampai mengganggu
aktifitas pokoknya sebagai
seorang dosen melainkan kedua tugas
tersebut berjalan seiring tanpa
saling mengganggu. Menurut sebuah sumber
bahwa ketika Al-
Maraghi menulis tafsirnya ia hanya
membutuhkan waktu istirahat
selama empat jam dalam sehari sedangkan 20
jam yang tersisa
digunakan untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah bergeser
97
pada paruh terakhir, Al-Maraghi memulai
aktifitasnya dengan shalat
tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon
petunjuk dari Allah. Lalu
dilanjutkan dengan menulis tafsir
ayat-demi ayat. Pekerjaan itu
diistirahatkan ketika berangkat kerja.
Setelah pulang ia tidak istirahat
sebagaimana orang lain pada umumnya,
melainkan ia melanjutkan
tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh
malam. Demikianlah
aktifitas Al-Maraghi selama sepuluh tahun
dalam menggoreskan tintatinta
emas sehingga lahir sebuah tafsir yang
menghiasi etalase
Perpustakaan Islamdi berbagai negara
muslim dewasa ini.
Tafsir Al-Maraghi untuk pertama kalinya
diterbitkan di Kairo
pada tahun 1951 M. Pada terbitan yang
pertama ini, Tafsir al-Marghi
terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain
sesuai dengan pembagian juz
Al-Qur'an. Lalu pada penerbitan yang
kedua, terdiri dari 10 jilid
dimana setiap jilid berisi 3 juz dan
selanjutnya juga pernah diterbitkan
ke dalam 15 jilid dimana setiap jilid
berisi 2 juz. Yang banyak beredar
di Indonesia adalah Tafsir Al-Maraghi yang
diterbitkan ke dalam 10
jilid.
Penulisan tafsir al-Maraghi
dilatarbelakangi oleh kebutuhan
masyarakat akan tafsir untukmemahami
kandungan al-Qur’an di satu
sisi dan realitas obyektif tafsir-tafsir
yang sudah ada. Berdasarkan
pengamatannya bahwa penjelasan-penjelasan
yang dimuat di dalam
banyak tafsir bercampur dengan hal-hal
yang tidak penting, seperti
98
cerita-cerita yang tidak masuk akal,
istilah-istilah teknis dari disiplin
ilmu tertentu seperti balaghah,
bahkan pada persoalan khilafiyah dan
pertikaian antar mazhab yang justru
menjauhkan al-Qur’an dari
fungsinya sebagai petunjuk. Bagi
al-Maraghi, realitas obyektif tafsir
yang demikian tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan
penjelasan-penjelasan al-Qur’an.
Realitas tersebut menggugah rasa
tanggungjawab Al-Maraghi
sebagai salah seorang ulama tafsir. Muncul
sebuah kesadaran di
dalam dirinya bahwa problema tersebut
membutuhkan pemecahan
sekaligus merasa terpanggil untuk
menawarkan solusi-solusi yang
berdasarkan dalil-dalil qur’ani yang dapat
dijadikan alternatif. Maka
dari itu tidak mengherankan apabila tafsir
yang lahir dari tangannya
tampil dengan gayanya yag modern.
Dikatakan modern karena ia
disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang
sudah maju dan
modern. Hal ini terlihat pada penuturan
Al-Maraghi sendiri yang
dituangkan dalam pembukaan tafsirnya.
Dalam hal ini ia menyatakan
bahwa penulisan tafsir yang ia lakukan
merupakan upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat, disusun secara
sistematis, diungkapkan
dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti,
dan masalah-masalah
yang dibahas benar-benar didukung dengan
hujjah, bukti-bukti nyata
serta berbagai percobaan yang diperlukan.
Dari sini pula, al-Maraghi
berupaya menyajikan pendapat-pendapat para
ahli dalam berbagai
99
cabang ilmu yang relevan.39
Selain ungkapan al-maraghi sendiri,
karakteristik Tafsir al-
Maraghi juga diungkapkan oleh sejumlah
tokoh antara lain:
2. Corak Tafsîr al-Maraghi
Dalam setiap pembahasan tafsirnya,
al-Maraghi senantiasa
mendahulukan pembahasan tentang ulumul
Qur’an. Hal ini dilakukan
sebagai modal awal untuk memahami tafsir
setiap ayat dalam al-
Qur’an. Yang dilakukannya setelah itu
adalah penjelasan mengenai
sistemtafsirnya, yaitu:
a. Menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di awal
pembahasan
Pada setiap awal pembahasan, ia memulai
dengan satu atau lebih
ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut disusun
sehingga
memberikan pengertian yang integral.40
b. Menjelaskan kosa kata (Syarh
al-mufradât)
Yang dimaksud dengan penjelasan kata-kata
adalah penjelasan
kata dari segi bahasa. Hal ini dilakukan
jika terdapat kata-kata
yang tidak atau kurang dipahami oleh para
pembaca.41
Dalam hal ini, al-Maraghi tampaknya
berpatokan pada ungkapan
Imam Malik yang diriwayatkan oleh Imam
Baihaki yang berbunyi
39 Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, Jilid I, h.
40Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1971), Cet. III, jilid I
h. 16.
41Ibid.
100
“Seseorang yang tidak mengerti tentang
bahasa Arab, jika diperbolehkan
untuk menafsirkan al-Qur’an maka ia
menjadi contoh yang jelek saja. 42
Hal senada dilontarkan oleh Manna`
al-Qaththan, Hasbi Ash-
Shiddiqie dan al-Suyuti. Mereka menyatakan
betapa pentingnya
pengetahuan bahasa untuk menjelaskan
kata-kata bagi mereka
yang menafsirkan kitab Allah.
c. Menjelaskan pengertian ayat secara
global
Yang dimaksud dengan pengertian ayat
secara global adalah
dengan menyebutkan ayat-ayat, dengan
harapan agar para
pembaca sebelum memasuki pembahasan sudah
mengetahui
makna ayat-ayat terlebih dahulu.43
d. Menjelaskan Asbâb al-Nuzûl
Jika terdapat riwayat sahih dari hadis
yang selama ini menjadi
pegangan para mufassir maka
al-Maraghi mencantumkan asbâb alnuzûlnya.
Asbâb al-Nuzûl memiliki peran penting dalam penafsiran
al-Qur’an.
Sebagaimana yang ditulis Hasbi
Ash-Shiddiqie, al-Wahidi pernah
mengungkapkan bahwa “tidak mungkin kita
dapat mengetahui
tafsir ayat tanpa mengetahui terlebih
dahulu kisah dan sebab
turunnya.44
42Mahmud
Basuni Fuadah, al-Tafsîr
wa Minhâjuh, (Bandung:
Pustaka, 1987), h. 11.
43Al-Maraghi,
Op. Cit. h. 16
44Hasbi
ash-Shiddiqie, Pengantar
Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1954), h. 3.
101
Agaknya ungkapan al-Wahidi tersebut
diperhatikan betul oleh al-
Maraghi, sehingga keberadaan asbâb
al-nuzûl dari suatu ayat tidak
diabaikan begitu saja.
e. Mengesampingkan istilah-istilah yang
berkaitan dengan
ilmu pengetahuan.
Dalam tafsirnya, al-Maraghi sengaja
mengesampingkan istilahistilah
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan,
seperti nahwu,
sharaf, dan balaghah. Menurutnya, apabila
di dalam kitab tafsir
terdapat istilah-istilah sejenis maka
pembaca akan terhambat
dalam memahami kitab tafsir, sehingga
tujuan utama dalam
mendalami pengetahuan tafsir akan
mengalami hambatan.45
Tampaknya, al-Maraghi di sini sangat
berhati hati agar tidak
terjebak ke dalam kajian bahasa dan ilmu
pengetahuan. Namun,
sebagaimana dinyatakannya sendiri, al-Maraghi
justru sangat
apresiatif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan modern
dengan mencoba mencari landasannya dalam
al-Qur’an. Baginya,
semua itu berfungsi sebagai pendukung
untuk memahami al-
Qur’an. Ia mengatakan:
Jadi, pembahasan tafsir yang kami sajikan
ini juga dibarengi
dengan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat
mendukung
pemahaman isi Al-Qur’an. Kami sadar, bahwa
upaya ini
merupakan kewajiban bagi para ahli agama.
Tetapi, wajib pula
bagi mereka untuk menanyakan
masalah-masalah kepada para
45Al-Maraghi,
op. cit. h. 17.
102
ahli sains untuk sekedar memberikan
penjelasan, disamping
agar lebih bersesuaian dengan situasi
masa. Sebab, jika mereka
hanya bertumpu dari pendapat orang-orang
terdahulu, berarti
mereka ini telah jauh bahkan menjauhi
kenyataan, sehingga
tidak mendapatkan penghargaan apapun.46
Bahkan, untuk dapat memahami langsung
kaitan antara
perkembangan sains dan ayat-ayat
al-Qur’an, al-Maraghi banyak
berkonsultasi dengan orang di bidangnya,
seperti tulisannya:
Kami merintis jalan untuk sampai kepada
tingkat
pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, sekaligus
menunjukkan
kaitan dengan pemikiran dan ilmu
pengetahuan lain, yakni
mengadakan konsultasi dengan orang-orang
ahli di bidangnya
masing-masing. Untuk itu, sengaja kami
berkonsultasi dengan
para dokter medis, astronom, sejarawan dan
orang-orang bijak
untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka
sesuai
bidangnya masing-masing.47
f. Gaya Bahasa Mufassir
Dalam upaya memahami suatu ayat,
al-Maraghi lebih dahulu
menelaah tulisan dalam kitab-kitab tafsir
klasik, kemudian
mengolahnya kembali sesuai dengan kondisi
yang ada pada masa
kontemporer. Menurutnya kitab tafsir
dengan warna sendiri yang
dibangun dari pendapat para mufassir terdahulu
merupakan
penghargaan atas upaya yang pernah mereka
lakukan.48
Al-Maraghi cukup rasional bahkan cenderung
realistis dalam
melihat kecenderungan manusia. Dia
menyatakan bahwa
46 Al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi, Jilid I, h.
47 Ibid., h.
48Ibid. h.
17-18
103
masyarakat selalu berubah, baik dari segi
prilaku, pola pikir
bahkan gaya bahasanya. Oleh karena itu
menurutnya, mufassir
tetap harus mempelajari keadaan masa lalu.
Ini dilakukan
menurutnya sebagai bentuk penghargaan
terhadap upaya-upaya
yang telah dilakukan oleh para mufassir
masa lalu.49 Berikut
tulisan selengkapnya:
Kami sadar bahwa kitab-kitab tafsir
terdahulu disusun dengan
gaya bahasa yang sesuai dengan para
pembaca ketika itu, yang
sudah barang tentu sangat mudah dimengerti
oleh mereka.
Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan
karya-karya itu
menggunakan gaya bahasa yang ringkas,
sekaligus sebagai
kebanggaan mereka, karena mampu menulis
dengan cara itu.
Mengingat pergantian masa selalu diwarnai
dengan ciri-ciri
khusus, baik di bidang paramasastra,
tingkah laku dan kerangka
berpikir masyarakat, sudah barang tentu
wajar bahkan wajib bagi
mufassir masa sekarang untuk melihat
keadaan masa lalu.50
Dengan demikian, seorang al-Maraghi merasa
berkewajiban
memikirkan lahirnya sebuah kitab tafsir
yang mempunyai warna
tersendiri dan dengan gaya bahasa yang
mudah dicerna oleh alam
pikiran saat ini. Pepatah telah
mengatakan, “lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya”.
g. Seleksi terhadap kisah-kisah dalam
kitab tafsir
Dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, tidak
semua cerita dapat
diterima keabsahannya karena di antara
cerita tersebut banyak
49Ibid.
50Al-Maraghi,
op. cit., h.
104
yang berasal dari israiliyât. Oleh
karena itu al-Maraghi
menyeleksinya dalam kitab tafsirnya ini.
h. Pesatnya Sarana Komunikasi diMasa
Modern
Sesuai dengan perkembangan sarana
komunikasi, maka bahasa
tafsir sebagai bahasa komunikasi perlu
memiliki sifat sederhana
yang mudah dimengerti maksud tujuannya.
Inilah yang dilakukan
oleh al-Maraghi dalam menuliskan kitab
tafsirnya ini.
i. Jumlah Juz Tafsir
Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 jilid,
setiap jilid satu juz Al-
Quran, dengan maksud mempermudah para
pembaca.
2. Metodologi Tafsir al-Maraghi
Tafsir adalah sebuah cara yang dilakukan
manusia untuk
memahami pesan-pesan yang ada dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu,
keberadaan disiplin-disiplin ilmu yang
dapat menunjang penafsiran
yang baik sangat diperlukan. Sebagai
contoh, penguasaan ilmu nahwu
bagi seorang mufassir tidak dapat
diabaikan karena kesalahan
pemahaman terhadap struktur bahasa Arab
dapat menimbulkan
pemahaman yang menyimpang terhadap
al-Qur’an itu sendiri.
Hal lain yang tidak dapat dihindari dalam
upaya menafsirkan
al-Qur’an adalah metode yang digunakan
oleh mufassir. Yang
dimaksud denganmetode penafsiran al-Qur’an
adalah cara penafsiran
al-Qur’an baik berdasarkan sumber-sumber
penafsirannya maupun
105
penjelasan tentang sasaran dan tertib
ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu
perlu adanya cara yang tepat untuk
menafsirkan al-Qur’an, yaitu
suatu cara yang harus dijadikan sebagai
pegangan oleh para ahli tafsir
di setiap generasi.51
Sampai saat ini, setidaknya ada empat
metode penafsiran al-
Qur’an yang dikenal oleh masyarakat, yaitu
metode tahlîlî, metode
ijmâlî, metode muqârin, dan metode maudhû`i.52
Tafsir tahlîlî adalah metode tafsir
yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh
aspeknya.53 Aspek-aspek
yang dikaji dalam metode ini meliputi
kosakata, korelasi ayat, dan
asbâb al-nuzûl-nya. Kelemahan yang dimiliki oleh metode
tafsir ini
adalah, pada satu saat mufassir bisa
sangat bertele-tele dalam
menafsirkan suatu ayat, dan pada sisi lain
bisa sangat singkat yang
hampir menyerupai terjemahan.
Tafsir ijmâlî adalah metode tafsir
yang menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an dengan cara mengemukakan makna
global. Di sini mufassir
membahas ayat demi ayat sesuai dengan
susunan yang ada dalam
mushaf.54 Kelemahan metode ini adalah gaya bahasa dan lafaz yang
51Fahd
bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Ushûl al-Tafsir wa Manhâjuh, (Riyadh,
1413 H), h. 61.
52Abdul
Hayy al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu`iy, Suatu Pengantar,
(Jakarta:
Rajawali Press, 1994), h. 11.
53Ibid.
54Ibid. h.
29.
106
digunakan oleh mufassir mirip
bahkan sama dengan lafaz-lafaz al-
Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa
uraiannya tersebut
tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu
sendiri. Meskipun begitu,
metode ini lebih mengajak pembaca untuk
berbicara langsung dengan
al-Qur’an. Di sini seolah-olah al-Qur’an
sendiri yang berbicara,
sehingga makna-makna yang timbul lebih
mudah diserap.55
Metode muqârin adalah metode yang
mengemukakan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis
oleh para mufassir. Di sini
mufassir menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an,
kemudian mengkaji
dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir
mengenai suatu ayat
melalui kitab-kitab tafsir mereka.56
Metode tafsir maudhû`i adalah
metode penafsiran dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai surat yang berkaitan
dengan persoalan atau topik yang telah
ditentukan. Setelah itu dibahas
dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu
kesatuan.57
Setelah melihat pada metode-metode
penafsiran yang ada,
metode apakah yang digunakan al-Maraghi
dalam tafsirnya?
Jika dilihat dari sumbernya, tafsir
al-Maraghi lebih mengarah
pada tafsir bi al-ra’y, karena
dalam penafsirannya selalu diiringi
55Ibid.
56Ibid. h.
30.
57Ibid. h.
33.
107
dengan interpretasi akal atau ijtihad.
Akan tetapi, bukan berarti al-
Maraghi tidak menggunakan pendekatan
tafsir bi al-ma’tsûr.
Keberadaan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis
lebih sebagai penguat dari
ijtihadnya.
Dilihat dari metode penafsirannya,
al-Maraghi lebih
menggunakan metode tahlîlî. Ini
terlihat dari cara penafsirannya yang
sesuai dengan urutan ayat yang telah
tersusun dalam mushaf.
Pertama-tama al-Maraghi menuliskan kosa
kata dari lafal-lafal ayat
yang dirasa sulit untuk dipahami. Setelah
itu al-Maraghi menjelaskan
makna ayat secara global, diikuti dengan asbâb
al-nuzul dari ayat
tersebut, dan terakhir pemikirannya
mengenai ayat tersebut yang
dikontekstualisasikan dengan realitas
kehidupan masyarakat. Hal
yang terakhir ini memberi isyarat bahwa
Tafsir al-Maraghi bercorak
sastra budaya (al-adab al-ijtima’iy).
Sebuah corak tafsir yang
dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh,
yakni tafsir yang
menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an
berdasarkan ketelitian ungkapanungkapan
yang disusun dengan bahasa yang lugas,
menekankan
tujuan pokok turunnya al-Qur'an, lalu
mengaplikasikannya pada
tatanan sosial sejalan dengan dinamika
perkembangan masyarakat.
108
3. Rujukan Tafsîr al-Maraghi
Dalam menyusun kitab tafsirnya, al-Maraghi
menggunakan
beberapa kirab tafsir lain sebagai rujukan
atau sebagai bahan
perbandingannya. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah:
a) Tafsîr al-Thabarî, Abu Ja’far Muhammad
Ibnu Jarîr at-Tabarî (wafat
310 H).
b) Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl,
Abul-Qasim Jarul-lah Al-
Zamakhsyarî (wafat 538 H).
c) Hasyiah Syarifuddin Al-Hasan Ibnu
Muhammad Al-Tiby (wafat
713 H).
d) Lubab al-Ta'wi1 Fi Ma'ani al-Tanzi1
atau Tafsir al-Khazin,
Alauddin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin
Ibrahim bin Umar
bin Khalil asy-Syihy al-Khâzin terkenal
dengan Ala al-Din al-
Khâzin (w. 741 H).
e) Tafsîr Ibnu Katsîr, Imad al-Din Isma'îl
bin Umar bin Katsîr atau
Ibnu Kasîr (w. 774 H).
f) Rûh al-Ma'âni Fî Tafsîr Al-Qur'an
al-'Azîm wa al-Sab' al-Matsânî
atau Tafsîr al-Alûsî, Syihâb al-Dîn Mahmûd
al-Alûsî al-Bagdâdî (w.
1270 H/1854 M).
g) Mahâsîn al-Ta'wîl atau tafsîr
al-Qasimî, Syekh Muhammad Jamâl
al-Dîn bin Muhammad bin Sa'îd bin Qasim
al-Qasimî (w. 1332
H/1914 M).
109
h) Tafsîr al-Manâr, Muhammad Rasyid Ridha
(w. 1935 M).
i) Tafsîr Jalâlain, Al-Allamâh al-Muhaqqiq
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dan
Al-Allamâh al-Muhaqqiq Jalâl al-Dîn
Muhammad ibnu Ahmad al-
Mahallî.
j) Dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar