MAKALAH
TAFSIR SYA’RAWI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Semester
Pada Mata Kuliah Al-Qur’an Timur Tengah Kontemporer
Team Teaching:
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. Salman Harun, MA
Dr. M. Muchlis M. Hanafie, MA
Oleh
Aunur Rofiqoh
10.2.00.1.02.01.0102
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
Tafsir Sya’râwi
A.
Biografi Sya’râwi
Syekh Muhammad
Mutawalli Al-Sya’râwi (16 April 1911 M. – 17 Juni 1998 M) begitulah ia dikenal.
Ia dilahirkan pada tanggal 16 April
tahun 1911[1]
M di desa Daqadus, distrik Mith Ghamr, provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Ia
merupakan salah satu ahli tafsir Alquran yang terkenal pada masa modern dan
merupakan Imam pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau
juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam.
Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan Alquran,
dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya, hal
tersebutlah yang menjadikannya dekat dengan hati manusia, terkhusus metodenya
sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan, sehingga beliau dianggap
memiliki kepribadian muslim yang lebih mencintai dan menghormati Mesir dan
dunia arab. Oleh karena itu beliau diberi gelar “Imam Ad-Du'âti”.
B.
Riwayat Pendidikan
Dalam usia 11
tahun beliau sudah hafal Alquran. Al-Sya’râwi terdaftar di Madrasah Ibtidaiyah
(lembaga pendidikan dasar) al-Azhar, Zaqaziq pada tahun 1926 M. Sejak beliau
kecil, sudah timbul kecerdasannya dalam menghafal sya'ir (puisi) dan pepatah
arab dari sebuah perkataan dan hikmah, kemudian mendapatkan ijazah Madrasah
Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923 M.[2]
Memasuki Madrasah Tsanawiyah (lembaga
pendidikan menengah), bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra, dan beliau
telah mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, serta terpilih
sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di
Zaqaziq. Dan bersamanya pada waktu itu Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji,
penyair Thahir Abu Fasya, Prof. Khalid Muhammad Khalid, Dr. Ahmad Haikal dan
Dr. Hassan Gad. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal
itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan al-Sya’râwi, ketika orang tuanya
ingin mendaftarkan dirinya di al-Azhar, Kairo. Ia ingin tinggal dengan
saudara-saudaranya untuk bertani, namun orang tuanya mendesaknya untuk
menemaninya ke Kairo, dan membayar segala keperluan serta mempersiapkan tempat untuk tempat
tinggalnya. Al-Sya’râwi memberikan syarat kepada orang tuanya agar membelikan
sejumlah buku-buku induk dalam literatur klasik, bahasa, sains Alquran, tafsir,
hadits, sebagai jenis dari melemahkannya sampai orang tuanya merestuinya dengan
sekembalinya ke desa asal.
Namun ayahnya
cerdas pada trik tersebut, dan membeli apa yang diminta kepadanya, sambil
mengatakan: “Aku tahu anakku bahwa semua buku-buku tersebut tidak diwajibkan
untuk kamu, tapi aku memilih untuk membelinya dalam rangka memberikan ilmu
pengetahuan yang menarik agar kamu haus dengan ilmu”. Tidak ada di hadapan
Syekh, kecuali untuk patuh kepada ayahnya, dan menjadi sebuah tantangan
keinginan untuk kembali ke desa dengan cara mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya
serta menelan sekaligus semua yang terjadi padanya dari ilmu-ilmu di depan
matanya.[3]
Al-Sya’râwi
terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M., dan beliau sibuk dengan
gerakan nasional dan gerakan al-Azhar. Pada tahun 1919 M. revolusi pecah di al-Azhar,
kemudian al-Azhar mengeluarkan pengumuman yang mencerminkan kejengkelan orang
Mesir melawan penjajah Inggris. Institut Zaqaziq tidak jauh dari benteng
al-Azhar yang luhur di Kairo, al-Sya’râwi bersama rekan-rekannya berjalan
menuju halaman al-Azhar dan sekitarnya, dan menyampaikan orasi dari sesuatu
yang mendemonstrasikannya pada penahanan yang lebih dari sekali, dan pada saat
itu beliau sebagai Ketua Persatuan Mahasiswa.[4]
C.
Riwayat Pekerjaan
Al-Sya’râwi tamat pada tahun 1940 M. Dan
meraih gelar strata satunya serta diizinkan mengajar pada tahun 1943 M. Setelah
tamat Al-Sya’râwi ditugaskan ke pesantren agama di Thanta. Setelah itu beliau
dipindahkan ke pesantren agama di Zaqaziq, kemudian pesantren agama di
Iskandaria.[5]
Setelah masa pengalaman
yang panjang, al-Sya’râwi pindah untuk bekerja di Saudi Arabia pada tahun 1950
M. sebagai dosen syari'ah di Universitas Ummu al-Qurro. Dan Al-Sya’râwi terpaksa mengajar materi aqidah
meskipun spesialisasinya dalam bidang bahasa, dan pada dasarnya ini menimbulkan
kesulitan yang besar, akan tetapi Al-Sya’râwi bisa mengatasinya dengan
keunggulan yang ada pada dirinya dengan prestasi yang tinggi, dan karena
pengaruh itu Presiden Jamal Abdul Naser melarang al-Sya’râwi untuk kembali ke
Saudi Arabia.[6]
Pada tahun 1963 M terjadi perselisihan antara Presiden Jamal
Abdul Naser dan Raja Saudi. Setelah itu al-Sya’râwi mendapatkan penghargaan dan
ditugaskan di Kairo sebagai Direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein Ma'mun.
Kemudian ia pergi ke Algeria sebagai ketua duta al-Azhar di sana dan menetap
selama tujuh tahun, dan kembali lagi ke Kairo untuk ditugaskan sebagai Kepala
Departemen Agama provinsi Gharbiyah, kemudian beliau menjadi Wakil Dakwah dan
Pemikiran, serta menjadi utusan al-Azhar untuk kedua kalinya ke Kerajaan Saudi
Arabia, mengajar di Universitas King Abdul Aziz.[7]
Pada bulan
November 1976 M, Perdana Menteri Sayyid Mamduh Salim memilih anggota
kementeriannya, al-Sya’râwi ditugaskan untuk Departemen (urusan) Wakaf dan
Urusan al-Azhar (setingkat Menteri Agama di Indonesia) sampai bulan Oktober
1978 M.[8]
Setelah meninggalkan pengaruh yang bagus bagi kehidupan ekonomi di Mesir,
beliaulah yang pertama kali mengeluarkan keputusan menteri tentang pembuatan
bank Islam pertama di Mesir yaitu Bank Faisal, dan ini merupakan wewenang
Menteri Ekonomi dan Keuangan Dr. Hamid Sayih pada masa ini yang diserahkan
kepadanya.
D.
Penghargaan yang diterima
Al-Sya’râwi diberikan tanda penghargaan
pertama pada usia pensiunnya pada tanggal 15 Maret 1976 M. sebelum ditugaskan
menjadi Menteri Wakaf dan Urusan al-Azhar. Mendapatkan penghargaan nasional
tingkat pertama pada tahun 1983 M dan tahun 1988 M, dan pada hari Da'i Nasional
beliau mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa pada bidang sastra dari
Universitas Manshurah dan Universitas al-Azhar Daqahlia.
Organisasi
Konferensi Islam di Makkah al-Mukarramah memilihnya sebagai anggota komite
tetap untuk konferensi keajaiban ilmu dalam Alquran dan Sunnah Nabawi, yang
disusun oleh Organisasi Konferensi Islam, dan beliau ditugaskan untuk memilih
juri pada bidang agama dan keilmuan yang berbeda-beda, untuk menilai
makalah-makalah yang masuk dalam konferensi. Sejumlah karya-karya universitas
menulis tentang dirinya di antaranya tesis magister mengenainya di Universitas
Minya, Fakultas Pendidikan, Jurusan Dasar-dasar Pendidikan, dan tesis tersebut
mencakup informasi dari pendapat-pendapat pendidikan pada al-Sya’râwi dalam
faktor perkembangan pendidikan modern di Mesir. Provinsi Daqahlia menjadikannya
sebagai tokoh pameran kebudayaan pada tahun 1989 M yang diselenggarakan setiap
tahun untuk memberikan penghargaan putra-putri Daqahlia.
E.
Karya-karyanya
Al-Sya’râwi
mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa orang yang mencintainya
mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan, sedangkan hasil karya yang
paling populer dan yang paling fenomenal adalah Tafsir Al-Sya’râwi terhadap
1. Al-Isrâu wa al-
Mi'râju (Isra dan Mi'raj)
2. Asrâru Bismillâhirrahmânirrahîmi (Rahasia
dibalik kalimat Bismillahirrahmanirrahim)
3. Al-Islâmu wa al-Fikru al-Mu'ashiri (Islam
dan Pemikiran Modern)
4. Al-Islâmu wa al-Mar'átu, 'Aqîdatun wa
Manĥajun (Islam dan Perempuan, Akidah
dan Metode)
5. Asy- Syûrâ wa
at-Tasyrî'u fî al-Islâmi (Musyawarah dan Pensyariatan dalam Islam)
6. Ash-Shalâtu wa Arkânu al-Islâmi (Shalat
dan Rukun-rukun Islam)
7. Ath-Tharîqu ila
Allâh (Jalan Menuju Allah)
8. Al-Fatâwâ
(Fatwa-fatwa)
9. Labbayka Allâhumma
Labbayka (Ya Allah Kami Memenuhi Panggilan-Mu)
10. Suâlu wa Jawâbu fî al-Fiqhi al-Islâmî 100
(100 Soal Jawab Fiqih Islam)
11. Al-Mar'átu Kamâ
Arâdahâ Allâhu (Perempuan Sebagaimana Yang Diinginkan Allah)
12. Mu'jizatu al-Qurâni (Kemukjizatan Alquran)
13. Min Faydhi al-Qurâni
(Diantara Limpahan Hikmah Alquran)
14. Nazharâtu al-Qurâni
(Pandangan-pandangan Alquran)
15. 'Ala Mâídati
al-Fikri al-Islâmî (Di atas Hidangan Pemikiran Islam)
16. Al-Qadhâu wa al-Qadaru (Qadha dan
Qadar)
17. Ĥâdzâ Ĥuwa al-Islâmu (Inilah Islam)
18. Al-Muntakhabu fi
Tafsîri al-Qurâni al-Karîmi (Pilihan dari Tafsir al-Quran al-Karim)
F. Pandangan ulama tentang al-Sya’râwi
Berikut beberapa pandangan ulama terhadap al-Sya’râwî:
1. Menurut Ahmad Umar Hasyim, al-Sya’râwi merupakan profil da’i yang
mampu menyelesaikan permasalahan umat secara proporsional. Tidak hanya menolak
mentah-mentah inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dalam penemuan
ilmiah terutama yang berkaitan dengan substansi al-Qurân.[9]
2. Yusuf al-Qardawî memandangnya sebagai penafsir yang handal karena
penafsirannya tidak terbatas ruang dan waktu tetapi juga mencakup kisi-kisi
kehidupan.[10]
3. ‘Abdul Fattah al-Fawi berpendapat bahwa al-Sya’râwî bukanlah
seorang yang tekstual, beku dihadapan nas, tidak terlalu cenderung ke akal,
tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, namun ia menghormati nas,
memakai akal, terpancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya.[11]
Bab 2 : Seputar Tafsir al-Sya’rawi
a.
Sejarah
Tafsir al-Sya’rawi
Pada mulanya tafsir al-Sya’râwî, bukanlah karya tafsir yang sengaja
disusun sebagai satu karya tafsir al-Qurân, melainkan dokumentasi yang ditulis
dari hasil rekaman ceramah seorang ulama besar Mesir yang bernama Syaikh
Muhammad Muatawli al- al-Sya’râwî. Sebelum menjadi karya tafsir,
pendokumentasian ceramah-ceramah al-Sya’râwî tersebut terlebih dahulu dimuat
dalam majalah al-Liwa al-Islami. Kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku
seri yang diberi nama Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm, yang
diterbitkan mulai tahun 1982 oleh penerbit Dâr Mayu al-Wathaniyyah.[12]
Tafsir al- Sya’râwî, disebut
demikian adalah keinginan dari penerbit, mulai diterbitkan dalam bentuk karya
tafsir tahun 1991, oleh penerbit Akbâr al-Yaum.
Tafsir Sya’râwî tidak seperti karya tafsir lainnya karena maksud
dan tujuannya adalah mengungkapkan kemu’jizatan al-Qurân dan menyampaikan ide-ide
keimanan kepada pemirsa, pendengar dan pembaca. Oleh karena itu kitab ini tidak
ditulis dengan gaya bahasa pidato dan tidak ditulis juga dengan gaya bahasa
karya tulis ilmiah melainkan ditulis dengan gaya bahasa ceramah dari seorang
guru dihadapan para murid dan pendengarnya yang beragam tingkat pendidikan
maupun status. Maka penafsiran yang disampaikan al-Sya’râwî isinya tidak lepas dari kemu’jizatan al-Quran
dan ajaran. Di sinilah letak perbedaan Al-Quran dan kitab suci sebelumnya.
Bahwa la-Quran bukan sekedar ajaran namun juga sebuah mu’jizat yang Allah
turunkan kepada Nabi Muhammad.
b.
Sumber penafsiran dalam Tafsir al-Sya’râwî
Dalam melakukan kegiatan penafsiran, al-Sya’râwî menggunakan sumber
penafsiran yang sesuai dengan kaidah bi al-ra’y, dimana sumber utama
penafsiran yang digunakannya terdiri dari tiga macam:
1.
Kategori
bil ma’tsur
Penafsiran
al-Quran dengan al- quran
Tafsir ini
menggunakan kaidah bahasa bukan berarti tafsir ini hanya mengandalkan
grammatical bahasa namun kaidah bahasa ini hanya untuk mempermudah memahami
penjelasan ayat Al-Quran, contoh ketika ketika menjelaskan Q.S al-Nisa (4) : 33
ولكل جعلنا موالي مما
ترك الوالدان والأقربون والذين عقدت أيمانكم فأتهم نصبهم ان
الله كان على
كل شيئ شهيدا
Artinya: Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami
jadikan pewrais-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang telah kamu
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Untuk memahami ayat tersebut al- Sya’râwî menjelaskan sebagai
berikut :
وساعة ترى لفظة (لكل) وتجدها منونة، فاعرف أن
هناك حاجة مقدرة، وأصلها (لكل إنسان)، وحذف الإسم وجاء بدلا منه التنوين.[13]
Artinya, kata لكل"” memakai tanwin. Ini
menunjukkan adanya suatu yang dibuang, dan asalnya "لكل إنسان" pada kalimat tersebut.
Kata “إنسان” dibuang dan diganti dengan tanwin.
Jadi, fungsi tanwin di sini sebagai pengganti dari kalimat yang dibuang.
a. Penafsiran dengan al-Quran
Adapun al-Sya’rawi menafsirkan ayat al-Quran
dengan ayat al-Quran lain. Hal ini bukan berarti penafsirannya dengan cara bil
matsur namum bi al-ra’yi, karena ayat al-Quran tersebut ditafsirkan
dengan hasil ijtihadnya yang membandingkan suatu ayat dengan ayat lain.
Contohnya يا بني إسرائيل , ditafsirkan dengan
ungkapan بني آدم yaitu dengan menyebutkan perbedaan di antara
ke duanya, juga menjelaskan pada ayat tersebut mengapa Allah lebih memilih
ungkapan يا بني إسرائيل dari pada يا بني آدم . pada surat
al-A’raf menggunakan يا بني آدم Karen Allah ingin mengungkapkan ni’mat yang
diberikannya kepada adam dan anak cucunya, sedangkan pada surat al-Baqarah
dengan ungkapan يا بني إسرائيل karena Allah ingin mengingatkan kepada mereka
atas kedudukan Israil, yaitu Ya’kub a.s yang tahan dan sabar atas cobaan dan
atas wasiatnya ketika meninggal dunia.
a.
Penafsiran al-quran dengan riwayat
Al-Sya’rawi tidak menempatkna posisi hadis yang
dijadikan sumber hadis yang berisi informasi tentang tafsir suatu ayat
melainkan hadis dijadikan sumber untuk memberikan pemahaman akan maksud ayat,
dimana hadis itu tidak mesti berisi penjelasan ayat melainkan cukup memilki
kandungan isi yang sama dengan apa yang dimaksud dalam ayat.
Contoh ayat ولا تقربوا مال اليتيم
إلا بالتي هي أحسن
Menurut Sya’rawi yang menjadi hal utama pada ungkapan
tersebut adalah wasiat untuk memelihara anak yatim, baik padanya ada harta atau
tidak. Ia memperkuat pertanyaanya dengan merujuk hadis yang berbunyi :
عن سهل بن سعد وضي الله عنه قال : قال رسول
الله صلي الله عليه وسلم " أنا وكافل اليتيم هكذا وأشار با السبابة والوسطى
وفرّج بينهما "
Dari
Sahl ibn Sa’ad ra. Berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Aku dan
orang yang mengurus anak yatim di surga seperti begini
(dan beliau mengisyaratkan dengan telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkan
keduanya”.
b.
Penafsiran
al-Quran dengan qoul sahabat
Penggunaan
sumber qawl sahabat atau tabiin dalam menafsirkan banyak digunakan
al-Sya’rawi untuk menjelaskan pemahaman dan term-term tertentu. Hal itu
dilakukan untuk mencari pemahaman awal dari mufassir sebelumnya tentang maksud
suatu kata atau kalimat. Contoh dalam menafsirkan surat al-Tawbah (9):55:
فلا تعجبك أموالهم ولا أولادهم إنما يريد الله
ليعذّبهم بها في الحياة الدنيا وتزهق أنفسهم وهم كافرون
Artinya: maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka
menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan
anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang
nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.
Al- Sya’râwî menukil pernyataan ‘Ali r.a. ketika ditanya
tentang ahli dunia dan ahli akhirat.
"قيل للإمام علي رضي
الله عنه: يا إمام، أريد أن أعرف نفسي أأنا من أهل الدنيا أم من أهل الآخرة؟ فقال
الإمام علي: الله أرحم من أن يجعل جواب هذا السؤال عندي وجعل جواب السؤال عندك
أنت، إن كنت تحب من يدخل عليك وهو يريد أن يأخذك منك أكثر مما تحب من يدخل عليك
وهو يريد أن يعطيك هدية تكون من أهل الآخرة".
Artinya: “dikatakan kepada ‘Ali r.a., ‘Wahai Imam, akun ingin mengetahui
menginginkan jawaban pertanyaan ini bukan dariku tetapi harus dari kamu. Jika
engkau lebih suka kepada orang yang datang kepadamu dan akan meminta sesuatu
dibanding dengan orang yang datang kepadamu dan ia akan memberi sesuatu, maka
kamu termasuk ahli akhirat.”
2. Kategori bi al-ra’yi
Penafsiran al-Quran dengan ijtihad murni (ra’y
mujarrad)
Al- Sya’râwî memilki pandangan bahwa tidak ada pengulangan
dalam al-Quran. Sebab al-Quran yang mempunyai kedudukan sebagai ajaran dan
mu’jizat tidak mungkin menggunakan sesuatu yang menjadi sia-sia (al-‘abts)
dan pengulangan adalah salah satu kesia-siaan, sekalipun al-Quran membicarakan
tentang kisah.
Ijtihad murni al- Sya’râwî ini nampak dalam penafsirannya
Q.S al-Baqarah (2) : 35. Sekalipun menggunakan ijtihad sebagai sumber
penafsiran al- Sya’râwî menjelaskan bahwa jannah yang ditempati Adam dan
Hawa, adalah bukan tempat untuk pembalasan, melainkan suatu tempat lain sebagai
suatu tempat pengujian. Lebih lanjut ia menyatakan:
"الجنة هي ليست جنة
الخلد وإنما هي جنة سيمارس فيها تجربة تطبيق المنهج. ولذلك لا يقال: كيف دخل إبليس
الجنة يعد أن عصى وكفر، لأن هذه ليست جنة الخلد ولابد أن تنتبه إلى ذلك جيدا حتى
لا يقال أن معصية آدم هي التي أخرجت البشر من الجنة. لأن الله تعالى قبل أن يخلق
آدم حدد مهمته فقال: (وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة)".[14]
Selanjutnya al- Sya’râwî menjelaskan tentang jenis ujiannya, yang
menurutnya hanya mencakup dua hal, yaitu perintah dan larangan. Ungkapan ujian
atau ajarannya terdapat pada kalimat "ولا تقربا هذه
الشجرة", sedangkan jenisnya terdapat pada
kalimat "اسكن أنت وزوجك الجنة" dan "وكلا منها
رغدا" untuk perintah dan kalimat
"ولا تقربا" untuk larangan. Lebih
lanjut al- Sya’râwî menyatakan:
"وقوله تعالى: {ولا تقربا هذه الشجرة} هو
استكمال للمنهج. فهناك أمر ونهي افعل ولا تفعل: {اسكن أنت وزوجك الجنة} أمر: {وكلا
منها رغدا} أمر، {ولا تقربا هذه الشجرة} نهي. وهذا أول منهج يعلم الإنسان الطاعة
لله سبحانه وتعالى والإمتناع عما عنه، وكل رسائل السماء ومناهج الله في الأرض أمر
ونهي..إفعل كذا ولا تفعل كذا"
Artinya: Firman Allah swt “ولا تقربا هذه الشجرة” adalah penyempurna bagi
ajaran. Disana ada perintah dan larangan (افعل dan لا تفعل). Kalimat “اسكن أنت وزوجك الجنة” dan “وكلا منها رغدا” adalah perintah, dan “ولا تقربا هذه الشجرة” adalah larangan. Ini
adalah ajaran pertama yang mengajarkan manusia untuk taat kepada Allah swt dan
menjauhi larangannya. Setiap risalah samawi dan ajaran Allah dimuka bumi adalah
perintah dan larangan.
Penafsiran al- Sya’râwî terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan
Adam, dapat dipandang sebagai hasil pemikiran dari al- Sya’râwî ketika berusaha
memahami ayat untuk para pembaca lainnya dengan lebih komprehensif dan
realistik. Menurutnya kisah tersebut adalah miniatur kehidupan manusia dimuka
bumi ini. Ia membahas hal tersebut secara tematis di dalam sebuah buku khusus,[15]
selain di dalam kitab tafsirnya. Inilah di antara penafsiran-penafsiran al-
Sya’râwî yang bersumber dari hasil ijtihadnya sendiri.
3. Penafsiran al-Quran dengan ijtihad tidak murni
Adapun sumber penafsiran yang tidak murni (ra’y makhluth bi al-atsar) adalah
usaha al- Sya’râwî dalam menafsirkan dengan merekontruksi ayat-ayat yang
dianggapnya berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, baik yang dirujuk
dari al-Qurân, al-sunnah, maupun riwayat lain yang bersumber dari sahabat dan
tabi’in.
c. Metode tafsir al-Sya’râwî
Metode Tahlili
Pada umumnya para mufassir menggunakan metode yang tidak
terlepas dari empat metode penafsiran, yaitu tahlîliyy, ijmâlî, muqâran, dan
maudhu’î. Adapun metode umum yang dipakai al-Sya’râwî dalam penafsirannya
adalah metode tahlîliyy yaitu menjelaskan kandungan makna ayat-ayat
al-qurân dari berbagai aspeknya, dengan memperhatikan urutan ayat sebagaimana
yang tercantum dalam mushhaf.[16]
Langkah-langkah yang dilakukan al- Sya’râwî telah sesuai
dengan ciri-ciri kitab tafsir yang menggunakan metode tahlîliyy, yaitu
menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat yaitu unsur i’jaz, balaghah, dan
keindahan susunan kalimat, menjelaskan istinbath dari ayat, serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya (munâsabât al-âyât wa al-suwar), dengan merujuk kepada asbâb
al-nuzul, hadis-hadis Rasulullah saw., riwayat shahabat dan juga riwayat
tabi’in.[17]
Corak penafsiran al-Sya’rawi
a. Corak Lughawi
1. Menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, baik kaidah sharaf maupun nahwu,
sebagai titik tolak untuk menjelaskan maksud suatu ayat.
Penggunaan kaidah sharaf dianataranya pada
penafsiran Q.S. Ali ‘Imran (3): 178;
ولا يحسبنّ الذين كفروا أنما نملي لهم خير
لأنفسهم إنما نملي لهم ليزدادوا إثما ولهم عذاب مهين
Artinya: dan janganlah sekali-kali oarang-orang kafir
menyangka bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka adalah lebih baik bagi
mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Al- sya’rawi menyatakan bahwa kata “يحسبنّ” adalah fi’il mudlari’ dari fi’il
madli “حسب” dengan sin yang
diberi harkat kasrah. Sebagaimana dalam firman Allah Q.S. al-‘Ankabut (29):2,
أحسِب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنّا وهم لا
يُفْتنُون
Artinya: apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Kata “حسب” yang difathahkan
sin-nya dan يحسب"” yang dikasrahkan sin-nya diambil
dari kata الحساب والعدد"” yang artinya hitungan. Adapun kata “حسب” dan يحسب"” mengandung arti perkiraan “الظن” karena merupakan sesuatu yang
dibayangkan. Allah swt mengingatkan mereka bahwa perkiraan mereka tentang
keabadian dan kelanggengan hidup mereka lebih baik bagi mereka adalah tidak
benar karena hanya bersifat prediksi dan khayalan belaka bukan suatu keyakinan.
2. Mengurai makna lughawi dari suatu kata yang dianggap penting, dengan
cara mengembalikan kepada asal kata dan maknanya, kemudian menjelaskan makna
yang dimaksudkan oleh al-qurân dari kata tersebut untuk memahami ayat yang
dimaksud.
Penguraian makna lughawi yang dikemukakan
al-Sya’râwî dalam hal ini bermakna leksikal, contohnya Q.S. al-Baqarah (2):169;
إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على
الله ما لا تعلمون
Artinya: sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu
berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak
ketahui.
Al-Sya’râwî memberikan penjelasan tentang kata “السوء” dan kata “الفحشاء” dengan pemaknaan
leksikal. Ia menyatakan:
والسوء وهو كل ذنب لا حد فيه، مثل الغيبة أو
النميمة، والفحشاء هي كل ذنب فيه حد وفيه عقوبة. والشيطان يأمركم أن تقولوا على
الله ما لا تجهلون.
Artinya; “السوء” adalah setiap dosa yang
tidak ada sangsinya seperti mengumpat atau mengadu domba. Sedangkan “الفحشاء” adalah setiap dosa yang
ada sangsinya dan hukumannya seperti mencuri atau berzina. Syaitan akan selalu
memerintahkan kepada kamu sekalian untuk mengatakan kepada Allah apa yang kamu
tidak ketahui.[18]
3. Menggunakan syair-syair, baik yang klasik maupun modern, untuk menguatkan
makna kata atau kalimat yang sedang dijelaskan.
Penggunaan syair, dimaksudkan untuk memperkuat makna yang
telah dikemukakan oleh al-Sya’râwî, sekaligus untuk menunjukkan bahwa makna
tersebut telah dikenal luas di masyarakat Arab. Contoh penggunaan syair adalah
penafsiran Q.S. al-Qashash (28): 84;
من جاء بالحسنة فله خير منها ومن جاء بالسيئة
فلا يجزى الذين عملوا السيّئات إلا ما كانوا يعملون.
Artinya: barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan
barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi
pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan
(seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.
Salah satu penjelasan dengan menggunakan syair pada ayat
di atas adalah berkaitan dengan pemaknaan kata “خير”. Menurut al-Sya’râwî
fungsi kata tersebut adalah untuk memperkuat makna yang telah dijelaskan. Hal
itu juga diungkapkan dalam sya’ir Arab; زيد خيار الناس – وابن
الأخيرartinya zaid
adalah orang pilihan dan orang yan terbaik.
Pada ungkapan sya’ir di atas, asalnya digunakan dalam
bentuk shighat al-tafdlil seperti ungkapan "هذا حسن وذلك
أحسن". Sedangkan makna “خير” pada ayat di atas dapat
berarti kebaikan yang datang dari arahnya dan juga dapat berarti seseorang
apabila mengerjakan suatu kebaikan maka Allah akan memberinya sesuatu yang
lebih baik dalam arti kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan.[19]
b. Corak Ijtima’i
1. Memberikan contoh-contoh yang aktual dan
kekinian untuk mendekatkan makna yang semula dianggap jauh menjadi lebih dekat
dan dipahami oleh pendengar maupun pembaca, sehingga benar-benar meresap ke
dalam hati sanubari.
Penafsiran al-
Sya’râwî dengan mengungkapkan contoh-contoh ungkapan atau contoh realitas
kekinian ditandai dengan ungkapan al-Sya’râwî: "مثلا” atau “أضرب هذا المثال” ataupun “وضربنا مثلا لذلك”.
Sebagai contoh, pada saat al-Sya’râwî menafsirkan
Q.S.al-Baqarah (2): 174;
إن الذين يكتمون ما أنزل الله من الكتاب ويشترون
به ثمنا قليلا أولئك ما يأكلون في بطونهم إلا
النار ولا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكّيهم ولهم عذاب أليم.
Artinya: sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam
perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat
pedih.
Al-Sya’râwî merujuk penafsirannya ke dalam Q.S. Thaha
(20): 17-18:
وما تلك بيمينك يا موسى. قال هي عصاي أتوكّأ
عليها وأهُشّ بها على غنمي ولي فيها مآربُ أُخرى.
Artinya: apakah itu yang di tangan kamu, hai Musa?
Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya
dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku
masih ada manfaat lagi yang lain padanya.”
Dalam memberikan penjelasan tentang pertanyaan dan
jawaban yang terdapat dalam ayat tersebut di atas, al-Sya’râwî membuat perumpamaan. Ia
mengatakan, umpamanya seseorang berkunjung ke rumah sahabatnya dan di sana ada
anak kecil sedang memegang mainan, kemudian ia bertanya kepada anak kecil
tersebut tentang mainan yang sedang di pegang. Sebenarnya ketika ia melihat
mainan yang sedang dipegang oleh anak itu, tidak perlu bertanya, tetapi
pertanyaan itu dimaksudkan untuk membuat rasa kangen. Seperti halnya pertanyaan
Allah kepada nabi Musa a.s. yang dimaksudkan untuk membuat rasa kangen. Allah
swt bertanya kepada nabi Musa a.s. “ وما تلك بيمينك يا موسى” sebenarnya Musa cukup menjawab dengan kalimat “هي عصاي” tidak perlu meneruskan
dengan kalimat yang lain. Seandainya Musa hanya menjawab dengan kalimat “هي عصاي” maka jawaban tersebut
tidak cukup untuk menghargai rasa kangen yang diberikan Allah kepadanya, maka
Musa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjawab pertanyaan Allah agar rasa
kangen kepada Allah lebih lama, ia menjawab:
قال هي عصاي أتوكّأ عليها وأهُشّ بها على غنمي ولي فيها
مآربُ أُخرى. (Musa berkata: “Ini adalah
tongkatku, aku bertumpu padanya dan aku merontokkan
(daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada manfaat
lagi yang lain padanya.”
2. Menjelaskan ayat dengan sesuatu pemahaman
yang berdasarkan realitas, dengan tujuan bahwa nilai-nilai yang dikandung
al-qurân dapat dijalankan atau diaktualisasikan dalam kehidupan manusia di
bumi. Hal ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa tujuan diturunkan al-qurân
adalah hudan li al-nâs dan rahmatan li al-‘âlamîn.
Sebagai contoh Q.S. al-‘Ankabut (29): 62;
الله يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر له إن
الله بكل شيئ عليم
Artinya: Allah melapangkan rizki badi siapa yang Ia
kehendaki diantara hamba-hambanya dan dia (pula) yang menyempitkan baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tentang ayat ini al-Sya’râwî
menjelaskan terhadap hakikat rezeki, ia mengatakan bahwa arti “يبسط الرزق” adalah memperluas
sedangkan arti “ويقدر له” adalah mempersempit. Kelemahan orang
dalam hal ini mengartikan rezeki dengan harta. Padahal hakikat dari rezeki
adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, seperti ilmu, kelemahlembutan,
kekuatan, kemampuan, kekuatan, cakap dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Allah
swt memperluas rezeki bagi orang yang dikehendaki-Nya dan mempersempit bagi
orang yang dikehendaki-Nya pula. Orang yang dipersempit rezekinya membutuhkan
orang lain yang di lapangkan rezekinya. Begitu juga, Allah akan melapangkan
rezeki seseorang dalam satu bentuk dan mempersempitnya dalam bentuk yang lain.
3. Menggunakan model dialog; tanya-jawab, untuk menjelaskan hal-hal yang ada
dan menjadi maksud ayat.
Model penafsiran yang dikemas dalam ungkapan tanya-jwab
dalam Tafsir al-Sya’râwî bisa dinyatakan sangat dominan. Hal ini terjadi
disebabkan awal mula tafsir ini adalah bahasa lisan, bukan bahasa tulisan,
sehingga pengungkapan dengan bahasa dialektik lebih mudah dan dapat dipahami
dengan cepat oleh pendengarnya. Sebagai contoh dapat dilihat penafsiran Q.S. Fathir
(35): 29-30:
إن اللذين يتلون كتاب الله وأقاموا الصلاة
وأنفقوا مما رزقناهم سرّا وعلانية يرجون تجارة لن تبور ليُوَفّيَهم أجورهم ويزيدهم
من فضله إنه غفور شَكور.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang
kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan
kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Al-Sya’râwî menjelaskan bahwa jika dikatakan: selama
Allah swt mengundang manusia untuk hidup, mengapa Allah tidak menjamin mereka
untuk hidup dengan baik, dimana mereka tidak memerlukan belaskasihan orang
lain? Jawabnya: Allah swt menginginkan untuk menanam bibit kecintaan diantara
manusia menginginkan masyarakat muslim berdasarkan kecintaan, kerjasama,
solidaritas, kemudian Allah swt menjanjikan kepada orang yang dermawan dan suka
memberi agar memperlakukan orang lain dengan kadar kedermawanan Allah swt.
Pada kesempatan di atas al-Sya’râwî mengajukan pertanyaan
yang berkaitan dengan maksud ayat di atas dan kemudian memberikan jawaban yang
sesuai dengan tujuan dan isi kandungan ayat.
c. Menggunakan teori simbolik dari kata atau kalimat tertentu yang terdapat
dalam ayat.
Penggunaan teori simbolik juga digunakan oleh al-Sya’râwî
untuk menjelaskan penafsirannya. Makna simbolik yang diambil oleh al-Sya’râwî
bisa dari kata bisa juga dari kalimat, seperti dalam menafsirkan Q.S.
al-Baqarah (2): 35:
وقلنا يا آدم اسكن أنت وزوجك الجنة وكلا منها
رغدا حيث شئتما ولا تقربا هذه الشجرة فتكونا من الظالمين.
Artinya: Dan kami berfirman: “Hai Adam diamlah oleh kamu dan isterimu di
surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja
yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang zhalim.
Kalimat “يا آدم اسكن أنت وزوجك الجنة” adalah simbol dari perntah أمر dan kalimat “ولا تقربا هذه الشجرة” adalah simbol daripada
larangan نهي, yang menurut bahasa
al-Sya’râwî diberbagai kesempatan di dalam menjelaskan berbagai ayat yang
berkaitan dengan kewajiban, adalah adanya ajaran untuk melaksanakan افعل dan لا تفعل .
Al-Sya’râwî menjelaskan bahwa Allah menciptakan Adam
sebagai khalifah di bumi. Dikarenakan tugas kekhalifahan sangat berat, maka
lebih dahulu Adam dilatih di suatu tempat yang diberi nama jannah.
Latihan yang diberikan adalah افعل dan لا تفعلsebagai simbol dari perintah dan larangan.
Adam lulus dalam melaksanakan افعل dan gagal dalam
menjalankan لا تفعل. Setelah proses itu, kemudian Allah
menurunkan mereka (Adam dan Hawa) ke bumi untuk menjalankan perintah dengan
membawa افعل dan لا تفعل. Agama sebagai pedoman
hidup manusia tidak lepas dari perintah dan larangan.
Cara penafsiran al-Sya’rawi
1. Menggunakan teori kesatuan tema ( (الربط الموضوعيantara ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat
lain yang sama dalam al-Qur’an, disertai penukilan riwayat, baik hadis, qawl
sahabat dan tabi’in.
Penafsiran tematik adalah fokus dari
penafsiran al-Sya’râwî. Hal ini didasarkan kepada pemikrannya bahwa al-qurân
adalah kitab ajaran yang satu dengan yan lainnya memiliki keterkaitan untuk
saling menjelaskan (yufassiru ba’duhu ba’dlan).
Penggunaan model penafsiran tematik dapat
dilihat pad contoh Q.S. al-Baqarah (2): 34:
وإذقلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلاّ إبليس
أبى واستكبر وكان من الكافرين.
Artinya: Dan (ingatlah) ketika kami berfirman
kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali
Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Sya’râwî
menjelaskan bahwa Allah swt memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud
kepada adam. Para malaikat, sebenarnya tidak bersujud kepada Adam tetapi
bersujud terhadap perintah Allah dengan bersujud kepada Adam. Ada perbedaan
besar antara bersujud kepada sesuatu dan bersujud kepada perintah Allah.
Bersujud terhadap perintah Allah tidak termasuk keluar dari ajaran, karena pada
dasarnya adalah patuh kepada Allah. Malaikat yang disuruh bersujud adalah para
malaikat yang mempunyai fungsi yang berhubungan dengan manusia.[20]
2.
Menggunakan
teori korelasi ayat dengan ayat dan korelasi surat dengan surat (munâsabat
al-âyat wa al-suwar).
Metode munasabah atau korelasi adalah
suatu penafsiran yang didasarkan pada sumber ijtihad, dimana seorang mufassir
berusaha mencari keterkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain, terlebih
jika dalam satu surat mencakup banyak tema. Sehingga seorang mufassir
berkeyakinan adanya suatu hubungan yang tersirat pada saat perpindahan tema,
baik dengan sebelum atau sesudah ayat yang akan dibahasnya.
Contoh penjelasan yang berkaitan dengan
pembahasan korelasi antara ayat dengan ayat antara lain, Q.S. al-Baqarah
(2):46; ia menjelaskan korelasi dengan ayat ini dengan ayat sebelumnya dalam
ungkapan:
بعد أن أوضح لنا الحق سبحانه وتعالى، إن الصبر
والصلاة كبيرة إلا على كل من خشع قلبه الله. فهو يقبل عليها يحب و إيمان ورغبة.
أراد أن يعرفنا من هم الخاشعون. فقال جل جلاله: {الذين يظنون أنهم ملاقو ربهم
وأنهم إليه راجعون.[21]
Artinya: setelah Allah swt menjelaskan bahwa sabar
dan shalat itu sangat berat kecuali bagi hati orang yang hatinya khusu’ kepada
Allah swt, Allah akan menerimanya dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kemudian
Allah memperkenalkan siapa orang yang khusu’ tersebut dengan mengatakan
“الذين يظنون أنهم ملاقو ربهم وأنهم إليه راجعون”.
Sehingga ketika al-Sya’râwî tidak menjelaskan
seluruh ayat tentang korelasinya disebabkan apabila posisi ayat-ayat tersebut
masih ada dalam satu kelompok tematik yang utuh, sehingga korelasinya telah ada
secara tersirat pada bagian yang lainnya.
3. Menggunakan asbâb al-nuzul sebagai dasar untuk menafsirkan suatu
ayat. Al-Sya’râwî, perhatiannya akan riwayat yang berkaitan dengan latar
belakang turunnya suatu ayat sangat diperhatikan, selain menjadi acuan untuk
memahami ayat, memperhatikan asbâb al-nuzul sesuai dengan kaidah penafsiran al-qurân. Sekalipun demikian, dalam
prinsip penafsirannya al-Sya’râwî berpegang kepada kaidah “بعموم اللفظ لا بخصوص السبب العبرة” (Ibrah diambil dari keumuman
lafazh bukan dari kekhususan sebab). Dengan prinsip itu, dalam pandangan
al-Sya’râwî, ayat tersebut berlaku dengan semua orang tanpa ada batasan waktu,
sekalipun ada sebab yang menyertai turunnya ayat tersebut. Adapun kedudukan
riwayat asbâb al-nuzul pada penafsiran hanya sebatas dasar dalam
menafsirkan ayat.
Berikut penafsiran al-Sya’râwî tentang suatu
ayat yang memperhatikan keberadaan riwayat yang menjadi latar belakang turunnya
ayat tersebut, seperti penafsiran Q.S. al-Baqarah (2): 190
وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا
تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين.
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Menurut al-Sya’râwî riwayat yang ditemukan
tentang asbâb al-nuzul ayat di atas adalah bahwa Rasulullah saw dan para
sahabtnya sangat merindukan untuk mengunjungi bait al-haram dan
bermaksud untuk melaksanakan umrah pada bulan Dzul Qa’dah pada tahun ke enam
hijrah. Pada saat Rasulullah dan para sahabat sampai di Hudaibiyah, mereka
dihadang oleh musyrikin Quraisy dan mereka menyatakan bahwa Muhammad beserta
para sahabat tidak mungkin untuk memasuki kota Makkah. Kemudian terjadi
perundingan antara kedua belah pihak yang hasilnya Rasulullah saw menerima
untuk tidak memasuki kota Makkah pada tahun itu dan akan kembali pada tahun
berikutnya, dimana kota Makkah akan dikosongkan selama tiga hari pada bulan
Dzul Qa’dah.[22]
هم الذين كفروا وصدوكم عن المسجد الحرام والهدي معكوفا أن يبلغ محلّه ولولا
رجال مؤمنون
ونساء مؤمنات لم تعلموهم أن تطئوهم فنصيبكم منهم معرّة بغير علم
ليدخل الله في رحمته من
يشاء لو تزيّلوا لعذّبنا اللذين كفروا منهم عذابا أليم.
Setelah turun ayat tersebut, kaum muslimin
mengetahui suat suatu alasan dan hikmah ketika mereka kembali ke Makkah pada
tahun berikutnya. Kemudian Allah menjelaskan dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah
(2): 194:
الشهر الحرام بالشهر الحرام والحرمات قصاص فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل
ما اعتدى عليكم واتقوا الله واعلموا أن الله مع المتقين.
Kaum muslimin takut dan khawatir jika pada
tahun berikutnya kaum musyrikin Quraisy membatalkan dan mengingkari perjanjian
itu dan memerangi mereka. Maka atas dasar ketakutan tersebut turunlah
Q.S.al-Baqarah (2): 190.
Maka penafsiran Q.S.al-Baqarah (2): 190 oleh
al-Sya’râwî yang didasarkan pada pemahaman asbâb al-nuzul di atas, ia
menjelaskan bahwa jika firman Allah “وقاتلوا في سبيل الله” direnungkan, maka akan
diketahui bahwa Allah swt menekankan terhadap kalimat “في سبيل الله” karena Allah ingin
membuat batas bagi keperkasaan manusia. Niat berperang itu harus didasarkan
kepada fî sabîlillâh, bukan karena keperkasaan, penguasaan, penindasan,
dan hal lainnya, karena tidak ada peperangan yang didasarkan kepada kekuasaan,
harta atau jaminan pasar. Perang hanya dilakukan atas dasar untuk mengangkat
ajaran Allah “لإعلاء كلمة الله” dan menegakkan agama
Allah “نصرة دين الله” dan ini maksud dan tujuan adanya
perang dalam ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Al-syekh Muhammad Muatawalli al-Sya’râwi; Imâm
al-‘Asr.
·
Sa’îd Abu al-‘Ainain, Al-Sya’râwi Alladzî lâ
Na’rifuh, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1995)
·
Ahmad ‘Umar Hasyim, al-Imam al- Sya’râwi
Mufassiran wa dâ’iyah, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1998),
·
Al-Farmâwî, al-Bidâyah fî
al-Tafsîr al-Maudu’î, (Kairo: t.p., cet.II, 1977)
·
Ali Hasan al-‘Aridh, Tarîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (t.t.: Dâr al-I’tishâm, t.th.)
·
Al-Sya’râwî, Tafsir al-Sya’râwî, vol. IV.
·
Muhammad Siddîq al-Minsyâwî, Al-Syaikh al-
Sya’râwi wa Hadîts al-Dzikrayât, (t.t.: t.p.,t.th.
·
Sa’îd Abu al-‘Ainain, Al-Sya’râwi Alladzî lâ
Na’rifuh.
·
Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Al-syekh Muhammad Muatawalli al-Sya’râwi; Imâm
al-‘Asr, (al-Qahirah: Handat Misr, 1990)
·
Al- Sya’râwî, Min Faidl al-Rahman fi
Tarbiyyah al-Insân, (kairo: Raj al-Yusuf, 1981),
·
al-Sya’râwi, Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm,
(Kairo: Dâr Mayu al-Wathaniyyah, cet.I, vol. I, 1982)
[1]
Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Al-syekh Muhammad Muatawalli al-Sya’râwi; Imâm al-‘Asr,
(al-Qahirah: Handat Misr, 1990), 30-34.
[2]
Ahmad ‘Umar Hasyim, al-Imam al- Sya’râwi Mufassiran wa dâ’iyah, (Kairo:
Akhbar al-Yaum, 1998), 24
[7]
Muhammad Siddîq al-Minsyâwî, Al-Syaikh al- Sya’râwi wa Hadîts
al-Dzikrayât, (t.t.: t.p.,t.th), 8
[8]
Muhammad Siddîq al-Minsyâwî, Al-Syaikh al- Sya’râwi wa Hadîts
al-Dzikrayât, 8
[12]
Buku ini diberi buku pengantar oleh Muhammad Abu Thâlîb Syâhîn. Dalam pengantarnya ia
menyatakan bahwa buku Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm tidak ditulis
dengan gaya bahasa pidato dan dan gaya bahasa tulisan ilmiah, melainkan ditulis
dengan gaya bahasa ceramah untuk menunjukkan bahwa buku ini dipeeuntukkan bagi
semua kalangan dan bukan kalangan tertentu agar kemanfaatannya lebih besar.
Lihat al-Sya’râwi, Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm, (Kairo: Dâr Mayu
al-Wathaniyyah, cet.I, vol. I, 1982), 18
[17] Ali Hasan al-‘Aridh, Tarîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij
al-Mufassirîn, (t.t.: Dâr al-I’tishâm,
t.th.), 47
[19]
Al-Sya’râwî, Tafsir al-Sya’râwî, vol. XVII, 11036
[20]
Al-Sya’râwî, Tafsir al-Sya’râwî, vol.1, 254
[22]
Al-Sya’râwî, Tafsir al-Sya’râwî, vol.I, 820
Tidak ada komentar:
Posting Komentar