FILSAFAT ILMU
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi
A. Pendahuluan
Filsafat ilmu merupakan dua kata yang sangat erat
hubungannya, baik secara subtansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak
terlepas dari filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan
filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran Yunani dan umat
manusia dari pandangan mitosentris menjadi logo sentris. Pada mulanya bangsa
Yunani dan bangsa lain beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi
oleh para dewa. Untuk itu para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti
kemudian disembah. Dengan filsafat pola fikir yang bergantung pada dewa menjadi
pola fikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam seperti gerhana mata hari
tidak dianggap lagi sebagai dewa tertidur melainkan mata hari, bulan dan bumi
berada pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian
permukaan bumi.
Perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris
membawa implikasi yang tidak sedikit, jika enggan mengatakan besar. Alam yang
selama ini ditakuti kemudian ditakutibahkan dieksploitasi. Perubahan yang
mendasar ditemukannya hukum-hukum alam dan teori ilmiyah yang menjelaskan
perubahan yang terjadi, baik di alam jagat raya (makrokosmos) maupun alam
manusia (mikrokosmos). Dari penelitian jagat raya bermunculan ilmu astronomi,
kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainnya, sedangkan dari penelitian manusia
muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, penulis hanya ingin berkata “kiprah
filsafat sangat jelas dapat merubah kehidupan manusia dari Yunani samapai
kehidupan manusia sekarang”. Secara umum filsafat yunani dan filsafat moderen
tidak ada perbedaanya, yang membedakan hanya pada penekanannya
(konsentrasinya). Filsafat yunani konsentrasi lebih pada ontologi (hakikat),
sementara filsafat moderan lebih konsentrasi pada epistemologi (bagaimana), dan
filsafat ilslam lebih pada aksiologi (hakikat nilai).
B. Definisi Filsafat Ilmu
Untuk mengetahui definisi filsafat ilmu, akan
lebih jelas dan gamlang jika diuraikan satu persatu, yaitu filsafat dan ilmu.
Secara sederhana filsafat dapat diartikan berfikir secara mendalam, radikal dan
universal, tidak dibatasi oleh agama atau komnitas lainnya. Setiap kegiatan
yang dilakukan oleh manusia, yaitu berfikir secara mendalam dan menyeluruh
dapat dikatakan filsafat. Seorang anak berfikir inti kebenaran yang dapat
diterima oleh setiap golongan, atau seorang anak berfikir tentang hakikat meja,
kursi dan yang lainnya, dapat juga diartikan filsafat, karena hal itu merupakan
kegitan fikir.
Jika filsafat diartikan seperti tersebut yang
penulis paparkan di atas. Maka pertanyaanya apa yang dimaksud dengan ilmu?
Berbicara ilmu akan lebih jelas jika dibicarakan pengetahuan, karena ilmu pada
dasarnya adalah kumpulan pengetahuan. Pengetahuan berasal dari kata tahu,
sungguhpun seseorang mengetahui sesuatu tidak secara keseluruhan hal tersebut
dapat dikatakan pengetahuan, karena sudah mengetahui. Hal ini tentu sangatlah
berbeda dengan ilmu, karena ilmu merupakan gabungan dari pengetahuan. Ilmu
merupakan pengetahuan yang tersusun secara rasional dan sistimatis dari mulai A
sampai Z. Seseorang yang mengetahu apa itu meja, bagaimana cara membuatnya, dan
untuk apa kegunaanya, maka orang tersebut sudah dapat pendapatkan ilmu, bukan
hanya sekedar pengetahuan meja. Dari beberapa definisi filsafat dan ilmu,
penulis dapat berkata, filsafat ilmu adala kajian ilmusecara mendalam, rasional
dan sistimatis.
Berbicara filsafat, baik filsafat barat,
filsafat timur, filsafat umum, filsafat ilmu, filsafat islam, dan filsafat
pendidikan semuanya berbicara tidak jauh dari tiga hal; pertama ontologi
(hakikat), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (nilai). Untuk itu pada
bahasan filsafat ilmu ini penulis akan mengangkat tiga hal tersebut, dengan
bahasan yang mudah dicerna oleh semua lapisan masyarakat.
C. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan
penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Filsafat yang menekankan pada
ontologi adalah filsafat Yunani yang merupakan filsafat yang paling tua. Tokoh-tokoh
filsafat yang lahir pada masa Yunani pasti selalu berbicara ontolgi, yakni
mengkaji hakikat keberadaan sesuatu. Thales misalnya, seorang tokoh filsafat
Yunani yang merenungkan apa hakikat air, yang berakhir dengan anggapan bahwa
air merupakan inti dari segala sesuatu.
Dalam proses ontologi orang menghadapi persoalan bagaimana
kita dapat menerangkan hakikat dari segala yang ada, baik berupa materi
(dhahir), maupun berupa rohani (kejiwaan). Objek ontologi lebih luas, yaitu
menyangkut segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah keadaan inti dari
segala sesuatu, dan ini merupakan realitas. Hakikat dapat dikatakan pula
keadaan sebenarnya bukan keadaan sementara, yang sifatnya berubah-ubah.
Ahmad Tafsir dalam salah satu karyanya, yaitu Filsafat
Umum menjelaskan tentang hakikat demokrasi dan fatamorgana. Menurutnya, demokrasi
adalah menghargai pendapat rakyat, sekalipun dalam kenyataanya pemerintah terkadang
melakukan tindakan yang nampaknya sewenang-wenang, itu hanya keadaan sementara
bukan keadaan hakiki, yang hakiki keadaan pemerintah justru sebaliknya yaitu demokrasi.
Begitu juga dengan fatamorgana yang nampak kelihatan oleh mata padahal
sebenarnya tidak ada, itu bukanlah hakikat atau keadaan yang sebenarnya.
Ontologi dalam filsafat ilmu sebagai dasar untuk menjawab
“apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosopy dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi juga dapat dikatakan teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan.
D. Epistemologi
Epistemolog merupakan teori tentang “bagaimana”
mendapatkan ilmu atau pengetahuan. Epistemologi juga dapat dikatakan metode
untuk mendapatkan ilmu atau pengetahuan. Dari sini lahirlah berbagai teori
tentang cara mendapatkan pengetahuan. Amsal Bakhtiar misalnya, seorang dosen
filsafat Islam di Universitas Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dalam
salah satu karyanya yaitu “Filsafat Ilmu” menjelaskan tentang cara manusia
mendapatkan pengetahuan, penjelasan ini sejalan dengan komentar yang diutarakan
oleh Jujun Suriasumantri pada sebuah bukunya, yaitu “Filsafat Ilmu”. Menurutnya
cara manusia mendapatkan pengetahuan terdiri dari; metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontenplatif, metode dialektis.
Metode induktif adalah sebuah metode yang menyimpulkan
pertanyaan-pertanyaan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pertanyaan yang
lebih umum. Yang menggunakan metode ini biasanya digunakan oleh ilmu empiris. Misalnya,
seseorang yang mengatakan bahwa setiap besi jika dipanaskan akan memuai, hal
ini tidak perlu dilakukan memanaskan setiap besi yang ada di bumi ini,
melainkan hanya memanaskan sebuah paku, karena semua besi baik paku atau yang
lainnya memiliki sifat yang sama.
Metode deduktif adalah sebuah metode yang menyimpulkan
sesuatu yang kecil berangkat dari sesuatu yang besar. Hal-hal yang harus ada
pada metode ini ialah perbandingan logis antara kesimpulan itu sendiri. Contoh setiap
monyet binatang, tidak semua bintang monyet, kesimpulannya monyet merupakan
bagian dari binatang, sebab banyak binatang selain moyet.
Metode positivisme, sebuah metode yang dikeluarkan oleh
August Comte (17998-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Ia menyimpulkan segala uraian/persoalan di luar
yang ada sebagai fakta, oleh karena itu ia menolak metafisika. Ahmad Tafsir
dalam bukunya, yaitu “Filsafat Umum” mengatakan, bahwa metode ini tidak
hanya mengandalkan panca indera, karena itu pengetahuan yang didapat dari panca
indera harus dipertajam dengan ukuran-ukuran (eksperimen). Misalnya panas
diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan
kiloan, dan sebagainnya. Dengan demikian metode bukan berdiri sendiri melainkan
gabungan dari empirisme dan rasionalisme.
Metode kontenplatif, sebuah metode yang mengatakan bahwa
indera terbatas dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan
pun berbeda-beda. Ringkasnya metode ini berawal ketidak percayaan terhadap
panca indera. Meruntnya panca indera tidak selamnya berkata benar. Mislanya gunung
yang terlihat dari kejauhan warnyanya biru, padahal dalam kenyataanya tidak
seperti itu. Begitu juga dengan lidah yang dapat merasakan gula manis, akan
berubah pahit tatkala manusia sakit.
Metode seperti ini dapat dikatakan dalam mendaptkan
kebenaran mengandalkan intuisi, dan metode ini populer di dunia sufi, seperti
yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Ulama ini dalam mendapatkan kebenaran yang
hakiki dengan cara kontenplatif (riadhah).
Metode dialektis, pada awalnya dikatakan metode tanya
jawab untuk mendapatkan kejernihan filsafat. Metode ini juga pernah diutarakan
oleh Socrates. Namun belakang dikomentari oleh Plato bahwa metode ini merupakan
diskusi logika. Metode dialtis pada tahapan logika melahirkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
E. Aksiologi
Aksiologi merupakan teori tentang nilai,
sehingga pertanyaan yang dapatdiajukan “untuk apa”. Setelah manusia mengetahui
apa, dan bangai mana lantas untuk apa. Pada filsafat islam teori ini yang lebih
dikedepankan.
Dengan ilmu manusia mendapatkan berbagai
kemudahan, pertanyaan untuk apa ilmu itu didapat, atau untuk apa kemudahan itu
digunakan. Di sinilah ilmu harus diletakan secara proporsional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Jika tidak tidak berpihak pada nilai-nilai,
maka yang terjadi bencana dan malapetaka.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 2004
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2004
Suriasumantri
S, Jujun, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
1 komentar:
Pa. Permisi, saya sedot
Posting Komentar