TAFSI<R FI< Z{ILA<L AL-QUR'A<N
SAYYID QUT{UB IBRA<HIM H{USAYN SHA<DHI<LI<
Oleh: LUKMANUL HAKIM NIM:10.2.00.0.05.01.0124
A.
Pendahuluan
Tafsir Sayyid Qut}ub, Fi> Z{ila>l al-Qur'a>n, merupakan sebuah buku tafsir kontemporer yang unik. Ia menduduki
posisi yang pokok di mata kaum muslimin, isinya yang mendalam dengan kandungan h}ujjah yang kuat, serta bahasa yang menyentuh hati.
Dilihat dari segi historis, pada permulaan keempat belas Hijriyyah adanya perkembangan-perkembangan besar dalam berbagai bidang:
politik, sosial, pemikiran, ekonomi, keagamaan. Sebagian golongan menyerukan
kepada materialisme barat itu sendiri untuk meminjam darinya metode-metode
pembaharuan serta berupaya untuk mengimplementasikannya pada umatnya, sebagian
yang lain menyerukan kepada akidah dan agama umat itu sendiri, lalu menyeru
kepada kebangkitan baru atas dasar Islam serta memasukkan al-Qura>n dalam peperangan melawan ja>hiliyyah dengan menjelaskan bahwa al-Qura>n mempunyai fungsi fundamental dan vital serta fungsi 'amaliyyah dan h}arakiyyah dalam memimpin umat Islam, serta dalam menjelaskan rambu-rambu
jalannya dalam kehidupan.[1]
Atensi para ulama dan dai pun sangat besar terhadap al-Qura>n dengan mengkajinya dan menafsirkannya, serta menjelaskan
kandungan-kandungannya yang berupa berbagai metode dan sistem serta
prinsip-prinsip dan perundang-undangan dalam pembinaan umat menuju reformasi
dan juga menyeru mereka agar dapat menerimanya dan berpegang dengannya serta mengimplementasikan
bimbingan-bimbingannya dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan individual maupun
kolektif. Atas dasar atensi para mufassir pada zaman ini, lahirlah berbagai
corak tafsir al-Qura>n yang masing-masing memfokuskan pada satu diantara corak-corak
tafsir yang ada, dan pengarangnya berpegang pada satu metode tersendiri sesuai
dengan aliran yang ia ikuti serta arus yang ia jalani. Diantara
orientasi-orientasi tafsir di zaman modern adalah orientasi salafi, ilmiah,
rasional, sosial, sastra, konsiliatif, spiritual, dan h}araki> (gerakan).[2]
Pada masa ini diwarnai
dengan meletusnya berbagai perang yang menghancurkan; yang terbesar adalah
perang dunia I dan II. Lahirnya berbagai aliran pemikiran dan filsafat,
teori-teori ilmiah, serta berbagai sistem sosial, ekonomi, poltik, dan
spiritual, seperti eksistensialisme dan darwinisme, marxisisme dan
nasionalisme, serta berbagai interpretasi materi, ekonomi dan kebangsaan bagi
kehidupan dan sejarah, merupakan hasil dari kematangan materialisme barat dan
kekuasaannya, serta dominasi nilai-nilai dan sistem-sistemnya. Barat pun
memegang kekuasaan kepemimpinan atas umat manusia, yang dapat mengiring umat
manusia ke jurang ja>hiliyyah.[3]
Mesir yang merupakan pusat kebudayaan dan pemikiran Islam pada abad
modern ini memiliki fase perkembangan positif maupun negatif berkenaan dengan
masalah politik, ekonomi, kebudayaan dan pemikiran, memberikan pengaruh
terhadap negeri-negeri Islam lain di Timur Tengah. Dalam sejarah, negara-negara
Barat yang maju, seperti perancis dan Inggris bersaing keras untuk dapat menguasai
Mesir. Secara bergantian, Perancis dan Inggris pernah menduduki Mesir. Kontak
Mesir dengan Barat, khususnya dengan Perancis dan Inggris, memberi corak
tersendiri bagi perkembangan sosio politik, ekonomi, agama, dan kultural di
Mesir.[4]
Sering dikatakan bahwa setiap manusia adalah anak zamannya (al-'insa>n
'ibn zama>nih). Seorang
sastrawan, pemikir, pembaharu, politisi dan filosof, masing-masing dari mereka
adalah anak zamannya. Zamannya menurut Hasan Hanafi adalah keseluruhan waktu
dan pengalaman hidupnya.[5]
Hampir seluruh pengkaji tafsir di zaman modern sepakat bahwa tokoh
yang pertama-tama menekuni al-Qura>n dengan menafsirkannya pada
penghujung abad kesembilan belas Masehi adalah syekh Muh}ammad
'abduh. Beliau menjadikan tafsir al-Quran
sebagai sebuah metode. Dari situ beliau memaparkan caranya di dalam melakukan
'is}la>h} serta seruan beliau menuju tajdi>d keagamaan dan sosial kemudian diikuti oleh para mufassir
setelahnya yang mana tafsir-tafsir mereka dipengaruhi oleh aliran Muh}ammad
'abduh dalam hal tafsir, sekalipun
tentunya pengaruhnya berbeda-beda. Diantaranya ada yang berjalan mengikuti
metode Muh}ammad 'abduh dalam tafsir, seperti pada juz-juz pertama al-Mana>r , diantaranya ada yang keterpengaruhannya terlihat jelas seperti al-Mara>ghi> , dan diantaranya ada yang lebih sedikit keterpengaruhannya
seperti dalam 'awd}ah} at-Tafsi>r. Berbagai komentar dan kedudukan siapa sebenarnya Muh}ammad
'abduh terdapat penilaian yang
berbeda-beda di mata kalangan orang-orang yang mengkajinya. Tafsir-tafsir pada
zaman tersebut tidak lebih dari sebuah tafsir teoritis mengenai al-Qur'a>n yang penulisnya bertujuan mendidik muslim kontemporer dan
memberinya bekal pengetahuan teoritis dengan gaya modern.
Oleh karna itu, masih tetap dibutuhkan penulisan tafsi>r
al-Qur'a>n kontemporer
lain yang dapat melengkapi kekurangan yang dialami oleh para mufassir kontemporer, serta tetap memelihara catatan-catatan sebelumnya
atas tafsir-tafsir kontemporer mereka. Hingga pada dekade 60-an (1960) lahirlah sebuah tafsir (Fi> Z{ila>l al-Qura>n), yang mengenalkan fungsi al-Qura>n yang bersifat gerak dan aktif ( h}arakiyyah
dan 'amaliyyah), menjawab permohonan umat serta memenuhi kebutuhan pada zamannya,
yang memasukkan al-Qura>n ke dalam peperangan yang ada antara Islam dan ja>hiliyyah, mengimplemantasikan nash-nashnya yang hidup atas realitas
kontemporer serta memberikan makna-maknanya yang esensial. Sebuah tafsir yang
bertujuan untuk mendidik orang muslim secara nyata dan bukan sekadar pemaparan
pengetahuan teoritis. Bahkan penulisnya ikut menyelami pertempuran nyata dengan
jahiliyah, dan ia hidup sebagai pelaksanaan riil dari nash-nashnya, serta hidup
secara nyata di bawah naungannya,
berusaha masuk ke dalam dunia al-Qura>n yang luas tanpa dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan pemikiran
yang mendahuluinya. Akan tetapi, ia meminta dari al-Qura>n agar membentuk pemikirannya, membangun pemikiran dan metode
untuknya, mencatat inspirasi-inspirasi al-Qura>n, menyimpulkan petunjuk-petunjuknya, menampilkan prinsip-prinsip
dan nilai-nilainya, serta menjelaskan fungsinya yang vital, bersifat gerak
serta mengandung kemukjizatan.
Untuk itu sebelum mengkaji
lebih jauh pemikiran Sayyid Qut}ub penulis terlebih dahulu mengemukakan biografi singkat penulisnya,
latar belakang sosio-politik, ekonomi dan kultural yang melingkupinya kemudian
diikuti dengan pendeskripsian Sayyid Qut}ub dalam menafsirkan al-Qura>n berdasarkan analisa penulis, dengan harapan pembaca merasa jelas
atas tulisan yang penulis sajikan.
B.
Pembahasan
i.
Biografi Singkat Sayyid Qut}ub 'Ibra>hi>m Sha>dhi>li>
Sayyid
Qut}ub terlahir di desa Mausyah wilayah
propinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir, pada tanggal 9 Oktober tahun 1906. Ia tidak meninggalkan tempat
kelahirannya itu sampai ia menginjak remaja. Adapun tentang negeri asal Sayyid
Qut}ub para penulis berbeda pendapat.
Sebagian penulis menyebutkan Sayyid Qut}ub berasal dari Mesir, sebagian yang lain Qut}ub berasal dari India.[6]
Dari kedua pendapat diatas, pendapat kedua dianggap lebih kuat
berdasarkan dua alasan. Pertama, secara fisik raut muka keluarga Sayyid
Qut}ub tidak seperti raut orang Mesir pada umumnya, tetapi mirip raut muka
orang India. Kedua, didasarkan pengakuan Sayyid Qut}ub sendiri kepada 'abu> al-h}asan 'ali> al-Nadwi> ketika mereka berkunjung ke India. Seraya Qut}ub berkata kepada 'abu> al- h}asan 'ali> al- Nadwi>, "Keinginan saya berkunjung ke India merupakan keinginan yang
fitri. Karena, kakekku yang keenam, al-Faqi>r 'abdullah,
berasal dari sana.[7]
Sayyid
Qut}ub tumbuh dalam lingkungan islami, dan
menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan keluarga beriman, lalu tumbuh
dewasa di tengah saudara-saudara yang terhormat. Sayyid beserta empat saudara
kandunganya; Nafi>sah, 'ami>nah, Muh}ammad, H{ami>dah memiliki hubungan yang terjalin sangat baik. Sayyid juga masih mempunyai
dua saudara kandung lainnya; Pertama, yang lahir sebelum Muhammad, akan tetapi
meninggal sebelum usia dua tahun. Kedua, lebih tua dari Aminah akan tetapi
meninggal ketika masih kecil.[8]
Ayahnya, Haji Ibrahim adalah seorang mukmin yang bertakwa, yang begitu
bersemangat untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama dengan semangat berharap
keridhaan Allah. Digambarkan bahwa ayahnya selalu menunaikan shalat lima waktu
secara berjamaah di Masjid, Sayyid kecil pun selalu diajak menemani ayahnya
pergi ke Masjid. Haji Ibrahim juga dikenal sebagai yang sangat dermawan banyak
membantu orang-orang miskin di desanya, memiliki status sosial yang tinggi di
wilayahnya dan juga dikenal sebagai tokoh dan aktivis partai Nasional (al-H{izb
al-Wat}ani>).[9]
Sang ayah wafat ketika sang putranya; Sayyid sedang melanjutkan studinya di
Kairo.
Sebagaimana ayahnya, Ibu Qut}ub juga dikenal taat beragama, meskipun memiliki latar belakang yang
berbeda dengan ayahnya, Ibu Qut}ub berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Dapat dibuktikan dari
warisan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya serta tingkat pendidikan
saudara-saudaranya . Salah seorang dari mereka "Ahmad Husain Utsman" adalah seorang dosen dan wartawan, alumni Universitas
al- Azhar, cukup memberi pengaruh kepada Sayyid ketika mereka tinggal bersama
di Kairo. Ibu Qut}ub
sangat bersemangat untuk melakukan kebaikan, memiliki kegemaran membaca
al-Quran dan mendengarkan bacaan al-Qura>n. Ia pun membantu suaminya dalam mendidik anak-anak dengan
pendidikan yang islami seraya menanamkan dalam benak hati anak-anaknya
nilai-nilai agama dan prinsip-prinsipnya. Dijelaskan, Sayyid kecil pun selalu
dibimbingnya membaca dan menghafal al-Qura>n. Sang bunda wafat pada tahun 1940 M.[10]
ii.
Pendidikan Sayyid Qut{ub
Sayyid menempuh pendidikan dasar di Desanya. Pada tahun 1912 ketika menginjak usia enam tahun, Haji Ibrahim
memasukkan Qut}ub ke
sekolah Negeri dan menyelesaikan pendidikan dasarnya pada
tahun 1918 tepat berusia dua belas tahun. Di desanya itu pula Qut}ub pun menamatkan hafalan al-Qurannya dalam usia sepuluh tahun. Dia
menghafalkan al-Qura>n dalam waktu kurang dari tiga tahun. Al-Qura>n yang telah dihafalnya dalam usia belia mempunyai pengaruh yang
besar dalam mengembangkan kemampuan sastra dan seninya dalam usia yang masih
muda.[11]
Selesai dari sekolah ini, Qut}ub tetap tinggal di desanya selama dua tahun. Ia tidak langsung
melanjutkan studinya ke Kairo, lantaran terjadi gejolak poltik di Mesir ketika
itu dan Qut}ub pun
terbilang masih sangat muda.
Setelah terjadinya revolusi rakyat Mesir melawan pendudukan
Inggris, pada tahun 1921 Qut}ub berangkat dari desanya menuju Kairo. Pada waktu itu, usia Qut}ub telah mencapai empat belas tahun. Di Kairo Qut}ub tinggal di rumah pamannya dari pihak ibu yang bernama Ahmad Husain
Utsman. Melalui pamannya inilah Qut}ub mulai berkenalan dengan 'Abba>s Mah}mu>d al-'Aqqad,
seorang sastrawan dan intelektual Mesir yang sangat berpengaruh. Melalui
al-Aqqad ini pula Sayyid dapat berkenalan dengan partai Wafd kemudian menjadi
aktifis dalam partai tersebut.[12]
Sebagai seorang partisan yang giat di partainya, Qut}ub pun diberi kesempatan dalam mempraktikan kemampuan-kemampuannya
dalam bidang sastra, pemikiran, politik, dan sosial. Di situ Sayyid mulai
menulis sajak-sajak, esai-esai sastra, analisis-analisis politik, serta
paham-paham keseniannya. Melalui mimbar-mimbar koran Qut}ub melancarkan berbagai perang sastra dan kritiknya. Awal hubungannya
dengan koran ini adalah pada tahun 1921. Sedangkan artikel yang pertama-tama
diterbitkan adalah seputar metode pengajaran
( t}uru>q ad-tadri>s) di koran al-Bala>gh, sebuah harian milik partai Wafd. Hingga pada tahun 1942 beliau
melepaskan diri dari partai Wafd dikarenakan partai ini berkhianat demi
kepentingan Inggris, lalu bergabung dengan partai Sa'diyyi>n selama dua tahun lamanya kemudian keluar darinya dan sejak itu Qut}ub meninggalkan partai-partai politik secara total.[13]
Pada tahun 1925, Qut}ub masuk sekolah guru (Madrasah Mu'allimi>n). Ia belajar di sekolah ini selama tiga tahun. Lulus dari sekolah
guru, Qut}ub tidak langsung
mengajar, tetapi melanjutkan studi di Universitas Da>r
al-'Ulu>m. Di sini, ia
masuk kelas persiapan selama dua tahun. Setelah menempuh kelas persiapan.
Tepatnya pada tahun 1930, Qut}ub mulai kuliah dan menyelesaikan studinya di Universitas ini pada
tahun 1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma dalam
bidang tarbiyah.[14]
Ia diangkat sebagai guru Departemen Pendidikan di madrasah Ad-Dawudiyah, lalu
pindah ke madrasah Dimyath tahun 1935, Halwan tahun 1936, dan tahun 1940 ke Departemen
Pendidikan sebagai pengawas pendidikan dasar. Ia kembali ke Manajemen Umum
Pengetahuan di Departemen yang sama tahun 1945. Pada tahun itu juga, ia menulis
buku Islam pertama yaitu at-Tasawwuru al-Fanni al-Qura>n dan mulai menjauhkan diri dari sekolah sastra al-Aqqad.[15]
Selama menjadi mahasiswa di Da>r al-'Ulu>m, Qut}ub
aktif dalam kegiatan sastra, politik, dan pemikiran yang nyata. Qut}ub mengkoordinasi sebuah simposium kritik sastra, memimpin perang
kesusastraan, serta memilih sejumlah teman mudanya yang menjadi sastrawan,
menerbitkan sajak-sajak maupun esai-esai di berbagai koran dan majalah, serta
menyampaikan ceramah-ceramah kritisnya di mimbar fakultas. Melihat keaktifan
dan semangat Qut}ub,
para dosen pun menampilkan Qut}ub dalam seminar-seminar dan ceramah-ceramah, lalu Qut}ub pun memberikan representasinya yang berisi pendapat-pendapatnya
mengenai metodologi pengajaran ke kantor fakultas, serta proposal-proposalnya
untuk kebangkitan pengajaran ke taraf yang dikehendaki oleh Qut}ub.[16]
Beberapa tahun setelah lulus dari Da>r
al-'Ulu>m, Qut}ub mulai bekerja di kementerian pendidikan dan kebudayaan Mesir.
Mula-mula ia bekerja sebagai guru, lalu penyidik, dan terakhir sebagai
Inspektur Jendral Kebudayaan. Di kementerian ini, ia bekerja selama delapan
tahun, dari tahun 1940 sampai dengan 1948.
Pada tahun 1948, ketika menjabat sebagai inspektur jendral kebudayaan, Qut}ub ditugaskan ke Amerika untuk menganalisa kurikulum pendidikan Barat
dan sistem metodologinya. Ia menetap di
Amerika selama dua tahun. Pada tahun 1950, ia meninggalkan Amerika. Dalam
perjalanan pulangnya dari Amerika menuju Mesir, ia menyempatkan diri untuk
berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia. Barulah pada tahun 1951 ia tiba
kembali di Kairo, Mesir. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan permohonan
pengunduran diri dari lembaga yang dulu menugaskan Qut}ub belajar di Amerika, untuk kemudian mencurahkan seluruh waktunya
untuk dakwah dan harakah serta untuk studi dan mengarang melalui media massa
dalam masalah-masalah sosial dan politik. Selanjutnya secara resmi bergabung
dengan 'Ikhwa>n al-Muslimi>n.[17]
Pengiriman Qut}ub ke
Amerika dilatarbelakangi oleh banyak pengamat, karena penguasa pada waktu itu
merasa resah dengan tulisan-tulisan Qut}ub yang sangat tajam dan kritis menyerang berbagai kebijakan
pemerintah di majalah al-Fikr al-Jadi>d yang diasuh oleh al-Minyawi. Di Amerika, Qut}ub belajar di beberapa perguruan tinggi. Diantaranya, menurut John L.
Esposito, ia pernah belajar di Wilson's Teachers' College, kini University of
the District of Colombia. Ia juga belajar di University of Nothern Coloradus'
teachers college. Di Universitas ini, ia mendapat gelar master of Art dalam
bidang pendidikan. Terakhir, ia belajar di Stanford University.[18]
John L. Esposito menyebutkan; kegelisahan Qut}ub akan realitas kehidupan di Amerika yang diwarnai atas rasialisme,
kebebasan seksual, dan sikap pro-zionisme Amerika, itu sebagai titik balik yang
penting dalam kehidupan Qut}ub dalam pembentukan semangat dan pemikirannya atas komitmen
keislaman sehingga keimanan dan kereligiusan beliau semakin tinggi dan kuat
dalam berpegang kepada Islam.
Diantara karya-karya ilmiah terpenting Sayyid
Qut}ub adalah sebagai berikut; Fi>
Z{ila>l al-Qura>n, Ha>dha>
al-Di>n, al-Mustaqbal
li Ha>dha> al-Di>n, Khas}a>'is}u al-Tas}awwuri> al-Isla>mi>, Ma'a>lim al-T{ari>q, at-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qura>n, Musha>hadah al- Qiya>mah fi> al-Qura>n, al-Isla>m wa Mushkilah al- H{ad}a>rah, al-'Ada>lah al-'Ijtima>'iyyah fi> al-Isla>m, as-Sala>m al-'A<lami> wa al-Isla>m, Kutub wa Shakhs}iyya>t, Aswa>q, an-Naqd al-'Adabi> 'Us}u>luhu wa Mana>hijuhu, Nah}wa^ Mujtama' al- Isla>mi>, T{iflun min al-Qaryah, al-'At}ya>f al-'Arba'ah, Muhimmatu as- Sha>'ir fi> al-H{aya>h, Ma'rakah al-Isla>m wa al-Ra'sama>liyyah, Tafsi>r S{u>rah as Shu>ra^, Dira>satu al-Isla>miyyah, Ma'rakatuna> ma'a al-Yahu>d, Fi> al-Ta>ri>kh Fikrah wa Minhaj, Lima>dha> 'Adamuni>.
iii.
Kondisi sosial politik ekonomi
Sejak akhir abad sembilan belas sampai awal pertengahan abad dua
puluh Mesir berada di bawah pemerintahan Khudewi dan raja-raja bersekutu dengan
orang-orang asing turki. Perancis dan Inggris ikut campur tangan urusan dalam
negeri, dengan perlakuan mereka yang busuk dan ikatan idea yang muluk. Sebagai
akibatnya berkali-kali timbul pemberontakan nasional yang menuntut sistem
demokrasi untuk mewujudkan keadilan, persamaan, dan pembebasan dari penjajah.
Pemberontakan pertama kali muncul dipimpin 'Ah}mad
'Arabi> pada tahun
1881, di masa pemerintahan Khudewi belangsung sampai akhir 1882. Pemberontakan
tersebut berakhir dengan penuh kekacauan disebabkan ikut campur tangan Inggris
secara langsung dalam upaya
penumpasannya setelah menggempur Iskandariah dengan tank-tank mereka dari arah
laut tahun 1882, dan berhasil mamasuki Kairo pada tanggal 13 September 1882.
Saat itu Mesir di bawah pendudukan Inggris. Langkah pertama kali yang dilakukan
Inggris adalah menghilangakan fungsi kehidupan parlemen dan membentuk kembali
tentara Mesir di bawah penguasaan panglima-panglima mereka, serta mengangkat
para penasehat dari pihak mereka untuk menduduki berbagai kementrian.
Pada masa Khudewi Abbas Hilmi yang menggantikan Khudewi Taufik
tahun 1892, timbul partai al-H{{izbu al-Wat}ani> yang dipimpin oleh Mus}t}afa^ Ka>mil tahun 1907. Partai ini menyebarkan semangat nasionalis dan
persatuan seluruh rakyat sehingga dengan satu komando mengusir Inggris dari
Mesir. Namun, ini tidak berarti Inggris telah hengkang dari bumi Mesir. Inggris
mengubah siasat dengan mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki
konstitusional yang berparlemen, berpemilu, dan berpartai politik.
Mus}t}afa^
Ka>mil meninggal
tahun 1908, akan tetapi gerakan nasional terus berlanjut karena pada tahun 1907
telah terbentuk tiga partai nasional dengan tujuan yang sama; al-H{{izbu al-Wat}ani dipimpin oleh Abdul Kholik Tsarut, H{izbu
al-'Ummah dipimpin oleh
Syaih Hasan Abdur Razik, H{izbu al-'Is}la>h dipimpin oleh Syaih Ali Yusuf.
Pada akhir tahun 1909 rakyat menuduh Inggris menyuruh membunuh
Petrus Gholi Pasya seorang mentri di kementrian Said Zaglul untuk menimbulkan
perpecahan antara umat Islam dan Kristen, yang menyebabkan Saad Zaglul dipecat
tahun 1912.[19]
Setelah pecah perang dunia 1 tahun 1914, Inggris memecat Khudewi
Abbas 2 karena memihak Turki dan Jerman melawan sekutu dan mengangkat Husain
Kamil sebagai gantinya, dengan demikian Inggris berhasil memutuskan hubungan
antara Mesir dan Turki. Hali itu menimbulkan kemarahan rakyat. Pada tahun 1917 Fuad bin Ismail naik tahta, dan Saad Zaglul
bersama para pendukungnya seperti Abdul Aziz Fahmi, Ali Sya'rawi, dan Mushafa
Abdur Raziq minta izin pergi ke Eropa untuk menyampaikan permasalahan negeri
Mesir dan menuntut agar dibebaskan dari kekuasaan negara-negara Eropa. Tapi
Inggris menolak, maka Saad Zaglul mengumpulkan pembesar-pembesar Mesir untuk
menentukan delegasi yang menuntut kemerdekaan. Akhirnya Saad ditangkap bersama
kawan-kawannya dan dibuang ke Malthon.
Rakyat mengadakan pemberontakan dikarenakan pemecatan dan
pembuangannya. Penguasa Mesir, yang pada waktu itu dipimpin Husain Rusydi,
bersifat lunak terhadap rakyat, sehingga timbul pemberontakan tahun 1919,
menyebabkan Inggris bersama sekutu meninggalkan Mesir.
Pada tahun 1920 Saad mulai merundingkan kemerdekaan dengan Inggris
dan berakhir dengan pengasingannya untuk yang kedua kalinya bersama Mus}t}afa^ an-Nuh}a>s dan lainnya tahun 1921. Kemarahan rakyat Mesir meledak dan para
pejuang Mesir mengadakan tipuan terhadap tentara Inggris. Kekacauan dalam negeri
berlangsung selama lima belas bulan di seluruh penjuru negeri, yaitu selama
Saad berada dalam pengasingan. Menghadapi badai protes nasionalis, Inggris
terpaksa membuat pernyataan sepihak tentang kemerdekaan Mesir pada tahun 1922.
Pada tahun 1923 Inggris memperkenankan terbentuknya kehidupan
parlemen, maka partai yang dipimpin oleh Saad Zaglul memperoleh wakil terbanyak
dalam parlemen. Ini kesemuaannya adalah siasat dari Inggris agar tetap
menancapkan kekuasaanya di Mesir. Saad Zaglul menyusun kementrian dalam
parlemen, tapi kelompok nasionalis ekstrimis memandang bahwa, kekuasaan aktif
masih ada di tangan Inggris, sehingga mereka mengambil posisi sebagai oposisi
kekuasaan Saad, dan sebagian mereka mengadakan tipuan terhadap tentara Mesir
tahun1924, dengan mengaku sebagai pimpinan umum Inggris. Saad terpaksa
meletakkan jabatan, dan memihak kaum nasionalis ekstrimis yang menuntut
pernyataan Inggris. Mereka menolak adanya perubahan parlemen dan menuntut
partai Wafd agar tetap ada di bawah pengawasan dan kekuasaan para pendukungnya.
Untuk menghadapi perselisihan yang timbul, maka para pemimpin
seperti: Saad yang memimpin al-Wafd, Adly Yakan yang memimpin al-'Ah}ra>r ad-Dustu>riyyu>n, dan Abdul Khalik Tsarut yang memimpin al-H{izb
al-Wat}ani> bersama-sama
menyusun kekuatan untuk mengusir Inggris dan Mesir. Saad meninggal pada tahun
1927, lalu digantikan oleh Mus}t}afa^ an-Nuh}a>s, kemudian meletakkan jabatannya di kala gagal memenuhi tuntutan
pengusiran Inggris dari Mesir.
Pada tahun 1930, Nuhas Pasya 2 menjadi perdana menteri untuk yang
kedua kalinya dan pergi ke London merundingkan kemerdekaan dengan pemerintah
Inggris, akan tetapi gagal. Partai al-Wafd bersama seluruh partai lainnya
menetapkan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris dengan kekuatan hingga
terjadilah pertumpahan darah diantara tentara mereka. Akhirnya dengan adanya
peristiwa ini munculah pemberontakan di seluruh pelosok negeri.[20]
Banyaknya partai-partai politik yang bermunculan sejak awal abad
ini dengan platform yang berbeda-beda atas dasar kemerdekaan ekonomi dan
politik Mesir. Adapun diantara partai-partai tersebut ; partai Nasional 1907 (al-H{izb
al-Wat}ani>) dipimpin oleh
Mus}t}afa^
Ka>mil dan Muh}ammad
Fari>d. Pada tahun
itu juga lahir partai Ummat (al-H{izb al-'Ummah) dipimpin Mah}mu>d Sulayma>n dan Lut}fi> Sayyid. Lalu, pada 1918, Saad Zaglul mendirikan partai Wafd. Tahun
1920, Ismail Shidqi mendirikan partai rakyat (H{izb
al-Sha'ab) yang
dimaksudkan untuk mendukung status quo.[21]
Lalu pada tahun 1928, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwan al-Muslimin, sebuah
perkumpulan yang semula bergerak dalm bidang dakwah dan pendidikan perlahan
berperan sebagai partai politik. Perjuangan politik yang dilakukan
partai-partai ini kurang berjalan sebagaimana diharapkan. Hal ini, dikarenakan
masih kuatnya peran Inggris dalam politik dan dominasi kepentingan asing dalam
ekonomi Mesir.
Selanjutnya terus berlangsung usaha pembebasan Mesir dari Inggris
yang dilakukan oleh aliran keagamaan, partai-partai Islam, Dewan revolusi. Hingga
puncaknya pada revolusi Juli 1952 yang dimotori oleh sekelompok perwira bebas
di bawah pimpinan Jendral Naji>b dan Ja>mil 'Abd al-Nas}i>r.[22]
Pasca revolusi, partai-partai politik Mesir mendapat tantangan
baru. Pada awal 1953, dewan revolusi mengeluarkan keputusan yang membekukan
semua partai politik, termasuk Ikhwan al-Muslimin. Bahkan, di bawah
pemerintahan Nashir, Sayyid Qut}ub dengan Ikhwan al-musliminnya mendapat tekanan berat. Dapat
disimpulkan bahwa iklim politik pada saat itu berpengaruh besar terhadap sikap Qut}ub, karakter dan pikiran-pikirannya yang cenderung radikal dan
revolusioner. Iklim politik pada saat itu dilingkupi oleh dua hal; Pertama,
dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing itu. Kedua, despotisme
dan kezhaliman dari penguasa Mesir itu sendiri.
Begitupun dengan adanya modernisme yang diperkenalkan oleh Napoleon
dan disosialisasikan oleh Muhammad Ali pada awal abad 19 di Mesir menimbulkan
perubahan-perubahan dalam strata sosial masyarakat Mesir. Tokoh lainnya yang
menyerukan kepada modernisme ialah Thahthawi, Jamil al-Din al-Afgani dan Abduh,
secara perlahan-lahan mempengaruhi lahirnya kelas menengah baru Mesir yang
terdiri dari dosen, pengacara, wartawan, insinyur, dan perwira muda. Mereka
mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan nasionalisme dan pembebasan Mesir
dari kekuatan-kekuatan asing. Bahkan pemimpin dan penggerak revolusi yang
terjadi datang dari kelompok ini.
Dilihat dari segi sosial ekonomi, masyarakat Mesir pra-reformasi
terbagi ke dalam tiga strata. Pertama, kelompok tuan tanah (Kibir
al-Malak). Mereka
terdiri dari para penguasa Mesir dan orang-orang yang memiliki tanah dalam
skala yang besar. Kedua, kelompok konglomerat (al-'Aghniya>), terdiri dari para penguasa yang menguasai sektor bisnis,
perdagangan, dan industri Mesir. Ketiga , para petani dan buruh kasar (al-Muza>ri'
wa al-'Ummah) yang
merupakan kelompok terbesar dari rakyat
Mesir ketika itu. Kelompok pertama dan kedua tinggal di Kairo dan hidup mewah.
Anak-anak mereka dapat menikmati pendidikan tinggi di dalam maupun di luar
negeri. Sedang kelompok ketiga tinggal di pedesaan dan sebagian besar masih
buta huruf. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan.[23]
Namun sejak dasawarsa-dasawarsa pertama abad 20, terdapat
perkembangan-perkembangan di Mesir. Mulai dari perbaikan gizi masyarakatnya,
semakin banyaknya petani yang tak punya tanah sehingga hijrah ke kota ,
mengakibatkan pusat-pusat urban meningkat melahirkan perubahan watak suatu
masyarakat yang semakin kompleks.[24]
Seiring perubahan dalam strata sosial masyarakat Mesir pada waktu itu mulailah
terlihat jelas akan dominasi politik, ekonomi, dan budaya Eropa yang menelurkan
sikap dan gaya hidup Barat tanpa memperdulikan keyakinan dan praktik
tradisional Islam. Dalam iklim sosial ekonomi ini, Hasan al-Banna dan Sayyid
Qut}ub termasuk tokoh dan intelektual yang
berada dalam barisan penghapusan pembaratan budaya lokal.
iv.
Corak pemikiran Sayyid Qut}ub
Sebagai seorang pemikir, Sayyid Qut}ub berdialog dengan berbagai pemikiran yang berkembang pada zamanya.
Pemikiran Qut}ub,
seperti disebut Abu Rabi, tidak lahir dari kevakuman sosial dan intelektual,
tetapi merespon berbagai situasi aktual yang melingkupinya. Berikut ini
dijelaskan fase-fase perkembangan pemikiran Sayyid
Qut}ub seperti dikemukakan oleh H{asan
H{anafi>.
a.
Fase Sastra (1930-1950)
Berawal dari sastra, Fase ini berlangsung selama 20 tahun,
merupakan fase paling lama dalam perkembangan pemikiran Sayyid
Qut}ub. Beliau banyak memberikan perhatian
dalam bidang sastra, puisi, cerita, dan
kritik sastra. Puncaknya ketika Ia tertarik
dan kemudian menekuni bidang sastra al-Qura>n. Perhatian dan ketertarikan Ia terhadap al-Qura>n sebagai pengaruh dari
pengalaman masa kecilnya bersama keluarganya, terutama ibundanya dalam
interaksi beliau dengan al-Qura>n.[25]
Ia memulai kehidupannya sebagai penyair, sastrawan, budayawan, Ia
aktif dalam kritik sastra sepanjang tahun 30 dan 40-an. Dengan semangat
kebangsaan (nasionalisme) yang sangat tinggi dalam sastranya, Ia masuk
ke dalam agama. Pada masa ini, pemikiran Sayyid Qut}ub memperlihatkan dirinya sebagai seorang moralis yang menekankan
kesalihan pribadi. Ia banyak mencela kemerosotan moral orang-orang di sekitar
dirinya, berusaha memahami penyebab kemerosotan ini dan mengajak kepada betapa
pentingnya norma akhlak dalam mengarungi kehidupan.
Dalam konteks ini, Qut}ub menilai manusia modern dengan sikapnya yang berlebihan dalam
mengejar kemajuan materiil di satu pihak, dan melupakan kebutuhan spiritualnya
di lain pihak, menjadi orang yang terasing dari dirinya sendiri. Dalam hal ini,
Konsep yang diterapkannya adalah "pembebasan diri". Kemudian, manusia harus kembali kepada fit}rah dengan menerima al-Isla>m, sikap pasrah dan tunduk kepada Allah swt.[26]
b.
Fase sosial kemasyarakatan (1951-1953)
Beberapa karya Sayyid Qut}ub dalam pemikiran ini diantaranya ; al-'Ada>lah al-'Ijtima>'iyya>t fi> al-Isla>m ( keadilan sosial dalam Islam), Ma'rakat
al-Isla>m wa al-Ra'sama>liyyah
(perang Islam dan kapitalisme).
Pemikiran sosialisme Islam Qut}ub dipengaruhi oleh pandangan dasarnya bahwa Islam bukan hanya
religi, tetapi sistem hidup (al-Isla>m Manhaj
al-H{aya>t) yang sempurna
dan komprehensif. Islam bukan agama yang terlepas dari kehidupan manusia, bukan
pula agama yang hanya mangatur hubungan manusia dengan Tuhan semata-mata. Akan
tetapi, Islam adalah agama kehidupan, merupakan sistem hidup (al-Di>n
al-H{aya>ti>) yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia.
Islam dipandang oleh Qut}ub sebagai agama keadilan yang melindungi hak-hak orang-orang lemah
di depan orang-orang kaya. Menurutnya, seperti telah dikemukakan, Islam pada
dasarnya merupakan gerakan pembebasan yang dimulai dari diri sendiri (iman
dalam hati) dan berujung pada sosial (jami>'ah). Pada fase ini, pemikirannya terus berkembang dari nasionalisme
yang sudah keliatan pada fase sebelumnya ke sosialisme Islam, dari pembebasan
diri terus bergerak pada pembebasan masyarakat. Dari sikapnya sebagai moralis
yang menekankan kesalihan individu, perhatian dan pemikiran Qut}ub terus berkembang ke arah kebersihan moral masyarakat atau
kesalihan sosial. Apalagi sekembalinya Qut}ub dari Amerika, tulisannya lebih terang-terangan bernada
kemasyarakatan, bukan semata-mata peringatan atau nasihat moral individual.[27]
Qut}ub sengaja memilih medan keadilan sosial untuk ditulis, serta
menjelaskan metode al-Qura>n di dalam menjelaskan keadilan dan kaidah-kaidah dalam
mewujudkannya, karena Mesir pada waktu itu sedang mengalami fase sosial yang
sulit.
c.
Fase Filsafat (1954-1962)
Menurut H{asan H{anafi>, Qut}ub
dalam pemikiran ini lebih sebagai tuntutan pribadi ketimbang tuntutan sejarah
(sosial). Pemikiran filsafat ini muncul setelah Dewan revolusi mendominasi
politik di Mesir dan melaksanakan sebagian dari tuntutan keadilan sosial.
Pemikiran ini juga timbul setelah terjadi konflik antara Ikhwan dan Dewan
Revolusi. Pada masa ini, kecenderungan sosial dalam pemikiran Qut}ub sedikit melemah dan sedikit demi sedikit mulai tertarik pada
masalah-masalah filosofis (teoritik).
Karya tulisannya dalam pemikiran ini ; al-Mustaqbal dan Nah}wa^ Mujtama' al-Isla>mi>, serta mencapai puncaknya dalam Khas}a>'is} al-Tas}awwur al-Isla>mi>. Di sini Qut}ub
menegaskan bahwa setiap agama, tidak hanya Islam, pada dasarnya adalah sistem
hidup, merupakan suatu konsep yang menjelaskan tentang manusia, kehidupan, dan
dunia, yang darinya lahir tatanan kehidupan manusia (niz}a>m). Sebagai sistem
hidup, Islam menurutnya, merupakan sistem yang mandiri dan mengungguli semua
sistem hidup yang ada, komunisme maupun kapitalisme.
Perpindahan Quthub dari fase kemasyarakatan kepada filsafat (konsep
dan gagasan tentang peradaban) tampaknya tidak lain dipengaruhi oleh keadaan
pribadinya yang terbelenggu dalam penjara dan tidak memiliki kesempatan untuk
terlibat secara langsung dalam politik praktis.[28]
d.
Fase politik (1963-1965)
Pada masa ini, Quthub mulai mengintrodusir gagasan-gagasan besarnya
yang radikal dan revolusioner ; gagasan tentang h}akimiyyah, ja>hiliyyah, dan tajhi>l, perjuangan Islam dan perang suci (jiha>d) serta revolusi Islam (thawrah al-Isla>miyyah). Karyanya yang tampak dalam fase ini, Ma'a>lim
al-T{ari>q dan Fi> Z{ila>l al-Qura>n.
Makna hakimiyyah berarti Allah adalah satu-satunya pihak yang berwenang menetapkan
hukum (shari>'ah) secara mutlak. Tidak ada hak untuk penetapan hukum bagi manusia
selain Allah. Hakimiyyah juga bermakna bahwa manusia harus menerima dan tunduk kepada
hukum-hukum Allah, bukan hukum-hukum dari produk manusia yang tidak dapat terlepas dari
kepentingan pembuatnya. Bagi Qut}ub, hakimiyyah adalah proposisi iman atau kafir, Islam atau jahiliyah.
Dalam pemikirannya, ide hakimiyyah merupakan turunan dari konsep aqidah Islam, yakni tauhid (al-Tawh}i>d) berarti mengesakan Allah dalam ketuhanan ('ulu>hiyyah), penciptaan dan pemeliharaan (rubu>biyyah), kekuasaan (sult}a>n) dan dukungan atau kemandirian (qawwa>mah). Dalam pandangan Qut}ub, ketuhanan Allah ('ulu>hiyyah) bermakna hakimiyyah. Dikatakan bahwa hakimiyyah merupakan salah satu sifat yang paling penting dari 'ulu>hiyyah. Oleh karena itu orang yang membuat undang-undang untuk segolongan
manusia, ia telah menempatkan dirinya pada posisi ketuhanan dan mempergunakan
salah satu sifat yang paling khusus dari ketuhanan itu, yakni hakimiyyah, maka ia telah menjadi Tuhan atau menuhankan diri, sedang
segolongan orang tadi telah menjadi budak atau hambanya, bukan hamba Tuhan.
Konsep hakimiyyah, menurut Qut}ub,
berkaitan dengan ide pembebasan manusia. Dikatakan bahwa manusia tidak dapat
disebut merdeka, kecuali bila ia mampu membebaskan dirinya dari belenggu dan
hukum manusia sesamanya, atau ia sanggup menempatkan dirinya sederajat dengan
manusia lain di hadapan Allah. Namun, menurut Qut}ub, perlu diketahui bahwa sesungguhnya hanya di bawah undang-undang
dan syariat Allah saja, manusia dapat terbebas dari penyembahan manusia atas
manusia yang lain.
Adapun mengenai ja>hiliyyah dan tajhi>l ( memandang
masyarakat sebagai jahiliyah). Menurut Qut}ub, jahiliyah adalah sistem hidup yang bersumber dari penuhanan
manusia terhadap sesama manusia atau penuhanan manusia kepada sesuatu selain
Allah. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa jahiliyah timbul dan
bersumber dari pemikiran dan sikap yang memusuhi kekuasaan Allah di muka bumi,
serta memusuhi salah satu sifat-Nya yang paling khusus, yaitu hakimiyyah. Menurut Qut}ub,
dalam sistem jahiliyah, hakimiyyah yang merupakan hak dan kewenangan mutlak
Tuhan itu diserahkan dan disandarkan kepada manusia.
Dalam pendangannya, jahiliyah berkaitan erat dengan pemikirannya
mengenai hakimiyyah. Jelasnya, bila hakimiyyah dalam suatu masyarakat tidak disandarkan kepada Tuhan, maka
masyarakat itu, menurut Qut}ub disebut jahiliyah. Atas dasar ini, masyarakat Arab pra Islam
disebut jahiliyah. Mereka bukan tidak mengenal Allah, tidak pula menafikan
bahwa segala sesuatu langit dan di bumi adalah milik Allah. Namun mereka tidak
menerima atau menolak konsekwensi (tuntutan) dari pengakuan mereka mengenai
Allah, yaitu keharusan mereka untuk menyandarkan hakimiyyah hanya kepada
Allah semata dalam menetapkan hukum dan mengatur segala sesuatu yang berada di
bawah kuasa-Nya. Karena penolakan ini, mereka tetap diidentifikasi sebagai
jahiliyah, dan atas penolakan yang sama, masyarakat modern harus pula disebut
jahiliyah, jahiliyah modern.[29]
Dengan demikian, dalam pemikiran Qut}ub, jahiliyah bukanlah fase tertentu dalam sejarah kehidupan manusia,
melainkan suatu sistem hidup yang setiap saat dapat timbul baik pada masa lalu,
masa kini, maupun masa datang. al-Quran, kata Qut}ub, banyak membicarakan aneka ragam jahiliyah dalam setiap fase
kehidupan. Al-Qura>n menghadapi keadaan jahiliyah itu dan mengembalikannya ke jalan
yang benar, yaitu jalan Islam. Sebagai suatu sistem hidup, jahiliyah, menurut Qut}ub, berpengaruh dan mengejawantah dalam pemikiran, konsep-konsep,
sikap mental, prilaku, dan realitas kehidupan.
Perlu diketahui, meskipun sering menggunakan term jahiliyah, Qut}ub kelihatannya tidak
bermaksud mengkafirkan umat Islam, seperti kritikan keras dari beberapa
penulis; Silim al-Bahsanawi dan Abu Izzat. Namun menurut Hasan Hudlabi, kata
jahiliyah seperti kata zhalim, sesat, dan dosa yang banyak dipergunakan dalam al-Qura>n, tidak selalu mengandung arti kafir. Ada kalanya pelaku perbuatan
jahiliyah keluar dari Islam, dan ada kalanya tidak. Hal senada diutarakan oleh
Faisal Maulawi, tajhil kepada masyarakat yang dilakukan Sayyid Qut}ub
tidak menggunakan tolak ukur aqidah dan akhlak individu-individu, tetapi
menggunakan tolak ukur sistem hukum (niz}a>m) yang dipergunakan masyarakat terkait. Dikuatkan kembali oleh
perkataan Ilyas Ismail berkenaan dengan tajhil. Menurutnya, tajhi>l memang tidak dimaksudkan untuk mengkafirkan umat Islam, tetapi
untuk mengingatkan rendahnya komitmen mereka kepada ajaran Islam. Qut}ub dalam berdakwah sering dan suka memilih kata-kata keras. Namun ini
hanya sebagai bahasa dakwah, bukan bahasa hukum dan teologi yang dapat
memberikan kemungkinan adanya implikasi takfi>r.
Dari ja>hiliyyah dan tajhi>l, Qut}ub
mngedepankan gagasannya tentang jihad, perang suci. Menurutnya, jihad merupakan
kewajiban agama yang harus ditunaikan. Betapapun beratnya pada akhirnya akan
membawakan kebaikan yang bersifat kolektif, bukan hanya kebaikan yang bersifat
individual. Jihad dimaksudkan untuk menegakkan sistem ajaran Islam dalam
kehidupan manusia, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memaksa manusia
menerima ajaran Islam.[30]
Selanjutnya, tentang gagasan Qut}ub mengenai revolusi Islam (thawrah al-Isla>miyyah). Islam, menurutnya membawa watak revolusioner sejak kelahirannya.
Revolusi mengandung arti perubahan cepat yang bersifat mendasar dan
fundamental, merupakan rekonstruksi sosial dan moral masyarakat. Islam
merupakan revolusi terhadap segala sesuatu yang dipertuhankan manusia, selain
Allah (t}a>ghu>t), baik dalam bentuk kemusyrikan, fanatisme terhadap suku, warna
kulit, dan madzhab agama, maupun t}aghu>t dalam bentuk
kezhaliman dan tiran. Menurut Quthub Islam dalam hal ini memerangi t}aghu>t.[31]
v.
Profil Tafsi>r fi> Z{ila>l al-Qura>n
Dilihat dari metode yang digunakan oleh Sayyid Qut}ub dapat digolongkan ke dalam tafsir tah}li>li. Yakni, menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan
menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat
dalam mushaf.[32]
Dalam analisa penulis, salah satu yang menonjol dalam penafsiran Qutub adalah
mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'a>n.
Adapun corak penafsirannya dapat dikategorikan ke dalam tafsir al-'adabi> al-'ijtima>'iy (tafsir yang berorientasi sosial dan kemasyarakatan), ciri tafsir
yang bercorak al-'adabi al-'ijtima>'iy menurut al-Dhahabi> dalam kitabnya Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n adalah bahwa mufasirnya menitikberatkan penjelasan-penjelasan al-Qura>n pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dan menonjolkan tujuan utama al-Qura>n yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia, lalu mengaitkan
pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
perkembangan dunia.[33]
S{ala>h
al-Khalidi dalam Madkhal
'ila^ Z{ila>l al-Qura>n
mengategorikan tafsir ini sebagai aliran atau paham khusus dalam tafsir, yang
disebut sebagai aliran tafsir pergerakan dan menurut beliau metode pergerakan (al-Manhaj
al-H}araki>)-atau metode
realistis yang serius-tidak ada pada selain fi> Z{ila>l
al-Qura>n. Hal ini dapat
dilihat dengan jelas dengan banyaknya penafsiran al-Qura>n dalam Z{ila>l al-Qura>n yang menyinggung masalah pergerakan, tarbiyah dan dakwah.
Sayyid
Qut}ub menafsirkan surat-surat dalam al-Qura>n dengan susunan yang sistematis, sistematika tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a)
Pengenalan dan pengantar terhadap isi surat
Sebelum masuk pada penafsiran surat, Qut}ub memaparkan pengantar dan pengenalan terhadap isi surat, beliau
memberikan ilustrasi kepada pembaca mengenai surat yang akan dibahas secara
global, menyeluruh dan singkat. Di sini Qut}ub menerangkan Makkiyyah atau Madaniyahkah surat bersangkutan, menjelaskan obyek pokok
surat, suasana ketika diturunkan, kondisi umum umat Islam saat itu yang
dikaitkan dengan kondisi umat masa kini, maksud dan tujuan surat, karakternya
yang independent dan metode penjelasan materinya.
b)
Pembagian surat panjang menjadi beberapa maqati'
(penggalan-penggalan surat)
Setelah memaparkan pengantar dan pengenalan surat, ayat-ayat yang
akan ditafsirkan dikelompokkan menjadi beberapa bagian secara tematik, yang
beliau sebut dengan maqa>t}i'u al-su>rah. Misalnya dalam surat al-Baqarah Qut}ub membaginya menjadi enam maqati' ; maqtu' pertama mulai ayat 1-29, maqtu' kedua dari ayat
30-39, maqtu' ketiga dari ayat 40-74, maqtu' kelima dari ayat 104-123, maqtu'
keenam dari ayat 124-141 dan seterusnya.
c)
Penafsiran ayat-perayat
Pada penafsiran ayat-perayat Qut}ub mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan al-Qura>n dan hidup dalam suasana nash al-Qura>n serta mengambil pesan-pesan pokok yang terkandung dalam nash
tersebut, menurut S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} tujuan pokok al-Qura>n menurut Qut}ub
adalah amal pergerakan yang dinamis. Sebab turunnya al-Qura>n adalah bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim yang
istiqomah, membentuk jama>'ah Islam dan masyarakat muslim serta menghimpun kekuatan memerangi
jahiliyah.
Prinsip-prinsip dasar Sayyid
Qut}ub dalam penafsirannya diantaranya; Tidak
menceritakan panjang lebar terhadap kisah-kisah dalam al-Qura>n, Tidak memperluas masalah khila>fiyyah fiqhiyyah,
oleh sebab itu Qut}ub
hanya menyebutkan hukum fiqh dengan
ungkapan yang sangat ringkas, Tidak mentakwil ayat-ayat mutasha>biha>t, Tidak tenggelam dalam pembicaraan tentang kepastian ayat-ayat
mubham, Tidak tertarik dengan dialektika mutakallimu>n, Tidak menerangkan nash al-Qura>n dengan tafsir ilmi, Tidak membahas rinci kajian bahasa, Mengaitkan
nash-nash al-Qura>n dengan realita kontemporer, Menjadikan nash al-Qura>n dalam bentuk umum sesuai dengan kandungan arti dan petunjuk nash
tersebut tanpa mengkhusukan pada makna tertentu.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qura>n, Qut}ub
juga sering menyebutkan asbabun nuzul, yang digunakan untuk menggambarkan
nuansa umum ketika turunnya nash. Juga dalam menafsirkan al-Qura>n kadangkala menggunakan tafsir bil matsur, baik tafsir ayat dengan
ayat, tafsir ayat dengan hadis nabi, tafsir ayat dengan perkataan sahabat.
Sesungguhnya metode Qut}ub merupakan metode yang mencoba mamasuki alam al-quran tanpa
berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai
kekayaan al-Qura>n serta banyaknya makna dan inspirasinya. Terbagi menjadi dua tahap:
Pertama, Qut}ub hanya mengambil dari al-Qura>n saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan , referensi, dan
sumber-sumber lain. Kedua. Sifatnya sekunder serta penyempurnaan bagi
tahap pertama, yang digunakan Qut}ub untuk melengkapi kekurangan yang ada pada tahap pertama, atau
meluruskan kekeliruannya, atau mengemukakan pendapat-pendapat, atau mengutip
beberapa pemikiran. Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara
mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terhadap kitab-kitab tafsir untuk
mengetahui 'asba>bu al-nuzu>l, atau menjelaskan satu masalah fiqih atau mengambil bukti dengan
hadits atau riwayat yang s}ah}i>h} tentang penafsiran ayat.[34]
vi.
Sumber-Sumber Z{ila>l
Sumber-sumber Sayyid Qut}ub bermacam-macam; diantaranya berupa sumber-sumber keislaman, dengan
segala cabangnya yang berupa tafsir, sirah, hadits dan fiqh dan sumber-sumber
dari Barat dalam bentuk terjemahan dalam berbagai bidang; ilmu alam, ilmu
astronomi, ilmu jiwa, dan ilmu sosial.
Yang juga termasuk dalam
kategori sumber ini adalah para guru yang dijadikan sumber oleh Qut}ub dan mereka yang pemikiran dan pendapat-pendapatnya membentuk Qut}ub dalam sebagian persoalan,
khususnya dalam bidang aqidah dan pergerakan.
Perlu diketahui, sumber-sumber dalam tafsir Qut}ub tidaklah mendasar atau primer, akan tetapi sifatnya sekunder.
Sumber primer Qut}ub
adalah al-Qura>n, yang mana merupakan rujukan fundamental dan referensi langsung
setelah hidup cukup lama di bawah naungan al-Qura>n. Adapun metode Qut}ub di dalam mengambil inspirasi al-Qura>n adalah seperti yang dikemukakannya sendiri. "Metode kami di
dalam mengambil inspirasi al-Qura>n adalah bahwa kami tidak menghadapinya berdasarkan
ketentuan-ketentuan sebelumnya secara mutlak; entah ketentuan akal maupun
perasaan, dari berbagai ampas pengetahuan yang tidak pernah kami ambil dari al-Qura>n itu sendiri, yang kami gunakan untuk menghukumi nash-nashnya, atau
mengambil inspirasi makna-makna nash-nash ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebelumnya."[35]
Sayyid
Qut}ub tidak keluar dari riwayat-riwayat
yang shahih mengenai tafsi>r bi al-ma'thu>r. Oleh karena itu beliau merujuk kepada kitab-kitab tafsi>r
bi al- ma'thu>r. Adapun kitab-kitab tafsi>r bi al-ma'thu>r yang dijadikan sandaran oleh Qut}ub, atau yang dikutip diantaranya: Tafsi>r
al-Qura>n al-'Az}i>m,
karangan Abul-Fida, Ja>mi al-Baya>n 'an Ta'wi>l Ay al-Qura>n, karangan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsi>r
al-Tha'labi>, Tafsi>r
al-Baghawi>, Al-Du>r
al-Manthu>r, karangan
as-Suyuthi, Ah}ka>m Al-Qura>n, karangan al-Jasshash, Tafsi>r al-Qurt}ubi>, 'Ah}ka>m al-Qura>n, karangan Ibnu al-'Arabi, Al-Kashsha>f, karangan Az-Zamakhsyari, Tafsi>r
juz 'amma, karangan
Muhammad Abduh, Ru>h} al-Ma'a>ni>, karangan al-Alusi, Tafsi>r al-Mana>r, karangan Muhammad Rasyid Ridha, Al-Tafsi>r
al-H{adi>th, karangan
Muhammad Izzah Daruzah.
vii.
Contoh penafsiran Sayyid Qutub pada surat al-Baqarah: 208-209.
(Dakwah Untuk Kebenaran Komitmen Terhadap Islam dan Kewaspadaan
dari Setan)
Pada pembahasan ayat-ayat ini, dijelaskan di dalam tafsi>r
fi> Z{ilal al-Qur'a>n,
gambaran contoh nifa>q
yang jahat dan iman yang bersih. Ayat ini berupa seruan kepada kaum Muslimin
dengan sifat iman, supaya masuk ke dalam kedamaian dengan keseluruhan jiwa
mereka dan supaya berwaspada agar tidak mengikuti jejak setan serta
mengingatkan mereka dari tergelincir setelah mereka mendapat penerangan yang
jelas.
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُواْ ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كاَفَةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُواَتِ
الشَّيْطَانِ اِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْن{البقرة: 208}
Maksud pertama dari seruan ini ialah supaya orang-orang mu'min
menyerahkan seluruh jiwa raga mereka kepada Allah dan menyerahkan segala urusan
mereka, baik yang kecil maupun besar kepada Allah tanpa meninggalkan sesuatu di
dalam diri mereka berupa pikiran atau perasaan, niat atau tindakan, kesukaan
atau ketakutan yang tidak tunduk kepada Allah dan tidak ridha dengan ketetapan
dan keputusanNya. Mereka hendaklah memberi ketaatan dan kepatuhan kepada Allah
dengan penuh keyakinan dan kerelaan. Mereka hendaklah menyerah diri mereka
kepada kudrat ilahi yang memimpin langkah-langkah mereka dengan keyakinan bahwa
Allah menginginkan mereka mendapat kebaikan, pengajaran dan petunjuk, dan
dengan keyakinan bahwa mereka sedang menuju ke jalan dan kesudahan yang baik di
dunia dan akhirat.
Apabila seorang Muslim menyambut dakwah itu, ia memasuki sebuah
alam yang seluruhnya diselubungi kedamaian dan keamanan, sebuah alam yang
seluruhnya dipenuhi kepercayaan dan keyakinan, kerelaan dan ketentraman, di
mana tidak terdapat lagi kegelisahan dan kecemasan, kedurhakaan dan kesesatan,
yaitu kedamaian dengan jiwa dan hati nurani sendiri, kedamaian dengan akal dan
logik, kedamaian dengan manusia dan mahluk-mahluk yang hidup, kedamaian dengan
seluruh alam dan seluruh yang maujud, kedamaian dan keimanan yang menerangi
liku-liku hati nurani, kedamaian dan keamanan yang memayungi kehidupan dan
masyarakat, kedamaian dan keamanan di bumi dan langit. Kesan pertama yang
dilimpahkan oleh kedamaian ini di dalam hati ialah kesahihan kepahaman dan
kepercayaannya kepada Allah, juga kejelasan dan kemudahan kepahaman dan
kepercayaan itu sendiri bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa dan setiap muslim hanya
bertawajuh kepadaNya dengan hati yang teguh dan yakin.[36]
Setelah Allah menyeru orang-orang yang beriman supaya masuk ke
dalam kedamaian dengan keseluruhan jiwa mereka, maka al-Qur'an mengingatkan
mereka supaya jangan mengikut langkah-langkah setan, menurut penafsiran Qutub pada
ayat ini hanya terdapat dua haluan saja; masuk ke dalam kedamaian dengan
keseluruhan jiwa atau mengikut jejak-jejak setan, memilih hidayah atau memilih
kesesatan, mengikut Islam atau mengikut jahiliyah, menuju jalan Allah atau
menuju jalan setan, memilih petunjuk Allah atau memilih penyesatan setan.
Menurut Qutub barang siapa yang tidak masuk ke dalam kedamaian
dengan seluruh jiwanya dan tidak menyerahkan dirinya semata-mata kepada
kepemimpinan Allah dan syariatNya, dan siapa yang tidak membuang segala
kepercayaan selain Allah, segala sistem hidup yang lain dari segala
undang-undang yang lain, maka berarti dia berada di jalan setan dan berjalan
mengikuti jejak-jejak setan. Permusuhan setan yang ketat terhadap manusia
amatlah jelas terhadap seseorang yang lalai dan kelalaian tidak wujud bersama
iman.
Kemudian ayat yang berikut ini mengingatkan kepada mereka akibat
kegelinciran setelah mendapat penerangan yang jelas.
فَاِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ
البَيِّناَتُ فاَعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ {البقرة: 209} Dalam ayat ini, bahwa Allah Maha Perkasa mengisyaratkan kekuatan
dan kudrat kuasa Allah dan menyarankan bahwa mereka akan terdedah kepada
tindakan kepada tindakan kudrat Allah apabila mereka menyalahi perintahNya.
Sementara peringatan yang menyebut bahwa Allah Maha Bijaksana menyarankan bahwa
apa yang dipilih oleh Allah untuk mereka itulah yang paling baik dan sesuatau yang
dilarang Allah itulah yang paling tidak baik, di samping menyarankan bahwa
mereka akan menghadapi kerugian jika mereka tidak mematuhi perintahNya dan
menjauhi laranganNya.[37]
C.
Penutup
Seperti yang telah kita ketahui bersama, tafsi>r
fi> Z{ila>l al-Qur'a>n
merupakan tafsir kontemporer yang ditulis oleh
al-Shahid Sayyid Qut}ub dengan bersandarkan dengan kajian-kajian beliau yang mendalam,
yang ditimba secara langsung dari al-Qur'a>n dan al-Sunnah,
disamping bersumberkan kepada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar. Qutub memasuki ke dalam penulisan tafsir ini setelah melengkapkan
dirinya dengan pengalaman-pengalaman dan kajian-kajian yang kaya di bidang
penulisan, keguruan, pendidikan, dan pengamatannya yang luas dan tajam dalam
perkembangan-perkembangan sosial-politik-ekonomi dunia semasanya. Qutub telah
menghabiskan lebih dari separuh usianya dalam pembacaan dan penelaahan yang
mendalam terhadap hasil-hasil intelektual manusia di dalam berbagai bidang
pengajian dan teori-teori maupun berbagai aliran pemikiran dan kajian
agama-agama lain.
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi berkata dalam bukunya pengantar
memahami tafsi>r fi> Z{ila>l al-Qur'a>n, bahwa Sayyid Qut}ub dianggap mujaddid di dalam dunia tafsir, karena beliau telah
menambahkan berbagai pengertian dan pikiran haraki, dan berbagai pandangan
tarbiyah yang melebihi tafsir-tafsir yang lalu, juga dianggap sebagai penggagas
pengkajian baru dalam ilmu tafsir, di mana Qutub telah memperkenalkan aliran
tafsir haraki.
Meski demikian, menurut penulis bahwa hasil pikiran manusia adalah
relatif dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Di sisi lain, kita juga
tidak menutup mata terhadap adanya manfaat dan fungsi serta sumbangan pemikiran
khususnya dalam khazanah keislaman dalam penafsiran al-Qur'an. Karena pada
dasarnya seorang mujtahid apabila berijtihad jika benar mendapatkan dua pahala
dan jika salah baginya satu pahala. Wallahu 'alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011).
Albert Hourani, Arabic Thought in the liberal Age
1798-1939, (London: Cambridge University Press, 1983).
'Ali> ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r Fi> Z{ilal
al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub
al-'Iliktru>niyyah: Maktabah Shamela).
Aunur Rofiq, Konsep Universalisme al-Qura>n Menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta: Tesis, 2005).
Hasan Hanafi, al-Di>n
wa al-thawrah fi> Mis}r 1952-1981; al-h}arakah al-diniyya>t al-Mu'as}s}ira>t, (Maktabah Madbuli, 1988).
Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid
Qut}ub Rekonstruksi
Pemikiran Dakwah Harakah,
(Jakarta: Penamadani, 2006).
John L. Esposito, The oxford encyclopedia of The Modern Islamaic
World, (New York & Oxford: Oxford University, 1995).
Muh}ammad
H{usen al-Dhahabi>, al-Tafsi>r
wa al-Mufassiru>n,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), jilid ke
2.
Philip K. Hitti, History of The Arab, (London: The Macmillan
Presss, 1970).
S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r
Fi> Z{ila>l al-Qura>n,
(Solo: Era Intermedia, 2001).
[1] S{ala>h 'abdu al-Fata>h
al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001),
75-77.
[2] S{ala>h 'abdu al-Fata>h
al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n (Solo, 2001),
78.
[3] S{ala>h 'abdu al-Fata>h
al-Kha>lidi>, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n (Solo, 2001),
76.
[5] Hasan Hanafi, al-Di>n wa al-Thawrah fi>
Mis}r 1952-1981: al-h}arakah
al-Diniyyah al-Mu'as}s}irah, (Maktabah Madbuli, 1988), 167.
[8] S{ala>h
Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al- Qura>n, (Solo, 2001),
24-26.
[9] Albert Hourani, Arabic Thought in the liberal Age
1798-1939, (London: Cambridge University Press, 1983), 200-211.
[13] S{ala>h}
'Abdu al-Fata>h al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001),
31.
[15] Aunur Rofiq, Tesis:
Konsep Universalisme al-Qura>n menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta,
2005), 22.
[16] S{ala>h}
'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l
al-Qura>n, (Solo, 2001), 28.
[18] John L.
Esposito, The oxford encyclopedia of The Modern Islamaic World, (New
York & Oxford: Oxford University, 1995).
[20] Aunur Rofiq, Tesis:
Konsep Universalisme al-Qura>n menurut Sayyid Qut}ub dalam Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Jakarta,
2005), 32-35.
[23] A Ilyas
Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub, ( Jakarta, 2006), 56-57.
[25] Hasan Hanafi, al-Di>n wa al thawrah
fi> Mis}r 1952-1981; al-h}arakah al-diniyya>t al-Mu'as}s}ira>t, 182.
[32] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 219.
[33] Muh}ammad H{usen al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), jilid ke 2, 401.
[34] S{ala>h} 'Abdu al-Fata>h}
al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001),
176.
[35] S{ala>h}
'Abdu al-Fata>h} al-Kha>lidi, Pengantar Memahami Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qura>n, (Solo, 2001),
171-173.
[36] 'Ali>
ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r
Fi> Z{ilal al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub al-'Iliktru>niyyah: Maktabah
Shamela), 435-436.
[37] 'Ali>
ibn Na>yif al-Shah}ud, Tafsi>r
Fi> Z{ilal al-Qur'a>n Sayyid Qut}ub (al-Kutub al-'Iliktru>niyyah: Maktabah
Shamela), 442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar