AL-TA{HRI<R WA AL-TANWI<R MIN
TAFSI<R
LI ‘ALLA<MAH AL-IMA<M AL-SHEIKH
T{AHIR IBN ‘A<SYU<R
A. Pendahuluan
Tafsir
merupakan salah satu ilmu yang mencoba untuk mengenal lebih dekat firman Allah
Swt. yaitu al-Quran al-Karim dengan cara mempelajari dan memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan yang mengikuti
kemajuan zaman, bergitu pula perkembangan ilmu tafsir dengan corak dan latar
belakang pendidikan para mufassir yang beragam, sehingga muncul pula corak
penafsiran yang berbeda-beda seperti tafsir maud}u<>’i, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir
‘ilmi, tafsir adab al-ijtima>'i dan lain-lain[1].
Belakang ini muncul model penafsiran baru yang dikenal
dengan tafsir 'ilmi. Secara sederhana dapat dipahami bahwa tafsir 'ilmi adalah
sebuah tafsir yang dalam proses penafsirannya melibatkan teori-teori ilmu
pengetahuan, baik dari segi hakikat maupun teori-teorinya bertujuan untuk
menjelaskan makna yang terkandung dalam lafaz}-lafaz} al-Quran. Ilmu pengetahuan yang seiring dilibatkan
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran itu seperti fisika, astronomi, geologi,
kimia, biologi yang menyangkut pembahasan hewan, ilmu medis, anatomi,
fisiologi, ilmu matematika dan lainnya. Sedangkan yang menyangkut pembahasan
humanis dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lainya.
Muhammad al-T}ahi>r Ibn ‘Asyu>r merupakan mufassir kontemporer dengan kitab tafsirnya
yang berjudul "al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r min Tafsi>r"
atau yang lebih dikenal dengan nama tafsi>r Tah}ri>r wa Tanwi>r[2]. Dalam kitab tafsir ini, Ibn 'A<<<<syu>r mendukung kehadiran corak tafsir 'ilmi, yang dalam
tafsirnya banyak memberikan keterangan mengenai teori-teori ilmiah kontemporer
serta melibatkan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan pemahaman suatu ayat sehingga memudahkan
dalam memahami isi kandungan ayat. Hal itu dapat dilihat dalam menafsirkan
suatu ayat al-Quran Ibn 'A<<syu>r banyak melibatkan ilmu pengetahuan yang berfungsi
untuk menjelaskan pemahaman suatu ayat, sehingga lebih dapat dihayati oleh
manusia, terutama para ilmuan.
Dari
sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran al-Quran, tafsri Tah}ri>r wa Tanwi>r karya
Ibn 'A<syu>r ini
termasuk dalam daftar tafsir terkemuka. Menariknya dari tafsi>r tah}ri>r wa tanwi>r karya Ibn 'A<syu>r ini memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode penyusunan yang tidak
mengkhususkan satu jilid untuk satu juz saja melainkan secara acak, terkadang
memuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya. Tafsir yang dijelaskan
secara detail dan dengan bahasa yang mudah dipahami dapat memberikan kemudahan
bagi para pembaca dalam memahami suatu ayat yang tidak dapat dipahami dengan
pengertian saja, melainkan dengan pemahaman yang ada dapat mempermudah dalam
mengamalkan suatu ayat. Sehingga dapat mempermudah pembaca dalam mengambil pelajaran
baik dalam bidang akidah, ibadah, mu'amalah, maupun akhlaq.
B. Biografi Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r
1). Nasab dan
Kelahiran
'Allamah
al-Imam al-Syaikh Muhammad T}ahir Ibn 'A<<<<syu>r nama lengkapnya adalah Muhammad T{ahir (T{ahir II) bin Muhammad bin Muhammad T{ahir (T}ahir I) bin Muhammad bin Muhammad Shazili bin 'Abd
al-Qadir bin Muhammad bin 'A<syu>r[3]. Ibn 'Asyu>r lahir di D{ahiyatu al-Marsa Tunis[4] pada
Jumadi al-U<<<>la tahun 1296 H atau September 1878[5]/ 1879[6] M dan
wafat pada Ahad 13 Rahab tahun 1393 H atau 12 Agustus 1973 M kurang lebih
ketika beliau berumur 95 tahun[7] dan
dimakamkan di للزلاج))
kota al-Marsa Tunis. Beliau berasal dari keluarga terhormat dari sebuah suku
bernama 'A<>syu>riyah di kawasan Andalusia, suku ini masih menggunakan
budaya nomaden. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin 'Asyu>r pindah ke سلا)) di Maroko pada tahun 1030 H
atau 1620 M, kemudian mendatangi Tunisia dan menetap disana pada tahun 1060 H
atau 1650 M.
Keluarga
'A<syu>r dikenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir.
Kakek Ibn 'Asyu>r
yaitu Muhammad T}ahir
(T{ahir I) bin Muhammad
Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai
ketua qad}i di Tunisia.
Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi mufti di negaranya[8]. Ayahnya
Muhammad bin Muhammad T{ahir
(T{ahir I) adalah
pemimpin jam'iyyatu al-Awqaf, Ibunya bernama Fatimah, putri dari perdana
menteri Muhammad al-Azi>z
bu'atu>r. Ibn 'Asyu>r menikah dengan Fatimah binti Muhammad bin Mustafa
Muhsin seorang Kapten Pengawas di Tunis, dari hasil perkawinan itu ia mempunyai
tiga orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pertama, Muhammad al-Fad{il menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Azi>z Jait, Kedua, Abd al-Malik menikah dengan Rad}iya binti al-H{abib al-Juli, Ketiga, Zain al-Abidin menikah dengan
Fatimah binti Salih ad-Di>n
bin Munsif Bey, Keempat, Ummu Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bas}ir bin al-Khuja, dan Kelima, Safiya menikah dengan
Syazili al-Asram[9].
2). Perjalanan
Menuntut Ilmu, Guru-guru dan Murid-muridnya
Ibn
'A<syu>r sejak kecil sudah dipelihara oleh kakeknya yang
merupakan salah seorang Shaikh di Bu'atu>r. Kakeknya ini sangat sayang dan perhatian kepadanya.
Dari kakeknya inilah Ibn 'A<syu>r memperoleh berbagai disiplin ilmu agama, seperti hadis
dan balaghah. Diantara karya dalam bidang ini yang dipelajarinya adalah kitab
karya al-Bukhari dan kitab Miftah karya al-Sakakiy. Selain itu, kakeknya
juga mengajarkan berbagai buku sastra, kata-kata hikmah, dan ilmu badi' seperti
buku sastra karya al-Bahtariy. Ia di didik dan dibesarkan dalam lingkungan
kondusif bagi seorang yang cinta ilmu, ketika berumur kurang lebih enam tahun
ia mulai belajar di mesjid Sayyidi al-Mujawwar, disana Ibn 'Asyu>r memulai mempelajari dan menghafal al-Quran baik
tajwid, maupun qiraat kepada Shaikh Muhammad al-Khiyari, layaknya anak-anak
yang berada dilingkungannya. Ia juga mempelajari kitab Sharh} al-Shaikh Khalid al-Azhari 'ala al-Jurumiyah, selain itu ia juga dianjurkan untuk menghafal
kumpulan matan-matan ilmiah seperti matan ilmiah Ibn 'Ashi>r yaitu al-Risa>lah dan
al-Qat}ar[10].
Setelah hafal al-Quran, pada tahun 1303 H atau 1886 M
ia melanjutkan pendidikan di Jami' Zaitunah[11]
dengan mempelajari imu nahwu, saraf, balaghah, mantiq, tafsir, qiraat, hadis,
mustalah hadis, ilmu kalam, usul fiqih, fiqh, fara'idl, dan bahasa perancis sampai
ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Setelah menuntut ilmu di Jami' Zaitunah
selama enam tahun, Ibn 'A<syu>r kemudian menjadi salah satu shaikh yang mengajar di sana. Selain itu,
dia juga ikut andil dalam peradilan, pemberi fatwa dan lainnya. Ibn 'Asyu>r memiliki keinginan yang kuat untuk mentelaah
buku-buku induk dan koleksi ilmu pengetahuan. Karena itulah ia selalu
menyibukkan dirinya untuk melakukan penelitian terhadap beragam isu-isu ilmiah
baik yang bersifat bahasa maupun shar'iyyah dan mengajarkannya hingga ia memperoleh
sertifikat lokalisasi (Shahadah al-Tat}wi) pada
tahun 1317 H atau 1899 M[12].
Setelah memperoleh sertifikat lokalisasi ia kembali untuk
menghadiri pelajaran dari shaikh Muhammad al-Nakhli pada tahun 1318 H atau 1900
M, serta dari shaikh al-Ima>m Salim Buha>jib ia memperoleh ilmu sastra dan literaturnya dan
memperoleh gelar sarjana pada 25 Ramadhan 1323 H. Selain itu, Ibn 'A<syu>r dalam menuntut ilmu, juga sering mendapat ijazah dari
pada gurunya. Pemberian ijazah itu masih menjadi tradisi pada waktu itu, diantara
ulama-ulama yang memberikan ijazah kepada Ibn 'A<syu>r adalah Shaikh Muhammad al-'Azi>z Bu'atu>r, Shaikh Mahmud bin al-Khaujah dan Amru bin al-'Asyu>r.
Ibn
'Asyu>r mengadakan perjalanan ke kawasan Mediterania Timur
dan Eropa dan ikut berpartisipasi dalam beberapa forum muslim, seperti menjadi
utusan dalam forum bahasa arab di Kairo tahun 1956 M dan forum ilmiah arab di
Damaskus tahun 1955 M. diantara guru yang mengajar beliau adalah ayahnya
sendiri yaitu Shaikh Muhammad bin 'Asyu>r, selain itu Shaikh Ibrahim al-Riya>hi, Shaikh Muhammad bin al-Khaujah, Shaikh 'A<>shu>r al-Sahili, Shaikh Muhammad al-Khad}ar, Shaikh 'Abd al-Qadir al-Tamimi (bidang ilmu al-Nahwu
dengan menggunakan kitab Muqadimah al-I'ra>b,
ilmu balaghah yang membahas kitab Mukhtas}ar al-Su'ud, ilmu mantiq dengan membahas kitab al-Tahdhib, ilmu Usul
al-Fiqh dengan mempelajari kitab al-Hisab 'ala al-Waraqah dan Fiqh
Maliki dengan membahas kitab Muyarah 'ala al-Mursyid dan kitab Kifayah al-T{alib 'ala al-Risa>lah. Shaikh
Muhammad Salih
Syarif (bidang ilmu Nahwu dalam kitab al-Makwidi 'ala al-Khulas}ah, ilmu Mantiq
dalam kitab al-Sulam, ilmu maqas}id dalam
kitab Mukhtas}ar al-Su'ud dan fiqh dalam kitab al-Tawhidi 'ala al-Tuh}fah), Shaikh Amru bin 'A<syu>r (bidang ilmu nahwu dalam kitab Ta'liq al-Dima>maini 'ala al-Mughni karya Ibn Hisyam, ilmu balaghah kitab mukhtashar
al-Su'ud, fiqh dan ilmu fara'idl), Shaikh Muhammad al-Najr (mempelajari
kitab al-Muwaqif, must}alah al-Hadis dalam kitab al-Baiquniyah), Shaikh Muhammad T}ahir Ja'far (bidang usul fiqh dalam kitab al-Sharah
al-Mahalli 'ala Jam'i al-Jawami', sirah nabawiyah dalam kitab al-Shihab
al-Khafaji 'ala al-Shifa karya Qad}i 'iyad}), Shaikh Muhammad al-'Arabi al-Dur'i (bidang ilmu
fiqh dalam kitab Kifa>yah al-T}alib 'ala al-Risa>lah) dan lainya.
Para
gurunya telah menyaksikan kecerdasan dan kejeniusannya, serta kemampuannya
dalam menguasai berbagi disiplin ilmu yang disampaikan. Selain itu Ibn 'Asyu>r memiliki keistimewaan diantara teman-temannya dengan
mempelajari bahasa perancis dengan bantuan guru pribadinya Sayyid Ahmad bin
Wannas al-Mahmudi. Adapun diantara murid-murid Ibn 'Asyu>r adalah Shaikh Abd al-Hamid (yang mempelajari tentang
sastra, bahasa arab, dan lain-lain), Muhammad al-Fad}il bin 'Asyu>r (yang mempelajari kitab tafsir al-Baid}awi, al-Muwatta' dan lain-lain)[13].
Zaitunah
merupakan sebuah tempat dimana Ibn 'Asyu>r mengenyam pendidikan adalah sebuah masjid yang di dalam
pelajaran sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafilisasi[14]
kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang menganut mazhab hanafi, sangat
disayangkan pendidikan di Zaitunah yang akhirnya ditutup tahun 1961 M. Ibn 'Asyu>r dikenal sebagi orang yang memiliki kesabaran dan
harga diri yang tinggi, tahan terhadap segala cobaan yang menerapkan serta
tidak cinta dunia.
Ibn
'Asyu>r menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya
sebagai pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi pengajar tingkat kedua bagi
mazhab Maliki di Jami' Zaitunah, kemudian pada tahun 1905 beliau diangkat
menjadi pengajar tingkat pertama. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di
perguruan S}adiqi. Pada tahun 1908
ia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di mesjid Zaitunah, kemudian
pada tahun berikutnya ia menjadi anggota
dewan pengelola perguruan S}adiqi College[15]. Pada tahun 1913 ia juga diangkat menjadi hakim mazhab
Maliki dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di
Negara itu pada tahun 1927[16]. Ibn
'Asyu>r adalah seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan
ahli sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah di
Mesir pada tahun 1950 dan anggota Majma' al-Ilmi al-A<rabi di Damaskus pada tahun 1955[17].
Beliau
hidup sezaman dengan ulama ternama Mesir bernama
Muhammad al-Khad}ar
Husain al-Tunisi. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar
bisa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Keduanya sama-sama pernah dijebloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan
pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi
memperjuangkan Negara dan Agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khad}ar diangkat menjadi mufti di Mesir, sedangkan Ibn 'Asyu>r mendapat kepercayaan menjadi Qad}i di Tunis yang kemudian diangkat menjadi mufti di
Tunis.
Ibn
'Asyu>r dalam kehidupannya selalu menggunakan dan
mengembangkan potensi yang ia miliki. Potensi itu ia salurkan pada aktivitas yang bermanfaat bagi umat. Ibn 'Asyu>r banyak menduduki posisi-posisi penting seperti di
dalam bidang perkantoran dan
bidang mahkamah syari'ah. Diantaranya adalah:
1). Guru di Jam' Zaitunah dan Madrasah Sadiqiyah, mulai
dari tahun 1900 M hingga tahun 1932 M.
2). Anggota Majelis
Idarah al-Jam'iyah al-Khalduniyah tahun 1323 H/ 1905 M.
3). Anggota
Lajnah al-Mukhallifah yang mengatur atau mengelola buku-buku dan naskah-naskah
di Maktabah al-Sadiqiyah tahun 1905 M.
4). Delegasi
Negara dalam penelitian ilmiah tahun 1325 H/ 1907 M
5). Anggota Lajnah Revisi Program Pendidikan tahun 1326 H/
1908 M.
6). Anggota Majelis Madrasah dan Majelis Idarah al-Madrasah Sadiqiyah 1326 H/ 1909 M.
7). Anggota Majelis
Reformasi Pendidikan II di Jami' Zaitunah tahun 1328 H/ 1910 M.
8). Ketua Lajnah Fahrasah di Maktabah al-Sadiqiyah tahun
1910 M
9). Anggota Majelis Tinggi Wakaf tahun 1328 H/ 1911 M.
10).
Anggota Majelis Reformasi III tahun 1924 M
11).
Anggota Majelis Reformasi IV tahun 1348 H/ 1930 M
12).
Anggota Mahkamah al-'Aqqariah tahun 1911 M
13).
Hakim Maliki Majelis Syar'i tahun 1913-1923 M
14).
Mufti Maliki tahun 1923 M
15).
Ketua Mufti tahun
1924 M
16).
Ketua ahl al-Syura tahun 1346 H/ 1927 M
17).
Syaikh al-Islam Mazhab Maliki tahun 1932 M
18).
Syaikh Jami'
Zaitunah dan cabang-cabangnya untuk pertama
kalinya pada
bulan September 1932 M, akan
tetapi mengundurkan diri dari kepemimpinan Jami' Zaitunah pada September 1933 M
19).
Digelari Syaikh Jami' al-Zaitunah tahun 1945 M
20). Setelah Kemerdekaan
Negara, Ibn 'Asyu>r
diangkat menjadi Dekan Universitas Zaitunah tahun 1956-1960 M, yang kemudian
dianjurkan untuk beristirahat karena sikapnya menolak pemerintah presiden Tunis
untuk memberikan fatwa terhadap kampanye menentang kewajiban puasa di bulan
ramadhan.
21). Berpartisifasi
dalam mendirikan majalah al-Sa'a>datu al-'Uzma tahun 1952 M, majalah pertama di Tunis
bersama rekannya al-'Allamah al-Syaikh Muhammad al-Khidlir Husain.
22). Terpilih
menjadi anggota dua akademi yaitu akademi bahasa arab di Kairo tahun 1950 M dan
akademi ilmu bahasa arab di Damaskus tahun 1955 M.
Bentuk
usaha yang dilakukan Ibn 'Asyu>r untuk melestarikan keunggulannya dalam berbagai macam
disiplin ilmu adalah melakukan kajian, seperti mengkaji Sharh al-Mut}awwil li
Taftazani, kitab Dalail al-I'jaz li Jurjani dalam ilmu balaghah, Sharh
al-Mahalli li Jam'i al-Jawami’ li
Subki dalam ilmu usul fiqh, Muqaddimah Ibn Khaldun, diwan al-Hamasah li Abi
Tamam, Muwatta' li Imam Malik, Tafsir al-Baid}awi bi Hashiati al-Shihab. Dari ilmu-ilmu inilah yang memotivasi Ibn 'Asyu>r untuk memulai menulis buku, diantara Karya-karya
Muhammad T}ahir
Ibn 'Asyu>r dalam ilmu
keislaman seperti[19].
1.
التحرير والتنوير
2.
مقاصد الشريعة الاسلامية
3.
أصول النظام الاجتماعي فى الاسلام
4.
أليس الصبح بقريب
5.
الوقف وأثاره فى الاسلام
6.
كشف المغطى من المعانى والالفاظ الوقعة فى الموطأ
7.
قصة المولد
8.
حوشي على تنقيح لشهاب الدين القرافي فى أصول الفقه
9.
رد على كتاب الاسلام وأصول الحكم تألف على عبد الرازق
10.
فتاوى ورسائل فقهية
11.
التواضيح التصحيح فى أصول الفقه
12.
النظر الفسيح عند مضايق الانظار فى الجامع الصحيح
13.
تعليق وتحقيق على شرح حديث أم زرع
14.
قضايا شرعية واحكام الفقهية وأراء اجتهادية ومسائل علمية
15.
أمال على مختصر خليل
16.
تعاليق على العلول وحاشية السياكوتي
17.
أمال على دالائل الإعجاز
18.
أصول التقديم فى الاسلام
19.
مراجعات تتعلق بكتابى : معجز أحمد واللامع للعزيزى
Karya-karya Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r dalam bahasa arab dan sastra:
1.
أصول الإنشاء والخطابة
2.
موجز البلاغة
3.
شرح قصيدة الاعشى
4.
تحقيق ديوان بشار
5.
الوضوح فى مشكلات المتنبى
6.
شرقات المتنبى
7.
شرح ديوان الحماسة لأبى تمام
8.
تحقيق فوائد العقيان للفتح ابن خاقان مع شرح ابن زكور
9.
ديوان النابغة الذهبى
10.
تحقيق مقدمة فى النحو لخلف الأحمر
11.
تراجم لبعض الأعلام
12.
تحقيق كتاب الاقتضاب للبطليوسى مع شرح كتاب أدب الكاتب
13.
جمع وشرح ديوان سحيم
14.
شرح معلقة امرئ القيس
15.
تحقيق لشرح القرشي على ديوان المتنبى
16.
غرائب الاستعمال
17.
تصحيح وتعليق على كتاب النتصار لجالينوس للحكيم ابن زهر
Karya-karya Muhammad Thahir Ibn 'Asyur dalam bentuk majalah ilmiah:
1.
السعادة العظمى
2.
المجلة الزيتونية
3.
هدى الاسلام
4.
نورالاسلام
5.
مصباح الشرق
6.
مجلة المنار
7.
مجلة الهداية الاسلامية
8.
مجلة مجمع اللغة العربية بالقاهره
9. مجلة المجمع
العلمى بدمشق
D. Latarbelakang penyusunan dan penamaan Tafsir Tah}ri>r wa Tanwi>r Ibn
'Asyu>r
1). Latarbelakang
Penyusunan Tafsir Tah}ri>r wa Tanwi>r
Dalam
muqaddimah Tafsir Tah}ri>r wa Tanwi>r Ibn 'asyu>r menuturkan, suatu angan-angan tersebar dalam hidup
beliau yang ingin dicapai adalah dengan menafsirkan kitab Allah Swt. Sebagai
mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw, ia ingin menjelaskan kepada masyarakat apa
yang akan membawa mereka kepada kebahagian di dunia dan akhirat, dengan
menjelaskan kebenaran, akhlak mulia, kandungan balaghah yang dimiliki al-Quran,
ilmu-ilmu syariat, serta pendapat para mufassir terhadap makna ungkapan
al-Quran. Cita-cita Ibn 'Asyu>r[20] tersebut sering diungkapkannya
kepada sahabat-sahabatnya,
sembari meminta pendapat dari mereka. Sehingga sekian lama cita-cita itu
menjadi kuat. Dengan demikian Ibn 'Asyu>r menguatkan niatnya untuk menafsirkan al-Quran dan
meminta pertolongan dari Allah semoga dalam ijithadnya ini ia terhindar dari
kesalahan.
Ibn
‘Asyu>r[21] bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari
segi kebahasaan dan maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Sebuah tafsir
yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat, bukan hanya sekedar mengumpulkan
perkataan ulama sebelumnya, melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang
berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang lebih detail yang menyeluruh dalam
penafsiran ayat-ayat al-Quran. Beliau melihat beberapa tafsir yang ada
kebanyakan hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya, tanpa inovasi yang
terkadang menggunakan penjelasan yang pendek atau dengan penjelasan yang
panjang.
Ibn
'Asyu>r dalam kitab tafsirnya ini ingin mengungkap pemahaman
al-Quran berdasarkan persoalan-persoalan ilmiah yang tidak diungkapkan oleh
ulama terdahulu. Namun Ibn 'Asyu>r juga menggaris bawahi bahwa pandangan ini tidak
mutlak hanya dimiliki oleh dirinya sendiri, dan tidak menutup kemungkinan
ulama-ulama lainnya juga berpandangan yang sama dengannya dan menulis tafsirnya
dengan cara yang ia tempuh juga.
Kitab
tafsir karangan Ibn 'Asyu>r
ini terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi menjadi dua belas jilid, yang
diterbitkan oleh al-Dar al-tunisia li
Nasyr[22].
Sebuah kitab tafsir kontemporer yang memiliki ciri khas tersendiri dalam
paparannya menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Memiliki tampilan yang berbeda
dengan kitab lain secara kasat mata dan memiliki metode penyusunan unik, yang
tidak mengkhususkan satu jilid untuk satu juz, melainkan secara acak kadang
membuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya.
2). Penamaan
Tafsir Tah}ri>r wa Tanwi>r
Dalam
muqaddimah tafsirnya Ibn 'Asyu>r menjelaskan bahwa kitab tafsirnya dinamakan dengan
"Tahri>r al-Ma'na al-Sadi>d, wa Tanwi>r al-'Aqlu al-Jadi>d min Tafsi>r al-Kita>b al-Maji>d, yang
kemudian diringkas menjadi "al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r min al-Tafsi>r".
Dari penamaan kitab tafsirnya ini dapat dilihat bahwa Ibn 'Asyu>r bertujuan; untuk mengungkapkan makna al-Quran dan
mengemukakan ide-ide baru terhadap pemahaman al-Quran. Ibn 'Asyu>r menginginkan umat islam menyadari bahwa al-Quran
adalah kitab yang agung kitab yang
memiliki keindahan gaya bahas, serta rahasia-rahasia kebahasaan yang dikandung
al-Quran.
E. Metode
Penulisan
Kitab tafsir al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r ini diawali dengan muqaddimah yang ditulis oleh Ibn 'Asyu>r. Muqaddimah ini berisikan penjelasan dari Ibn 'Asyu>r, tentang motivasi dalam penyusunan kitab tafsirnya,
menjelaskan permasalahan apa saja yang akan diungkapkan dalam kitab tafsirnya,
termasuk alasan pemberian nama kitab tafsirnya. Gamal al-Banna[23]
berkomentar dalam kitab Tafsir al-Quran al-Karim baina al-Quddami wa
al-Muhaddithin bahwa keistimewaan tafsir ini (tah}ri>r wa tanwi>r) ada pada muqaddimahnya yang memaparkan kepada
pembaca tentang wawasan umum dasar-dasar penafsiran dan bagaimana seseorang
penafsir berinteraksi dengan kosa kata, makna, struktur, dan sistem al-Quran. Muqaddimah ini ditampilkan
dengan bahasa yang mudah dipahami, walaupun ada beberapa aspek masih
menggunakan gaya bahasa lama. Metode yang digunakan juga adalah metode yang
moderat. Seperti yang ditegaskan oleh Gamal al-Banna bahwa bagian terbaik dalam
karya tafsir ini adalah muqaddimahnya.
Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi yang
menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami
seluk beluk gaya bahasa al-Quran
secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh sebagian
pembukaan, mulai dari penjelasan tentang tafsir dan ta'wil, penjelasan fenomena
tafsir bil ma'tsur dan bi ra'yi, asbab al-Nuzul, qiraat, qasas al-Quran, nama
al-Quran, ayatnya, tartib surah dan nama-namanya, sampai kepada I'jaz al-Quran.
Itupun sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan singkat
ini. Untuk mendeskripsikan cakupan bahasan, Ibn 'Asyur mengungkapkan dalam
pendahuluan tafsirnya bahwa "saya benar-benar berusaha menampilkan
dalam tafsir al-Quran hal-hal langka yang belum dilakukan oleh ulama tafsir
sebelumnya, dengan menempatkan diri sebagai penengah perbedaan pendapat ulama
yang ada pada satu waktu sepaham dengan salah satunya dan pada waktu lain
berbeda pendapat dengan alasan sendiri”[24],
"Dalam tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap I'jaz al-Quran,
nilai-nilai balaghah yang terkandung dalam sebuah kalimat al-Quran serta
menjelaskan uslub-uslub penggunaannya"[25].
Muqaddimah pertama berbicara tentang tafsir, ta'wil
dan posisi tafsir sebagi ilmu. Menurut Ibn 'Asyu>r tafsir adalah ilmu yang dimiliki oleh seseorang
mufasir untuk menjelaskan makna lafaz} al-Quran, dan persoalan-persoalan yang bisa diambil
dan makna al-Quran dengan penjabaran yang panjang atau pendek. Ulama terdahulu menyatakan bahwa
tafsir merupakan ilmu islam pertama. Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa
tafsir dianggap sebagi ilmu yang mandiri antara lain: penafsirannya dengan menggunakan
istinbat}
banyak ilmu dan
kaidah-kaidah yang bersifat umum, mengetahui lafaz} yang sesuai dengan penafsiran dan tafsir pada
dasarnya harus berisikan penjelasan tentang dasar-dasar pensyariatan dan
syariat yang bersifat umum.
Selain itu Ibn 'Asyu>r juga menjelaskan tentang orang yang pertama kali
mengkodifikasi tafsir yaitu Abdul Malik bin Juraij (80-149 H). Dikemukan bahwa
riwayat Ibn Juraij ini banyak dikutip dari Ibn Abbas seorang mufassir terkemuka
dari kalangan sahabat yang sering dijadikan sebagai sandaran dalam riwayat
mereka yang berguna untuk memperkuat dan melegitimasi penafsiran mereka.
Muqaddimah
kedua berbicara tentang referensi atau alat bantu (istimda>d) ilmu tafsir. Alat bantu yang dimaksud adalah
sejumlah perangkat ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Adapun istimda>d ilmu
tafsir tersebut adalah bahasa arab sebagai inti bahasa al-Quran, yang terdiri
dari ilmu sharaf, ilmu badi', ilmu ma'ani dan ilmu bayan yang merupakan sarana
untuk mengungkap sisi ke balaghahan al-Quran, serta ilmu-ilmu lainnya seperti
ilmu usul fiqh, ilmu kalam, ilmu qiraat dan lain-lain. Di sini Ibn 'Asyu>r menunjukkan besarnya peran majaz dalam tafsir. Ibn
'Asyur tetap mengikuti kebiasaan ulama masa lampau yang mengunakan sya'ir-sya’ir
arab untuk mengenalkan beberapa kosakata al-Quran.
Ibn 'Asyu>r menggunakan pendekatan salaf yang sangat mementingkan
sisi nukilan (al-Atsar) dia tidak menganggap ilmu fiqih dan
dasarnya menjadi begitu penting bagi mufassir, karena ilmu fiqih merupakan
cabang dari tafsir dan dalam banyak hal sangat tergantung kepada hasil sebuah
tafsir.
Muqaddimah
ketiga, Ibn 'Asyu>r
berbicara tentang keabsahan tafsir tanpa nukilan (bi ghairi al-ma'tsur)
dan makna tafsir yang berdasarkan nalar (bi al-Ra'yi). Penggunaan tafsir
dengan akal sangat dihindari Ibn 'Asyu>r dalam penulisan tafsirnya, karena hal itu pernah
dilarang sendiri oleh Nabi dalam hadisnya, dan model tafsir yang mereka-reka
makna al-Quran yang juga sempat dilarang Abu Bakar. Di sini Ibn 'Asyu>r juga memaparkan ungkapan al-Ghazali dan al-Qurtubi
yang menyatakan "Tidak benar bahwa semua yang dikatakan para sahabat
bersumber dari ungkapan Nabi Saw. Penjelasan yang berasal dari Nabi hanya
terjadi pada dua kemungkinan saja yaitu Rasul menerangkan kepada sahabat berbeda
pendapat dan mereka menanyakan langsung kepada Rasul dan hal itu direspon oleh
Rasul, akan tetapi penjelasan ini juga hanya sedikit".
Selanjutnya,
dijelaskan bahwa penyimpulan hukum-hukum
syariat dari al-Quran pada tiga abad pertama islam hanya terdapat ayat-ayat
yang belum ditafsirkan sebelumnya. Jadi, dalam tafsir mereka belum ada
pengkajian ulang terhadap penafsiran yang ada. Ibn 'Asyu>r juga mengambil landasan tafsir dari ungkapan
Syarafuddin al-T}ibi
dalam ulasannya dalam al-Kashshaf , tepatnya pada surat al-Syu'ara.
Al-T}ibi mengatakan
bahwa syarat tafsir yang benar ada pada kesesuaian kosa-katanya dengan tradisi
pemakaiannya dan terhindarnya kata tersebut dari makna-makna yang ada unsur
pemaksaan. Sementara yang tidak sesuai dengan standar itu dapat dikatakan
sebagi tafsir yang mereka-reka (bida'u al-Tafsir).
Dalam
pandangan Ibn 'Asyu>r
yang dimaksud dalam hadis penafsiran yang dilarang itu adalah penafsiran yang
hanya bersifat ide tanpa dilandasi argumen bahasa arab yang valid ataupun bersifat kecenderungan mazhab saja. Tidak hanya itu, Ibn 'Asyu>r mengkritik pendapat
yang mengatakan bahwa tafsir hanya menggunakan nukilan-nukilan dari rasul saja.
Ibn 'Asyu>r mempertanyakan yang diriwayatkan oleh siapa?, Kalau nukilan itu hanya sebatas
apa yang pernah disinggung oleh Nabi saja, maka itu akan mempersempit makna dan
sumber penafsiran al-Quran, kalaupun sahabat masuk kategori nukilan, tetap saja
tidak terlalu memperkaya tafsiran. Hal itu disebabkan kutipan dari para sahabat
tidak banyak.
Ibn
'Asyu>r juga
menguraikan beberapa kecenderungan kaum syi'ah ekstrim, seperti syi'ah
Islamiyah yang suka menukilkan al-Quran secara serampangan juga dikritik,
baginya mereka tidak menafsirkan al-Quran, tetapi mengambil landasan al-Quran
untuk menguatkan atau membela tujuan mereka.
Muqaddimah
Keempat menjelaskan
tentang tujuan dari seorang mufassir, dengan menjelaskan apa saja yang perlu
dihadapi oleh seorang mufassir. Ibn 'Asyur
mengungkapkan bahwa Allah Swt. untuk kemaslahatan umat manusia secara
umum, baik dalam persoalan yang menyangkut pribadi ataupun yang menyangkut
persoalan masyarakat. Oleh karena itu seseorang mufassir harus mengerti tentang
unsur-unsur pembentuk perubahan, seperti reformasi keyakinan, etika, legislasi
hukum dan politik untuk penyelenggaraan umat.
Dalam
tah}ri>r
wa tanwi>r min tafsi>r Ibn
'Asyu>r menjelaskan tentang tata cara seorang menafsirkan
dalam menafsirkan al-Quran, ada tiga cara yang selalu ditempuh mufassir seperti:
Pertama, membatasi diri pada hal-hal yang lahiriah saja dari teks, Kedua,
berusaha untuk mencari kesimpulan dari teks yang ada dan Ketiga, bagaimana menerapkan ilmu
pengetahuan terhadap pemahaman al-quran. Selain itu juga, Ibn 'Asyu>r menjelaskan
hubungan antara al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Muqaddimah
Kelima Ibn 'Asyu>r membicarakan soal konteks turunnya ayat (asba>b al-Nuzu>l) yang mana ia mengkritik terlalu semangat sebagian
mufassir membahas tentang konteks turunnya ayat. Ia mengibaratkan sikap yang
berlebihan itu sama dengan mengulur tali kepada orang yang tidak dikenal dan
akan berakibat fatal hingga kebanyakan manusia menganggap bahwa setiap ayat
yang turun dari al-Quran memiliki sebab turunnya. Al-Wahidi menuturkan pada
awal kitabnya mengenai al-Sabab al-Nuzul bahwa " Sekarang ini setiap
orang membuat sendiri tentang alasan diturunkan suatu ayat, membuat kepalsuan
dan kebohongan, yang membawa kepada kebodohan tanpa berfikir akan hari yang
dijanjikan" dan berkata "tidak dibolehkan berbicara mengenai alasan
diturunkannya kitab kecuali dengan periwayatan dan mendengar langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya".
Dalam
hal ini Ibn 'Asyur mengungkapkan lima
konteks dalam mengetahui al-Sabab al-Nuzul yang diterima sanadnya: Pertama,
ayat yang tidak diketahui maksudnya melalui ilmu yang ada maka wajib bagi mufassir
untuk mengkajinya. Kedua, seluruh peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
syariat dan hukum. Ketiga, peristiwa yang memiliki banyak contoh
dengan mengkhususkan satu orang. Keempat, satu peristiwa yang
terjadi dan di dalam al-Quran
terdapat ayat yang sesuai dengan maknanya. Kelima, bagian
yang menjelaskan secara umum. Ia menjelaskan bahwa al-Quran adalah petunjuk.
Adapun muqaddimah keenam berisikan tentang aneka ragam bacaan (al-qiraat),
dan seterusnya hingga penjelasan yang ke sepuluh yang menjelaskan tentang I'jaz
al-Quran dalam muqaddimah yang mana posisi penting muqaddimah tafsir Ibn 'Asyu>r ini sama halnya dengan posisi pengantar karya Ibn
Khaldun dalam al-muqaddimah.
Dalam
tafsir dijelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, terutama
antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Tidak terlewatkan satu
surat pun dalam al-Quran kecuali Ibn 'Asyu>r berusaha menjelaskan secara lengkap setiap maksud dan
tujuan yang terkandung di dalamnya, secara utuh dan tidak sebatas menjelaskan
setiap kata dan kalimatnya saja secara parsial, melainkan merangkai kembali
makna tiap kata dan kalimat yang telah diurai terpisah menjadi satu tujuan atau
maksud yang diusung oleh setiap ayat maupun surah al-Quran. Menjelaskan tentang
'ibrah dari al-Quran yang dapat membangkitkan umat Islam.
F. Contoh penafsiran
Tah}ri>r wa Tanwi>r min Tafsi>r Ibn 'Asyu>r
Kita
mengetahui bahwa tafsir Ibn 'Asyu>r (Tah}ri>r wa Tanwi>r) yang ditafsirkan oleh Muhammad T>}ahir Ibn 'Asyu>r hanya mencakup satu metodologi yaitu dengan tafsir bi
al-Lughah, tafsir bi al-lughah lebih sulit dibandingkan dengan
tafsir yang lainnya, seperti Ibn katsir, tafsir Qurtubiy, tafsir al-Furqan atau
dengan tafsir bi al-Ma'tsur. Karena tafsir bi al-Ma'tsur menggunakan penafsiran
al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits dan al-Quran dengan qaul
sahabat atau tabiin.
Walaupun
tafsir Ibn 'Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir bi al-lughah
maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Quran dengan al-Quran, al-Quran
dengan hadis dan al-Quran dengan qaul sahabat. Di bawah ini sebagian bukti
bahwa tafsir tah}ri>r
wa tanwi>r tidak hanya
menggunakan bi al-lughah saja.
Contoh : Firman
Allah Swt "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya".
Kalimat
pada ayat ini mencakup pembahasan tentang اليتامى yang memiliki keterkaitan dengan
ayat sebelumnya, yang mana menyangkut tentang menikahi wanita serta jumlahnya
sebagi jawaban dari rasa takut tidak mampu untuk berbuat adil terhadap al-Yatama
yang ditutup-tutupi oleh kebanyakan ulama terdahulu yang mana tidak ditampakkan
antara yang Sharthi dan Jawabuhu. Diketahui bahwa dalam ayat
terdapat ijazan badi'an yang mana lafaz al-Yatama sebagai sharthi
dan dihubungkan dengan lafaz al-Nisa' sebagai Jawabuhu. Al Yatama
jamak dari kalimat yatim dan bagian
dari al-Yatama pada ayat sebelumnya "واتواليتامااموالهم" dan diketahui menjelaskan
perbuatan tidak adil bagi wanita yatim dan diperintahkan menikahi wanita lain
sebagai keterkaitan yang telah mustahil.
Seperti
yang diriwayatkan dalam sahih al-bukhari " bahwa 'urwah bin Zubair
bertanya kepada 'Aisyah tentang ayat ini, 'Aisyah berkata; wahai anak
saudariku, ayat itu berbicara tentang seorang anak perempuan yatim yang berada
dalam asuhan walinya, dimana hartanya anak perempuan itu telah bercampur dengan
harta wali, kemudian wali itu tertarik dengan harta dan kecantikannya dan ingin
menikahinya tanpa membayar mahar yang layak seperti yang akan dibayar orang
lain kepada anak perempuan itu. Sehingga para wali dilarang menikahi mereka,
kecuali bila mereka berlaku adil dan membayar mahar yang layak dan para wali juga diperintahkan untuk menikahi perempuan lain yang
baik bagi mereka".
Urwah
melanjutkan: 'Aisyah berkata: sesudah turunnya ayat ini, para sahabat meminta
fatwa kepada Rasulullah Saw. tentang perempuan yatim yang berada dalam asuhan,
lalu Allah menurunkan ayat: "dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para
wanita. Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam al-Quran tentang para wanita yatim dan kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin
mengawini mereka.
Maka
pada ayat yang berbunyi "sedangkan kamu ingin mengawini mereka" adalah
ketidak senangan seorang wali di antara kamu terhadap perempuan yatim asuhannya
yang tidak memiliki harta dan kecantikan, sehingga mereka dilarang menikahi perempuan
yatim yang banyak harta dan cantik kecuali berbuat adil dengan membayar mahar
serupa walaupun mereka perempuan yatim yang miskin dan tidak cantik. Dalam
periwayatan ini 'Aisyah tidak berdasarkan kepada Rasulullah Saw. tetapi dari
arah pembicaraannya menandakan izin dari Rasulullah bi tauqif. Oleh
karena itulah Bukhari memasukkan hadis tersebut pada bab tafsir surah al-Nisa'
sebagai hadis-hadis marfu'. Ayat ini menggambarkan hukum
menjaga hak anak yatim terhadap harta yang diwariskan seperti menjaga hak
mereka dalam memperoleh mahar, sekaligus sebagai nasehat kepada kaum lelaki
bahwa kerabat tidak membuat alasan untuk merendahkan mahar mereka.
Pada
ayat yang berbunyi "فإن
خفتم أن لا تعدلوا فواحدة" ayat ini sebagai batas terakhir
hingga empat. Berkata Ikrimah " ayat ini turun pada suku quraisy,
bahwasanya ada seorang laki-laki yang menikah hingga sepuluh bahkan lebih,
ketika dia merasa sempit, tidak mampu menafkahi istri-istrinya maka dia
mengambil harta anak yatim asuhannya dan dinikahinya". Dari gambaran ini
menjadi jelas karena menikah tanpa memiliki kemampuan untuk memberi nafkah akan menjadi alasan untuk memakan harta anak
yatim. Maka ayat tersebut menjadi dalil atas di syariatkan sad al-Dzarai’.
Makna
"ما طاب"
atau ma hasana dengan dalil pada kalimat "لكم" dipahami bahwa apa-apa
yang dihalalkan kepada kamu sekalian, karena yang dimaksud adalah al-Tasyri'.
Dengan memilih wanita mana yang terbaik bagi kamu.
Ayat
ini bukanlah ketetapan mengenai disyari'atkannya menikah, karena persoalannya
berhubungan dengan keadaan takut akan berbuat jahat kepada anak-anak yatim.
Secara zahir perintah tersebut hanya untuk petunjuk. Dan bahwasanya menikah
syari'at dengan ketetapan mubah menurut aslinya, tidak seperti orang-orang
sebelum Islam yang berbuat perbuatan yang tidak diridlai agama dengan menikah
lebih dari empat atau lainya.
Adapun
dalam pembahasan "مثنى
وثلاث ورباع" maknanya bahwa Allah Swt. telah memberikan kebebasan
kepada kaum untuk menikah kecuali anak-anak yatim yang maharnya tidak sesuai
dan ini menjadi integrasi terhadap hukum lain, selain hukum berbuat adil kepada
anak-anak yatim sampai kepada firman Allah ذلك ادنى ان لاتعولوا pada ayat tersebut merupakan
makna pengulangan dari nama jumlah dengan tujuan al-Tauzi' seperti
firman Allah "اولى اجنحة مثنى وثلاث ورباع" bahwa setiap masing-masing janahani, masing-masing
tiga, dan masing-masing empat. Disini berbeda dengan pendapat tentang keluasan
maknanya, akan tetapi makna tersebut bahwa masing-masing dari kita boleh dua,
tiga atau empat. Dan bahwasanya Ghilan bin Salmah masuk Islam dan memiliki
sepuluh istri, maka berkata kepada Nabi Saw, jaga yang empat dan ceraikan
sisanya".
Sebuah
peristiwa yang menabjubkan bahwa dihikayatkan oleh Ibn al-'Arabi dalam kitab al-Ahkam
tentang suatu kaum yang bodoh yang menganggap bahwa ayat ini memperoleh
laki-laki untuk menikahi Sembilan wanita dengan alas an bahwa dua ditambah tiga
di tambah empat sehingga berjumlah Sembilan, dan huruf wawu yang ada
untuk penjumlahan, dan sama jumlahnya dengan istri-istri Rasulullah Saw. Dan
inilah kebodohan yang sangat tercela menurut Ibn al-'Arabi dan dalam tafsir
Qurtubi perkataan ini sinisbahkan kepada rafidlah dan sebagian ahl al-Zahir.
Dalam hal ini Ibn al-Farsi mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw wafat dan
meninggalakan Sembilan istri yang demikian itu adalah suatu ke khususan bagi
Rasulullah Saw, begitu juga menurut Ijma al-Ulama.
Khitab
ayat ini ditujukan kepada seluruh umat baik yang merdeka maupun hamba sahaya,
walaupun untuk hamba sahaya masih dipertentangkan karena sebagian ulama
berpendapat boleh empat dan ada sebagian yang berpendapat hanya boleh dua.
Adapun yang membolehkan empat seperti pendapat imam Malik, Abi al-Darda', al-Qasim
bin Muhammad, Salim, Mujahid dan lainnya. Sedangkan yang berpendapat bahwa
hamba sahaya paling banyak hanya boleh dua adalah pendapat Abi Hanifah, Syafi'I
dan disandarkan pada 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin
'auf, Ibn Sirin dan Hasan. Ijma' sahabat mengatakan bahwasanya yang berpendapat
kalau hamba sahaya tidak boleh menikah lebih dari dua maka telah berbicara
sembarangan.
Ibn
‘Asyur mengatakan dalam tafsir ini bahwa Allah Swt telah mensyariatkan berpoligami
untuk melatih agar mampu berbuat adil terhadap maslahat umum, dengannya sebagai
wasilah memperbanyak umat dengan memperbanyak anak dan sebagian perjagaan
terhadap wanita yang mana mereka lebih banyak dari laki-laki. Hal itu
dikarenakan banyaknya anak perempuan yang lahir dibandingkan laki-laki, dan
dikarenakan laki-laki lebih sering berperang yang mana dapat menghilangkan
generasi laki-laki. Selain itu dikarenakan kebanyakan wanita lebih panjang
umurnya dibandingkan laki-laki, dan yang lebih utama dikarenakan syari'ah
mengharamkan zina yang mana dapat merusakkan akhlak, nasab, hubungan keluarga,
maka islam memberi keluasan dengan berpoligami, terutama bagi laki-laki yang
cenderung memiliki istri lebih dan dari sanalah dianjurkan untuk menjauhi
perihal Talaq kecuali dalam keadaan yang darurat.
G. Keistimewaan
Tafsir Ibn 'Asyur
Adapun
keistimewaan tafsir Ibn 'Asyu>r adalah kitab tersebut termasuk tafsir yang
kontemporer dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Beliaupun
menggunakan pendapat yang paling kuat dalam menyelesaikan suatu penafsiran dan
yang paling rajih sehingga apabila dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain
beliau mempunyai kelebihan yang mudah diterima di kalangan orang yang memahami
dalam tafsir khususnya pada zaman sekarang dengan memperkenalkan berbagai macam
ilmu dalam penafsirannya ini. Kelebihan tafsir Ibn ‘Asyu>r dibandingkan dengan tafsir yang lain adalah beliau
menggunakan penafsiran yang dilengkapi dengan I'rab dan mantiq dalam beristinbat} penafsirannya.
H. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa tafsir al-Tah}ri>r wa Tanwi>r adalah tafsir
kontemporer yang dikarang oleh Muhammad T}ahir Ibn 'Asyu>r ulama dari Tunisia memiliki model penafsiran bi
al-‘Ilmi. Yang mana dalam penjelasannya berusaha menghubungkan dengan
keilmuan lain yang ada, hal itu dapat dilihat dari muqaddimah tafsir tahrir wa
tanwir. dalam penjelasannya Ibn ‘Asyu>r juga lebih banyak menggunakan bahasa sinonim dari
bahasa arab serta menggunakan ilmu mantiq. Metode tafsir Ibn 'Asyu>r menggunakan tafsir bi al-lughah serta
tafsir al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis, dan al-Quran dengan
perkataan sahabat.
Daftar Pustaka
Al-Banna, Gamal, Tafsir al-Quran al-Karim baina Quddami wa
Al-Muhaditsin, (Kairo: Dar
al-Fikr al-Islamiyah, 2003).
Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-
Hadis, 2005).
Al-Hamdi, Muhammad Ibrahim, at-Taqrib li
Tafsir al-Tahrir wa Tanwir, (Dar
Ibn Khuzaimah), 2008.
Al-Hamdi, Muhammad bin Ibrahim, Li Taif
minSirah al-'Allamah al- Syaikh
al-Thahir Ibn 'Asyur Rahimahullah, multaqa ahlu al-Tafsir, www.Tafsir.net/vb/tafsir4142/
Esposito, Jhon. L., "Zaitunah", Ensiklopedia
Oxford Dunia Islam Modern, (bandung: Mizan, 2001).
Green, Arnold H., The Tunisian Ulama
1873-1915, (Leiden: E. J. Brill, 1978,
249.
Hijri
Converter dalam penanggalan hijriah dan masehi.
Ibn
'Asyur, Muhammad
Thahir, Tahir wa Tanhir, (Turis: al-Dar al-Tunisia
li
Nasyr).
Ibn 'Asyur, Muhammad al-Tahir, Tafsir al-Tahrir wa Tanwir,
Mahmud, Abd al-Halim, Manahij al-Mufassirin,
(Kairo: Dar al-Kitab
al- Misri, 1978).
Nubzah 'an hayat al-syaikh al-Thahir Ibn
'Asyur wa 'Aqidatuhu wa Manhajuhu fi al-Tafsir, www.islamQA.com
Nuwaihid, Adil, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut:
Muassasah Nuwaihid
ats-Tsaqifiyyah, 1986).
Tim
Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The
Encyclopedia
of Islam New Edition, (Leiden: tp, 1971).
www.badlah.com/page-171.html إعداد
الدكتور عبدالرحمن حللى، محمد الطاهر ابن عاشور مصلحا وفقيها: سيرته- بعض أثاره
وأرائه،
علماء
تونس وتاريخهم فضيلة الشيخ محمد بن عاشور
[3] Tim
Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The Encyclopedia of Islam New
Edition, (Leiden:
tp, 1971) Vol. III, 720.
[4] Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi, Li Taif minSirah
al-'Allamah al-Syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur Rahimahullah, multaqa ahlu
al-Tafsir, www.Tafsir.net/vb/tafsir4142/
[6] Lihat
Nubzah 'an hayat al-syaikh al-Thahir Ibn 'Asyur wa 'Aqidatuhu wa Manhajuhu
fi al-Tafsir, www.islamQA.com
[7] Adil
Nuwaihid, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid
ats-Tsaqifiyyah), 1986, jilid 2, 54.
[8] Tim
Penyusun The Encyclopedia of Islam, "Ibn 'Asyur", The Encyclopedia of Islam New
Edition, (Leiden:
tp, 1971) Vol. III, 720.
[12] Lihat
إعداد
الدكتور عبدالرحمن حللى، محمد الطاهر ابن عاشور مصلحا وفقيها: سيرته- بعض أثاره
وأرائه، www.badlah.com/page-171.html
[14] Jhon.
L. Esposito, "Zaitunah", Ensiklopedia Oxford Dunia Islam
Modern, (bandung: Mizan), 2001 Jilid 6,
56.
[17] Adil
Nuwaidi, Mu'jam al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid
ats-Tsaqafiyyah), 1986, jilid 2, 542.
[19] Lihat
علماء
تونس وتاريخهم فضيلة الشيخ محمد بن عاشور
www.arabicmeeting.com/ir/tous-les-groupes/viewdiscussion/204..........html?groupid=65
[23] Gamal
al-Banna, Tafsir al-Quran al-Karim baina Quddami wa
al-Muhaditsin, Cairo: Dar al-Fikr al-Islamiyah, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar