TINGKATAN
MAKNA AL-QUR’AN
Oleh
: Apipudin
Al-Qur’an merupakan firmah Allah yang
ditulis dengan bahasa Arab, difahmi selain memiliki makna harfiyah (alih
bahasa/makna teks) juga memiliki beragam makna. Apipudin, dalam salah satu
karyanya, yaitu al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit, mengatakan bahwa makna
al-Qur’an terdiri makna al-Ibrah, makna isyarah, makna lathaif, dan makna
haqaiq.[1]
Makna al-Ibrah yang dimaksud
adalah pesan pendidikan di balik teks al-Qur’an. Pemahaman ini didapat bukan
pada teks, melainkan pesan pendidikan di balik teks. Secara bahasa (etimologi) al-Ibrah,
atau ibrah bermakna pengajaran, teladan, dan perhatian.[2]Dengan demikian makna al-Ibrah
ini tersembunyi, hanya dapat ditangkap oleh orang yang menekuni tafsir
al-Qur’an.
Makna isyarah, atau isyarat,
makna ini juga tidak pada teks, melaikan berada di balik teks. Makna ini lebih
dalam dibandingkan dengan makna al-Ibrah, karena itu makna ini biasa
ditangkap oleh para sufi. Para sufi menfasirkan al-Qur’an berusaha menagkap
makna isyarah, yang pada gilirannya lahir tafsir isyari. Penafsiran terhadap
ayat yang dilakukan oleh sufi tentu sangat berbeda dengan pada umumnya mufasir.
Sufi dalam menafsirkan ayat lebih pada melakukan suluk (perjalan spiritual),
karema itu tafsir ini mengacu pada amaliah paktis umumnya kaum sufi, seperti
hidup sederhana, melakukan banyak ibadah, zuhud, dan sebaginnya.
Isyarat al-Qur’an juga dapat ditangkap
oleh para ilmuwan, hanya saja ilmuwan lebih pada isyarat-isyarat
ilmiyah,mkarenanya tafsir tafsir isyari yang lahir dari ilmuwan sering
dikatakan tafsir ilmi, karena tafsir ini lebih menafsirkan isyarat-isyarat
ilmiyah. Di Indonesia tafsir seperti ini sudah lahir, di antarnya; Tafsir yang
diterbitkan Uniersitas Islam Indonesia (UII), juga sebuah buku yang ditulis
oleh Muhammad Quraish Shihab yang berjudul Mukjizat al-Qur’an.
Makna lathaif, secara bahasa lathaif
diartikan halus, lembut. Dengan demikian dapat difahami makna lathaif dalam
al-Qur’an adalah makna yang halu di balik teks. Tentu makna ini lebih dalam
dari dua makna tersebut di atas. Tidak heran jika tidak semua orang dapat
menagkap makna ini. Ulama yang bisa menangkap makna ini adalah lama tasawuf
(sufi).
Dalam memahami ayat al-Qur’an sufi
tidak lazim seperti pada umumnya ulama menafsirkan al-Qur’an. Muhammad Quraish
Shihab seorang mufasir kontenporer Indonesia yang banyak menulis tentang tafsir
al-Qur’an dalam salah satu karyanya berkomentar. Menurutnya, ada dua cara yang
ditempuh oleh sufi dalam menafsirkan al-Qur’an; pertama dengan pendekatan
nazari (perenungan). Para sufi yang menggunakan pendektan seperti ini
berpendapat bahwa pengertian harfiyah al-Qur’an bukan pengertian yang
dikehendaki, karena yang dikehendaki adalah pengertin batin.[3]Untuk itu para sufi
menggunakan ta’wil[4]
untuk menyesuaikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori tasawuf
yang mereka anut. Ke dua sufi dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendektan
amali untuk menagkap makna yang ada di balik teks. Pendekatan seperti ini,
telah penulis jelaskan pada bahasan makna isyarat.
Makna haqaiq, adalah makna
haqiqat, atau makna esensial. Makna al-Qur’an pada tingkatan ini tidak dapat
ditangkap oleh manusia biasa. Makna ini hanya dapat ditangkap oleh Nabi
Muhammad saw. Tidak berlebihan jika Nabi Muhammad dikatakan al-Qur’an yang
berjalan.
[1]Lihat Apipudin, al-Qur’an
Sebagai Penyembuh Penyakit (Ciputat: YPM,2013),h.9
[2]Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,1999),h.252
[3]Lihat Muhammad Quraish Shihab, Sejarah
& Ulumul al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,1999),h.180-181
[4]Ta’wil adalah mengalihkan makna
yang dhahir kepada makna yang batin (al-jurjani, Kamus al-Taarifat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar