Kamis, 28 November 2013

BIDAH



BID’AH

A.       Definisi
Bid’ah berasal dari akar kata bada’a(بدع) yabdau (يبدع) bad’an (بدعا) bidatan (بدعة). Dalam kamus Arab Indonesia bid’ah diartikan sesuatu yang baru[1]. Adapun bid’ah secara istilah adalah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah tetapi tidak ada contohnya dari Rasul. Kata bid’ah selain digunakan dalam hadis, juga ada di dalam al-Qur’an. Hanya saja bid’ah dalam al-Qur’an diartikan “pertama”. Perhatikan surat al-Ahqaf di bawah ini:
             
Qul makuntu bidan minar rasuli
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul
        
         Terlepas dari pesoalan bahasa, yang jelas bid’ah sering menjadi momok yang sangat menakutkan. Bahkan banyak komentar, bahwa setiap bid’ah sesat, dan setiap yang sesat masuk neraka (kulu bid’atin dhalalah, wa dhalalatun fin nar). Persoalannya sekarang, apakah setiap bid’ah sesat.
       Secara umum orang mengatakan bahwa setiap yang baru itu bid’ah dan sudah pasti sesat. Hal itu bisa difahami, karena ada hadis yang menyatakan demikian. Seperti hadis di bawah ini:
فإن خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشرَّ الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
(fainna khairal hadis (sesungguhnya sebaik2nya perkataan) kitabullah (kitab Allah), wa khairul huda (dan sebaik2nya petunjuk) huda Muhammad SAW (petunjuk Muhammad), wa syarul umuri (dan seburuk2nya perkara)muhdatsatuha (yang baru), wa kullu bid’atin (setiap bid’ah)dholalatun (sesat))
       Secara tekstual hadis tersebut difahami setiap yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah sesat. Intinya setiap ibadah yang tidak ada contohnya sesat. Persoalannya, apakah semua ibadah ada contohnya dari Rasul?, karena ada ibadah yang dalam pelaksaannya diberikan contoh dan ada yang tidak. Shalat lima waktu, misalnya selain diperintahkan juga ada contohnya dari Rasul. Sebagai mana rasul bersabda: (shallu kama ratum ushali). Lain halnya dengan teknis ibadah yang hanya diperintah tetapi teknisnya tidak diperintahkan. Misalnya umat islam wajib menutupi aurat. Di sini islam hanya memerintah orang berpakaian menutupi aurat, perkara teknis itu dapat diserahkan pada budaya setempat. Bahkan dalam kaidah Ushul Fiqih adat atau tradisi bisa menjadi hukum jika tidak bertentangan dengan syara (hukum islam).
       Untuk menjawab apakah setiap bid’ah sesat, sebaiknya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, karena bid’ah selalu dikaitkan dengan ibadah. Misalnya apa itu ibadah? Ada berapa bentuk ibadah? Dua persoalan pokok ini dapat membantu seseorang memahami bid’ah itu sesat atau tidak.
       Secara umum ibadah terbagi dua; ibadah mahdhah, dan ibadah ghair mahdhah. Ibadah mahdhah ibadah yang sudah jelas perintah dan teknisnya. Misalnya shalat lima waktu dan sejenisnya. Pada ibadah shalat jika ditambah atau dikurangi, misalnya shalat subuh menjadi tiga rakaat, atau shalat maghrib menjadi 5 rakaat itu dapat diakatakan bid’ah sesat. Berbeda dengan ibadah ghair mahdhah ibadah yang diperintahkan tetapi teknisnya dibebaskan. Misalnya menutupi aurat, anjuran memperbanyak sedekah, dan dakwah dalam kebaikan, silahkan metode disesuaikan sebagaimana wali songo berdakwah.  
       Imam Syaifi’i seorang ulama dengan pangkat mujtahid muthlak membagi bid’ah kedalam dua bagian, seperti yang diungkapkan di bawah ini:
وقول الشافعيّ: "البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنّة فهو مذموم
(al-Bidatu bidatani (bid’ah terbagi dua): bidatun mahmudatun (bid’ah terpuji ) wa bidatun madzmumatun (bida’ah tercela) fama wafaqa sunata (jika sesuai dengan sunah) fahuwa (maka ia) mahmudatun (terpuji). Wama khalafa sunnata (tidak sesuai dengan sunah) fahuwa madzmum (maka tercela)"
       Jika melihat komentar Imam syafi’i, kita dapat memahami, bahwa bidah itu tidak selamanya sesat, karena di dalmnya ada juga bid’ah hasanah (baik). bahkan Ibnu Rajab berkomentar:
قال ابن رجب: "وأمّا ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنّما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية، فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه لمّا جمع النّاس في قيام رمضان على إمام واحد في المسجد، وخرج ورآهم يصلون كذلك، فقال: (نعمت البدعة هذه)
Qala (berkata) ibnu Rajab: wa amma (adapun sesuatu) waqa’a (sesuai) fi kalamis salafi (pada perkataan ulama salaf) min ihtisani (dari yang baik) ba’dhil bid’i (sebagain bid’ah) fainnama zalika (maka hal demikian) fibid’il lughawiyah (pada bid’ah bahasa) lasyariyati (bukan bid’ah syariyah) famin zalika (demikian juga) qauli umar bin khathab (perkataan umar bin khathab) lama jaman nasu (ketika manusia kumpul) fiqiyami ramadhan (pada salat tarawih) ala imamin wahidin (atas imam yang satu) fil masjidi (di masjid) dia mengatakan bahwa inilah bida’ah yang paling nikmat.
Pada zaman dulu, sejak Rasul sampai Abu Bakar al-Shidik, shalat tarawih tidak pernah dilakukan berjamaah. Hal ini karena Rasul belum pernah mencontohkan. Rasul pada zamannya tarawih hanya 8 rakaat dan tiga malam di masjid, karena Rasul kuwatir shalat itu takut dianggap wajib, maka Rasul pindah shalatnya ke rumah. Sejak itulah shalat tarawih tidak dilaksanakan secara berjamaah. Namun pada masa Umar bin Khathab dirumah menjadi dilakukan berjamaah di masjid dan rakaatnya menjadi 20. Kata umar bin khathab inilah bid’ah yang paling enak.
Syaikh Said bin Muhammad Bais, dalam karyanya mengutif perkataan Imam Nawawi. Meunrutnya bersalaman setelah shalat termasuk bid’ah hasanah.

Kesimpulan
Bid’ah sesat jika bid’ah brkaitan dengan ibadah mahdhah dan berkaitan dengan akidah.


Tidak ada komentar:

Ceramah Maulud