BID’AH
A. Definisi
Bid’ah berasal dari akar kata bada’a(بدع) yabdau (يبدع)
bad’an (بدعا) bidatan (بدعة). Dalam kamus Arab Indonesia bid’ah
diartikan sesuatu yang baru[1]. Adapun bid’ah
secara istilah adalah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah tetapi
tidak ada contohnya dari Rasul. Kata bid’ah selain digunakan dalam
hadis, juga ada di dalam al-Qur’an. Hanya saja bid’ah dalam al-Qur’an
diartikan “pertama”. Perhatikan surat al-Ahqaf di bawah ini:
Qul makuntu bidan minar rasuli
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di
antara Rasul-rasul
Terlepas dari pesoalan bahasa, yang
jelas bid’ah sering menjadi momok yang sangat menakutkan. Bahkan banyak
komentar, bahwa setiap bid’ah sesat, dan setiap yang sesat masuk neraka
(kulu bid’atin dhalalah, wa dhalalatun fin nar). Persoalannya sekarang,
apakah setiap bid’ah sesat.
Secara umum orang
mengatakan bahwa setiap yang baru itu bid’ah dan sudah pasti sesat. Hal
itu bisa difahami, karena ada hadis yang menyatakan demikian. Seperti hadis di
bawah ini:
فإن
خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشرَّ الأمور
محدثاتها وكل بدعة ضلالة
(fainna khairal hadis (sesungguhnya sebaik2nya perkataan) kitabullah (kitab Allah),
wa khairul huda (dan sebaik2nya petunjuk) huda
Muhammad SAW (petunjuk Muhammad), wa syarul
umuri (dan seburuk2nya perkara)muhdatsatuha (yang
baru), wa kullu bid’atin (setiap bid’ah)dholalatun (sesat))
Secara
tekstual hadis tersebut difahami setiap yang baru itu bid’ah dan setiap
yang bid’ah sesat. Intinya setiap ibadah yang tidak ada contohnya sesat.
Persoalannya, apakah semua ibadah ada contohnya dari Rasul?, karena ada ibadah
yang dalam pelaksaannya diberikan contoh dan ada yang tidak. Shalat lima waktu,
misalnya selain diperintahkan juga ada contohnya dari Rasul. Sebagai mana rasul
bersabda: (shallu kama ratum ushali). Lain halnya dengan teknis ibadah yang
hanya diperintah tetapi teknisnya tidak diperintahkan. Misalnya umat islam
wajib menutupi aurat. Di sini islam hanya memerintah orang berpakaian menutupi
aurat, perkara teknis itu dapat diserahkan pada budaya setempat. Bahkan dalam
kaidah Ushul Fiqih adat atau tradisi bisa menjadi hukum jika tidak bertentangan
dengan syara (hukum islam).
Untuk menjawab
apakah setiap bid’ah sesat, sebaiknya kita mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan ibadah, karena bid’ah selalu dikaitkan dengan ibadah.
Misalnya apa itu ibadah? Ada berapa bentuk ibadah? Dua persoalan pokok ini
dapat membantu seseorang memahami bid’ah itu sesat atau tidak.
Secara umum
ibadah terbagi dua; ibadah mahdhah, dan ibadah ghair mahdhah.
Ibadah mahdhah ibadah yang sudah jelas perintah dan teknisnya. Misalnya
shalat lima waktu dan sejenisnya. Pada ibadah shalat jika ditambah atau
dikurangi, misalnya shalat subuh menjadi tiga rakaat, atau shalat maghrib
menjadi 5 rakaat itu dapat diakatakan bid’ah sesat. Berbeda dengan ibadah ghair
mahdhah ibadah yang diperintahkan tetapi teknisnya dibebaskan. Misalnya
menutupi aurat, anjuran memperbanyak sedekah, dan dakwah dalam kebaikan,
silahkan metode disesuaikan sebagaimana wali songo berdakwah.
Imam Syaifi’i
seorang ulama dengan pangkat mujtahid muthlak membagi bid’ah kedalam dua
bagian, seperti yang diungkapkan di bawah ini:
وقول الشافعيّ: "البدعة بدعتان:
بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنّة فهو مذموم
(al-Bidatu bidatani (bid’ah terbagi dua): bidatun
mahmudatun (bid’ah terpuji ) wa bidatun madzmumatun (bida’ah tercela) fama
wafaqa sunata (jika sesuai dengan sunah) fahuwa (maka ia) mahmudatun (terpuji).
Wama khalafa sunnata (tidak sesuai dengan sunah) fahuwa madzmum (maka tercela)"
Jika melihat
komentar Imam syafi’i, kita dapat memahami, bahwa bidah itu tidak selamanya
sesat, karena di dalmnya ada juga bid’ah hasanah (baik). bahkan Ibnu Rajab
berkomentar:
قال ابن رجب: "وأمّا ما وقع في كلام السلف من
استحسان بعض البدع فإنّما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية، فمن ذلك قول عمر رضي
الله عنه لمّا جمع النّاس في قيام رمضان على إمام واحد في المسجد، وخرج ورآهم
يصلون كذلك، فقال: (نعمت البدعة هذه)
Qala (berkata) ibnu Rajab: wa amma
(adapun sesuatu) waqa’a (sesuai) fi kalamis salafi (pada perkataan ulama salaf)
min ihtisani (dari yang baik) ba’dhil bid’i (sebagain bid’ah) fainnama zalika
(maka hal demikian) fibid’il lughawiyah (pada bid’ah bahasa) lasyariyati (bukan
bid’ah syariyah) famin zalika (demikian juga) qauli umar bin khathab (perkataan
umar bin khathab) lama jaman nasu (ketika manusia kumpul) fiqiyami ramadhan
(pada salat tarawih) ala imamin wahidin (atas imam yang satu) fil masjidi (di
masjid) dia mengatakan bahwa inilah bida’ah yang paling nikmat.
Pada zaman dulu, sejak Rasul sampai
Abu Bakar al-Shidik, shalat tarawih tidak pernah dilakukan berjamaah. Hal ini
karena Rasul belum pernah mencontohkan. Rasul pada zamannya tarawih hanya 8
rakaat dan tiga malam di masjid, karena Rasul kuwatir shalat itu takut dianggap
wajib, maka Rasul pindah shalatnya ke rumah. Sejak itulah shalat tarawih tidak
dilaksanakan secara berjamaah. Namun pada masa Umar bin Khathab dirumah menjadi
dilakukan berjamaah di masjid dan rakaatnya menjadi 20. Kata umar bin khathab
inilah bid’ah yang paling enak.
Syaikh Said bin Muhammad Bais, dalam
karyanya mengutif perkataan Imam Nawawi. Meunrutnya bersalaman setelah shalat
termasuk bid’ah hasanah.
Kesimpulan
Bid’ah sesat jika bid’ah brkaitan
dengan ibadah mahdhah dan berkaitan dengan akidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar