TAFSIR MUAMALAT
1.
Pendahuluan
Mu’amalat dalam artian kebahasaan berarti interaksi sosial, dalam
segala dimensi kehidupan mmanusia. Bahkan mu’amalat dalam Islam dicatat sebagai
ibadah yang sungguh berpahala. Berbicara mu’malat dalam Islam tentu didasarkan
atas pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan hadis, karena kedua sumber itu
termasuk sumber pokok yang tidak dapat ditinggalkan atau dikesampingkan. Namun
dalam konteks ke-ilmuan, berbicara mu’amalat haruslah jelas. Yakni bergantung
pada pendekatan yang digunakan. Jika berbicara mu’amalat dalam konteks tafsir
mu’amalat, maka berbicara mu’amalat lebih menitik beratkan pada mu’amalat dalam
perspektif al-Qur’an, yang tentunnya semua rujukan didasarkan pada ayat
al-Qur’an. sebaliknya jika berbicara mu’amalat dalam konteks hadis, atau
hadis-hadis mu’amalat maka dalam bahasannya segala rujukan didasarkan pada
hadis-hadis Nabi. Dengan demikian jelas pemetaanya.
Dalam hal
ini penulis akan berbicara mu’amalat dalam konteks al-Qur’an, atau
dengan kata lain tafsir mu’amalat. Sebagai konsekwensinya penulis harus
berbicara mu’amalat berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini penulis
lakukan sebagai usaha mempermudah mahasiswa atau masyarakat pada umumnya dalam
memetakan tafsir mu’amalat dengan hadis mu’amalat atau fiqh mu’amalat.
Ini juga merupakan kegundahan penulis, karena sering dijumpai banyak orang atau
mahasiswa yang kurang dapat membedakaan mu’amalat dalam berbagai
pendekatan. Berbicara mu’amalat dalam konteks hadis, tanpa sadar malah
menyebrang pada mu’amalat dalam konteks al-Qur’an, atau sebaliknya.
Membahas mu’amalat
dengan pendekatan al-Qur’an, hadis dan fiqih, tentu akan lebih tepat jika
berbicara mu’amalat dalam konteks Islam. Yakni mu’amalat dalam
perspektif Islam yang jelas lebih luas bahasannya, karena menggunakan berbagai
sumber hukum Islam.
Seperti
yang telah penulis utarakan di atas tentang definisi mu’amalat secara
kebahasaan. Angatlah jelas, bahwa segala yang menyangkut hubungan sosial
termasuk pada kata gori mu’amalat. Tidak berlebihan jika dalam bahasan fiqh
ulama membagi fiqh secara garis bersar kepada dua bagian;[1] pertama fiqh tentang ubudian yakni, hubungan manusia dengan Allah. Kedua
tentang mu’amalat, yakni hubungan manusia dengan manusia.
Jika
melihat pada bahasan di atas tentang mu’amalat sangat lah luas, karena
menyangkut segala yang berhubungan dengan manusia. Hal ini jika dibahas secara
keseluruhan akan memerlukan bahasan yang panjang dan waktu yang sangat lama.
Padahal buku ini sangat ditunggu kehadirannya oleh masyarakat khususnya
mahasiswa. Mengingat hal itu, penulis akan lebih konsen berbicara mu’amalat
pada dimensi perekonomian, dengan pendekatan tafsir, atau dengan kata lain
disebut tafsir mu’amalat.
Langkah-langkah yang akan ditempuh penulis dalam
berbicara mu’amalat yang dilandaskan al-Qur’an adalah dengan cara memotret
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang ekonomi. Dari sini kita dapat
memahami, apa tujuan hidup manusia, bagaimana mendapatkan harta, dan untuk apa
harta itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar